Seyra duduk termenung di ujung tempat tidur, matanya terpejam sesaat mencoba menghindari pandangan Regan yang baru saja masuk ke dalam kamar. Dia merasakan hatinya dipenuhi amarah ketika melihat suaminya yang berdiri tidak jauh dari pintu. Pria itu berjalan pelan mendekat, mencoba meredakan kemarahan yang tersirat jelas di wajah Seyra."Seyra, aku tahu aku telah membuatmu marah. Aku benar-benar minta maaf," ucap Regan pelan, mencoba membuka pembicaraan.Seyra hanya diam, tanpa sedikit pun memperlihatkan bahwa dia sedang mendengarkan. Hatinya masih dipenuhi dengan rasa kecewa dan merasa dibohongi. Dia membuka matanya, tetapi berpaling ke arah lain.Regan duduk di sampingnya, mencoba memegang tangan Seyra, namun langsung ditolak dengan kasar. Pria itu menghela napas kasar, berusaha untuk sabar dan memahami sikap dingin istrinya. "Aku menyesal, Seyra. Aku sadar jika tidak seharusnya aku membohongimu. Aku janji, aku tidak akan mengulangi hal itu lagi," kata Regan dengan nada penuh penyes
Ratih mengerutkan kening saat melihat Seyra masuk ke dalam kamarnya. Dia yang baru saja keluar dari arah dapur kini menyusul putrinya, untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi."Seyra, ada apa, Nak?" tanya Ratih begitu masuk ke dalam kamarnya. Dia melihat putrinya meringkuk di atas kasur dengan masih mengenakan kemeja kantor."Nggak apa-apa, Bu. Aku cuma pingin tidur di sini saja," jawab Seyra sambil mengubah posisinya menjadi duduk.Mata Ratih menyipit, tentu saja dia tahu jika Seyra sedang berbohong. Dia yang melahirkannya dan selama bertahun-tahun pula dia yang merawatnya. Ratih mengenal baik putrinya dengan segala tindak tanduknya.Tapi, dia berpikir untuk memberi kesempatan pada putrinya agar bisa menyelesaikan masalahnya. Dia tidak ingin mendesaknya jika Seyra sendiri tidak berniat menceritakan. Mungkin lebih baik dia tidak ikut campur dan memberi waktu pada Seyra untuk menyelesaikan masalah sendiri."Kamu mandi dulu sana. Ibu sudah menyiapkan makan malam." Ratih mengambil h
Seyra berusaha menjalani aktivitas seperti biasanya. Seperti pagi ini yang begitu sibuk dengan pekerjaan kantornya. Dia duduk di depan komputer, menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang menumpuk di mejanya.Meski dia berusaha keras untuk fokus, namun sesekali pikirannya melayang kepada Regan. Pria itu, sejak pagi tidak nampak di perusahaan. Padahal awalnya dia berniat ingin menjauhinya. Tetapi, entah mengapa ada perasaan rindu ketika pria itu tak terlihat. Matanya pun sesekali mengedar ke sekitar, berharap jika Regan melintas di departemennya atau sedang melihat dirinya yang sedang fokus bekerja.Seyra menghela napas berat, berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan, agar bisa menghalau pikiran rumit itu. Seyra dan Regan memang sudah melewatkan beberapa hari bersama. Tidak! Seharusnya beberapa minggu. Karena Regan sempat meninggalkannya setelah operasi ibunya.Terdengar tidak masuk akal jika dia merasa kehilangan. Seyra belum mengenal Regan dengan baik. Begitu juga sebaliknya. Pernikahan
Doni mengamati tubuh Seyra yang tergolek lemas di kursi sampingnya. Sesekali gadis itu menggeliat, merasakan hawa panas dan rasa tidak nyaman pada tubuhnya. Pria itu menjilat bibirnya. Sesuatu liar dalam dirinya bangkit ketika melihat pemandangan tersebut."Kamu tampak menggairahkan, Seyra."Wajah Doni mendekat hendak mencium Seyra. Tangannya pun merasa gatal, tidak tahan ingin melucuti pakaian wanita itu satu per satu. Tidak peduli sekarang mereka berada di mana. Hasratnya tak terbendung lagi ketika melihat gadis cantik di sampingnya mulai kepanasan dan bergerak gelisah."Tubuhku panas sekali," racau Seyra dan begerak tidak beraturan di kursi mobil. Gadis itu benar-benar merasa aneh dengan dirinya. Ia merasa sesuatu dalam dirinya ingin dimanja dan disentuh oleh pria. Namun dengan sekuat tenaga, ia menahannya. Bahkan ia sampai menggigit bibir bawahnya dengan keras untuk menahan suara desahan yang hendak keluar."Aku akan membantumu, Seyra. Setelah ini, kamu nggak akan tersiksa lagi.
