34. Kami yang Semakin Dekat "Udah yuk! Di sini panas banget," keluhku pada dua laki-laki beda generasi yang berjalan penuh semangat di depanku. "Nanti Bunda, kita belum lihat ular sama buaya," tolak Gaffi terhadap keinginanku. Mendengar kata ular dan buaya seketika membuatku membulatkan bola mata. Itu adalah hewan yang aku takuti. Ya, mereka adalah salah satunya. Sebenarnya begitu banyak hewan yang aku takuti selain itu, tapi ya ... Dengan mereka aku yang paling takut. Seketika aku berjalan mendekat pada Ryan. Dengan cepat aku berusaha menyamakan langkah kami. Pada saat itu Zoo memang lumayan ramai karena bertepatan dengan hari libur. "Pstt! Yan, aku tunggu di parkiran aja ya? Aku malas kalau berkunjung ke kandang buaya," kataku pelan dengan berbisik padanya. Malu saja kalau Gaffi sampai tahu aku ketakutan. "Ei, kamu takut ya? Masih aja takut. Itu enggak bahaya, lagian mereka di dalam kandang. Ngapain takut, anakmu aja enggak takut. Tuh lihat semangat banget dia," tunjuk Ryan pa
Tamu yang kubenciTiga hari semenjak kejadian itu. Aku melanjutkan hidupku hanya saja apa yang dia lakukan beberapa hari lalu masih teringat jelas di kepalaku. Terngiang di saat-saat tertentu dan dia bertambah parah ketika dia menghubungiku.Seperti pagi ini, di saat aku sedang sibuk dengan pekerjaanku, ayah tiba-tiba menghubungiku memanggilku untuk datang ke kantornya. Sebenarnya dia masih sangat bisa untuk memimpin perusahaan. Akan tetapi, aku merasa ila ayah belum waktunya berhenti.Sebenarnya dahulu ada kesepakatan diantara kami di mana di usianya yang ke 55 ayahku ingin bersantai dan menikmati waktunya dengan ibu. Sedangkan saat ini dia masih mengurusi dua perusahaan. Sebenarnya aku kasihan, akan tetapi, aku sendiri masih belum ada minat dan niatan untuk mengurusi itu semua.Seperti saat ini, ayah menghubungiku dan memintaku untuk datang ke kantor. Dia begitu memaksaku untuk aku mengurus satu anak perusahaan. Kakakku sendiri sudah sibuk di luar negri dan dia jarang sekali pulang
“Ada apa?” sentakku pada lelaki yang telah membuatku merasa muak itu.“Aku hanya mau kasih dia sesuatu Nala, apa kamu juga tidak akan membolehkannya?” tanya Mas Akbar dengan suaranya yang ia buat selembut mungkin.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Agamaku melarangku untuk membenci orang terlalu dalam. Di sini aku ingat bahwa dendam itu hanya akan menggerogoti diri sendiri.“Ya sudah, aku kasih waktu 20 menit.” kataku yang kemudian masuk mendahuluinya.Aku lalu masuk dan mengajak putraku untuk turun. Walaupun dengan sangat berat hati tetapi aku tetap ingin mengutamakan kebaikan dari pada kejahatan. Bukankah jahat bila memisahkan ayah dan anaknya?“Gaffi, sudah selesai ya?” tanyaku pada putraku yang tengah mengerjakan tugasnya.“Sebentar lagi Bun,” jawabnya dengan tersenyum manis.Aku duduk di sebelahnya dan mengusap lembut rambutnya. Dia terlihat fokus dengan pekerjaan rumahnya. Sesekali aku melihat keluar di mana Mas Akbar masih saja menatap kami dari bawah.“Afi, ada ayah. Apa Afi
