“Stop!” teriak Rafka yang baru saja masuk ke dalam ruang tamu.
Katarina menoleh dengan cepat saat mendengar suara suaminya dengan keras, ya laki-laki itu datang di waktu yang tepat. Pertemuan yang kembali gagal, entah percakapan apa yang akan Pramana rancang saat itu.
“Ada apa, Rafka? Ayah hanya ingin mengobrol dengan cucu pungut Kakek Rio. Ayah tidak ingin mengobrol denganmu sama sekali,” jelas Pramana dengan tegas.
“Cucu pungut, cucu pungut! Dia istriku ayah!” gertak Rafka dengan tegas.
Laki-laki es batu itu menarik tangan kanan Katarina untuk ikut masuk ke kamar, dengan langkah sedikit terburu-buru Katarina mengikuti langkah cepat Rafka. Suaminya benar-benar tidak ber-perikeistrian, langkahnya sama sekali tidak menoleh ke arah Katarina.
“Mas Rafka!” panggil Katarina dari belakang.
Laki-laki itu menoleh cepat ke arah wanita di belakangnya, “Ada apa?” tanyanya singkat dan ketus.
“Umm …, tidak jadi. Terima kasih ya, a-aku tidak tahu kenapa ayah beberapa kali memanggilku saat kamu tidak di rumah,” keluh Katarina dengan menundukkan kepalanya.
“Maksudmu?” laki-laki itu mulai mendekati tubuh Katarina.
“Iya, Ayah mertua selalu memanggilku secara pribadi, dan … aku tidak pernah menemuinya barang sekali. Hari ini adalah ke tiga kalinya beliau memanggilku,” jelas Katarina dengan perasaan takut yang menyeruak.
“Jangan berpikir macam-macam pada ayahku, itu ayah mertuamu sekarang.” Sebuah kalimat yang keluar begitu saja dari mulut Rafka, cukup membuat hati Katarina mencelos.
“Iya, Mas. Maaf telah curiga dengan Ayahmu,” ungkap Katarina meminta maaf dengan kekesalan.
Keduanya kini sibuk dengan isi pikirannya, Rafka yang kembali membuka laptop kerjaan dan membiarkan Katarina duduk diam di ranjang. Hari semakin larut, Katarina yang masih setia menunggu Rafka selesai bekerja.
Suaminya terlihat menutup laptop kerjanya, beberapa berkas ia singkirkan ke ujung meja. Langkahnya menuju ranjang membuat jantung Katarina bergejolak.
“Loh, kok malah tidur sih?” pekik Katarina dalam batinnya.
Ia melihat Rafka menarik selimut dan tidur di sofa, tanpa merasa bersalah pada Katarina yang masih duduk menanti laki-laki itu mendekatinya.
“Tolong matikan lampu,” pinta Rafka dengan pelan.
“Apa? Matikan lampunya? Kamu tidak berniat menyentuhku, Mas?” tanya Katarina pada batinnya yang menggebu ingin dilucuti suaminya.
Katarina beranjak turun dari ranjang, melangkah pelan pada sudut kamar dekat pintu. Lampu telah padam, kamar dengan nuansa biru itu hanya menyisakan sedikit binar cahaya dari luar. Dengan pelan ia melangkah mendekati Rafka, niat usilnya memang menyeruak sejak tadi.
Dengan drama yang sudah ia rancang dalam pikirannya, ia menjatuhkan dirinya di dekat sofa. Berharap Rafka akan membantunya, nihil dan hanya dihadiahi tatapan aneh dari pria yang ada di atas sofa.
“Kamu ngapain? Kenapa tidak berhati-hati kalau jalan?!” Rafka hanya sedikit mendongak dengan pertanyaan serapah tanpa membantu itu.
“Aduh, kakiku sakit, Mas. Sepertinya terkilir,” keluh Katarina dengan duduk manja.
“Tidak usah alay dan banyak drama! Segera bangun, siapa suruh banyak tingkah di kegelapan,” hardik Rafka tanpa belas kasihan.
Lelaki itu terlalu es batu untuk Katarina yang berharap diperhatikan, dengan susah payah ia berdiri tanpa bantuan. Lututnya nyeri akibat jatuh yang ia buat secara sengaja, sebuah harapan yang terpatahkan begitu saja.
“Ini benar-benar sakit, bukan alay!” gertak Katarina beranjak ke ranjang.
