Pagi ini adalah hari pertamaku terbebas dari semua hutang. Rasanya sedikit lega,yah hanya sedikit karena aku bukan hanya tak punya uang tapi juga tak punya rumah.
"Kita tinggal di rumah Ibu aja dulu ya Dek, setidaknya di sana mungkin uang kita gak keluar banyak, kamu mau Dek? " pinta mas Bagas dengan hati-hati.
"Jadi kalau nanti mas dapat orderan pendapatannya bisa difokuskan untuk tambahan buat beli mesin sablonnya," lanjutnya.
"Gimana menurutmu Dek?" tanya mas Bagas lembut.
Aku tak punya alasan lagi untuk menolak, ahirnya akupun menyetujui permintaan mas Bagas dengan menganggukan kepala.
"Iya Mas, seperti tujuan awal kita, bisa beli mesin baru," kataku menyemangati.
Mas Bagas memeluku erat dan mencium pucuk kepalaku.
"Maafkan mas ya belum bisa berikan yang terbaik buat Adek,"
"Adek bisa liat usaha Mas selama ini,bagi adek semua itu terbaik Mas," ucapku seraya membalas erat pelukannya.
"Ya sudah kita mulai bereskan barang-barang kita ya Dek, kita cuma dikasih waktu seminggu buat beres-beres sebelum pemilik rumah menempatinya."
"Iya Mas, tak seharusnya kita lemah,ayo kita berjuang bersama." ucapku sambil menunjukan kepalan tanganku dihadapannya.
"Kamu tuh, udah kaya mau perang aja," ucap mas Bagas sambil tertawa.
Aku melepas pelukan mas Bagas dan beranjak ke kamar untuk mengemasi pakaian. Ketika sedang fokus berkemas Adit masuk kamar.
"Mah,, apa gak papa tinggal sama Eyang? di sana nanti kan bareng sama tante Nisa?" tanya Adit anak pertamaku.
Adit sekarang kelas 5 SD usianya 11 tahun, dia sudah cukup tau permasalahan di sekitarnya. Dia sudah cukup paham mana yang baik dan tidak baik.
"Ya gak papa inshaAllah ini sementara aja kok Dit, lagian kenapa dengan tante Nisa?" tanyaku seraya mengulas senyum.
"Mamah gak usah sok kuat deh Mah, saat kita tinggal berjauhan aja tante Nisa suka sekali nyuruh-nyuruh Papah buat ngerjain segala keperluannya," ucap Adit emosi.
“Nanti kalo serumah bisa-bisa Mamah jadi babunya," tambahnya berapi-api.
"Kamu gak boleh suudzon gitu, gak baik nanti malah jadi fitnah," ucapku coba meyakinkan Adit.
Sebenarnya hal itu juga yang membuatku berat memutuskan tinggal di sana tapi anggap saja ini adalah perjuangan.
"Kita coba ya Mah, kalo ternyata di sana gak nyaman kita langsung keluar dari rumah eyang, bisa!?" tanya Adit tegas.
"Adit,, katanya ucapan adalah do'a maka kita sebaiknya berucap yang baik-baik saja." ucapku menenangkannya.
"Yah, terserah Mamah lah, ucapan baik harus disertai dengan usaha baik juga kan Mah?" ucap Adit merajuk.
"Adit keberatan tinggal sama Eyang?" tanyaku lembut sambil mengusap kepalanya.
"Adit tinggal di mana aja gak masalah Mah, Adit cuma gak suka kalau ada yang gak baik sama Mamah," ucapnya sambil memelukku.
"Mudah-mudahan gak seburuk seperti yang dikatakan adit." Batinku.
"Baik dan buruk itu relatif Dit, yang penting kita tetap berusaha menjadi baik," ucapku dengan senyum lebar untuk meyakinkan Adit bahwa aku baik-baik saja.
"Sekarang sebaiknya Adit bantuin Mamah beres-beres ya, Adit beresin barang-barang Adit bisa?" tanyaku menyemangati Adit.
"Ya udah Mah, Adit kemasi pakaian Adit dulu, Mamah kalau gak suka tinggal di rumah Eyang bilang aja, Papah pasti ngerti kok Mah," ucap Adit.
"Ok, siap Pak bos." ucapku seraya mengacungkan dua jempol dan tersenyum.
Ku dorong pelan tubuh Adit keluar kamar. "Ayuh beres-beres."