Seyra terbangun dengan rasa pusing yang menghantam kepalanya. Dia membuka matanya perlahan-lahan dan baru menyadari bahwa dia berada di tempat yang sama sekali tidak dikenal baginya. Langit-langit kamar itu tampak sangat berbeda dari kamar tidurnya yang nyaman."Di mana ini?" Seyra meraba-raba sekelilingnya, mencoba mencari tahu tentang keberadaannya saat ini. Tangannya tanpa sadar menarik selimutnya, hingga hawa dingin kini menyerbu kulit tubuhnya.Saat tatapannya menurun, Seyra terpekik kaget, menyadari bahwa dia tidak mengenakan satu helai pakaian pun. Panik mulai menyergap dirinya. Hatinya berdegup kencang saat menyadari jika bayangan adegan liar semalam bukanlah mimpi."Bagaimana mungkin?" Seyra merubah posisinya menjadi duduk. Sebelah tangannya terangkat untuk menutupi wajahnya, mencoba melindungi mata dari sinar matahari yang menyilaukan, menerobos masuk melalui cela-cela korden.Seyra sedikit menggeser tubuhnya untuk menghindari sinar yang mengganggu itu. Pikirannya mulai kac
"Sejak awal kamu menyembunyikan identitasmu. Bahkan kamu mau bekerja sebagai satpam." Seyra masih memandangi Regan yang cukup tenang mendengar perkataannya. "Kenapa? Apa yang membuatmu melakukan hal itu?" "Sebenarnya itu terjadi begitu saja," balas Regan, lalu pandangannya menerawang ke atas, menatap langit yang cerah. "Aku nggak memiliki alasan khusus. Hanya saja saat itu aku terpaksa menjalani kehidupan sederhana karena kalah taruhan dengan sepupuku.""Kalah taruhan?" ulang Seyra dengan raut penasaran. "Kalah taruhan apa?"Regan merasa ragu untuk mengatakan. Tapi dia tidak mungkin membohongi Seyra lagi. "Kami balapan dan aku kalah. Yang kalah harus menerima hukuman dengan menjalani kehidupan sederhana dalam waktu tertentu."Regan kembali menatap Seyra yang masih terdiam, seolah mempersilahkan dirinya untuk melanjutkan perkataan. "Pernikahan kita, awalnya aku ragu. Apalagi kamu sempat mengatakan jika akan membebaskanku suatu hari nanti." Ada jeda sesaat sebelum melanjutkan."Kamu me
Tama duduk di meja kerjanya, menatap tajam Doni yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Wajahnya terlihat serius dan tegang, membuat Doni merasa bingung kenapa dipanggil oleh asisten presdir."Kamu yang bernama Doni?" tanya Tama dingin."Benar, Tuan." Doni mulai merasakan firasat buruk saat melihat raut wajah Tama berubah warna. Namun dia berusaha tetap tenang, meski sebenarnya dia merasa terintimidasi oleh tatapan asisten presdir."Saya memiliki sesuatu yang penting untukmu." Tama melempar sebuah surat ke atas meja. "Ambil dan baca!" perintahnya tegas.Dengan tangan gemetar, Doni mengambil surat di atas meja. Jantungnya berdebar kencang saat dia mulai membaca surat itu. Matanya terbelalak saat berhasil mencerna isinya. "Su-surat pemecatan?""Benar." Tama menanggapinya dengan cepat. Matanya yang tajam mengamati raut kebingungan di wajah Doni. "Sang presdir baru saja menghubungi saya. Dia meminta saya untuk memecatmu.""Kenapa?" tanya Doni penasaran. Dia merasa jika tidak memiliki kesal
