Di depan pintu kamar istrinya, Hendra berdiri menunggu dengan sabar. Sudah sekitar lima belas menit lamanya dia mengetuk pintu, membujuk Juwita agar segera keluar dari kamarnya. Tapi sampai dia merasa kakinya pegal berdiri di sana, Juwita tidak juga muncul.Rasa kecewa kembali memenuhi hati Hendra, menyadari Juwita masih sama seperti biasa. Entah sampai kapan dia akan menunggu Juwita bisa melupakan kejadian mengerikan itu. Dengan sangat terpaksa, Hendra meninggalkan pintu itu.“Bapak mau saya siapkan makan siang?”Asisten rumah tangga menghampiri Hendra di meja makan. Wanita tua itu sangat sopan dengan senyum ramahnya.“Tidak usah, Bi, saya sudah kenyang,” bohong Hendra. Padahal, sejak tadi belum ada makanan sedikit pun masuk ke dalam perutnya.“Atau mau saya buatkan teh, Pak?”Hendra mengangguk pelan. Mungkin dengan meminum teh rasa kecewanya sedikit akan berkurang.“Boleh, Bi." Tidak sampai sepuluh menit, teh chamomile sudah tersaji di depan Hendra. Teh yang berasal dari bunga aste
“Mana anak itu?”Saat Lilis baru masuk ke dalam rumah, Steve menghentikannya. Sebotol minuman keras bertengger di tangannya yang langsung menempel ke mulut. Cairan kuning keemasan itu kemudian masuk ke tenggorokan membuat wajah Steve mengernyit.Lilis masih diam, kemudian berpindah ke sofa di ruang tengah. Wajah kesal dia tunjukkan pada suaminya.“Muka jangan ditekuk! Kalo suami tanya itu ya dijawab,” ucap Steve kemudian.“Dia nggak mau kasih.” Lilis sangat sebal melihat Steve belakangan ini yang selalu mabuk-mabukan.Raut wajah Steve semakin tidak senang, dia datangi Lilis ke sofa dan menatapnya dengan alis mengerut.“Nggak dikasih? Memangnya kamu minta sama siapa?”“Ya sama Hendra, memangnya sama siapa lagi?”“Goblok!” Steve menoyor kepala Lilis menekannya ke belakang. “Kamu ini beneran goblok apa bagaimana? Kamu minta ke dia, mana mungkin mau kasih? Aku bilang kamu ambil anak itu!”Belakangan ini Steve memang menjadi sangat kasar. Sejak uang pemberian Juwita semakin menipis, pasang
Restoran milik Hendra semakin hari semakin ramai saja, menarik perhatian banyak pebisnis untuk bekerja sama dengannya. Bahkan mereka tidak segan menawarkan investasi yang cukup besar sebagai modal untuk membuka cabang di kota lain.Tentu saja hal itu tidak Hendra sia-siakan. Dia ingin bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari mertuanya terus menerus, dan bisa membuktikan bahwa dirinya pasti bisa setara dengan keluarga istrinya. Hendra menjadi sangat sibuk oleh pekerjaan yang semakin menggunung, bahkan sering pulang larut malam. Tapi baginya semua itu tidak mengapa, demi membuktikan ucapannya pada Juwita.Selain demi keluarga dan karirnya, Hendra juga bisa lebih menyibukkan diri dengan pekerjaan sehingga tidak melulu hanya memikirkan polemik rumah tangganya yang belum juga berakhir. Tak banyak lagi waktu yang terbuang sia-sia hanya menunggui Juwita di depan pintu, atau sekedar merenung seorang diri.Seperti beberapa hari ini, selalu hampir tengah malam Hendra tiba di rumah setelah mengu
Saat jam makan siang, Hendra masih berada di bangunan restoran baru yang akan dia buka. Jika awal merintis hanya memiliki selapak kecil di sebuah mal, saat ini dia bahkan memiliki bangunan sendiri yang berdiri di atas tanah yang cukup luas, dan terdiri dari tiga lantai. Hendra tidak mempercayakan begitu saja persiapan segalanya pada para pekerja, dia menghabiskan waktunya turut serta untuk mengurus segalanya sehingga orang yang berinvestasi benar-benar puas dengan kinerjanya.“Pak Hendra, ada seseorang mencari Anda.”Pria muda yang membantu pekerjaannya mendatangi Hendra, di ruang kecil yang dijadikan ruang kerjanya. Hendra mengalihkan mata dari monitor yang menunjukkan penampakan gambaran kecil dari restorannya.“Siapa, Mad? Pak Halim sudah tiba?” tanya Hendra, hendak bergegas menemui orang yang dia sebutkan namanya. Salah satu investor yang sudah mempercayakan uangnya dikelola Hendra.“Bukan, Pak. Saya belum pernah melihatnya, dia perempuan,” sahut pria muda bernama Rahmad.Wanita?
