“Kakak pikir dia laki-laki macam apa? Jangan Kakak kira Alsya pacaran sama cowok nggak bener, dan melanggar aturan di luar sana ya, Kak.”
“Satu lagi! Kita nggak akan melakukan ‘itu’ karena Alsya cuma mau serahin kesucian Alsya ke orang yang mencintai dan Alsya cintai juga. Dan orang itu bukan kakak,” beber Alsya kemudian berjalan dengan menghentakkan kakinya ke kamar mandi.Baru bangun tidur kepalanya sudah dibuat mendidih oleh pertanyaan tidak bermutu dari suaminya.‘Baru sehari. Gimana kalo seminggu? Sebulan? Setahun? Nggak! Kayaknya pernikahan ini nggak akan bertahan lama,’ erang Alsya sambil mengguyur kepalanya di bawah shower.Aiden yang melihat istrinya berlalu begitu saja, hanya dapat mengelus dada dan berusaha sabar. Akan tetapi, ada hal yang tetap ia takutkan. Karena dirinya paham bagaimana jalan pikiran sesama pria.“Iya kalau cinta dia ke kamu memang tulus, Sya. Tapi, lain halnya kalau cinta itu berubah menjadi obsesi. Dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kamu,” gumam Aiden tidak kuasa melihat Alsya yang tengah dibutakan akan cinta.*** Kini pasangan pengantin baru itu tengah duduk di ruang keluarga bersama kedua orang tua mereka.“Alsya, bunda mau tanya sesuatu sama kamu,” ujar Maya.Pandangan anak dan ibu itu bertemu. Sorot mata bundanya seolah pedang yang siap menghunus dirinya. Namun, Alsya mencoba untuk tetap santai.“Tanya apa, Bunda?”“Kenapa semalam kamu tidur di kamar Keyra? Bunda sudah susah payah lho, minta orang ngedekor kamar kamu secantik mungkin,” oceh Maya.“Aiden kan tadi sudah bilang sama Bunda, kalau itu semua karena permintaan Aiden sendiri. Aiden yang ingin kami tidur di kamar Keyra. Iya kan, Sya?” Mendelikkan mata saat Alsya hanya diam dan linglung.Aiden menjepit ujung kaki Alsya dengan kakinya yang berada di bawah meja.“I—iya, Bunda. Kak Aiden yang minta,” jawab Alsya tersenyum lebar. Tidak tahu apa yang terjadi.“Di mana hati nurani kamu Aiden? Alsya sudah sah menjadi istri kamu. Tapi, kenapa kamu bawa bayang-bayang Keyra? Hati Alsya pasti terluka, Nak,” keluh Liana kecewa akan sikap Aiden yang tidak dewasa.“Apa selama ini papa tidak mengajarkan kamu cara menghargai perempuan? Papa tau kamu belum bisa merelakan Keyra begitu saja. Tapi, paling tidak pikirkan perasaan dia sebelum bertindak Aiden,” sambut Ilham tak kalah kecewanya.Alsya menatap bingung semua orang yang ada di ruang keluarga termasuk suaminya. Hatinya pun tidak tega melihat Aiden yang kini disudutkan oleh kedua orang tuanya.“Maaf, Tante. Eh, Mama,” panggil Alsya masih tidak terbiasa dengan panggil mereka yang sudah berubah.“Kak Aiden juga nanya dulu sama Alsya. Kami berdua sepakat tidur di kamar itu, agar merasakan kalau kak Key ada di sekitar kami, dan melihat dengan jelas kalau Alsya dan Kak Aiden sudah menikah. Jadi, Alsya nggak papa,” elak Alsya.“Lagi pula Alsya nggak bisa tidur di kamar itu, karena rasanya aneh banget,” lanjutnya menatap Maya dengan rasa bersalah.“Bukan Alsya nggak mau, Bun. Alsya cuma nggak biasa aja,” jujur Alsya.