Seyra keluar dari kamar. Dia berhenti sejenak di ruang tengah, melihat Regan duduk di sofa panjang menghadap ke arah jendela besar, dengan posisi membelakanginya. Dia menggigit bibirnya, merasa ragu untuk mendekati pria itu.Beberapa menit lalu, dia sempat berpikiran buruk pada suaminya itu. Karena Regan sempat membohonginya. Namun dia teringat pada pesan ibunya, jika sebuah pernikahan tak luput dari masalah. Dia perlu memberi kesempatan pada pria itu. Apalagi Regan sudah memberinya alasan masuk akal di balik kebohongannya selama ini.Seyra membuang napas berat, lalu melangkah pelan ke arah sofa dan berdiri di depan Regan. "Terima kasih." Dia mengulurkan ponsel yang baru saja dia gunakan untuk menelpon ibu.Regan tidak menyambut ponsel itu. Dia justru memperhatikan Seyra yang tampak cantik dengan dress birunya. "Pakai saja ponsel itu. Kamu pasti membutuhkannya.""Nggak usah," tolak Seyra sambil meletakkan ponsel di tangannya di atas sofa. "Ini milikmu. Pasti banyak hal penting yang te
"Maaf," kata Seyra pelan. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud meragukanmu." Seyra menyentuh lengan Regan dan mengusapnya lembut, membuat tubuh pria itu yang sempat menegang, kini tampak lebih rileks.Satu tangan Regan terangkat dan menyentuh tangan Seyra yang masih berada di lengannya. Dia menggenggamnya dan meremasnya pelan. "Aku harap kamu selalu percaya denganku."Seyra mengangguk, lalu tersenyum. "Aku percaya padamu."Regan mengembuskan napas lega. Di melepaskan tangan Seyra dan beralih menatap ke depan, fokus menyetir.Seyra membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan, menatap jalanan yang cukup lengang. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Seyra kembali bersuara, merasa penasaran dengan wanita yang akan dijodohkan dengan Regan."Regan, wanita yang duduk di dekat kakekmu tadi adalah wanita yang sempat aku temui di butik," kata Seyra sambil memperhatikan ekspresi Regan dari samping. "Aku tidak menyangka jika dia ternyata ... wanita yang dipersiapkan kakek untukmu.
Regan memasang wajah tenang, tanpa terpengaruh dengan suara keras dan kemarahan Bastian. Dia hanya melirik sekilas ke arah wanita yang duduk di sofa tidak jauh dari kakeknya. Dia cukup mengenal wanita itu dan sekarang dia tahu alasan kenapa kakeknya menyuruh cepat-cepat pulang."Kakek, kami datang ke sini dengan maksud baik. Kami hanya ingin memberitahukan jika kami sudah menikah," kata Regan dengan suara rendah, tanpa ada campuran nada emosi."Menikah?" Suara Bastian terdengar marah. "Apa kalian pikir aku akan memberikan restu untuk hubungan kalian?" Dia menggeleng pelan, matanya menyorot tajam pada Regan yang masih berdiri tenang sembari menggandeng tangan Seyra."Jangan berpikir mendapat restu dariku setelah kau menikahi wanita seperti dia!" Bastian menunjuk Seyra yang saat ini tampak menegang di pijakannya.Melihat tatapan tajam Bastian yang tertuju ke arahnya, tanpa sadar Seyra meraih lengan Regan, seolah mencari perlindungan pada suaminya itu."Regan," bisik Seyra pelan, membua
Regan dan Seyra baru saja memasuki butik. Mereka berdua langsung berkeliling untuk mencari pakaian yang cocok. "Seyra, kamu pilihlah pakaian sesukamu. Aku akan menunggumu di sana." Regan menunjuk sofa yang berada di pojok ruangan.Seyra mengangguk. "Apa kamu tidak memilih pakaian?" Dia menunjuk deretan pakaian pria pada Regan. "Tidak perlu. Pakaianku sudah banyak," balas Regan sambil tersenyum."Baiklah." Seyra langsung mulai mengelilingi deretan pakaian yang tersusun rapi di rak. Sementara