"Sejak awal kamu menyembunyikan identitasmu. Bahkan kamu mau bekerja sebagai satpam." Seyra masih memandangi Regan yang cukup tenang mendengar perkataannya. "Kenapa? Apa yang membuatmu melakukan hal itu?" "Sebenarnya itu terjadi begitu saja," balas Regan, lalu pandangannya menerawang ke atas, menatap langit yang cerah. "Aku nggak memiliki alasan khusus. Hanya saja saat itu aku terpaksa menjalani kehidupan sederhana karena kalah taruhan dengan sepupuku.""Kalah taruhan?" ulang Seyra dengan raut penasaran. "Kalah taruhan apa?"Regan merasa ragu untuk mengatakan. Tapi dia tidak mungkin membohongi Seyra lagi. "Kami balapan dan aku kalah. Yang kalah harus menerima hukuman dengan menjalani kehidupan sederhana dalam waktu tertentu."Regan kembali menatap Seyra yang masih terdiam, seolah mempersilahkan dirinya untuk melanjutkan perkataan. "Pernikahan kita, awalnya aku ragu. Apalagi kamu sempat mengatakan jika akan membebaskanku suatu hari nanti." Ada jeda sesaat sebelum melanjutkan."Kamu me
Tama duduk di meja kerjanya, menatap tajam Doni yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Wajahnya terlihat serius dan tegang, membuat Doni merasa bingung kenapa dipanggil oleh asisten presdir."Kamu yang bernama Doni?" tanya Tama dingin."Benar, Tuan." Doni mulai merasakan firasat buruk saat melihat raut wajah Tama berubah warna. Namun dia berusaha tetap tenang, meski sebenarnya dia merasa terintimidasi oleh tatapan asisten presdir."Saya memiliki sesuatu yang penting untukmu." Tama melempar sebuah surat ke atas meja. "Ambil dan baca!" perintahnya tegas.Dengan tangan gemetar, Doni mengambil surat di atas meja. Jantungnya berdebar kencang saat dia mulai membaca surat itu. Matanya terbelalak saat berhasil mencerna isinya. "Su-surat pemecatan?""Benar." Tama menanggapinya dengan cepat. Matanya yang tajam mengamati raut kebingungan di wajah Doni. "Sang presdir baru saja menghubungi saya. Dia meminta saya untuk memecatmu.""Kenapa?" tanya Doni penasaran. Dia merasa jika tidak memiliki kesal
Seyra keluar dari kamar. Dia berhenti sejenak di ruang tengah, melihat Regan duduk di sofa panjang menghadap ke arah jendela besar, dengan posisi membelakanginya. Dia menggigit bibirnya, merasa ragu untuk mendekati pria itu.Beberapa menit lalu, dia sempat berpikiran buruk pada suaminya itu. Karena Regan sempat membohonginya. Namun dia teringat pada pesan ibunya, jika sebuah pernikahan tak luput dari masalah. Dia perlu memberi kesempatan pada pria itu. Apalagi Regan sudah memberinya alasan masuk akal di balik kebohongannya selama ini.Seyra membuang napas berat, lalu melangkah pelan ke arah sofa dan berdiri di depan Regan. "Terima kasih." Dia mengulurkan ponsel yang baru saja dia gunakan untuk menelpon ibu.Regan tidak menyambut ponsel itu. Dia justru memperhatikan Seyra yang tampak cantik dengan dress birunya. "Pakai saja ponsel itu. Kamu pasti membutuhkannya.""Nggak usah," tolak Seyra sambil meletakkan ponsel di tangannya di atas sofa. "Ini milikmu. Pasti banyak hal penting yang te