Hening terjadi di ruangan itu, Rafka hanya diam menatap Katarina menarik selimut. Gelap kamar tidak membatasi matanya untuk menatap wanita yang kini menjadi istrinya itu.
***
Suasana meja makan pagi itu penuh dengan keheningan, dentingan sendok dan piring yang mendominasi. Rafka yang terlihat terburu-buru membuat Katarina menatapnya lekat.
“Aku duluan ya, Ayah, El, Kata,” ucapnya dengan langkah terburu-buru.
“Ya.” Singkat jawaban kompak dari Pramana dan Elegi yang bersiap ke kampus.
“Kemana lagi dia?” tanya Katarina dalam batinnya.
Dengan gusar ia menyelesaikan sarapannya pagi itu, diam-diam ia mengikuti Rafka. Suaminya itu buru-buru masuk ke dalam mobil pribadinya, mata Katarina menangkap lekat laki-laki itu mulai meninggalkan area rumah. Segera ia memesan taxi online untuk membuntuti Rafka yang semakin hari semakin mencurigakan.
“Tujuannya seperti di aplikasi ya, Kak?” tanya sopir taxi online dengan sangat ramah.
“Tidak, Pak. Ikuti saja mobil hitam itu, perkara biaya nanti bisa aku tambahin fee,” ujar Katarina singkat.
Di dalam taxi yang kini melaju mengikuti mobil Rafka, ia penuh dengan rasa curiga dan takut. Alih-alih berpikir hal baik, ia mencurigai suaminya itu homo karena lebih sering bersama Rengga.
Komunikasi yang lebih intens dengan Rengga membuatnya sangat percaya, kalau suaminya benar-benar homo. Bagaimana seorang laki-laki bisa sangat akrab dengan sahabat laki-lakinya dari pada istrinya?
“Pak, jangan sampai kita ketahuan ya!” peringat Katarina pelan.
“Iya, Kak. Memangnya dia siapa?” sopir taxi online itu mulai kepo dengan permasalahan Katarina.
“Emm…, sudah bapak fokus saja di jalan.” Katarina kembali sibuk dengan ponselnya.
‘Kak, dicari ayah lagi.’- Elegi.
Katarina membelalakan matanya saat membaca satu pesan masuk dari Elegi, hatinya berdesir seperti ada hal yang harus ia selesaikan. Kepalanya seperti ingin pecah saat itu juga, masalah Rafka yang homo dan sekarang ayah mertuanya yang selalu ingin menemuinya dan mengobrol intens.
‘Aku masih ada urusan, El. Tolong sampaikan ke ayah ya.’ Dengan satu kali klik pesan itu terkirim ke Elegi.
“Kak, mobilnya berhenti di sini,” ujar sopir taxi online itu dengan sedikit berteriak.
“Hah!” Katarina yang masih terkejut. Sepertinya ia sempat melamun sejenak setelah membalas pesan Elegi.
“Itu, mobil hitamnya masuk dan parkir di dalam, apa kakak juga mau masuk biar saya antar sampai lobi?” tanya sopir itu lagi.
“Eh, tidak, Pak. Saya turun di sini saja,” ucap Katarina sedikit tercekat.
“Baik, Kak. Terima kasih banyak.” Sopir taxi online itu berlalu setelah menerima uang dari Katarina.
Langkah pelan Katarina melewati halaman parkir sebuah restoran berbintang, matanya menelisik ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Rafka. Lama ia mencari dan berkeliling, awalnya ia mengira restoran itu hanya satu lokasi.
“Di mana sih itu laki es batu?” gerutu Katarina dengan berjalan penuh kesal.
Matanya menyorot pada satu sudut, di mana dua orang laki-laki sedang duduk berhadapan. Satu laptop yang ada tengah meja. Tidak salah lagi laki-laki itu pasti Rengga, kecurigaan Katarina semakin diperkuat dengan beberapa bukti yang ada.
“Bagaimana bisa seorang laki-laki bertemu dengan laki-laki juga? Apalagi sangat sering dan terlihat intens?” gumam Katarina pelan.
“Mau pesan apa, Kak?” tanya seorang pelayan yang membawa buku menu.
“Pesan? Boleh aku lihat buku menunya?” tanya Katarina dengan kikuk.
