Suasana di dalam rumah itu semakin tegang dan memanas. Armaja sangat marah sampai dadanya ikut naik turun oleh kemarahan yang sudah di ubun-ubun.“Berani sekali kamu masuk ke rumah ini. Gara-gara kamu putri tercintaku jadi pembangkang. Memangnya kamu bisa menafkahinya menggunakan apa? Hidup kamu saja menumpang kepada putriku!” bentak Armaja. Hendra menyunggingkan senyuman kepada ayah mertuanya. Walau pun dia ini miskin, tapi sebagai seorang suami dia masih mampu untuk bekerja dan memberikan nafkah untuk istrinya.“Saya ini laki-laki, harga diri laki-laki adalah bekerja. Siapa bilang saya hanya menumpang saja pada putri Anda, Ayah Mertua. Aku ini masih kuat untuk bekerja, dan selalu membantunya,” ucap Hendra.“Bekerja apa? Bekerja menjadi gigolo dan merampas uang Juwita? Kau itu hanya berlindung di balik nama Juwi. Aku bahkan ragu, di kantor mungkin kamu hanya membuat masalah dalam pekerjaannya,” sindir Arman. Dia sangat setia menuangkan minyak pada kobaran api kemarahan Armaja, a
Mama Juwita memegang kepalanya karena pusing dengan masalah yang menyangkut putrinya. Kenapa putrinya bisa keras kepala seperti ini. Apakah benar lelaki miskin itu menggunakan pelet untuk menjerat Juwita. Tidak mungkin juga Juwita bisa secinta buta itu kepada lelaki miskin yang tidak mungkin bisa membahagiakannya.“Pa, apakah kita harus pergi ke dukun untuk memisahkan Juwita dan pria miskin itu?” tanya mama Juwita.“Apakah kamu sudah gila. Kenapa bisa membawa dukun di jaman yang serba modern ini,” jawab Armaja yang kesal mendengar pernyataan istrinya. Perkataan Juwi masih terus mengganggu pikirannya.“Aku tidak gila. Siapa tahu Juwita memang sudah dipelet oleh lelaki miskin itu. Tidak ada salahnya mencoba bukan?” tanya mama Juwita lagi.Armaja bukannya senang, dia justru mengomeli istrinya yang tidak masuk akal. Mana ada dukun yang benar di dunia modern ini. yang ada mereka adalah penipu yang hanya ingin mengeruk uang orang yang datang kepadanya.“Kamu jangan menjadi bodoh hanya karen
Saat itu pun Juwi melebarkan kedua matanya. Apakah kata yang baru dia dengar itu sungguh benar adanya? Ataukah mungkin… Hendra mengatakan itu untuk menutupi kebohongannya?“Aku nggak tau sejak kapan. Tapi aku yakin, aku sudah jatuh cinta sama kamu, Wi. Aku ingin kita bersama selamanya, aku nggak mau kamu pergi ke tangan lelaki mana pun. Asal kamu tahu, melihat Arman datang ke kantor siang itu, dadaku terasa terbakar dan sangat ingin membunuhnya!” ucap Hendra terus terang, memang seperti itu lah yang dia rasakan.Antara tidak percaya dan Bahagia, Juwi melingkarkan tangannya di leher Hendra dan berkata, “Aku sudah lama menunggu kamu mengucapkan kalimat itu. Hen, kamu nggak bohong kan?”Hendra menggeleng pelan. “Aku nggak bohong. Aku mencintaimu dan ingin bersama selamanya denganmu. Tapi… apa kamu mampu hidup miskin dengan aku? Juwi, kamu tau aku bukan laki-laki kaya, kamu tau aku hanya pekerja pabrik sebelum kamu mengubah hidupku. Tapi, dengan kenyataan yang sekarang terjadi, apa mungk
Hendra merasa lega sudah mengutarakan isi hatinya. Mendengar pengakuan Juwita juga membuat batinnya merasa nyaman. Perjalan kembali ke rumah mereka lalui dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya.“Juwita ayo istirahat dulu, kamu besok akan menjalani hidup baru sebagai ibu rumah tangga biasa,” ajak Hendra.“Ayo kita istirahat. Aku juga sudah capek ribut dengan papa dan mama,” balas Juwita, menyandarkan dirinya di dada bidang Hendra.Saat tidur pun Juwi menggelung tubuhnya di dalam pelukan Hendra. Matanya menatap lelaki itu terlelap dalam mimpi indahnya.Inikah yang disebut dengan rumah tangga harmonis? Impian yang sudah lama Juwi harapkan bahkan Ketika dulu masih bersuamikan Arman. Tak lepas-lepasnya senyuman itu dari bibir Juwita, menyadari dirinya kini menjadi satu-satunya Wanita di dalam hati Hendra.Juwita bangun lebih awal dari Hendra. Dia menuju dapur untuk memasak. Kedepannya mungkin dia harus mengurangi asisten rumah tangga untuk mengurangi pengeluaran bulanan. Meski