Setelah pertemuan antara Mas Akbar dan putraku itu, aku sama sekali tidak pernah melihatnya. Ada rasa tenang dan juga ada rasa cemas dalam diri ini. Iya, aku terus berpikir bahwa mungkin saja setelah itu dia akan bertengkar hebat dengan istrinya. Ah, entahlah aku tidak mau ambil pusing. Seperti hari biasanya, toko kueku ini akan ramai di jam makan. Hari ini ayah bilang akan datang berkunjung untuk makan siang bersamaku. Aku sudah menyiapkan makanan yang aku pesan di mejaku ini. Ternyata, ayah datang sudah dengan membawa Gaffi. Iya, rupanya ayah dan ibu menjemput Gaffi terlebih dahulu. Aku senang semuanya sudah kembali normal. Tidak ada penghalang bagi aku dan orangtuaku untuk bertemu. Kami bahagia tanpa Mas Akbar. Iya, aku baik-baik saja tanpa dia. "Bunda!" seru Gaffi yang begitu bersemangat setiap kali melihatku menyambutnya. Ia dia duniaku. "Iya Sayang, sudah pulang? Bagaimana tadi di sekolah?" tanyaku yang mungkin suatu saat nanti Gaffi akan mengeluh bosan dengan pertanyaan i
Kencan Pertama“Wah, saya ikut senang Bu,” ucap Elis padaku yang masih tersenyum malu dengan menggandeng tangan Ryan.“Makasih mbak Elis,” ucap Ryan dengan senyuman ramahnya.“Kalau begitu saya pamit pulang ya Bu, Pak,” pamitnya yang kemudian berlalu dengan sepeda motornya.“Iya hati-hati!” seruku saat dia melesat pergi.Jujur saja saat ini aku merasa sangat canggung. Begitu canggung di mana kami seperti sedang melakukan reka ulang adegan tetapi saat ini dengan masa dewasa bukan remaja lagi. Senyuman indah dari bibirnya itu tak sirna sedari tadi memancar menyilaukan mata dan mambuat hatiku semakin berdebar.“Mau masuk dulu atau mau langsung pulang?” tanyaku dengan berusaha mengurai kegugupan.“Em, di dalam ada minuman hangat ‘kan? Di sini dingin soalnya,” ucapnya dengan cuek dan menyelonong masuk begitu saja melewatiku yang masih berdiri tercenung menatapnya.“Ada, mau apa?” tanyaku yang mengekor di belakangnya dan langsung berbelok menuju ke dapur.Tidak lama, aku hanya membuatkan ko
"Yan, kok jadi gini?" tanyaku padanya yang dengan sengaja memelukku dari belakang hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya. Terasa geli dan menggelitik setiap kali menerpa, membuatku merasakan gelanyar aneh di dada. Jujur saja aku sempat tergoda. Kali ini aku seakan berada di persimpangan amal baik dan buruk. Aku bisa mendengarkan dia tertawa geli, cekikikan di samping telingaku. Aku rasa, kelakuan jahilnya sudah kembali. Dia menjadi Ryan yang dulu lagi. "Kangen tahu aku La, kangen kamu yang kayak dulu pas kita SMA, yang enggak kaku kayak gini. Kamu kayak malu-malu gitu sama aku," ungkapnya yang membuat pipiku semakin bersemu. "Ya malulah, masa iya aku kamu suruh kayak dulu. Gaffi bakalan komentar sama aku Yan, bakalan ngomel dia apa lagi melihat ibunya jadi petakilan. Ah, udahlah itu bukan ide yang baik," kataku sambil berlalu dan kembali fokus pada lembaran laporan bulanan. Ryan tersenyum dan menatapku teduh. "Aku enggak sabar kita cepetan nikah La, Mama bilang dia mau buati
Sudah Menjadi Pilihannya“Bukannya tidak boleh Sayang, nanti kalau Afi besar, baru boleh. Sekarang jangan ya,” kataku yang berusaha memberi penjelasan kepada pria kecil yang mulai berpikir kritis itu.“Tapi kenapa Bunda?” tanyanya lagi. Rupanya jawabanku ini sama sekali tidak memberikan kepuasan padanya.Oke, bila begini keadaannya, maka aku memang harus berterus terang. Tidak bisa aku menahan lebih lama. Supaya dia tahu dan bisa menilai sendiri.“Afi, ayah itu sudah punya istri lain. Afi bukan hanya anak ayah saat ini, ada anak lain dari wanita lain. Apa Afi paham?” tanyaku dengan meninggikan suaraku. Aku terbawa emosi.Bujang kecilku itu menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Rupanya ada hal yang membuatnya terluka. Apa dia sudah mengerti dengan maksud perkataanku?“Apa ayah akan seperti ayahnya Billy?” tanyanya dengan tatapan yang tidak mengendur sama sekali.“Siapa Billy?” tanyaku penasaran.“Teman Afi Bunda, ayahnya punya istri baru dan jahat sama Billy. Kemarin Billy cerita