Pagi ini dia persis seperti wanita ngang-ngong dan tidak fokus sama sekali, curiganya yang tinggi membuatnya tidak fokus pada hal lain sama sekali. Setelah beberapa menit sibuk membolak-balikkan buku menu.
“Kamu ngapain di sini?” suara yang sangat Katarina kenal, ia mendongak dengan wajah kikuk dan malu.
Bibirnya terasa kelu saat matanya mendapati seorang pria yang sangat ia kenal, Refaldy sahabatnya saat SMA.“Kamu bikin aku jantungan!” pekik Katarina keras.“Kamu tumben ke sini?” tanya Refaldy pelan.Katarina hanya memberikan isyarat untuk sahabatnya itu duduk, ia masih sibuk memilih menu yang ada di buku yang ia baca sedari tadi.“Kak, maaf ini bukunya terbalik,” tunjuk seorang pelayan yang menunggu menu pilihan Katarina.“Kata, kamu belum sarapan atau baru bangun tidur tanpa cuci muka sudah pergi ke sini?” tanya Refaldy dengan terkekeh.Katarina dengan segera membaik buku menu itu dengan benar, jujur sejak tadi ia sama sekali tidak fokus pada jajaran menu yang ada di buku itu. Matanya masih mencuri pandang ke arah Rafka dan Rengga yang duduk tidak jauh dari tempat duduknya.“Kata!” panggil Refaldy dengan tangan melambai-lambai di depan wajah Katarina.“Refal, sebentar ….” putus Katarina dengan menggantung.“Pesan ini aja, Kak,” Refaldy menunjuk dua menu untuknya dan Katarina.“Mak
“Berhenti!” teriak laki-laki itu dengan tegas.Suara yang sangat Katarina kenal, beberapa orang di dalam ruangan itu menoleh ke arah sumber suara. Rafka yang berjalan dengan tegap diikuti beberapa bodyguardnya, tatapannya nyalang pada Pramana dan beberpa orang suruhannya. Tanpa sepatah kata, Rafka perlahan melepaskan ikatan yang terikat pada tangan Katarina.Mata Katarina kini mulai buram, “Mas Raf, i-ni beneran kamu.”Wanita itu tidak lagi sadarkan diri dengan tubuh dan wajah yang penuh lebam, dengan sigap Rafka menggendong tubuh Katarina. Langkahnya sempat terhenti sebelum ke luar ruangan itu, matanya menatap Pramana dengan nyalang.“Ayah, nanti kita bicara!” ungkap Rafka tegas dengan langkah pelan ke luar ruangan.Bodyguardnya dengan sigap menyiapkan mobil untuk membawa Katarina ke rumah, sepanjang perjalanan ke rumah Rafka sangat khawatir. Jika ia lengah beberapa waktu saja pasti sangat fatal.“Bibi, tolong siapkan alat buat membersihkan luka istriku,” titah Rafka dengan menggendo
"Hai, Rafka. Apakah ini istrimu?" tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba mengulurkan tangan pada Katarina, ia gugup dan bingung saat itu.“Iya, dia istriku Katarina,” ucap Rafka dengan menjabat tangan lelaki yang baru datang itu.“Oh, hai Katarina. Aku Atalas, sepupu Rafka salam kenal ya,” sapa Atalas yang terlihat kikuk dengan perlakuan Rafka.Katarina hanya bisa tersenyum, sikap Rafka yang suka berubah-ubah membuatnya bingung. Kini ruang makan tidak lagi sepi, Atalas yang sibuk mengobrol dengan Elegi yang membahas masa kecil keduanya. Rafka masih terlihat canggung dan malas untuk berkomunikasi.“Ikut aku!” Tangan lelaki itu mulai menarik tangan Katarina secara paksa.“Ke mana sih, Mas? Jangan kasar begini, sakit!” kelit Katarina menarik tangannya dari genggaman Rafka.Secara sengaja Rafka melepaskan tangan Katarina hingga ia hampir terjatuh, tubuhnya sempat terhuyung ke belakang. Untung saja dengan sigap Rafka menarik pinggang Katarina. Tatapan mata tidak dapat ter-elakkan saat itu.