itu, Regan duduk di sofa yang nyaman di sudut ruangan, sembari membaca majalah mode yang ada di meja kecil.Seyra sibuk memilih-milih pakaian yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Ia mencoba beberapa gaun, blus dan rok yang ia rasa cocok untuk dipakai dalam berbagai acara."Sepertinya gaun itu bagus." Seyra merasa tertarik dan mendekati gaun itu. Saat ia mengambil sebuah gaun yang dia suka, ia melihat seorang wanita cantik dengan rambut panjang tersusun rapi, sedang memegang gaun yang sama
Seorang wanita cantik dengan tubuh semampai dan langkah anggun memasuki kediaman Osvaldo. Tubuhnya yang sempurna dibalut oleh gaun dan aksesoris berkelas. Dia dijemput oleh seorang pelayan yang membawanya ke ruang keluarga.Wanita itu melangkah dengan mata yang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang terlihat megah dan klasik. Lukisan-lukisan tua bergaya renaissance menghiasi dinding. Sementara furniture mewah mencipkatan suasana yang begitu hangat dan nyaman.Di pojok ruangan, wanita itu melihat Bastian yang duduk dengan santainya, menyusuri halaman dari sebuah buku klasik.Sang pelayan mendekat, dan berkata dengan sopan. "Tuan Besar, ada Tamu untuk Anda."Bastian mengangkat kepala dan melihat ke arah wanita cantik itu. Senyum lembut terukir di wajahnya, lalu menutup buku dan meletakkannya di atas meja. "Selamat datang, Lily. Bagaimana kabarmu?" sapa Bastian, menyebut nama wanita cantik itu. "Aku baik, Kek," balas Lily sambil tersenyum manis.Kemudian Bastian mempersilahka
Matahari pagi mulai menerobos lewat cela-cela korden, membuat cahaya hangat memancar dengan lembut ke dalam ruangan. Seyra menggeliat di dalam pelukan Regan, merasa tubuhnya remuk akibat sentuhan ganas suaminya sepanjang malam. Dia tidak menyangka jika Regan begitu bergairah, seolah tidak mempedulikan kebutuhan istirahatnya.Namun meskipun lelah, Seyra tidak bisa menahan senyum saat melihat wajah tampan Regan dari jarak sedekat ini. Dia bisa menikmati semua bagian-bagian wajah pria itu yang tampak sempurna di matanya."Selamat pagi." Regan membuka mata perlahan dan tersenyum hangat pada istrinya.Seyra membalas sapaan Regan dengan bibir cemberut. "Gara-gara kamu, sekarang aku sulit bangun dari tempat tidur."Regan terkekeh pelan. Kedua tangannya semakin erat mendekap Seyra. "Kalau begitu, tidak usah bangun. Kita bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar."Seyra mencubit perut kotak-kotak Regan dengan kesal. "Kalau seperti itu, aku bisa-bisa mati di tempat tidur. Kamu tida
Atmosfer ketegangan melingkupi ruangan itu. Terlebih melihat wajah seorang Nyonya Pratama yang tampak mengeras, begitu tidak bersahabat. Tania secara refleks menundukkan kepala saat tatapan tajam Mira seolah ingin mengulitinya. Hubungan dia dan Aldo, belum diketahui oleh Mira. Karena Mira menginginkan Aldo menikah dengan keluarga terpandang dan bersih dari skandal."Tunggu apa lagi! Sekarang keluar!" perintah Mira dengan suara tegas.Tania terhenyak di pijakannya. Dia sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat ekspresi Mira yang tidak bersahabat. "Sekali lagi saya minta maaf, Nyonya."Mira hanya menanggapinya dengan wajah dingin. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Tania untuk segera keluar.Tania menatap sebentar ke arah Aldo yang hanya diam, tanpa berusaha menahan atau membelanya. Dengan tatapan kecewa, Tania berbalik dan segera keluar dari ruangan itu. Saat sampai di meja ruangannya, ia membuka genggaman tangannya, menatap testpack yang menunjukkan garis dua. Padahal Tania b