Hati Juwi meleleh mendengar setiap kata yang Hendra ucapkan. Dia sangat terharu saat Hendra meminta dirinya yang menjadi saksi perjalanan Hendra menuju sukses.Begini kah rasanya dicintai suami? Jadi, seperti ini kah seharurnya pasangan suami istri itu? Saling mendukung, meminta kekuatan pada pasangannya untuk lebih tegar menjalani problem yang tak pernah habis. Ah… rasanya Juwi seperti dibawa ke dalam dunia yang baru, dunia yang sebelumnya tidak dia dapatkan dari Arman. Hendra sudah berhasil mengeluarkan Juwita dari pengalaman kelamnya yang dulu membelenggu, sehingga membuat wanita itu sempat merasa enggan menjalin hubungan dengan lelaki.Dengan semua kata yang Hendra ucapkan, juga pelukan hangat lelaki itu yang membuat batinnya terasa sangat tenang, Juwita semakin yakin pada pilihannya meninggalkan perusahaan. Tidak ada yang harus dia sesalkan asal tetap bersama dengan Hendra. Tak ada lagi keraguan di dalam hatinya, jika Hendra selalu ada di sisinya.Tanpa sadar, air mata Juwita ja
Sepasang suami istri itu saling berpelukan di pagi hari karena merasakan hal belum pernah mereka rasakan pada pasangan yang terdahulu. Juwi dan Hendra terlarut dalam perasaan nyaman yang terdalam. Hendra bahkan tidak mampu menahan diri untuk sekedar memeluk Juwita. Dia raih dagu lancip istrinya dan menariknya mendekat, sebelum akhirnya menempelkan bibir mereka. Dia kecup singkat bibir manis itu yang membuat Juwi segera memegangi leher belakang Hendra.“Hanya sedikit?” tanya Juwita, saat Hendra sudah menarik bibir mereka menjauh.Hendra menaikkan sebelah alisnya oleh pertanyaan lucu dari sang istri.“Masih pagi, kita tidak boleh melanjutkannya.”“Justru karena masih pagi. Biar kamu tau, orang-orang selalu melakukan ciuman Panjang di pagi hari untuk ucapan selamat pagi. Bahkan mereka juga melakukan lebih.”Dan selanjutnya, Juwi menarik leher Hendra untuk lebih dekat dan kembali menempelkan bibir mereka. Wanita cantik itu penuh gairah memberikan ciuman panas di bibir Hendra, memainkan li
“Wah! Wah…! Rumah tangga bahagia tengah menikmati sarapannya, ya?” Wanita itu berkata dengan nada angkuh yang menjengkelkan.“Mama, siapa orang itu?” Alan masih dengan suara khas-nya bertanya. Matanya menatap wanita yang berdiri berpangku tangan di depan sana.Kedatangan tamu tidak diundang itu menghentikan acara sarapan Juwita dan Hendra. Sebenarnya dia sangat malas untuk meladeni siapa pun sekarang. Juwi ingin menghabiskan waktunya bersama dengan Hendra dan Alan sebelum mereka memulai bisnis barunya nanti. Tapi jika sudah didatangi begini, mana mungkin mereka bisa mengelak?Segera Juwi berdiri mengambil Alan dari kursinya.“Lan, pergi sama Bibi Ratih dulu, ya. Mama dan papa ada sedikit kerjaan.” Juwi serahkan Alan pada Ratih, bersama dengan piring sosisnya yang masih tersisa beberapa.Juwita menatap tamu yang adalah mamanya sendiri. Bukan sendiri, tepatnya bersama dengan Arman. Sudah bisa dipastikan, Arman lah yang sangat bersemangat sampai membawa Maria ke tempat itu.“Ada apa? Ini
Maria memegangi kepalanya karena pusing memikirkan masalah putri kesayangannya. Apakah langkah yang ia lakukan ini sudah benar atau hanya akan menyengsarakan anaknya, jika terus memaksa memisahkan Juwita dari Hendra? Sedangkan Arman masih kekeh ingin kembali pada Juwita.Sejak awal memang Armaja lah yang meminta Arman agak rujuk dengan Juwi. Tapi mengingat betapa kerasnya Armaja menolak saat Maria menyarankan mengobati Juwi ke orang pintar, justru membuat segalanya terasa runyam. Armaja bahkan tidak mengijinkan Maria menemui putri mereka, sampai suaminya itu yang menyuruh, katanya. Dan sekarang, Maria sudah mengabaikan perkataan Armaja, berkat bujukan dari Arman.Dia menjadi bingung, entah mana yang harus dilakukan sekarang. Tapi jika memikirkan masa depan Juwita, tentu saja Maria lebih setuju Juwi rujuk dengan Arman yang sudah jelas bibit bebet dan bobotnya. Tidak seperti Hendra yang terlalu banyak keburukannya.“Mama mertua kenapa Anda memegangi kepala seperti itu? Apa Anda sakit?
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.