Sebelum Adit sampai di depan pintu, mas Bagas datang, dan berhasil membuatku terperanjat.
“Apakah mas Bagas mendengar percakapanku dengan Adit." Batinku.
"Makan dulu yuk, papah beli nasi goreng kesukaanmu tuh, ayok kita makan ayok Mah," ucap mas Bagas sambil menggandeng tangan Adit keluar kamar. Aku menyiapkan piring untuk nasi goreng yang barusan dibeli mas Bagas, dan menatanya di meja makan. "Mas udah cerita sama Ibu, kalau kita mau tinggal di sana?" tanyaku disela makan. "Udah kok, mas udah telepon Ibu," jawab mas Bagas. "Ibu bilang apa Mas?" tanyaku penasaran. "Ya gak bilang apa-apa, memang Ibu pengin kita tinggal di sana kan?" jawab mas Bagas santai. "Adit udah tahukan kita akan tinggal di rumah Eyang?" tanya mas Bagas seraya menatap Adit. "Kalau misalnya nanti di sana Adit gak betah boleh gak kita pindah Pah?" tanya Adit tampak ragu. "Gak betahnya kenapa Dit?" tanya mas Bagas pelan. Aku menatap mata Adit seraya menggelengkan kepala pelan, berharap Adit tidak mengatakan apapun tentang Nisa, untungnya Adit paham. "Ya itukan misalnya saja Pah, entah karena jarak ke sekolah jadi jauh atau mungkin..." Adit menjeda kalimatnya
"Assalamu'alaikum... " ucapan kami serempak sambil melangkah masuk ke dalam rumah Ibu. "Wa'alaikumussalam.... " jawab Ibu juga Anisa dari dalam. Mereka menyambut ke depan dan kami saling bersalaman. Beberapa orang mengangkut barang dan memasukannya ke dalam rumah. "Barang-barang ini masukan ke gudang sebelah pojok sana ya Pak," ucap Anisa sambil menunjuk alat kerja mas Bagas.Bapak-bapak pengangkut barang nurut saja. "Silahkan menikmati es teh buatan sheff Mamah," ucap Adit pada semua orang di ruang tivi sambil membawa nampan berisi es teh yang aku buat. "Dan silahkan menikmati camilan keripik pisang buatan tetangga lamaku," ucapku mengikuti gaya Adit yang ditanggapi dengan tawa dari kami semua. Sebenernya perutku sudah keroncongan minta di isi tapi tak enak mau makan belum dipersilahkan, sampai akhirnya Adit buka suara. "Mah.. laper nih..," lirih Adit tapi masih cukup bisa didengar semua orang di ruangan ini sambil mengelus perutnya. "Goreng telur aja sana ada tuh di kulkas,"
"Sari ini kok gak kamu masukin ke mesin cuci sekalian," tanya Ibu sambil menunjuk tumpukan baju Nisa. "Kita inikan keluarga tinggal bersama ya apa-apanya sama-sama ya, saling membantu," lanjut Ibu sebelum aku sempat menjawab. "Tohkan pakai mesin cuci inih, tinggal masukin trus jemur gak repot," ucap Ibu sebelum akhirnya ke depan meninggalkanku. Ahirnya aku kerjakan juga semuanya, daripada banyak omong. Baru duduk minum air Ibu datang. "Sari.. sayurannya ibu taruh sini ya, nanti masak ikannya jangan pedes-pedes Rehan gak bisa makan pedes," kata Ibu sambil berlalu pergi."Baru juga mau istirahat," batinku. Karena aku sangat lapar, dari pagi belum makan apa-apa ku putuskan untuk masak mi instan. Sebenernya pagi tadi sudah masak nasi goreng tapi karena sibuk ngurusi Rafif, ahirnya belum sarapan nasi goreng sudah keburu habis. Ketika mi instan baru setengah ku makan Ibu masuk dapur. "Kok malah makan sendiri ini gimana, ini lho dimasak dulu udah siang ini, bisa-bisa gak keburu mate