“Ya sudah. Nanti bunda buka dekorannya. Biar kamu dan Aiden bisa tidur di sana,” pungkas Maya.Alsya mengibaskan tangan dan menggeleng kuat. “Nggak, Bun. Hari ini Alsya nggak tidur di sini. Karena Alsya sama Kak Aiden akan langsung tinggal di rumah sendiri,” tolak Alsya.“Sya, kamu serius?” bisik Aiden.“Syuut! Udah, tenang aja,” balas Alsya menepuk pelan lengan suaminya.“Alsya dan Kak Aiden nggak mungkin terus sedih sampai berlarut-larut seperti ini. Kami berdua harus mencari kesibukan dan kegiatan agar pikiran kami dapat teralihkan. Jadi, lusa Alsya udah putusin untuk balik ke luar kota. Kak Aiden juga pasti sibuk. Iya, kan Kak?” tanya Alsya tersenyum manis ke arah Aiden yang jelas tidak sependapat dengan dia.“Sya, kita belum bahas ini,” bantah Aiden terus merendahkan suaranya.“Ya ini kan lagi dibahas. Apa bedanya dibahas sekarang dan nanti,” sahut Alsya lugas.“Sebentar Bun, Yah. Aiden mau bicara empat mata sama Alsya,” pamit Aiden menarik tangan istrinya dan pergi ke taman belakang rumah.“Iiih! Apa sih, Kak? Sakit tau.” Mengusap pergelangannya yang digenggam kuat oleh Aiden.“Kamu yang kenapa! Bukannya kamu kuliah bisa daring dulu untuk sebulan ini? Kenapa kamu tergesa-gesa gini, Sya? Apa kamu nggak mikirin gimana kesepiannya orang tua kamu dan aku kalau kita pergi jauh,” urai Aiden mencoba untuk membuka jalan pikiran wanita di hadapannya.Alsya terkekeh mendengar perkataan suaminya. “Kita? Kakak nggak salah? Bukannya Kakak masih urus pembangunan kafe baru di daerah ini?”“Memang betul. Tapi aku nggak akan biarin kamu pergi sendirian lagi. Karena kamu istriku.”"Ahahaha!"Derai tawa Alsya terdengar begitu renyah. Pernyataan Aiden bagai lelucon terlucu yang pernah ia dengar."Nggak ada yang lucu Alsya. Aku serius," tegas Aiden tidak terkecoh dengan tawa gadis di hadapannya.Sebab lelaki yang baru memasuki kepala tiga itu, sadar dan paham akan tanggung jawabnya sebagai seorang suami."Ooh, serius. Kirain cuma lagi membual aja," seloroh Alsya sambil menatap sekeliling."Sya, kamu bisa nggak serius sebentar?" Tatapan Aiden menajam. Memperjelas betapa penting keputusan yang Alsya lontarkan beberapa menit lalu di hadapan keluarga mereka."Alsya!"Tubuh Alsya menegang saat Aiden menarik paksa kedua bahunya hingga tatapan mereka bertemu."Kamu sekarang adalah istriku, dan aku nggak mau istriku sendirian di luar kota sana," jelas Aiden.Sorot matanya begitu dalam, dan memancarkan ketulusan. Dapat pula Alsya rasakan itu semua, karena jantungnya berdetak semakin cepat.Namun, secepat mungkin Alsya tepis perasaan itu dari kepalanya, dan yakin detak jan
Sepasang kelopak mata Alsya melebar, saat yang muncul dan membuka pintu bukanlah sosok yang ia tunggu sejak siang tadi.Alsya mengusap tengkuknya dan menyengir lebar. Memperlihatkan barisan gigi putihnya yang kecil dan rapi.Hanya dengan memasang wajah imut dan menggemaskan yang dapat Alsya lakukan untuk meredakan amarah ibunya saat ini."Eh, Bunda. Alsya kira tadi Kak Aiden," ujar Alsya dengan wajah pias melihat raut muka ibunya."Memangnya kenapa kalau Aiden? Mau makin kamu marah-marahin?" tanya Maya berkacak pinggang.Wajah Maya semakin galak, ketika mendengar si bungsu tidak menghargai lelaki yang berstatus sebagai suaminya."Nggak baik kamu ngomongnya sambil bentak-bentak, Sya. Harusnya kamu sambut dia pulang, dan tanya baik-baik dia habis dari mana. Bukan ngomel-ngomel kayak begini," saran Maya menasihati putrinya.Tak dapat beliau bayangkan rumah tangga si bungsu jika sikapnya masih kekanak-kanakan, dan terlalu emosional."Iya, Bunda. Lain kali Alsya nggak gitu lagi," kata Alsya
