"Innalillahi w* inna ilaihi roji'un, Allahumma'jurni fii mushibati w* akhlifli khaira minhaa," lirih kuucapkan do'a itu.
Sekuat tenaga menahan kesedihan. Walau bagaimanapun, ini adalah takdir dari yang Maha Kuasa. Namun, tetap saja, rasa kehilangan yang teramat membuat tubuhku terasa lemah.Tak disangka, begitu banyak sekali orang yang datang untuk takziah. Yang mengikuti shalat jenazah pun begitu banyak hingga ke luar masjid. Bahkan syaikh dari Madinah yang Mas Faqih menimba ilmu kepadanya pun mengucapkan bela sungkawa melalui telepon kepada abi, tak lupa do'a-do'a terbaik mengalir dari lisan mereka.Sungguh, dunia itu memang fana. Pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Tak berguna lagi segala harta dan jabatan, hanya amal yang menemani dan menjadi penerang di gelapnya kubur.Ummi menggenggam lenganku berusaha menguatkan. Dia menceritakan kisah tentang kesabaran Ummu Sulaim saat ditinggal wafat anaknya. Kisah itu cukup membuatku tenang, meski kesedihan masih berusaha menyerang hati."Yang sabar ya, Aisyah. Kamu ingat, kan, perkataan Hudzaifal Ibnul Yaman? Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan sesuatu melainkan dari yang kecil hingga yang besar kecuali musibah. Adapun musibah, Allah menciptakannya dari keadaan besar kemudian akan menjadi kecil." Kata Ustadzah Aminah yang datang untuk takziyah."Allah menciptakan segala sesuatu ... misalnya penciptaan manusia melalui tahapan dari kecil hingga beranjak dewasa. Tapi musibah tidaklah demikian. Musibah datang dalam keadaan besar, yakni terasa berat. Akan tetapi, lambat laut akan menjadi ringan jika seseorang mau bersabar." Lanjutnya."Iya ustadzah ... terima kasih nasihatnya."Selang berapa lama, Ustadzah Aminah beserta beberapa guru dan teman dari pesantren tempatku mengajar dulu pamit untuk pulang."Aisyah, aku juga mau pulang, ya." ujar Maryam sahabatku berpamitan.Aku pun mengangguk seraya tersenyum."Yang sabar ya, Aisyah.""Insya Allah aku akan kuat, Maryam. Oh ya, sering-sering main ke sini, ya. Sekarang kan tempat mengajarmu gak terlalu jauh dari sini.""Insya Allah."****Selama menjalani masa iddah, aku tinggal di rumah mertua. Itu berarti aku di sini selama empat bulan sepulih hari. Ummi sangat perhatian, sikapnya tak pernah berubah dari dulu, dia tetap menyayangiku meskipun Mas Faqih telah tiada."Aisyah, ummi sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Ummi harap kamu mau tinggal disini menemani ummi."Ummi," kugenggam jemarinya. "Aisy juga sudah anggap ummi seperti ibu kandung Aisy sendiri, tapi Aisy gak bisa selamanya tinggal di rumah ini.""Ummi mengerti. Tapi, kamu mau kan sering-sering nengokin ummi?"Aku mengangguk."Emm ... Aisyah. Soal itu ...." ummi menghentikan kalimatnya."Soal apa, Ummi?""Ah, enggak nanti aja."***Tak terasa masa iddah hampir selesai. Itu berarti aku akan segera pulang ke rumah orang tuaku. Begitu banyak kenangan di sini, bahkan tiap jengkalnya mengingatkan kepada Mas Faqih.Abi datang menjemput, koper pun sudah dimasukan ke dalam bagasi mobil yang sengaja abi sewa untuk menjemputku. Ummi Afifah -mertuaku menangis kemudiam memelukku."Sehat-sehat, ya. Jangan lupakan kami di Jogja," ucapnya sembari mengusap air mata."Aisy gak mungkin lupa sama ummi. Insya Allah, Aisy akan main lagi ke sini."Kami pun pamit.Tak ada setahun aku tinggal di sini, kini dengan berat hati harus meninggalkannya, dengan setumpuk kenangan yang akan terus tersimpan di dalam sini.Tak sampai lima jam akhirnya sampai di kota kelahiranku. Ummi menyambut dengan senyum yang terlukis di wajahnya. Kehidupan baru menanti. Berharap setelah ini akan lebih banyak kebahagiaan menghampiri.Sebulan sudah aku tinggal bersama keluarga lagi. Rasanya masih sama seperti dulu, hanya saja, kini aku merasa seperti ada sebagian dari jiwaku yang hilang.Sesekali, aku membantu ummi bekerja di sawah. Itu membuat kulitku sedikit berwarna coklat. Ummi memang sering melarang, tapi aku memaksa untuk membantunya. Di sore hari, aku mengajar anak-anak mengaji di masjid.Tring!Ponselku berbunyi, sebuah pesan dari Maryam mendarat di aplikasi hijau milikku.