Aldo sedang sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan keras. Mira muncul dengan raut wajah masam dan langsung membanting tasnya di atas meja.Aldo yang sedang fokus memeriksa laporan, tersentak kaget melihat tindakan ibunya. Dia menatap ibunya yang kini duduk di kursi depan meja kerjanya. "Mama kenapa?"Mira menatap tajam Aldo dan menjawab dengan suara yang sedikit tinggi. "Aku tadi bertemu dengan Seyra. Dia mempermalukan mama di toko perhiasan. Aku tidak menyangka, Seyra yang dulunya terlihat sopan dan lembut, kini berubah menjadi kurang ajar dan menghina mama."Wajah Aldo langsung berubah serius ketika mendengar nama Seyra disebut oleh ibunya. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak, dan fokus memandang ibunya dengan penuh rasa penasaran. "Seyra? Mantan kekasihku? Apa yang dia lakukan, Ma?"Mira menghela napas panjang sebelum menceritakan kejadian di toko perhiasan tadi. Tentu saja dia melebih-lebihkan kejadian yang sebenarnya, agar Aldo semakin memb
Tatapan sang manajer beralih ke arah Seyra. Matanya bergulir dari atas hingga ke bawah, meneliti penampilan wanita itu. Dia bisa menebak, jika Seyra hanyalah seorang pekerja kantoran."Maaf, Nona. Mungkin lebih baik Nona mengalah. Masih banyak perhiasan model lain di toko ini. Biarlah Nyonya ini yang memiliki perhiasan itu," ucap sang manajer, berusaha masih menjaga kesopanannya."Tidak bisa. Saya yang akan tetap membeli perhiasan ini. Harusnya Anda bersikap profesional," kekeh Seyra pada pendiriannya. Dia tidak sudi menyerahkan perhiasan pilihannya pada orang yang sudah berulang kali menghinanya."Saya mohon, jangan dipersulit! Nona lebih muda. Harusnya Nona bisa mengalah." Manajer itu masih berusaha keras membujuk Seyra.Bila saja yang menginginkan perhiasan itu adalah orang lain, mungkin Seyra akan mau mengalah. Namun Mira sudah menginjak-injak harga dirinya, bahkan menghina ibunya dengan keji, tentu saja Seyra tidak mungkin terima dan mau mengalah, meski Mira lebih tua darinya.Se
"Tidak. Saya yang lebih dulu memilih perhiasan itu. Jadi saya lebih berhak dari Nyonya. Anda tidak bisa ambil barang yang bukan milik Anda." Seyra tidak akan mengalah. Sudah cukup dia dihina dan direndahkan di hari pernikahan. Kali ini dia harus membalas penghinaan itu dan tetap mempertahankan harga dirinya. Dia tidak akan membiarkan Mira menginjak-injak dan mempermalukan dirinya untuk kedua kalinya.Pelayan berusaha memberi pengertian pada Mira. "Maaf, tapi aturan kami adalah barang akan diberikan kepada pelanggan yang lebih dulu memilihnya.""Ini tidak adil!," ucap Mira dengan marah. "Aku tidak mau tahu, pokoknya aku mau kalung itu sekarang juga.""Tapi, Nyonya ...." Mira mengangkat tangannya, menyuruh sang pelayan untuk diam.Kemudian tatapan tajam Mira tertuju pada Seyra yang masih tidak gentar menghadapinya. "Kamu pasti hanya menggertak. Kamu pasti tidak sanggup membayar kalung itu kan?""Saya sanggup," balas Seyra yakin.Mira mengerang kesal. Dia tidak menyangka jika Seyra masi