Deg!Jantung Katarina seperti dihunus pedang panjang secara tiba-tiba, ia tidak terbiasa mendengar gombalan lelaki selain Refaldy. Kali ini Atalas berhasil membuat Katarina tersenyum simpul dengan pipi yang merah.“Kakak ipar, kamu tidak apa-apa?” tanya Atalas sembari mengusap pelan pipi Katarina.“Tidak apa-apa, Atalas.” Seorang Katarina yang memiliki love language phisical touch mendadak luluh begitu saja.Di balik cendela, Pramana mengambil beberapa foto kemesraan Atalas dan Katarina, yang akan ia jadikan senjata untuk menjebak Katarina.“Mangsa mulai terjebak perangkap,” gumak Pramana dengan terkekeh pelan.“Ayah!” teriak Elegi saat melihat Pramana berdiri di balik cendela.“Elegi, ngapain kamu disini?!” tanya Pramana dengan ketus.“Aku baru saja mau ke dapur, seharusnya aku yang tanya kenapa ayah berdiri disini? Liatin halaman lagi,” jawab Elegi sembari ikut menatap apa yang Pramana lihat.“Ayah liatin Atalas sama Kak Kata yah?” tanya Elegi lagi.“Bukan urusanmu!” Pramana beranja
Pramana masuk ke dalam ruang keluarga dalam keadaan murka, entah apa yang membuatnya murka hingga seperti saat ini. Elegi dan Katarina hanya bisa melihat sumber suara dengan terkejut, satu teriakan Pramana membuat keduanya terdiam pasi.“Ngapain kamu?” teriak Pramana sembari menunjuk Katarina dengan jari telunjuknya.“Aku hanya menonton televisi bersama Elegi, ayah.” Katarina sedikit gugup, tubuhnya mulai bergetar perlahan.“Masuk kamar!” lagi teriakan Pramana memekik ditelinga Katarina.Tidak berselang lama dari kemurkaan Pramana, Atalas yang baru saja datang itu langsung menjadi pahlawan kesiangan. Ia berjalan mendekati Pramana dengan wajah sok peduli.“Ada apa, Paman?” tanya Atalas dengan wajah panik.“Tidak apa, aku hanya muak melihat wajahnya!” belum sempat Katarina meninggalkan ruangan itu, Pramana sudah menunjuknya lagi dan lagi.“Oh, Kak ....” ucapan Atalas terhenti.“Ya, Atalas, aku memang tidak diharapkan ada di sini, aku bisa pergi ke kamar,” pamit Katarina dengan mata yang
-Kak, kamu masih kesepian?- Atalas.Katarina membelalakkan dua bola matanya karena kaget dengan pesan yang dikirimkan Atalas. Ia memang sedang kesepian karena Rafka masih sibuk dengan laptopnya.“Dik, mungkin aku akan pergi ke Surabaya tiga hari,” ucap Rafka tanpa menatap lawan bicaranya.“Boleh aku ikut, Mas?” tanya Katarina pelan.Rafka kini mendongakkan kepalanya, menatap Katarina dengan penuh selidik. Satu gelengan kepala Rafka membuatnya sedikit kesal. Katarina kembali menarik napasnya pelan.“Aku akan pergi bersama Rengga untuk urusan bisnis, ngapain kamu ikutan. Nanti ngerepotin aku lagi,” keluh Rafka.Katarina menatap Rafka dengan sangat dalam, lelaki yang ada di depan laptop saat ini benar-benar pilihan Rio. Ia mengulas tawa sebagai penutup kesedihannya.“Memangnya Rengga lebih penting dari aku ya, Mas?” tanya Katarina penuh selidik.“Kamu sendiri tahu kalau Rengga itu partner bisnis aku, memangnya kenapa dengan Rengga?” kelit Rafka dengan berbagai pertanyaan.“Oh iya, Rengga