"Tapi apa?" Suara Bastian terdengar mendesak.Robert terdiam sejenak, berusaha merangkai kata-kata yang akan disampaikan. Apa dia perlu mengatakan jika Regan sebenarnya memiliki gadis di luar sana? Tapi Robert takut jika apa yang dilakukannya belum tentu bisa diterima oleh kakek Richard. Mungkin lebih baik Regan mengatakannya sendiri. Itu jauh lebih aman dibanding dia harus yang mengatakannya. "Mengapa Regan tidak mau pulang?" Pertanyaan Bastian kembali terlontar. Dan kali ini lebih keras dan tajam."Mungkin Regan masih sibuk," jawab Robert, yang merasa bingung mencari alasan."Sibuk?" Bastian mengangkat satu alisnya. "Sibuk apa? Bukankah kalian sudah selesai melakukan audit di perusahaan cabang?""Itu memang benar. Tapi mungkin saja Regan sibuk dengan hal lainnya atau mungkin sibuk dengan hal pribadinya." Robert mengusap mulutnya yang terasa gatal. Dia nyaris memberitahukan pada kakeknya, kalau Regan memiliki kekasih di luar sana. Bahkan mungkin saja seorang istri.Bastian menyipitk
"Aku sudah lelah, Regan. Bisakah kita berhenti?" Suara Seyra terdengar lemah dan memohon. Dia tidak ingin besok tidak bisa berjalan gara-gara pria itu mengurungnya seharian di kamar.Regan memandangi wajah cantik Seyra, lalu tangannya terangkat untuk mengusap keringat di wajah istrinya yang hampir mengering. "Baiklah. Aku nggak akan memaksamu."Terdengar hembusan napas lega dari mulut Seyra. Namun itu tak bertahan lama saat Regan kembali bersuara. "Sebagai gantinya, nanti malam tambah durasinya."Seyra melotot tak percaya. Tangan di bawah selimut mencari-cari perut Regan untuk dicubitnya. Namun tangan Regan yang berada di bawah selimut justru menangkap tangannya dan meremasnya pelan, merasakan kelembutan kulit tangan Seyra di bawah sentuhannya. Sedikit berkeringat dan lengket, namun tidak masalah. Dia justru menyukainya dan semakin menggenggam erat tangan mungil itu di dalam telapak tangan besarnya."Regan, pokoknya nanti malam kita istirahat. Aku sudah nggak punya tenaga lagi," keluh
Seyra menggeleng tak percaya, tidak menyangka jika Tania begitu licik dan manipulatif. Dia tahu tujuan Tania melakukan itu, agar dia dianggap korban dan mendapat simpatik dari semua orang. Sedangkan Seyra, agar terlihat buruk seperti seorang penjahat."Apa yang terjadi di sini?" tanya Aldo sambil menatap Seyra dan Tania secara bergantian.Tania mendekat, meraih lengan Aldo. Dia memasang wajah teraniaya dan menunjuk Seyra. "Aldo, dia menamparku. Padahal aku tidak membuat kesalahan," adunya sambil meremas-remas pipinya yang seolah terasa sakit akibat tamparan Seyra.Tatapan tajam Aldo kini fokus pada Seyra. "Kenapa kamu menampar Tania, Seyra? Apa tujuanmu?"Suara Aldo terdengar keras, tegas dan memojokkan, seakan-akan Seyra memanglah bersalah. Beberapa tamu mulai berbisik-bisik membicarakan mereka, hingga berbagai asumsi kini mulai muncul menghangatkan topik pembicaraan mereka."Jika kamu hanya ingin mencari keributan, di sini bukan tempatnya," tambah Aldo, setelah terdiam beberapa deti
Davidson memasang wajah marah dan heran saat melihat Aldo mendekatinya dengan senyuman ramah, mencoba meredakan kemarahan yang terlihat di wajahnya. "Maafkan kami, tuan Davidson. Ini hanyalah kesalahpahaman kecil," ucap Aldo dengan penuh kesopanan.Namun, Tania yang ingin menjatuhkan dan mempermalukan Seyra dengan tegas menunjuknya sebagai biang kekacauan yang terjadi. "Dia yang memulai semuanya. Dia yang menciptakan semua masalah ini," tegasnya sambil menatap tajam kepada Seyra.Seyra menggelengkan kepala menolak tuduhan yang dilemparkan padanya. "Maaf, Tuan Davidson. Saya hanya meladeni apa yang Tania mulai terlebih dahulu. Saya tidak memiliki niat untuk membuat kekacauan di pesta ini," katanya dengan sopan."Tuan, jangan percaya dengan dia. Seyra adalah pembohong yang licik. Dia yang menyerang saya tanpa alasan. Tamparan di wajah saya adalah buktinya," seru Tania dengan nada tinggi. Dia yang licik terus bersikukuh menyalahkan Seyra. "Saya yakin dia juga pasti tidak memiliki undang