Ketika terdengar adzan maghrib aku beranjak ke belakang hendak berwudhu, saat melewati gudang ada genangan air yang mengalir dari dalam.Karena penasaran aku membuka pintunya. "Astaghfirullah.... Mas... Mas Bagas... " teriaku dari depan pintu gudang. Mas Bagas dan yang lainnya berlari menghampiriku. "Ada apa Dek? " tanya mas Bagas sambil mendekat ke depan pintu gudang. "Ya Allah bagaimana ini, alat-alat kerjaku rusak semua keguyur hujan". Mas Bagas segera masuk ke dalam berusaha menyelamatkan barang-barangnya."Kalau alat-alatnya memang bagus pasti akan baik-baik aja Mas, tinggal besok dijemur dikeringkan," ucap Nisa tanpa beban. "Gak semudah itu Nisa,yang dari bahan besi memang tak masalah tapi cetakan-cetakan dari kayu dan kain bisa rusak," jawab mas Bagas lesu. “sholat dulu yuk Mas, keburu waktu magrib habis,nanti kita coba pilih barang-barang yang masih bisa digunakan,” ajakku dengan hati-hati. "Kok bisa bocor sampe sebesar itu ya Mas?" tanyaku setelah selasai sholat. "Mu
"Sari tolong ini setrikakan baju ini ya, mau dipakai arisan nanti siang jam tiga," kata Ibu sambil meletakan gamis di kursi dapur. "Iya Bu, nanti Sari selesaikan masak dulu," jawabku. Setelah selesai masak dan semua makanan siap di meja makan, aku ambil gamis yang Ibu kasih tadi untuk disetrika. Ketika ku bentangkan di meja setrika. "Kok ini seperti punya Nisa, mungkin mereka memang punya sama'an," pikirku. Setelah selesai setrika langsung ku menuju kamar Ibu mengantarkan bajunya. "Benar kan Bu Nisa bilang, bakal ada untungnya kalau mereka tinggal di sini,” ucap Nisa begitu semangat. “Kita cuma keluar modal buat makanan mereka dikit dan kita gak perlu lagi bayar pembantu buat urus rumah," lanjutnya. "Ya idemu memang cemerlang Nis," jawab Ibu. "Mas Bayu jadi bisa fokus ngurus toko di pusat kota,yang di sini ada mas Bagas yang bantuin kalo butuh tenaga buat angkat yang berat-berat," lanjut Nisa. "Tapi kasihan Bagas, Nis kalau terlalu berat gitu kerjanya," ucap Ibu. "
Kalau Bayu yang berlaku buruk pada mas Bagas mungkin wajar karena mereka hanya ipar. Tapi Anisa,bagaimana bisa tega dia berbuat seperti itu pada mas Bagas.Padahal selama aku kenal mas Bagas, mas Bagas adalah kakak yang baik dan selalu memberikan apapun permintaan Nisa. “Mana hpnya Dek?” ucap mas Bagas mengagetkanku. “Sejak kapan Mas di sini?” tanyaku kaget. “Kamu di minta ambilin HP malah matung di sini,” ucap mas Bagas sambil nyengir. “Iya maaf Mas,Adek anu.. “Aduh aku bingung harus jawab apa ya Allah. “Ya udah Adek samperin Rafif aja tuh, kayaknya udah bangun, manggil tadi,” ucap mas Bagas sambil masuk warung. “Iya Mas Adek masuk sekarang,” ucapku langsung buru-buru masuk rumah. "Sepertinya salah jika Aku berfikir tinggal di sini untuk berbakti pada suami dan orang tua, suamiku semakin susah jika kami terus di sini," batinku. Tapi bagaimana cara menyampaikan pada mas Bagas. Esok harinya. Hari ini Ibu mengeluh sakit kepala,aku ke kamarnya membawakan teh hangat dan bubur.