Langkah kaki Aiden berbalik mendekati Alsya yang berada di lantai dekat anak tangga.“Aku nggak tau. Memangnya apa? Karena kamu ingin kita mandiri, 'kan?” ujar Aiden coba menerka.Sedang gadis yang ia ajak bicara, justru menyeringai kemudian mendekatkan wajahnya pada Aiden.“Biar kita bisa pisah kamar, terus nggak ada yang marahin Alsya,” jujur Alsya kemudian tersenyum puas.Langkahnya terasa sangat ringan, karena malam ini ia akan tidur sendirian. Serta dapat berbincang dengan sang pujaan hati, tanpa perlu menutupi apa pun lagi.‘Nggak sabar pengen video call sama Cakra,’ batin Alsya begitu bahagia.“Sya!”Aiden menarik tangan kiri Alsya dan menggenggamnya. Namun, Alsya langsung menghempaskan tangan Aiden hingga genggamannya terlepas.“Iiih! Alsya udah bilang ‘nggak ada kontak fisik di antara kita’ Kakak inget kesepakatan kita nggak sih!” bentak Alsya dengan mata menyala.“Ingat, tapi di sana nggak tertera kalau kita akan pisah ranjang. Lagian besok kan kita akan ke Jogja. Kalau kamu
"Cuma tempat tinggal, Sya. Jangan karena ini aja kamu mau marah juga." Aiden mengingatkan istrinya."Hahaha. Cuma Kakak bilang?" tawa Alsya terdengar renyah.Tampaknya Aiden terlalu menyelepelekan keputusannya kali ini, tanpa berbincang lebih dulu.Belum lega hatinya karena kini mereka akan tinggal bersama, Aiden justru membuat dirinya berada dalam posisi yang sangat sulit."Iya. Apa ada yang salah? Ini juga untuk kebaikan kita, dan orang tua kita yang ada di Bogor," tutur Aiden mengutarakan pemikirannya.Rongga dada Alsya terasa sesak dan penuh. Kepalanya terangkat menatap atap mobil agar air mata kemarahannya tidak tumpah.Matanya sudah terasa sakit karena terlalu banyak menangis belakangan ini.Dengan seutas senyum tipis, gadis itu melepas kasar seat belt yang melingkari tubuhnya."Terbaik menurut Kakak. Bukan Alsya. Alsya nggak mau tinggal di sini," tegas Alsya penuh penekanan.Jemari tangannya menggapai handle pintu mobil dan bergegas keluar.Langkah Alsya tergesa-gesa setelah me
Alsya terperanjat melihat sosok yang ia cari sejak tadi berdiri tepat di hadapannya, dengan kedua alis menukik tajam.Tangannya pun reflek menutup wajah. Melihat raut muka Aiden yang marah tampak begitu seram. Tak jauh berbeda dengan ekspresi ayahnya ketika marah, saat ia masih kecil dulu.“Ka-kak ngapain di belakang aku?” tanya Alsya gugup. Air muka Alsya berubah tegang, manik matanya pun terbuka sempurna dan melebar.“Yang tadi pacar kamu?”Aiden sama sekali tidak mengindahkan pertanyaan gadis di depannya. Sejak awal mendengar deru suara mobil dan motor yang mendekat, lelaki itu terus melihat dari kejauhan dan mendapati Alsya yang begitu akrab dengan pria yang sebelumnya membawa motor besar.“Kita bicara di dalam aja,” ajak Alsya menarik ujung lengan kemeja Aiden.Dia lantas menoleh ke arah Bu Yati yang masih setia berdiri di belakangnya.“Eum, Buk. Ini kakak ipar saya. Dia cuma sebentar di sini. Jadi, saya izin bawa dia ke kost dulu ya, Buk. Saya jamin nggak akan ada apa-apa. Pint