“Atalas, kamu beneran gak papa? Kakinya lebam dibawa ke dokter saja bagaimana? Atau mau dipanggilkan dokter aja?” tanya Katarina panjang lebar.“Kak, ini hanya lebam biasa. Dikompres juga nanti mendingan,” jawab Atalas dengan tangan kanan mengusap pipi Katarina.Katarina membelalakkan matanya, kini ia merasakan pipinya diusap oleh lelaki yang notabene saudara sepupu Rafka. Tanpa basa-basi ia menepis tangan Atalas, mengulas senyum yang sangat ia paksakan.“Atalas, maaf aku tidak nyaman.” Katarina beranjak meninggalkan Atalas.“Kak, maaf! Aku tadi reflek mengusap pipi ranummu, duh,” kelit Atalas keceplosan.“Kak Kata,” panggil Elegi yang baru saja datang dengan senyum ramahnya.“Hei, Elegi. Temani aku yuk,” ajak Katarina menarik tubuh adik iparnya itu.“Eh, Kak. Ada apa?” tanya Elegi sembari mengikuti langkah Katarina.Katarina hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Elegi, langkahnya tidak terhenti begitu saja. Ia dengan sigap mengambil tas dan ponselnya.“Kita ke cafe sebentar,” bisik Ka
Langkah Katarina dan Elegi terhenti di depan pintu rumah yang masih tertutup, keduanya masih saling diam bertatapan. “Tumben banget ayah tutup pintu sore-sore,” Elegi bertanya-tanya dengan menaikkan sebelah alisnya. “Kamu mikir apa memangnya? Ayahmu memang aneh dari pertama aku ke rumah ini!” Katarina membuka pintu rumah dengan perlahan. “Ngawur kamu, Kak!” gertak Elegi. Sepi dan sunyi dirasakan Katarina, ‘Untuk apa ayah meminta kami pulang kalau dia saja tidak di rumah?’ Katarina menggumam. Katarina masih berdiri tegak di depan pintu yang sudah terbuka, ia tidak kunjung masuk ke dalam rumah yang terlihat sangat sepi itu. “Ayo masuk, ngapain berdiri depan pintu! Pamali kak!” Elegi hari ini suka sekali mengoceh panjang lebar. “Katarina,” panggil Pramana lirih. Pramana berjalan dari ruang keluarga dengan pelan, tangannya yang dilipat di depan dada itu memberikan pandangan yang berbeda dalam dirinya. Tatapannya nyalang seperti singa yang siap menerkam siapa saja mangsanya. “I-iy
"Sudahlah, Ayah. Sekarang keadaan sudah lebih baik, ayah juga sekarang memiliki cucu yang lucu dan menggemaskan. Tidak perlu mengingat masalalu yang sudah-sudah," jelas Rafka panjang. "Benar juga!" Pramana menepuk pundak Rafka dengan terkekeh. Dua pria itu kini berjalan keluar dari ruangan bayi, menemui Elegi untuk bertanya ruang inap Katarina. Sepanjang koridor Rafka merasa senang sekaligus terharu. "Raf, kamu sudah mengabari Rengga? Ayah rasa dia sangat cemas denganmu yang selama beberapa jam ini sibuk menemani Katarina di ruang bersalin," ujar Pramana. Rafka hanya mengangguk, sudah beberapa jam ponsel itu tidak ia sentuh. Beberapa pesan dan telepon masuk dari Rengga. "Ayah duluan saja, ini Rengga mau telepon," ucapnya. Tidak berselang lama ponsel itu bersering, notifikasi telepon masuk dari Rengga. "Halo, ke mana aja?!" tanya Rengga dengan keras dari seberang. "Katarina lahiran, ada apa? telepon banyak banget, tadi ponselnya mati," jelas Rafka tanpa di minta. "Wah aku jadi
"Aku mau hidup sama kamu seumur hidup aku," bisik Rafka dengan memeluk tubuh istrinya. Katarina hanya pasrah dalam dekapan Rafka, ia menitikkan air matanya. Ucapan Rafka membuat hati Katarina tersentuh dalam. Jarang sekali Rafka mengatakan kalimat magic tersebut. "Mas, aku juga ingin bersamamu seumur hidupku, jangan lagi menjadi dingin seperti es batu, ya!" tegas Katarina terisak. Keduanya saling menguatkan satu sama lain, enggan melepas pelukan satu sama lain. Malam itu semua hal terasa sangat menguras air mata, namun dalam hati Katarina paling dalam ia ingin bahagia bersama Rafka. "Kita jaga anak ini sama-sama, dan kita akan menjadi orang tua kebanggaan mereka!" ucap Rafka dengan antusias. "Iya, mereka akan sangat bangga dengan kita, Mas!" ujar Katarina keras. *** Tiga bulan setelah perubahan Pramana, laki-laki paruh baya itu mempersiapkan semua kebutuhan acara tujuh bulanan Katarina. Dan hari ini adalah waktu acaranya, seluruh rumah didekorasi dengan sangat cantik dan Elegan