Wajah pucat Aldo hanya berubah sepersekian detik saja. Setelahnya dia berpikir jika Davidson perlu diingatkan jika dia mengundang orang yang salah. Mungkin Davidson mengundangnya karena kasihan atau mungkin karena memiliki alasan lain. "Apa Tuan tidak salah? Saya pikir dia tidak layak mendapatkan kehormatan dari Anda. Dia hanyalah seorang satpam di perusahan saya," ujar Aldo mengingatkan kembali. Tentu saja dia tidak ingin kalah dari Regan. Aldo mendapatkan undangan lewat sekretaris. Sementara Regan langsung mendapat undangan dari Davidson. Yang benar saja. Hal itu membuat Aldo tidak terima, mengingat bagaimana status Regan yang selama ini dia ketahui hanyalah seorang satpam.Davidson menatap Aldo datar, tanpa memperlihatkan reaksi apapun. Dia ingin melihat sejauh mana Aldo akan menjelek- menjelekkan Regan. Matanya melirik ke arah lain untuk melihat ekspresi dan reaksi Regan. Namun nihil, wajah Regan terlihat datar, tidak menunjukkan emosi sama sekali."Lalu, apa masalahmu? Bukankah
"Maaf," kata Seyra pelan. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud meragukanmu." Seyra menyentuh lengan Regan dan mengusapnya lembut, membuat tubuh pria itu yang sempat menegang, kini tampak lebih rileks.Satu tangan Regan terangkat dan menyentuh tangan Seyra yang masih berada di lengannya. Dia menggenggamnya dan meremasnya pelan. "Aku harap kamu selalu percaya denganku."Seyra mengangguk, lalu tersenyum. "Aku percaya padamu."Regan mengembuskan napas lega. Di melepaskan tangan Seyra dan beralih menatap ke depan, fokus menyetir.Seyra membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan, menatap jalanan yang cukup lengang. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Seyra kembali bersuara, merasa penasaran dengan wanita yang akan dijodohkan dengan Regan."Regan, wanita yang duduk di dekat kakekmu tadi adalah wanita yang sempat aku temui di butik," kata Seyra sambil memperhatikan ekspresi Regan dari samping. "Aku tidak menyangka jika dia ternyata ... wanita yang dipersiapkan kakek untukmu.
Regan memasang wajah tenang, tanpa terpengaruh dengan suara keras dan kemarahan Bastian. Dia hanya melirik sekilas ke arah wanita yang duduk di sofa tidak jauh dari kakeknya. Dia cukup mengenal wanita itu dan sekarang dia tahu alasan kenapa kakeknya menyuruh cepat-cepat pulang."Kakek, kami datang ke sini dengan maksud baik. Kami hanya ingin memberitahukan jika kami sudah menikah," kata Regan dengan suara rendah, tanpa ada campuran nada emosi."Menikah?" Suara Bastian terdengar marah. "Apa kalian pikir aku akan memberikan restu untuk hubungan kalian?" Dia menggeleng pelan, matanya menyorot tajam pada Regan yang masih berdiri tenang sembari menggandeng tangan Seyra."Jangan berpikir mendapat restu dariku setelah kau menikahi wanita seperti dia!" Bastian menunjuk Seyra yang saat ini tampak menegang di pijakannya.Melihat tatapan tajam Bastian yang tertuju ke arahnya, tanpa sadar Seyra meraih lengan Regan, seolah mencari perlindungan pada suaminya itu."Regan," bisik Seyra pelan, membua