"Dek,, Ibu kan sedang sakit, jadi kita ngalah dulu ya, biarlah Ibu bicara apa, kita iyakan saja," ucap mas Bagas ketika kami sudah di kamar. Aku hanya menganggukan kepala, bingung mau jawab apa. Niat hati ingin mengajak mas Bagas pindah dari rumah Ibu, malah semakin susah karena Ibu sakit. "Adek sudah berusaha melakukan yang terbaik yang adek bisa Mas, tapi kenyataanya tidak semua orang bisa menerimanya dengan baik," kataku ragu.“Mas bisa lihat itu semua, karena itu mas sampaikan hal itu tadi,” ucap mas Bagas seraya menunjukan senyum terbaiknya. “ya udah mas kembali ke warung ya, banyak yang harus di bereskan di warung,” ucap mas Bagas sambil melangkah keluar kamar. "Mas,, kalau bantu-bantu di warung di kasih upah berapa?" tanyaku ragu. Mas Bagas menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ku. Mas Bagas tampak berfikir."Mas cuma melakukan hal kecil Dek, cuma sebatas bantu yang mas bisa, belum bisa jadi karyawan beneran," jawab mas Bagas pun ragu. Melihat keraguan mas Bagas
"Ibu coba lihat dari kedua sisi, apa yang buat Nisa marah, siapa yang sebenarnya salah," ujar mas Bagas. "Ternyata benar kata Nisa ya,Sari memang membawa pengaruh buruk untuk kamu Gas," ucap Ibu. "Justru Bagas menjadi jauh lebih baik setelah bersama Sari Bu,” bela mas Bagas. “Bagas mulai mementingkan sholat, dulu Ibu bahkan gak pernah tegur Bagas untuk sholat," ucap mas Bagas terus membela diri. "Nah ini ni, sekarang kamu bukan cuma membangkang tapi juga menyalah-nyalahkan Ibu,kamu mau bilang Ibu itu orang tua yang buruk begitu," ucap Ibu emosi. "Apa saja yang Nisa bilang sama Ibu, sampai Ibu menajadi seperti Ini," tanya mas Bagas mulai tak sabar. "Mas gak usah nyalahin Nisa atas kesalahan istri Mas, Ibu cukup bisa melihat siapa yang salah siapa yang benar Mas," ucap Nisa tiba-tiba dari arah pintu. Mas Bagas yang sudah tidak sabar akhirnya keluar dari kamar Ibu tanpa berkata apa-apa lagi.“Lihat Bu, bahkan sekarang mas Bagas gak menghargai Ibu sama sekali, orang belum selesai b
"Alhamdulillah sekarang Rehan udah bisa pulang," ucapku seraya memeluk Rehan. "Ayah mana Bun? katanya mau jemput Rehan?" tanya Rehan seraya memandang arah pintu. "Mungkin sebentar lagi datang, atau sepertinya Ayah akan langsung menyusul ke rumah," jawabku menyemangati Rehan. "Tapi Rehan takut Ayah gak datang," ucap Rehan dengan tertunduk lesu. "Bunda telepon Ayah sekarang yah," ucapku seraya meraih hpku di tas. "Iya Bunda, telepon sekarang cepat, Rehan mau pulang sama Ayah," ucap Rehan begitu semangat. "Rehan mau pulang ke tempat Ayah?" tanyaku cemas. "Iya, kan kemarin Bunda bilang, kalau Rehan udah sembuh Rehan boleh ikut Ayah," jawabnya dengan mata berkaca. Aku seperti tak mau merelakan, tapi juga tak kuasa merusak kebahagiaan Rehan yang baru sembuh dari sakitnya. "Bunda akan tepati janji Bunda kan," ucap Rehan menyadarkanku. "Iya Iyah, tentu saja," jawabku gugup. "Kalo gitu Bunda telepon Ayah sekarang, Rehan pengin mainan sama Ayah cepet," ucap Rehan seraya menggoyang-go
"Mbak Sari aku minta nasehatnya aku minta sarannya aku lagi bingung banget Mbak," rengekku pada mbak Sari. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, sudah serahkan saja pada dokter tugas kamu sekarang tinggal berdo'a," jawab mbak Sari bijak. "Masalahnya sudah tiga hari panasnya belum turun juga, dan Rehan terus saja memanggil Ayahnya, dokter juga menyarankan untuk segera memanggil Ayahnya," ucapku ragu. "Apa gak sebaiknya kamu beritahu Bayu tentang keadaan Rehan sekarang," ucap mbak Sari memberi saran. "Itu dia masalahnya Mbak, aku sempat berfikir jika Rehan bisa melewati masa ini maka Rehan akan benar-benar bisa lepas dari Bayu," ucapku penuh harap. "Jika Rehan sudah bisa lepas dari Bayu maka aku akan segera mengajukan permohonan cerai,” ucapku ragu. “Tapi keadaan Rehan sekarang membuatku bingung juga, baiknya gimana ya Mbak," lanjutku dengan putus asa. "Aku tau ini hal yang berat untukmu, tapi ini juga berat buat Rehan, mungkin untuk saat ini, kamu ngalah dulu aja ya, biarkan Rehan
