Melihat Armaja terdiam, Juwi sangat kecewa. Tampaknya Armaja memang tidak berubah pikiran seperti yang Hendra katakan. Juwita merasa hatinya kecewa, sudah begitu cepat dia mengambil keputusan untuk menemui papanya di sini. Jika tahu hanya akan kecewa yang dia dapat, Juwi tidak akan meninggalkan pekerjaannya demi bertemu papa yang dia harapkan akan mengerti dirinya. Seharusnya Juwi tidak secepat itu merasa senang, hanya karena Armaja berkata rindu dan ingin bertemu dengannya. Tidak mungkin muda seorang Armaja menerima keputusan Juwi memilih Hendra. Juwi merasa dirinya sudah sangat bodoh, yang dengan gampang menghadiri undangan papanya. Segera dia berdiri. “Aku harus kembali sekarang,” ucapnya, pikiran buruk segera menelusup ke dalam kepala Juwi, takut jika mungkin Arman ada di sana dan langsung menyekapnya seperti yang kemarin Juwi curigai. Tapi saat Juwi baru akan melangkah, Armaja berbicara di belakangnya. “Maafin papa yang begitu bodoh.” Kaki Juwita tidak mampu melangkah menden
Armaja mengusap wajahnya. Dia merasa malu di depan putrinya setelah begitu mempercayai semua kebohongan Arman. “Aku menemui istri Hendra,” kata Armaja, mengingat pertemuannya dengan perempuan yang menjual suaminya itu. “Istri Hendra?” Juwi terkejut, kenapa papanya bertemu dengan Lilis? “Iya, papa mencari tahu siapa istri Hendra sebelumnya dan bertemu dengan wanita yang bernama Lisa itu. Dia sudah menikah dengan aktor, dan dia... dia mengatakan segalanya pada papa.” Juwi tidak sabar mendengar ucapan papanya. Dia kembali ke kursi yang tadi dia duduki dan siap untuk mendengar percakapan Armaja dan Lilis. “Apa yang dia katakan? Lilis bilang apa sama papa?” “Dia memberitahu kalau Hendra suami yang tidak berguna, miskin, dan tak bisa diandalkan. Dia menjualnya karena tidak memiliki masa depan dengan Hendra.” Ketika Armaja menemui perempuan itu, tampak Lilis sangat arogan dan merasa dirinya sangat tinggi dibandingkan Hendra. Lilis juga memamerkan kehidupannya yang jauh lebih baik se
“Papa pembohong!” Pintu dibuka dengan paksa bersama suara Maria yang begitu marah datang dari luar sana. Dia tatap Armaja dengan wajah merengut karena sudah dibohongi oleh suaminya sendiri. Armaja memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit karena harus berhadapan dengan istrinya yang sangat cerewet ini. “Berbohong apa sih, Ma? Datang-datang kok marah?” “Papa bilang Anita sudah punya tas ini, nyatanya dia belum beli. Papa ini kenapa sih bohongin mama?” katanya, menunjuk tas tangan yang menggantung di pergelangan. Tampaknya Maria baru saja membeli tas itu yang tadi Armaja tunjukkan. “Bukan toh? Kalo begitu papa salah lihat dong.” “Halah! Papa hanya sok tahu. Aku sampe bela-belain belanja dan ke arisan buru-buru, nyatanya Anita saja kaget lihat aku pakai tas model terbaru!” “Kalo begitu bagus, dong. Dengan papa salah lihat, mama jadi punya lebih dulu darinya kan? Harusnya mama itu senang.” Maria berpikir sejenak dan tersenyum setuju. Jika suaminya tidak menunjukkan tentang ta
Ketika Juwi kembali ke resto, Hendra dan pekerja mereka sudah bersiap-siap untuk pulang. Dia lihat istrinya itu kembali dengan wajah murung, membuat Hendra meletakkan pekerjaannya segera. “Kalian bereskan semuanya, ya. Jangan lupa menutup pintu belakang.” Hendra berpesan pada mereka dan langsung mendekati Juwita. Wanita itu duduk di bangku paling dekat dengan pintu, dia tatap Hendra dengan mata sendu yang tampak seperti barusan menangis. Hendra mengusap pundak istrinya sebelum memulai pembicaraan. “Kamu pasti lapar. Ayo kita makan di luar sesekali.” Tanpa menunggu Juwi menjawab, Hendra membawa istrinya meninggalkan restoran milik mereka. Dia bawa Juwi menuju kafe tempat pertemuan mereka pertama kali dulu dan memesan private room yang sama dengan yang dulu mereka tempati. Hendra juga memesankan menu makanan yang sama, membuat suasana malam itu seperti mengulang pertemuan mereka. Setelah pelayan meletakkan semua menu makan malam di atas meja, baru lah Hendra memulai pembicaraan. “
