Sangat sakit. Rasa diremas di dalam dada Juwita membuatnya hampir terduduk. Dia tidak mampu melepaskan lelaki itu. Ingin Juwi menarik lagi kata-katanya, berharap kalimat yang baru saja dia ucapkan tidak pernah lepas dari bibirnya. Tapi semua sudah terjadi, Juwita tidak mungkin mampu menarik kata yang sudah dia ucapkan.Apakah ini sudah pilihan terbaik? Benarkah dengan melepaskan Hendra, Juwi akan lepas dari sakit yang setiap hari semakin menghimpit dirinya? Juwita menarik napas panjang untuk menahan isak agar tidak lepas."Kamu... mau cerai?" kata Hendra, mulutnya terasa sulit mengatakan itu.Bagaimana bisa dua istrinya akan mencampakkan Hendra di hari yang sama? Lilis pergi menikah, dan Juwita ingin Hendra mengakhiri kontrak pernikahan mereka, padahal itu baru terjadi dua bulan.Bahkan Hendra belum berpikir perceraiannya untuk lima tahun ke depan nanti. Hendra pernah berharap lima tahun itu tidak segera datang agar dia bisa terus melihat senyum di bibir Juwita."A-aku hanya kasih pil
Masih termenung Juwita dengan segala pertanyaan di dalam kepalanya. Bukan tidak mengerti, lebih tepatnya dia takut salah mengartikan ucapan Hendra barusan. Matanya nanar menatap Hendra seakan meminta penjelasan dari lelaki itu."Aku mau kamu, Wi," kata Hendra sekali lagi, menarik Juwita lebih dekat padanya.Desiran yang menyenangkan Juwita rasakan di dalam dadanya, diam dia ketika Hendra memeluk tubuhnya lembut.Kemudian, Hendra mendekatkan wajahnya ke leher Juwita, menelusup ke ceruk leher istrinya. "Aku sangat menginginkan kamu."Sekali lagi kata-kata itu membuat Juwita melambung ke udara. Semua rencana yang dia susun di dalam kepala pun perlahan Juwi lupakan. Bagaimana dia bisa meminta berpisah dengan lelaki yang sesungguhnya sangat dia inginkan? Juwita tak sanggup untuk itu.Hendra menatap kembali mata Juwita. Tangannya terangkat ke wajah Juwi, memberikan belaian lembut di pipi kiri yang sangat halus. Kemudian, jemari itu menjalar ke bibir Juwi, mempermainkannya sejenak.Kenapa H
Permintaan yang cukup menantang. Hendra mengangguk sebelum kembali mendaratkan bibirnya di belahan dada Juwita, dan mulai memberikan kecupan di sana.Belaian demi belaian mulai membuat Juwita tak bisa tenang. Kakinya bergerak-gerak, tubuhnya meliuk bagaikan seorang penari ular merasakan sensasi antara geli dan nikmat yang Hendra berikan. Tangan perempuan itu juga tidak bisa hanya diam, menjambak dan meremas rambut Hendra di dalam dekapannya.Kepala Hendra turun perlahan-lahan, tak satu inci pun yang terlepas dari sapuan lidah basah lelaki itu, untuk memuaskan sang istri yang sudah menunggu."Hendra...."Namanya terus dipanggil bagaikan sebuah nyanyian indah di telinga Hendra, yang menambah semangat di diri lelaki itu untuk terus melakukan aksinya. Hendra bahkan tidak mengingat lagi nama Lilis, dia hanya peduli pada wanita yang kini ada di dalam dekapannya.Ketika tiba di depan benda feminim milik Juwita, Hendra menatap benda yang sudah mulai basah itu. Gairah di dalam diri semakin kua
"Belum, siap?"Hendra mencium puncak kepala istrinya yang sedang bercermin. Dia lingkarkan kedua tangan di pinggang juwita, sedang matanya fokus tatap Juwita di dalam cermin. Juwita tengah mengaplikasinya make up di wajahnya, sangat cantik wanita itu dengan gerakan tangan anggunnya."Sedikit lagi, nih," sahut Juwita, lanjut memoles wajahnya.Jemari lentik Juwi bergerak meraih kosmetik lainnya. Hendra setia mengikuti gerakan Juwi, masih terus meletakkan dagunya di puncak kepala Juwi. Entah sejak kapan, menatap wanita itu membuat hatinya terasa sejuk."Kenapa lihatin aku terus?" tanya Juwi, menyadari tatapan Hendra yang sangat intens padanya. Timbul niat iseng di hati Hendra, saat melihat wajah istrinya yang merona ditatap sangat lama. Hendra menggoda Juwita lagi dengan kejadian saat mereka bangun tidur. "Seksi banget bibirnya. Aku jadi pengen lagi," ucap Hendra. Lihatlah tangan Juwita langsung berhenti dari aktivitasnya. "Lagi?" Juwi memutar wajahnya ke samping, memanyunkan bibirny