Semua cercaan Aiden memenuhi kepala Alsya. Hingga kepalanya hanya tertunduk dan memilih diam.Bukan karena merasa bersalah dan membenarkan semua ucapan suaminya. Melainkan, sudah lelah terus-menerus bertikai dengan pria di hadapannya.Hingga terlintas dalam benak Alsya, apakah almarhumah kakaknya pun pernah mendapatkan perlakuan yang sama dari seorang Aiden Danish Giovanni."Kamu denger yang aku bilang atau nggak, Sya? Jangan-jangan kamu tidur," tebak Aiden memicingkan kedua matanya dan memegang kedua pundak Alsya.Di balik hijab yang menutupi kedua sisi wajah Alsya. Gadis itu menyunggingkan senyum tipis, kemudian mengangkat kepalanya. Hingga tatapan mereka saling bertemu dengan jarak yang begitu dekat.Alsya coba untuk mendengar irama detak jantungnya. Tetap normal seperti biasa. Tidak seperti saat Aiden masih mengisi relung hatinya dulu."Apa Kakak pernah ngomong gini juga sama Kak Key?" tanya Alsya dengan tatapan terluka. Senyum di wajahnya sama sekali tidak dapat menutupi hatinya
Langkah Alsya berubah ragu saat sepasang matanya bersitatap dengan sang pemilik masing-masing mobil di depan.Timbul rasa gugup, bimbang, juga bingung. Namun, waktu akan terus berjalan, dan ia ada kelas pagi ini.Tangan gadis itu bergerak menelusuri hijab yang sampai dadanya. Merasakan debaran jantungnya yang berpacu dengan cepat dan kuat pagi ini."Masih pagi udah ada aja yang bikin aku spot jantung," ujar Alsya sangat lirih.Akhirnya ia memberanikan diri untuk menghampiri keduanya dan bertanya, "Kalian ngapain di sini?""Nunggu kamu," jawab keduanya serentak.Alsya menunjuk diri disertai raut muka bingung. "Aku?""Iya."Lagi-lagi jawaban dua pria di hadapan sama dan sangat kompak.Bola mata gadis itu berotasi karena tidak ada yang berniat memberi jawaban lebih jelas."Ya nunggu aku ngapain? Ini aku mau ke kampus," gerutu gadis itu memasang wajah sebal."Biar aku anter!""Stop!" Alsya merentangkan kedua tangannya, lalu menatap Cakra dan Aiden bergantian.Kedua alis Alsya terangkat,
"Kak Aiden?"Alsya berlari dengan cepat menuju gerbang. Teringat akan pembicaraannya bersama Aiden barusan."Sya! Tunggu, Sya!" teriak Tania diabaikan begitu saja oleh Alsya.Kelopak mata gadis itu membelalak saat melihat sepasang mobil yang bagian depannya hancur."Kak Aiden?" tanya Alsya saat mendapati mobil sama persis dengan yang Aiden bawa pagi tadi."Nggak! Nggak mungkin!" bantah gadis itu mengusap kasar air matanya.Rasa kantuk yang semula menyerang, lenyap begitu saja. Bahkan kini tenaga Alsya terkumpul penuh untuk menembus kerumunan mahasiswa dan mahasiswi yang menutupi jalan."Kak Aiden!" teriak Alsya memanggil sang suami, dan terus mengedarkan pandangan mencari sosoknya."Hiks! Nggak mungkin dia yang kecelakaan," bantah Alsya masih berusaha untuk mengintip korban yang kini tergeletak di jalan.Ia menatap ngeri bercak darah yang berada di jalan aspal tersebut, hingga tubuhnya tiba-tiba ditarik begitu saja dari arah samping."Kak!""Tunggu di mobil, aku sudah hubungi ambulans