"Ayah, ada apa?" tanya Rafka dengan penasaran saat Pramana diam tidak melanjutkan ucapannya. "Em, Ayah sudah memikirkan sesuatu tentang ... anak kalian," ucap Pramana dengan ragu. Rafka dan Katarina berakhir saling menatap, keduanya tidak percaya akan ucapan Pramana. Sejak di awal kehamilan Katarina, Pramana terlihat acuh dan tidak peduli sama sekali. "Maksud ayah apa?"" tanya Katarina lirih. "Acara tujuh bulanan anak kembar kalian biar ayah yang persiapkan. Terus ayah juga kepikiran menyumbang nama untuk anak kalian nanti," jelas Pramana dengan antusias. "Hah! ini ayah serius?" tanya Rafka dengan penuh keraguan. Matanya masih memicing ke arah Pramana yang kini duduk di hadapannya. Laki-laki yang dulunya sangat menentang keras hubungan keduanya kini luluh karena kabar bayi kembar? "Iya, ayah sudah mencari vendor yang bagus untuk acara tujuh bulanan anak kalian. Terus ayah sudah memikirkan nama anak yang sangat lucu, sayangnya kita belum tahu ya jenis kelaminnya," keluh Pramana
"Hm," singkat jawaban Pramana beranjak meninggalkan Rafka begitu saja. 'Ada apa dengan ayah? kenapa dia tidak suka aku punya anak, bukannya ini hal baik ya dia akan menimang cucu dari anak sulungnya,' gumam Rafka dalam batinnya. Rafka hanya menghela napas panjang, ia berjalan masuk ke dalam rumah. Melihat tingkah Pramana yang seolah biasa saja, membuat perasaan Rafka sedikit kacau dan takut. "Tapi ayah tidak akan berbuat yang macam-macam pada Katarina, em lagian semua asetnya sudah aku kembalikan sesuai janji. Kalau ayah masih nekat mencelakai Katarina, seharusnya dia tahu apa akibatnya," ucap Rafka sepanjang langkah ke kamar. "Kak!" seru Elegi keras. Rafka menoleh, "Ada apa, El?" tanya Rafka dengan ketus."Gak apa-apa, cuma manggil aja. Kak Kata di mana, Kak?" tanya Elegi lagi. "Kamar," singkat jawaban Rafka lalu beranjak meninggalkan adiknya. *** Saat tiba di kamar, Rafka melihat Katarina sudah bangun dari tidurnya. Hanya saja ia hanya duduk diam di ranjang, matanya menatap
"Raf, maaf ganggu. Ini ada meeting yang kamu harus datang," ucap Rengga di telepon. "Emang gak bisa diwakili? biasanya juga kamu yang wakili," tanya Rafka sedikit berbisik."Enggak bisa, client pengennya kamu yang presentasi. Udah sempet aku rayu tapi tetep gak mau," jelas Rengga. "Siapa sih, Reng?" tanya Rafka dengan tegas. Rengga sejenak diam, ditelpon Rafka sudah menunggu jawaban dengan penuh tanda tanya. "Andini," singkat jawaban Rengga membuat Rafka bungkam. "Duh, aku lagi gak bisa ninggal Katarina sendirian di rumah. Reng, Katarina hamil, badannya masih belum kuat banget trimester pertama," jelas Rafka dengan antusias. "Terus ini gimana? Andini tetep minta kamu," tegas Rengga. Sejenak Rafka menghela napasnya, berpikir panjang apakah ia bisa meninggalkan Katarina 1-3 jam saja. "Gimana? aku butuh jawaban," tegas Rengga di telepon. "Bentar aku mikir!" gertak Rafka. Rafka mempertimbangkan banyak hal, meeting hanya 1-3 jam. Akan tetapi, keselamatan Katarina selama 1-3 jam i