Pembelaan Calon Mama MertuaSetelah hari itu, aku sama sekali tidak pernah melihatnya lagi. Entah apa yang terjadi kepadanya, aku mencoba untuk acuh. Terserah apa yang menimpanya aku tidak peduli.“Pagi!” sapa seseorang dengan senyum cerahnya dan itu adalah tante Ratna.“Pagi Nenek!” seru putraku yang seketika berjingkrak saat melihat kedatangan seseorang yang sebentar lagi juga akan menjadi ibuku.“Woah! Gantengnya ini, cucu siapa ya?” tanyanya pada anakku yang selalu tersenyum manis ketika pertanyaan basa-basi itu hadir.“Cucu kakek Dito,” jawabnya dengan bangga menyebutkan bahwa dirinya adalah cucu dari ayahku.Aku menjabat tangannya dan sepeti biasa aku mencium punggung tangannya lalu memeluknya. Di saat itu juga Ryan yang tidak memberiku kabar datang juga. Dia tidak bilang bila akan ikut.“Loh, katanya kerja?” tanyaku terkejut.“Izin sebentar, masa iya calon istriku mau viti baju sendiri. Enggak asik ‘kan?” jawabnya dengan memberiku pertanyaan lagi. “Sini cium tangan abang dulu,”
Dalam sebuah kamar ketika malam tiba, seorang wanita terus saja menggerutu seorang diri sambil memijit kakinyay yang terasa sakit. Nala merasakan sakit dibagian kakinya karena benturan tadi saat di adengan nekat menabrakkan mobilnya pada mobil Akbar. Dia sudah sangat marah kali ini sikap Akbar yang kembali ingin menggodanya membuatnya muak.Terdengar suara pintu terbuka lebar, menampilkan sosok laki-laki dengan stelan jas hitam memasuki kamar tanpa sambutan. Dia hanya tersenyum simpul menatap Nala. Ryan, sama sekali tidak banyak bicara terlebih saat dia mengira bahwa istrinya tidak ada karena mobil mereka juga tidak ada di garasi.“Aku pikir kamu pergi Sayang, ternyata kamu ada di rumah. Mobilmu ke mana?” tanya Ryan sembari meletakan tas dan jasnya dan ia mendekati Nala yang masih duduk membelakanginya di tepi ranjang.“Astaga! Kenapa kakimu bengkak membiru begitu? Kenapa ini tadi Sayang? Kamu kenapa?” tanya Ryan dengan sedikit panik.“Enggak apa-apa, aku enggak sengaja nabrak aja tad
"Sayang, hari ini kamu dulu ya yang jemput Gaffi, aku ada rapat dadakan. Ayah tiba-tiba sakit kepala, jadi aku tidak bisa menjemputnya, aku harus menggantikan ayah Sayang," kata Ryan kepada Nala yang tengah menatakan makan siang suaminya di meja kerja. "Loh, kenapa enggak bilang dari tadi Sayang? Hari ini Gaffi pulang cepat, kalau sampai keduluan Mas Akbar bagaimana?" kata Nala yang seketika terlihat panik. Dia segera merapikan tasnya dan mencium pipi sang suami sebelum pergi.. "Kamu nanti jangan malam-malam ya pulangnya, kita makan malem bareng!" ucap Nala dengan setengah berteriak kepada sang suami yang melambai kepadanya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. "Iya, aku usahakan. Kamu hati-hati nyetirnya!" kata Ryan dengan setengah berseru lantaran Nala yang dnegan cepat melangkah pergi meninggalkan ruangan kerja sang suami. "Dia masih sama saja, tetap menomer satukan keluarga. Hemh ... aku merasa Akbar itu tetaplah gangguan yang besar untuk keluarga kecil kami dan aku haru