Seorang pria dengan setelan serba hitam, serta topi juga masker berwarna senada, perlahan mengikuti mobil yang Cakra dan Alsya bawa, tanpa sepengetahuan mereka.Seringaian licik terbit di balik masker yang masih menutupi separuh wajahnya. Seolah mendapat kesempatan emas melihat kebersamaan sepasang kekasih itu.“Kita mau dinner di mana?” tanya Alsya dengan wajah berseri, secerah cahaya rembulan malam ini.“Ke restaurant Mediterranea. Mama sama papa minta di sana,” jawab Cakra.Rekahan senyum itu tak memudar, hingga sebuah mobil melaju kencang dari arah belakang, dan mendahului mereka.WUSSH!!Alsya berjingkat, ketika mobil di belakang mereka tiba-tiba melesat secepat kilat di sisi kanan jalan.Cakra menghela napas lega, walau tak kalah terkejutnya dengan Alsya. “Hampir aja kena,” katanya.“Iya. Tuh orang mau balapan apa gimana sih. Jalan umum dipake buat kebut-kebutan,” gerutu Alsya berdecak sebal.Setelahnya, tak lagi dua sejoli itu menjumpai mobil yang melaju kencang seperti orang ba
CIIIIT!!!Suara decitan yang timbul dari pergesekan antara ban mobil dengan kanvas rem membuat tubuh Alsya terhuyung ke depan.Aksi rem mendadak Aiden cukup membuat gadis itu hampir jantungan. Beruntung di belakang mereka tidak banyak kendaraan, dan laju kemudi pun tidak terlalu kencang.“Kakak gila ya?!” Wajah Alsya merah padam. Kepalanya nyaris membentur dashboard jika saja saat dalam perjalanan tidak memakai seat belt.Aiden yang masih syok dalam keterkejutan mendengar ucapan Alsya, masih membeku. Tiba-tiba kepalanya tertoleh dengan kelopak mata terbuka lebar.“Mau apa ketemu mereka?” Jemari tangan Alsya terkepal sampai buku-buku tangannya memutih.Bukan meminta maaf, pria di hadapannya justru menanyakan hal tidak penting.“Ya silaturahmi lah! Memangnya mau apa lagi kalo ketemu sama orang?” tandas Alsya.Aiden berusaha untuk menenangkan diri dan rileks. Ya, apalagi yang dilakukan Alsya selain silaturahmi? Begitulah pikiran Aiden membenarkan.Menyadari jika reaksinya terlalu berleb
Angin segar menyeruak memenuhi rongga dada Cakra. Bak kata pepatah, menyelam sambil minum air, dan sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Tanpa pikir panjang Cakra langsung menyetujui syarat sang mama.“Oke. Nanti aku kabarin Alsya, untuk atur jadwal kapan bisa ketemunya sama Mama. Tapi kayaknya kapan aja sih bisa,” jawab Cakra dengan hati berbunga-bunga.[“Lusa mama sama papa berangkat sekalian bawa uangnya.”] Bersamaan dengan itu, berakhir pula perbincangan Cakra bersama mamanya.*** Sesuai syarat mama, Cakra pun menemui Alsya hari ini untuk membincangkan hal tersebut.“Tante Safira mau ketemu sama aku?” tanya Alsya menunjuk diri.Masih tidak percaya jika wanita yang selalu sibuk mengikuti kemanapun sang suami pergi, meminta syarat aneh seperti yang Cakra lontarkan.Pria di sisi Alsya mengangguk cepat. Binar di matanya memperlihatkan dengan jelas jika Alsya tidak akan menolak. Karena menurutnya tidak ada alasan untuk tidak memenuhi persyaratan menguntungkan itu.Cakra menyatukan