"Tania mau mampir dulu gak?" tanya Niar ketika sampai di rumah tantenya Niar. "Udah malam ya, besok-besok aja, udah main seharian mau istirahat dulu ya Tan," ucapku menolak. "Apa kita mampir dulu sebentar Yah, sebentar aja," rayu Tania padaku. "Kan udah main seharian ini, besok juga ketemu lagi sama tantenya," bujukku. "Sebentar aja, sebentaaaaar banget Yah," Tania terus saja merengek. "Ya sudah tapi bentaran aja," ucapku menyerah. "Oke, makasih Ayah," ucap Tania seraya ke luar mobil. Aku pun menepikan mobilku kemudian turun dari mobil. "Kayaknya ada tamu di dalam?" tanyaku seraya berjalan ke dalam. "Kayaknya si iya," jawab Niar dengan terus melanjutkan langkahnya. "Assalamu'alaikum," ucap kami serempak di depan pintu. "Wa'alaikumsalam.. " jawab serempak orang-orang dari dalam. Kemudian Niar membuka pintu dan masuk rumah, aku dan Tania lekas mengikutinya. "Niar ini Halim sudah lama nungguin kamu," ucap tantenya Niar. Aku mendekat menyalami semua orang di dalam tak lupa T
"Tunggu-tunggu, kok Mbak Niar bisa kenal juga sama suaminya Bening, dan berarti Bening masih punya suami?" ucap Nisa terlihat bingung. "Kan sudah ku bilang, gak ada yang gak aku ketahui," jawab Niar dengan khas sombongnya. "Tadi kebetulan kami lihat mereka di rumah makan yang kami datangi," jawabnya lagi menjelaskan. "Dia kayaknya masih berstatus istri orang tapi kemungkinan besar dia akan menceraikan suaminya, karena di lihat tadi dia sudah gak mau lagi peduli sama suaminya," ucap Niar yakin. Sekarang aku tau kenapa Niar begitu tertarik ingin tau masalah Bayu tadi, ternyata benar dia ingin membantu Nisa, aku yang kakanya bahkan tak ada usaha apapun untuk membantunya. "Terus untuk Rehan gimana Mbak, gimana kalau Bayu menuntut hak asuh anak juga," ucap Nisa khawatir. "Sebernarnya kalau Bayu terbukti dengan kuat dia selingkuh maka hak asuh anak akan jatuh padamu Nis," ucapku meyakinkan. "Tapi, percuma juga Rehan bersamaku kalau dia terus-terusan maunya sama ayahnya," keluh Nisa.
"Assalamu'alaikum.. " ucapku seraya mengetuk pintu rumah Nisa. "Wa'alaikumsalam.. Oh Om Ardi Rehan kira Ayah yang pulang," ucap Rehan sambil membuka pintu rumah.“Siapa yang datang Re?” tanya Nisa dari dalam. “Tania Bun,” jawab Rehan. "Eh Mas Ardi kok sama mbak Niar, ada Tania juga sini masuk," ucap Nisa mempersilahkan kami masuk. "Duduk Mas, Mbak aku ambil minum dulu ya," ucap Nisa seraya berjalan ke belakang. "Kopi ya Nis," ucap Niar sedikit berteriak. "Iya Mbak,Mas Ardi juga kopi?" ucap Nisa juga berteriak. "Ya boleh," jawabku. "Rehan kok sedih, Rehan gak suka ya aku datang ke sini?" tanya Tania murung. "Suka kok, aku cuma kangen Ayah, Ayah sudah lama gak pulang," ucap Rehan sedih. "Kamu telepon aja, vidio call sama Ayahmu," ucap Tania memberi saran. "Bunda sudah mencoba, tapi Ayah gak bisa di hubungi," jawab Rehan putus asa. "Pakai ponsel Ayahku aja sini," ucap Tania seraya menggandeng tangan Rehan mendekat padaku. "Ayah coba telepon Ayahnya Rehan Yah," pinta Tania pa