61. “Ada apa? Kamu kenapa?” tanya Nala kepada suaminya yang hanya diam setelah penyatuan mereka. Untuk pertama kalinya Ryan menyalakan rokok yang ia bawa di dalam tasnya. Nala terkejut melihat ini. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama Ryan merokok di depan matanya. Mantan dokter itu tadinya sama sekali tidak menghisap benda merugikan itu. Terlihat ada raut kecemasan di wajah Ryan, pria itu terlihat stress dan mempunyai beban pikiran namun di asama sekali tidak mau membagikannya dengan Nala, istrinya. Ia memendamnya seorang diri. “Gimana aku bisa bilang sama dia kalau mantan suaminya itu tadi mengatakan sesuatu yang membuatku begitu terganggu? Akbar ingin merebut Nala kembali dengan caranya. Bukan tidak mungkin itu terjadi, mengingat masih ada Gafi diantara mereka. Gafi adalah jembatan terbaik bagi keduanya bertemu,” pikir Ryan. “Sayang, kamu kenapa? sejak kapan kamu jadi merokok begini?” tanya Nala lagi yang kali ini mendekat sambil memeluk tubuh sang suami dari belakang. Jem
60. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa selain memberikan ucapan selamat atas pernikahan kalian," jawab Akbar dengan ketulusannya. Terlihat dengan sangat jelas raut wajah yang tidak rela itu nampak di mimik wajahnya. Si mantan suami itu separuh hatinya telah bergelut dengan rasa kecewa. Wanita yang dulu ya buang iya bohongi sinetron lihat begitu terang benderang dan menjadi pusat perhatian. "Selamat ya Selamat ya semoga awet sampai kakek-kakek dan nenek-nenek," ucap Akbar sembari mengulurkan tangannya dan Ryan pun menerimanya dengan sukarela. "Terima kasih. Aku harap ini benar-benar ucapan yang tulus dan bukan sesuatu yang modus." Ryan membalas ucapan dari Akbar dengan datar dan dingin. Mendengar apa yang Ryan katakan membuat Akbar tertegun. Sepersekian detik iya membeku dan tidak bisa berkata apa-apa. Salah semua kata-kata yang telah ia persiapkan dari rumah ke nilainya begitu saja. Belum sempat dia membalas ucapan Ryan, ayah dan ibunya sudah datang berlarian untuk mencegahnya
59. Hari Pesta PernikahanHiasan mawar putih tersusun begitu cantik di dalam ballroom hotel. Tema garden yang diusung begitu memanjakan mata. Nala mengenakan gaun cantiknya dan berdiri berdampingan dengan Ryan. Senyum cerah menambah cantik parasnya. Dengan begitu anggun dan terlihat mempesona Lala terus saja memamerkan cantik paras dan elok tubuhnya. Ryan pun sedari tadi merasa begitu senang dan berbahagia di hari istimewanya. Hari ini adalah hari di mana resepsi pernikahan itu tiba. Semua tamu dan kolega hadir dalam acara tersebut. Keluarga besar Ryan dan Nala semuanya turut hadir dalam acara pernikahan itu. "Cantiknya istriku," puji Ryan sembari merangkul pinggang ramping Nala. Lelah hanya tersipu membalasnya dengan senyuman kecil. Luapan perasaan bahagia sudah begitu tentara meskipun dia tidak mengutarakannya. Balutan putih di tubuh rampingnya semakin menonjolkan keelokan tubuhnya. Walaupun tadi ketika pertama kali memakainya justru protes lah yang Ryan berikan. Ryan tetap sa
"Enggak, enggak ada. Lagi mikir aja semuanya jadi bisa seperti ini. Kita ini mantan tapi menikah, masih lucu aja bagiku. Apa lagi kalau ingat masa-masa kita pacaran dulu," kata Nala dengan senyuman dibibir tipisnya. "Masa kita pacaran?" ulang Ryan yang kemudian duduk di samping Nala. "Iya, saat kita pacaran dulu," jawab Nala yang sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan. Saat ini sebenarnya Nala sedang memikirkan saat di mana dia yang sedang dekat dengan Akbar tiba-tiba mendapatkan fitnah dan harus segera menikah. Terang saja kedua orang tua Nala semakin menentang itu. Ayah dan ibu Nala sedikit banyak sudah menelusuri tentang latar belakang keluarga Akbar. Hal pertama yang membuat ayah dan ibu Nala menolak kala itu adalah ibu Akbar yang doyan sekali berselingkuh. Ibu kandung Akbar bahkan pernah terjerat kasus perselingkuhan dengan paman Nala yang lainnya. Hanya saja, demi menjaga perasaan Nala kala itu, ayah dan ibu masih merahasiakan hal itu sampai detik ini. Tetapi dengan Nina yan