“Makan dong, Hen, jangan dilihatin doang. Ini kan makanan kesukaan kamu, loh. Ingat nggak, dulu kamu selalu bilang ke aku jangan buang makanan. Malah sekarang kamu kok sia-siakan makanan di depan mata, sih? Nggak baik loh, mubazir.”Lilis terus bercetoleh di depan Hendra, sementara dia hanya diam menatap makanan di atas meja. Tak ada nafsu sama sekali melihat menu yang tersaji di depannya, meski cacing di dalam perut sudah meronta meminta diberi makan. Yang ada di dalam kepalanya hanya lah, segera menyelesaikan masalah dengan perempuan yang terus berbicara itu.“Kita sudah lama nggak makan bareng, kan? Sudah lebih satu tahun. Ingat, Hen, dulu kita setiap hari hanya makan apa adanya dan kamu selalu habisin makanan kamu. Apa karena sudah kaya, banyak uang, makanya kamu jadi buang-buang makanan?”Masih terus berceloteh, tapi Hendra sama sekali tidak menjawab. Jangankan untuk makan, duduk berhadapan dengan perempuan itu pun sudah merusak selera makan Hendra. Jika bukan karena demi nama ba
Uang memang sangat menggoda di mata Lilis, tidak dia pungkiri itu. Apalagi dengan status Hendra yang sekarang seorang bos dari restoran mewah, sudah barang tentu uangnya pun tidak main-main. Belum lagi keluarga istrinya adalah orang kaya, berapa pun yang Lilis minta pasti bisa dikabulkan oleh Hendra.Dengan uang yang cukup banyak, Lilis bisa saja mengulang kembali bisnisnya yang hancur oleh Steve, dan memulai kembali kehidupan yang baru. Tapi Lilis tidak ingin mengulang kembali kesalahan yang sama, dan berakhir menderita bersama laki-laki pemalas seperti Steve. Tujuannya bukan sekedar uang Hendra saja.“Aku nggak butuh uang kamu,” sahut Lilis lirih, wajahnya sembab dengan air mata yang sejak tadi sudah membanjiri kedua pipi.“Kenapa tidak butuh? Bukannya kamu hidup untuk uang?” Hendra tidak bisa percaya begitu saja, sebab karakter seseorang tidak mungkin bisa diubah dalam waktu dekat.Dengan wajah sedihnya, Lilis memungut tas dari atas meja. Dia keluarkan beberapa lembar uang ratusan
“Goblok!” Sebuah tamparan mendarat di pipi Lilis, mengakibatkan tubuhnya terhuyung ke belakang. Kakinya terbentur sofa sebelum akhirnya tubuh kecilnya terjatuh dan mengenai sudut sofa. Lilis merasa sangat sakit memegangi punggungnya. “Sebenarnya lo ini niat nggak, sih? Bisa nggak melakukannya? Kalo nggak bisa, ngomong! Biar gue yang bekerja!” teriak Steve penuh amarah. Kesal sekali dia rasa. Sudah membiarkan Lilis bertemu Hendra beberapa kali, tapi tetap tak ada hasil. Selalu pulang dengan banyak alasan yang mengatakan sedang berusaha membujuk Hendra lah, berusaha mendapatkan kepercayaan Hendra lah. Padahal jika Lilis benar-benar niat, bisa saja dia langsung mengambil anak itu saat Hendra sibuk bekerja. “Dia kerja sampai ke luar kota, dan lo kayak pelacur datengin dia ke sana. Hasilnya tetap nol!”Lilis meringis menahan wajahnya dengan kedua pipi, sebelum Steve melayangkan tamparan lagi di pipinya. “Tapi nggak bisa begitu, Steve, kita harus sedikit lebih sabar,” terang Lilis untu
Di rumah besar itu, Hendra juga lelah dengan keadaan rumah tangganya. Akan seperti apa pernikahan ini ke depan nanti? Bukankah Juwita sendiri berkata, ingin mereka tetap bersama bahkan setelah kontrak pernikahannya selesai? Hendra sudah tak sabar hanya diam menunggu Juwita keluar dari kamarnya. Hingga satu malam, dia mendapatkan ide untuk memperjelas akan ke mana tujuan rumah tangga itu.Dengan bantuan alat bor yang sengaja dia beli saat akan kembali ke rumah, Hendra tidak segan-segan membuka paksa pintu kamar Juwita.Juwita yang sedang mandi sangat terkejut mendengar suara bising, dia berlari mencari di mana arah suara mesin yang sangat mengganggu.Wanita itu berdiri di pintu kamar mandi dengan sebuah kimono yang terlilit di tubuhnya. Mata mereka bertemu, sekujur tubuh membeku, mulut tidak mampu berbicara untuk beberapa saat. Hanya sorot mata mereka yang terlihat begitu menunjukkan kerinduan dari keduanya.Wangi harum dari sabun mandinya masih menempel di tubuh Juwita, menyeruak masu
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.