Mengelilingi kota Jogja, dengan keindahan kota yang begitu memikat mata, Aiden hampir lupa jika sang istri sendirian di apartment terlalu lama.“Yud, gue balik dulu ya. Thanks untuk hari ini. Nanti gue pikirin lagi lokasi strategis awal untuk pembangunannya di mana,” lontar Aiden setelah mengantar temannya kembali ke rumah.Di tengah perjalanan, Aiden berniat untuk menghubungi sang istri. Bertanya apa ada sesuatu yang ingin dititip atau tidak.Sayang, saat menyalakan ponsel, ponselnya lebih dulu kehabisan baterai.“Nanti ajalah, sekalian jalan malam-malam,” ujar Aiden kembali menyimpan ponsel ke dalam saku jasnya.Usai memarkirkan mobil di area basement apartement, langkah besar Aiden mempercepat dirinya sampai di lift. Ia menekan angka 12, lantai di mana unit apartement yang dia tempati berada.Meski lelah, Aiden tetap memasang raut muka berseri, karena ada banyak hal yang akan ia ceritakan pada Alsya nanti.“Assalamualaikum Alsya,” ujar Aiden sambil menutup pintu.Alih-alih mencari
“Sya, aku akan bertemu dengan temanku hari ini. Jadi, kamu diam di sini dan jangan ke mana-mana. Kalau mau pergi kabarin dulu,” pamit Aiden setelah mereka sarapan bersama.“Beneran ketemu temen? Bukan untuk terlibat sama David lagi kan, Kak?” selidik Alsya.Sejak Alsya jujur tentang David pada Aiden dan Cakra. Perasaan Alsya selalu menjadi tidak tenang, dan sulit percaya pada keduanya.“Iya. Buat apa aku mau ketemu temen kerja aja mau bohong. Memangnya kamu,” sindir Aiden sambil memakai jas dan arlojinya.“Ya kan bisa aja cuma mau buat Alsya tenang jadi Kakak bohong sama aku,” protes Alsya tidak terima dengan sindiran sang suami.Sampai sekarang pun ia tidak mengatakan jika dirinya ketahuan telah memberitahu Aiden dan Cakra, maka hubungannya bersama Aiden akan terungkap.Sebelum pergi, Aiden kembali mendekati istrinya dan berdiri tepat di depan Alsya yang beranjak dari sofa.“Nggak akan ada apa-apa. Aku pastiin dia nggak akan bisa nyakitin kamu di sini,” ujar Aiden merasa jika Alsya m
Netra cokelat Alsya membeliak. Jemari tangannya terpekal, meremas baju tidur yang ia kenakan. Diteguknya salivanya dengan kasar, ketika Aiden semakin mendekat ke arahnya.“Jawab, Sya. Kenapa kamu diem aja,” desak Aiden mengguncang pelan pundak Alsya.Refleks gadis itu langsung menghempaskan tangan Aiden dengan kasar, lalu bergerak mundur beberapa langkah.“Memang jatuh di mall. Terus ketendang pas ada orang lewat. Jadinya rusak,” elak Alsya.Aiden lantas tertawa renyah mendengar jawaban istrinya. “Terus kamu nggak marah sama orang itu atau minta ganti rugi?” Alsya menggeleng pelan. “Aku nggak tau pasti orang yang nendang yang mana. Orang tadi mallnya rame,” kilah Alsya lagi.Ia terus meminta maaf dalam hati karena terpaksa berbohong. Terutama berbohong pada imamnya sendiri.‘Aih! Kenapa aku rasanya nyesel banget ya udah bohong. Bohongin perasaan sendiri aja aku bisa, masa ini susah banget,’ gerutu Alsya dalam hati.Di hadapannya, Aiden terus menelisik gerak-gerik Alsya. Masih tidak s