Regan dan Seyra baru saja memasuki butik. Mereka berdua langsung berkeliling untuk mencari pakaian yang cocok. "Seyra, kamu pilihlah pakaian sesukamu. Aku akan menunggumu di sana." Regan menunjuk sofa yang berada di pojok ruangan.Seyra mengangguk. "Apa kamu tidak memilih pakaian?" Dia menunjuk deretan pakaian pria pada Regan. "Tidak perlu. Pakaianku sudah banyak," balas Regan sambil tersenyum."Baiklah." Seyra langsung mulai mengelilingi deretan pakaian yang tersusun rapi di rak. Sementara itu, Regan duduk di sofa yang nyaman di sudut ruangan, sembari membaca majalah mode yang ada di meja kecil.Seyra sibuk memilih-milih pakaian yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Ia mencoba beberapa gaun, blus dan rok yang ia rasa cocok untuk dipakai dalam berbagai acara."Sepertinya gaun itu bagus." Seyra merasa tertarik dan mendekati gaun itu. Saat ia mengambil sebuah gaun yang dia suka, ia melihat seorang wanita cantik dengan rambut panjang tersusun rapi, sedang memegang gaun yang sama
Seorang wanita cantik dengan tubuh semampai dan langkah anggun memasuki kediaman Osvaldo. Tubuhnya yang sempurna dibalut oleh gaun dan aksesoris berkelas. Dia dijemput oleh seorang pelayan yang membawanya ke ruang keluarga.Wanita itu melangkah dengan mata yang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang terlihat megah dan klasik. Lukisan-lukisan tua bergaya renaissance menghiasi dinding. Sementara furniture mewah mencipkatan suasana yang begitu hangat dan nyaman.Di pojok ruangan, wanita itu melihat Bastian yang duduk dengan santainya, menyusuri halaman dari sebuah buku klasik.Sang pelayan mendekat, dan berkata dengan sopan. "Tuan Besar, ada Tamu untuk Anda."Bastian mengangkat kepala dan melihat ke arah wanita cantik itu. Senyum lembut terukir di wajahnya, lalu menutup buku dan meletakkannya di atas meja. "Selamat datang, Lily. Bagaimana kabarmu?" sapa Bastian, menyebut nama wanita cantik itu. "Aku baik, Kek," balas Lily sambil tersenyum manis.Kemudian Bastian mempersilahka
Matahari pagi mulai menerobos lewat cela-cela korden, membuat cahaya hangat memancar dengan lembut ke dalam ruangan. Seyra menggeliat di dalam pelukan Regan, merasa tubuhnya remuk akibat sentuhan ganas suaminya sepanjang malam. Dia tidak menyangka jika Regan begitu bergairah, seolah tidak mempedulikan kebutuhan istirahatnya.Namun meskipun lelah, Seyra tidak bisa menahan senyum saat melihat wajah tampan Regan dari jarak sedekat ini. Dia bisa menikmati semua bagian-bagian wajah pria itu yang tampak sempurna di matanya."Selamat pagi." Regan membuka mata perlahan dan tersenyum hangat pada istrinya.Seyra membalas sapaan Regan dengan bibir cemberut. "Gara-gara kamu, sekarang aku sulit bangun dari tempat tidur."Regan terkekeh pelan. Kedua tangannya semakin erat mendekap Seyra. "Kalau begitu, tidak usah bangun. Kita bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar."Seyra mencubit perut kotak-kotak Regan dengan kesal. "Kalau seperti itu, aku bisa-bisa mati di tempat tidur. Kamu tida
Atmosfer ketegangan melingkupi ruangan itu. Terlebih melihat wajah seorang Nyonya Pratama yang tampak mengeras, begitu tidak bersahabat. Tania secara refleks menundukkan kepala saat tatapan tajam Mira seolah ingin mengulitinya. Hubungan dia dan Aldo, belum diketahui oleh Mira. Karena Mira menginginkan Aldo menikah dengan keluarga terpandang dan bersih dari skandal."Tunggu apa lagi! Sekarang keluar!" perintah Mira dengan suara tegas.Tania terhenyak di pijakannya. Dia sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat ekspresi Mira yang tidak bersahabat. "Sekali lagi saya minta maaf, Nyonya."Mira hanya menanggapinya dengan wajah dingin. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Tania untuk segera keluar.Tania menatap sebentar ke arah Aldo yang hanya diam, tanpa berusaha menahan atau membelanya. Dengan tatapan kecewa, Tania berbalik dan segera keluar dari ruangan itu. Saat sampai di meja ruangannya, ia membuka genggaman tangannya, menatap testpack yang menunjukkan garis dua. Padahal Tania b