"Kak!" teriak Elegi keras dari luar kamar.Mata Katarina dan Rafka kini tertuju pada pintu, percakapan itu terhenti begitu saja. Rafka segera beranjak ke pintu, menemui Elegi yang secara tiba-tiba mengetuk pintu dan berteriak sangat keras. "Ada apa?" tanya Rafka setelah membuka pintu. "Em, itu, ayah aneh banget!" gerutunya. "Terus? kamu ngapain malem-malem ke sini?" tanya Rafka dengan sedikit keras."Gak apa-apa sih, cuma pengen iseng aja," Elegi terkekeh lalu berlari ke kamarnya. Rafka hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingkah adiknya yang sangat aneh itu. Kini ia hanya memijit pelan pelipisnya yang terasa sakit. "Mas, ada apa?" tanya Katarina lirih. "Adik iparmu, cari ribut mulu," jawab Rafka terkekeh."Apa katanya?" Katarina berbalik tanya dengan melihat tangan Rafka yang memijit pelipisnya. pria itu hanya menggelengkan kepalanya, merebahkan tubuhnya di dekat Katarina. secara tiba-tiba Katarina ikut memijat pelipis Rafka, tanpa permisi dan basa-basi. "Pusing ya? kamu k
“Raf, apa ini tidak berlebihan?” tanya Pramana dengan tatapan sendu.‘Ada masalah apa dia mengatakan ini berlebihan? Bukannya dia sendiri yang membuat ulah hingga kejadiannya seperti saat ini,’ batin Rafka bertanya-tanya.“Bagiku ini sudah tepat, ayah!” tegas Rafka.Matanya melihat Pramana yang sibuk memainkan tangannya berulang, laki-laki paruh baya itu terlihat ragu. Rafka yang tidak ada ampun mendesak ayahnya untuk memberi jawaban.“Gimana? Apakah ayah sudah memiliki jawaban?” tanya Rafka dengan suara sedikit mendesak. [“Raf … berikan ayah waktu untuk berpikir dan mempertimbangkannya sedikit lagi. Sepertinya waktu setengah jam masih kurang,” jawabnya dengan menghindari pandangan Rafka.“Tidak, ayo berikan jawaban ayah sekarang, aku tidak punya banyak waktu!” ujar Rafka dengan tegas.Pramana kini duduk menghadap Rafka, helaan napas panjang yang sempat terlihat oleh Rafka. Pria paruh baya itu hanya menunduk pilu, terlihat keresahan yang ada dalam dirinya.“Bagaimana ayah? Apa ayah m
“Loh, Ra ....” Belum sempat Pramana melanjutkan ucapannya Rafka sudah menyangkal perkataan laki-laki paruh baya itu. “Bubar kalian semua!” teriak Rafka keras. Rafka saat itu hanya memijit pelipisnya pelan, tangan kanannya kini mempersilakan Katarina dan Elegi untuk masuk ke kamar. Meja ruang tamu yang kini berisi berbagai minuman dengan bau sangat menyengat. “Pamit dulu, Pram,” ujar seorang teman dengan membawa beberapa temannya. Mata Rafka hanya menatap nyalang ke arah Pramana, ia sudah keheranan dengan tingkah ayahnya yang tidak henti-hentinya berulah. “Ikut aku!” ujar Rafka dengan berjalan ke ruang kerjanya. Rafka menghela napas panjang, matanya masih tertuju pada laki-laki yang kini berdiri dengan wajah biasa saja. Pramana hanya mengulas senyum tipis tanpa banyak bicara. “Ada apa?” tanya Pramana tanpa berdosa. “Masih bisa tanya ada apa? Ayah, apa yang kamu lakukan beberapa hari setelah aku berangkat ke Yogyakarta? Pantas begitu!” dengan suara keras Rafka membentak
“Jadi selama aku tidak pulang ke rumah ayah berbuat ulah ya, Kak. Seharusnya aku tidak meninggalkan rumah dan menjaga ayah,” ucap Elegi dengan suara purau.Usapan pelan pada pundak kiri Elegi dari Edgar membuatnya menoleh. Rafka yang menedengar ucapan ELegi semakin banyak beban di kepalanya.“Enggak apa-apa, semuanya sudah terjadi,” ujar Rafka.“Aku tidak paham lagi dengan maksud ayah, tapi kalau kakak butuh bantuan untuk ngobrol sama ayah aku bantu,” tegas Elegi dengan antusias.“El, terima kasih ya sudah mau membantu kakak menyelesaikan semua ini,” ucap Rafka dengan senyum yang terulas di bibirnya.Katarina hanya mendengarkan percakapan adik dan suaminya, ia merapal doa untuk apa pun yang mereka lakukan. Ia masih merasa sangat bersalah dengan apa yang sudah terjadi, mungkin jika Atalas masih hidup semua kejadian yang terjadi sekarang tidak akan terjadi.“Em, Mas, El. Maafkan aku ya, akibat dari kejadian yang bermula dari aku semuanya jadi seperti saat ini,” ungkap Katarina dengan m