Suami Alsya.Begitulah nama kontak dari nomor yang Alsya ketik.Kepala Alsya terangkat, menatap Bu Yati dengan tatapan bingung dan ragu.‘Apa Bu Yati tau aku menikah dengan Kak Aiden?’Sayangnya Alsya tidak memiliki keberanian untuk menanyakan hal itu secara langsung pada beliau.“Ada apa, Sya? Kamu nggak hapal nomor dia?” tanya Bu Yati membuat kedua ujung mata Alsya semakin menyipit.Jikalau Bu Yati memang menyimpan kontak Aiden, harusnya sudah sejak awal beliau memberitahu dan tidak bertanya seperti tadi.‘Pasti ada yang nggak beres,’ batin Alsya mulai merasa janggal.“Nggak papa, Buk. Saya izin telpon sebentar ya, Buk.” Alsya berjalan menjauh dari Bu Yati dan menghubungi Aiden.[“Assalamualaikum, Buk. Apa Alsya sudah pulang, Buk?”] tanya Aiden lebih dulu.Tanpa sadar senyum di wajah Alsya terkembang. Suara Aiden terdengar sangat khawatir.“Waalaikumsalam. Ini Alsya, Kak,” jawab Alsya.***Aiden yang saat itu tengah mencari keberadaan Alsya bersama Cakra, menghela napas lega mendeng
“Welcome Alsya. Akhirnya gue bisa ketemu lo sendirian. Tanpa ada mereka,” ucap supir taksi gadungan yang telah membawa lari Alsya.Alsya yang dilanda rasa cemas, bergegas mengeluarkan ponselnya. Hendak menghubungi Cakra maupun Aiden. Sayang, belum sempat gadis itu menyalakan layar ponsel, supir taksi di hadapannya sudah lebih dulu menepis tangan Alsya dengan kuat. Membuat ponsel miliknya terpental dan menghantam kaca mobil.“Jangan coba-coba hubungi mereka! Atau lo bakal mati sekarang,” ancam supir di depan Alsya.“Stop David! Kamu mau apa? Bukannya kamu di penjara?” tanya Alsya menarik tubuh mundur. Berusaha menjauh dari pisau yang diacungkan David padanya.“Ya! Gue sebelumnya memang di penjara. Tapi sekarang gue ada di depan lo Alsya Elviana Cantika,” jawab David dengan senyum iblis terpancar jelas di wajahnya.Alsya bergidik ngeri. David tidaklah seperti orang normal biasanya. Mata lelaki itu memerah dan sedikit berair. Namun, Alsya yakin jika pria itu bukan sedang sakit mata.“Le
“Aku yang keberatan!” serobot Alsya mendekati Aiden dan Cakra.“Kenapa, Sya? Ini juga demi kebaikan kamu. Atau kamu mau aku nginap di depan kost lagi?” tawar Cakra tidak menghiraukan tubuhnya yang sangat lelah.Alsya menggeleng cepat. Sedang Aiden menatap bingung sepasang kekasih di samping mobilnya. Terutama pada Cakra. Pertanyaan sekaligus pernyataan itu terdengar rancu.Ditambah Alsya pula tidak memberitahunya apa pun yang dilakukan Cakra hari ini sebelum mereka bertemu.“Apa ini ada kaitannya dengan omongan dia tadi?” terka Aiden menduga-duga.“Kalo sekarang itu buru-buru banget. Nanti dikira penghuni kost aku ada apa-apa,” kritik Alsya.“Pokoknya Alsya baru pindah tiga hari lagi. Lagian kan dia juga ada di penjara. Mana mungkin dia ngapa-ngapain Alsya,” lanjut Alsya menjelaskan semua persepsinya.“Kamu itu aneh ya. Tadi kamu tanya aku, kamu harus tidur di mana. Aku tawarin tidur di apartementnya Kak Aiden kamu malah nolak,” ujar Cakra diiringi kekehan pelan.“Pokoknya Alsya tetap