57. Siang itu, mereka diundang untuk datang memeriksa persiapan pesta pernikahan keduanya. Ryan dan Nala keduanya menuju ke kediaman Mama Ratna. Wanita paruh baya itu menyambut bahagia kedua anaknya tersebut. "Afi," sapa mama Ratna kepada Gaffi yang baru saja turun dari mobil. "Nenek!" Gaffi tak kalah senang melihat wanita paruh baya yang ia panggil nenek itu. "Lihat itu senang banget sama anak kecil. Kamu belum ada hasil juga? Aku udah enggak sabar," kata Ryan sembari terus mengusap lenganku. "Belum Yan, kamu kurang dalem nancepnya. Hahahaha," canda Nala sambil tertawa terbahak-bahak. "Enggak usah dalam-dalam aja kamu udah jerit-jerit. Hahaha," balas Ryan yang kemudian membuka pintu dan turun meninggalkan Nala yang hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Ih, tapi memang dia bener sih. Setelah aku rasa-rasakan, sensasinya memang beda. Jauh dan tidak seperti pada saat aku bersama Mas Akbar. Punyanya lebih besar dan panjang." Nala membayangkan ukuran milik kedua pria itu. Ryan yan
Pov 3. Setelah hari di mana Gaffi mengatakan apa yang ada di dalam hatinya, setelah itu juga Akbar seolah menarik jarak dari ke duanya. Sebenarnya bukan hanya Gaffi yang Akbar rindukan, melanikan Nala juga. Rasa bersalah itu sangat besar. Membuatnya tersiksa. Terlebih setelah kejadian di mana dia berkelahi sampai di lempar dari lantai dua. Setiap malam Akbar selalu saja mengalami mimpi buruk. Tentang kejadian itu. Kejadian yang menyisakan trauma baginya. “A …!” teriak Akbar saat ia tiba-tiba terjaga. “Ada apa?” tanya bu Rohimah, ibu sambung Akbar yang menunggui Akbar di rumah sakit. “Kamu mimpi buruk itu lagi Bar?” Akbar terlihat panik dengan napasnya yang terengah-engah. Mimpi buruk itu membuat lelaki yang kaki dan tangannya patah itu ketakutan. Di setiap mimpinya dia seakan kembali pada saat kejadian. “Iya Bu, aku kembali lagi pada saat itu, sama persis dan aku melihat bagaimana lelaki itu mendorongku jatuh,” jawab Akbar masih dengan napasnya yang terengah-engah. “Semuanya ha
55. Aku yakin di saat Ryan mengatakan itu, Mas Akbar pun mendengarnya. Ryan mengatakan tentang masa lalu kami dengan senyuman di wajahnya seakan senyuman itu menyiratkan bahwa dialah pemenang di akhir cerita ini. Aku tidak mengerti mengapa wajahnya tampak biasa saja tepai cara bicaranya sedikit banyak membuat Mas Akabr dan ayah Ali merasa tidak nyaman. “Sudah ini jusmu, aku di sini saja, kamu temui dan tunggui mereka,” kataku kepadanya. Ryan menatapku dan tidak banyak bicara lagi dia kembali ke meja itu dengan tangan kanannya yang memawa kue dan tangan kirinya yang membawa jus buatanku. Dari sekdar makanan saja dia seolah tidak rela bila apa yang aku buat harus diberikan kepada orang lain. Entahlah, tapi memang begitu caranya bersikap posesif. Setelahnya, aku lebih memilih menyibukan diri dengan pelanhgan kami hingga kami tidak punya waktu untuk berbincang secara intens. Sesekali aku hanya membalas senyuman suamiku dan mantan suamiku melirik tajam ke arah kami. Terlihat sekali bila