Aldo sedang sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan keras. Mira muncul dengan raut wajah masam dan langsung membanting tasnya di atas meja.Aldo yang sedang fokus memeriksa laporan, tersentak kaget melihat tindakan ibunya. Dia menatap ibunya yang kini duduk di kursi depan meja kerjanya. "Mama kenapa?"Mira menatap tajam Aldo dan menjawab dengan suara yang sedikit tinggi. "Aku tadi bertemu dengan Seyra. Dia mempermalukan mama di toko perhiasan. Aku tidak menyangka, Seyra yang dulunya terlihat sopan dan lembut, kini berubah menjadi kurang ajar dan menghina mama."Wajah Aldo langsung berubah serius ketika mendengar nama Seyra disebut oleh ibunya. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak, dan fokus memandang ibunya dengan penuh rasa penasaran. "Seyra? Mantan kekasihku? Apa yang dia lakukan, Ma?"Mira menghela napas panjang sebelum menceritakan kejadian di toko perhiasan tadi. Tentu saja dia melebih-lebihkan kejadian yang sebenarnya, agar Aldo semakin memb
Tatapan sang manajer beralih ke arah Seyra. Matanya bergulir dari atas hingga ke bawah, meneliti penampilan wanita itu. Dia bisa menebak, jika Seyra hanyalah seorang pekerja kantoran."Maaf, Nona. Mungkin lebih baik Nona mengalah. Masih banyak perhiasan model lain di toko ini. Biarlah Nyonya ini yang memiliki perhiasan itu," ucap sang manajer, berusaha masih menjaga kesopanannya."Tidak bisa. Saya yang akan tetap membeli perhiasan ini. Harusnya Anda bersikap profesional," kekeh Seyra pada pendiriannya. Dia tidak sudi menyerahkan perhiasan pilihannya pada orang yang sudah berulang kali menghinanya."Saya mohon, jangan dipersulit! Nona lebih muda. Harusnya Nona bisa mengalah." Manajer itu masih berusaha keras membujuk Seyra.Bila saja yang menginginkan perhiasan itu adalah orang lain, mungkin Seyra akan mau mengalah. Namun Mira sudah menginjak-injak harga dirinya, bahkan menghina ibunya dengan keji, tentu saja Seyra tidak mungkin terima dan mau mengalah, meski Mira lebih tua darinya.Se
"Tidak. Saya yang lebih dulu memilih perhiasan itu. Jadi saya lebih berhak dari Nyonya. Anda tidak bisa ambil barang yang bukan milik Anda." Seyra tidak akan mengalah. Sudah cukup dia dihina dan direndahkan di hari pernikahan. Kali ini dia harus membalas penghinaan itu dan tetap mempertahankan harga dirinya. Dia tidak akan membiarkan Mira menginjak-injak dan mempermalukan dirinya untuk kedua kalinya.Pelayan berusaha memberi pengertian pada Mira. "Maaf, tapi aturan kami adalah barang akan diberikan kepada pelanggan yang lebih dulu memilihnya.""Ini tidak adil!," ucap Mira dengan marah. "Aku tidak mau tahu, pokoknya aku mau kalung itu sekarang juga.""Tapi, Nyonya ...." Mira mengangkat tangannya, menyuruh sang pelayan untuk diam.Kemudian tatapan tajam Mira tertuju pada Seyra yang masih tidak gentar menghadapinya. "Kamu pasti hanya menggertak. Kamu pasti tidak sanggup membayar kalung itu kan?""Saya sanggup," balas Seyra yakin.Mira mengerang kesal. Dia tidak menyangka jika Seyra masi