"Akhirnya bisa jalan-jalan dan makan di luar sama tante Niar, Tania seneng banget deh," ucap Tania semangat. "Jalan-jalannya memang udah tapi makannya belum, jangan bilang udah makan, tante lapar ini," ucap Niar seraya mengusap perutnya dengan ekspresi memelas. Niar nih lucu banget bersamanya bener-bener rame dan gak ada bosennya. "Oh iya kita baru mau makan ya, Tante jangan nangis dong yuk kita makan makanan kesukaan Tante," ucap Tania seraya menggandeng Niar ke dalam. "Mereka terlihat begitu kompak, Niar benar-benar memposisikan diri seperti teman bagi Tania," batinku. "Ayah kenapa senyum-senyum sendiri, ayo cepat masuk ini tante sudah kelaparan," ucap Tania mengagetkan dari lamunanku. "Aduh aw," teriak Niar karena tertabrak oleh orang tak di kenal. Untung saja aku sudah berada di dekatnya sehingga aku bisa menopang tubuhnya agar tidak jatuh. "Heh punya mata gak si, main tabrak aja!" teriak Niar. "Kamu gak papa?" tanyaku khawatir seraya membantunya berdiri tegak. "Heh berh
"Assalamu'alaikum mbak Sari gimana keadaanmu?" tanya Ardi masuk ruangan. "Wa'alaikumsalam Alhamdulillah baik Di, mas Bagas kasih tau kamu kalau aku di rumah sakit?" tanya mbak Sari. "Nggak Mbak, Tania merengek minta ke rumah Mbak Sari katanya pengin main sama tante Niar, waktu aku datang sepi, kata art nya Mbak lagi di rawat jadi aku langsung ke sini aja," jawabku jujur. "Tapi kalau di rumah sakit kan gak mungkin main, entar bisa di semprot sama pasien sebelah," jawab Niar sambil tertawa. "Ya gak papa gak main dulu nanti mainnya kalau tante Sari sudah sehat dan sudah di rumah," jawab Tania dengan logat lucunya. "Ini aku bawakan makanan buat mbak Sari buat Niar juga," ucapku seraya menyodorkan kantong makanan. "Aku sudah makan, makanan dari rumah sakit tadi Di, kalian aja makan kebetulan mbak Niar belum makan tuh," ucap mbak Sari. "Tapi kamu makan buahnya ya Sar, ini sudah aku kupasin," ucap Niar seraya menyodorkan buah yang sudah dipotong di piring. "Iya Mbak, ya sudah kalian
"Kok bayi si, Mbak Sari hamil lagi?" tanyaku tak percaya. "Iya Nis aku lagi hamil," jawab mbak Sari dengan tersenyum. "Kalau dia gak sedang hamil mana mungkin dia bertahan dengan kakamu yang kurang ajar itu," ucap mbak Niar emosi. "Jaga omonganmu Mbak, bagaimanapun mas Bagas itu suamiku, aku tetap gak terima kamu ngatain dia begitu," ucap mbak Sari terlihat emosi. "Iya Sar, maaf maaf, suasananya benar-benar membuatku gak bisa nahan emosi nih," jawab mbak Niar seraya cengengesan. "Alesan aja kamu Mbak, pokonya aku gak mau ya, denger kamu ngatain mas Bagas lagi," ucap mbak Sari tegas. "Iya Sari aku janji," jawab mbak Niar seraya nyengir. "Apakah Mbak Sari juga berniat untuk cerai sama mas Bagas?" tanyaku memastikan. "Ya waktu itu memang sempat terfikir untuk cerai, wanita mana yang tahan dimadu Nis," jawab mbak Sari dengan tertunduk."Tapi aku kan gak boleh egois, aku juga harus memikirkan bayiku ini, jadi aku coba berdamai dengan keadaan aku akan coba menerima takdir ini," ucap
"Apa kamu sungguh bisa bantu aku Mbak?" tanyaku tak sabar. "Yah kamu gimana udah pernah ngajuin buat cerai belum?" tanya mbak Niar seperti menuntutku. "Yah gimana, aku belum bisa cerai karena Bayu terus saja mempengaruhi anakku," keluhku. "Katanya sekarang sudah hampir sebulan gak pulang?" tanya mbak Niar menegaskan. "Iyah tapi pengaruhnya Bayu yang dulukan masih ada sampe sekarang, kalau aku cerai maka aku yang di salahkan sama Rehan dan bisa-bisa Rehan gak mau lagi sama aku," keluhku. "Eh kamu cari perempuan buat godain suamimu, kalau dia udah jatuh cinta suruh cewe itu buat rayu suamimu agar menceraikanmu dan meninggalkan anakmu," ucap mbak Niar."Kasih aja perempuan itu semua hartamu, perempuan macam itu pasti bakal seneng banget," lanjutnya yakin. "Nanti kamu tunjukkan ke anakmu kalau suamimu yang ngusir kamu, kasih liat dia kalau dia juga gak butuh anakmu, biar anakmu tau siapa yang salah," ucap mbak Niar mantab. "Tapi selama ini Bayu tuh gak pernah naruh hati sama peremp