Juwita melakukan apa yang dikatakan oleh Hendra tadi malam. Dia hubungi mamanya dan mengatakan besok akan datang berkunjung ke rumah orang tuanya.“Jam satu siang?” tanya Maria, memastikan waktu yang ditetapkan oleh putrinya.“Iya, Ma. Ada yang harus aku bicarakan dengan mama. Aku harap mama bisa meluangkan waktu sebentar,” sahut Juwita di seberang telepon.‘Dasar anak keras kepala ini... akhirnya menyerah juga, kan? Kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Merepotkan mamanya saja!’ Maria berbicara di dalam hati, dia merasa menang sekarang.“Hum... baik. Datanglah besok siang dan jangan terlambat dari jam satu. Besok ada acara arisan yang harus mama datangi,” ucap Maria menyetujui.Selama ini Maria sudah sangat berusaha membujuk agar putrinya itu mendengarkan kata orang tua. Tapi Juwi bersikeras dengan pilihannya dengan Hendra si laki-laki miskin itu. Ketika akhirnya Juwita sendiri yang mengalah, kenapa Maria harus langsung terlihat senang? Dia sengaja membuat nada bicaranya terdengar tida
Armaja yang juga berada di sana menggeleng mendengar ucapan istrinya.“Maria, jangan seperti itu pada putrimu. Tanyakan apa alasannya datang ke sini.” Dia mengingatkan.“Semuanya demi kebaikan kamu, maka jangan selalu membangkang. Mama nggak perlu ngomong yang muluk-muluk, kalau niat kamu ingin kembali, segera tinggalkan Hendra lalu menikah dengan Arman!” tegas Maria tanpa, tanpa menggubris peringatan suaminya.Untuk apa bertanya tujuan kedatangan Juwita lagi? Maria yakin betul putrinya datang untuk mengeluh, lalu memohon agar bisa kembali kantor. Juwi harus tahu dia hanya bisa kembali jika mendengarkan kata-katanya. Tak ada negosiasi, tak ada kata tunggu dan menunda.Maria berpura melirik jam di ponselnya dan berkata, “Mama masih banyak urusan. Segera kasih jawaban kamu, kapan meninggalkan Hendra.”Dia merasa bangga, tanpa memikirkan apa yang dirasakan putrinya sekarang.Jujur saja Juwita sangat kecewa mendengar semua kalimat yang keluar dari mamanya. Apalagi sikap angkuh mamanya itu
Semua beban itu sudah Juwita ungkapkan pada kedua orang tuanya. Wajah keduanya menegang, mungkin sekarang mereka marah pada Arman, yang selama ini terlihat bersikap baik di depan mereka? Juwi menggeser kursinya mundur, dia harus pergi sebelum tangisannya pecah membayangkan betapa hancur hati orang tua mendengar putrinya diperlakukan sangat buruk. Biarkan mereka memikirkan itu, biarkan mereka menata dulu hatinya sebelum menyatakan bagaimana perasaannya sekarang. Saat Juwi akan melangkah, Maria memanggil namanya. Kakinya berhenti dan menatap mata sang mama yang mulai berkaca-kaca. “Juwita Sayang, apa yang kamu katakan barusan... itu tidak benar, kan?” tanya Maria. Entah karena dia tidak terima putrinya diperlakukan bagaikan murahan, atau memang pada dasarnya Maria tidak mempercayai semua keluhan Juwi? Tak ingin menduga-duga sehingga hatinya semakin hancur, Juwi memilih tidak menjawab. Dia melanjutkan langkah yang sempat tertahan. “Juwita! Juwita, tunggu mama!” seru Maria, mencoba
Darahnya sudah mendidih di ubun-ubun. Hendra mencengkeram seluruh jari-jarinya, agar tidak benar-benar membunuh Arman sekarang juga. Dia masih memakai akal sehat, tidak akan membiarkan dirinya menjadi pembunuh sehingga Juwi semakin menderita.Sudah cukup penderitaan Juwita. Cukup. Bahkan mendengar semua pengakuan Juwita saja, dia seperti ikut merasakan sakitnya wanita itu saat bersuamikan Arman.Ya, Hendra mendengar semua pembicaraan Juwi dan orang tuanya. Hendra tidak bisa hanya diam di restoran, dia takut mertuanya mungkin akan melakukan sesuatu pada Juwi. Karena itu Hendra mendatangi rumah ini untuk berjaga-jaga.Siapa sangka dugaannya memang tak salah? Selain Hendra harus mendengar segala kekejaman yang Juwi dapat dari orang tuanya, dia juga harus melindungi istrinya dari laki-laki bejat di depanya ini.“Kau berani padaku?” Arman terkekeh. “Kukatakan padamu, aku diajarkan untuk selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Jadi, menyingkirlah sebelum aku yang benar-benar membunuhmu di
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.