"Aku tau kamu dengar. Kamu tidak mau melihat aku?"Dua kaki Juwi masih bergeming di tempatnya. Tangannya dikepal untuk menghindari getaran yang mulai dia rasakan. Juwi menarik napas beberapa kali, menjaga dirinya dari pengaruh rasa takut yang menghantui.Perlahan, Juwi memutar tumitnya melihat orang yang berbicara padanya. Kala itu pun dadanya bergemuruh, menatap wajah yang sudah lama tidak pernah dilihat lagi.Lelaki itu tersenyum. Senyum yang sering Juwi lihat saat dia hidup dengan lelaki itu. Ya, dia adalah Armando, laki-laki yang pernah menikahi Juwita. Laki-laki yang menyiksa Juwita baik fisik dan mentalnya, dan laki-laki yang membuat Juwita sempat merasa trauma dan takut membuka hatinya untuk lelaki mana pun. "Apa kabar? Lama tidak bertemu," ucap lelaki itu, menyadarkan Juwita dari pikiran panjangnya.Juwita terkesiap. Segera dia atur pundaknya untuk berdiri tegap, seakan menunjukkan dirinya tidak lemah seperti dulu lagi."Ba-baik. Terima kasih sudah bertanya kabarku," sahut Ju
Juwita masih terdiam, dia belum ingin membukakan pintu sama sekali. Rasanya terlalu enggan untuk berbicara dengan seorang pria yang sebetulnya dia ingin sekali lupakan. Arman hanya sebuah masa lalu yang tidak layak baginya untuk diingat kembali. Tapi... rasa takut akan masa lalu membuatnya dalam dilema, antara harus mengabaikan Arman atau membuka pintunya.“Juwita, aku mohon bukakan pintunya!” seru Arman dari luar masih berusaha untuk meminta waktu Juwita diberikan padanya. Juwi sama sekali tidak ingin menggubris keinginan Arman. Juwita tidak pernah berharap pria itu untuk kembali masuk dalam kehidupannya. Saat ini hanya Hendra yang bisa mengusik pikiran Juwita, dan membuatnya merasakan bagaimana rasanya dimanja, lalu diperhatikan layaknya seorang istri.Bukan seperti Arman, mereka berdua benar-benar sangat berbeda. Meski Hendra bukan berasal dari keluarga berada, tetapi pria itu tahu bagaimana caranya menghormati seorang wanita, dan mampu membuat Juwita berbunga-bunga tiap kali sed
Ketegangan di diri Juwita tak bisa dia singkirkan begitu saja. Arman memang lelaki yang penuh manipulasi, dan karismanya tak perlu diragukan lagi. Siapa pun wanita yang digodakan tidak akan bisa melepaskan diri begitu saja. Sebab itu pula lah Juwita bisa berada di sisi lelaki itu selama bertahun-tahun, meski batinnya sangat tersiksa. Sifat dominan yang Arman miliki selalu mengalahkan Juwita yang lemah. Tapi... Juwi tidak ingin kembali masuk dalam perangkap lelaki itu. Dia adalah seorang istri sekarang, dan Hendra sudah membantunya lepas dari rasa takut akan lelaki.Hati Juwita berontak mengingat wajah Hendra yang tersenyum manis padanya. Dia tidak mau seperti ini. Apalagi menyadari Arman tengah mendekatkan bibir mereka, sehingga itu tinggal beberapa inci. Segera dia mengingat semua kesalahan Arman di masa lalu, dan tidak akan mau kembali menjadi budak seks lelaki itu."Aku sangat ingin merasakanmu sekarang, Sayang..." bisik Arman, suaranya memang seksi dan menggoda. Tapi, Juwi tidak
Salah satu sifat buruk Arman adalah memandang Juwita sangat rendah. Dia tidak percaya perempuan itu sudah bersuami, seperti yang Juwita katakan barusan. Arman tertawa geli melepaskan pundak Juwita dari cengkramannya.Sedang Juwita, sudah paham betul sifat mantan suaminya. Dia pasti tengah merendahkan Juwi di dalam pikirannya."Kamu... makin lucu, Juwita," kata Arman, lagi dia tertawa melihat wanita itu. "Siapa yang percaya kamu bersuami? Memangnya... laki-laki mana sih yang bisa ngambil kamu dari aku?""Jangan terlalu rendah mandang aku-""Oh jelas!" sambar Arman tegas. "Kamu itu hanya perempuan penakut yang selalu patuh sama aku. Kamu cuma beralasan biar aku nggak datang lagi, kan? Kamu nggak mungkin nikah, tanpa persetujuan dari aku."Benar. Semua yang ingin Juwi lakukan akan selalu melalui ijin lelaki itu. Tapi itu dulu, saat Juwi menjadi orang bodoh. Setelah perceraian mereka beberapa tahun lalu, Juwi sudah berubah menjadi seorang wanita tegar, tegas, dan bisa menguasai dirinya se
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.