[Assalamu'alaikum, Aisyah, gimana kabarnya?][Alhamdulillah baik, kamu gimana?]Chating kami pun berlanjut, hingga Maryam menawariku untuk mengajar di sebuah pondok pesantren tempat dirinya mengajar. Itu adalah pesantren yang baru berjalan selama satu tahun, masih rintisan. Aku menimbang-nimbang tawaran Maryam. Sebenarnya aku juga sudah rindu dengan suasana pondok.Kuceritakan tawaran Maryam kepada Ummi dan Abi. Mereka menyerahkan keputusannya kepadaku. Baiklah, mungkin ini adalah jalan bagiku untuk memulai semuanya lagi.Setelah mengirimkan berkas-berkas persyaratan, beberapa hari kemudian aku mendapat telepon bahwa aku diterima dan siap mengajar pekan depan.***"Aisyah, sudah siap?" Ummi menghampiriku yang tengah membereskan pakaian yang hendak dibawa."Tinggal ini aja.""Aisyah ... boleh ummi bertanya, Nak?"Aku mengangguk. Ummi meyuruhku untuk duduk di tepi ranjang bersebelahan dengannya."Nak, sebelum Faqih meninggal, dia memberikan wasiat kepadamu, kan? Jadi ... apa yang akan kamu lakukan?"Aku terdiam, sebenarnya aku pun tak tahu harus bagaimana dengan wasiat itu."Aisyah." Ummi menyentuh pundakku."Aisy gak tahu, Mi. Aisy gak mau pikirin itu dulu."" Ya udah kalo begitu, hayuk, abi sudah nunggu."Hari itu, aku berangkat lagi ke kota Yogya ditemani abi. Rasanya hampir sama seperti dulu, saat lelaki paruh baya itu mengantarku kala menuntut ilmu. Dia akan berpesan agar aku menjaga diri, dan agar selalu ingat bahwa Allah Maha Melihat. Dia mengetahui apa pun yang dikerjakan hamba-Nya. Nasihat yang berulang, tapi aku tak pernah bosan mendengarnya.***Akhirnya sampai di tempat yang dituju, abi tak mengantar ke dalam. Katanya ada urusan yang harus dilakukan.Dari kejauhan, kulihat Maryam melambaikan tangan di depan gerbang masuk. Aku pun membalas lambaiannya seraya mempercepat langkah."Aiiiisy!" serunya riang."Alhamdulillah, akhirnya sampai.""Istirahat dulu, yuk!" ajak Maryam.Aku mengangguk. Maryam mendorong pagar yang tingginya melebihi kami. Saat hendak masuk, aku menangkap sesosok lelaki yang sudah tak asing lagi bagiku. Dia menatapku, saat kedua mata kami saling beradu, buru-buru dia mengalihkan pandangannya.Mas Faqih? ... ah tidak! Itu Mas Fahim. Sedang apa dia di pondok ini?-Bersambung-Semilir angin menerpa wajah, sekelebat kenangan bersama Mas Faqih terputar kala melihat wajah itu. Astaghfirullah, segera aku memalingkan muka. Aisyah, dia bukan Mas Faqih-mu! "Ada apa, Aisy?" tanya Maryam keheranan. "Gak apa-apa. Ayuk, masuk!" Deretan rumah tempat tinggal untuk para pengajar berderet rapi memanjang. Maryam memberi tahu bahwa rumah yang agak besar diperuntukan bagi yang sudah berkeluarga, sedang yang mirip kamar bagi yang masih lajang, dan aku memilih tinggal sekamar dengan Maryam. "Istirahat dulu, gih! Besok ada rapat untuk semua staf pengajar dan karyawan." Aku mengangguk. "Oh ya, Maryam. Tadi aku lihat ada adiknya Mas Faqih." "Oh iya, aku lupa bilang. Ustadz Fahim juga akan mengajar di pesantren ini." "Benarkah?" Maryam mengangguk. Aku cukup terkejut, padahal dulu dia mengajar di pondok pesantren yang cukup terkenal, tetapi sekarang lebih memilih mengajar d
Sebulan berlalu, Hilma tampaknya sudah betah di pondok, dia tak lagi mengeluh ingin pulang atau menyalahkan papanya lagi. "Ust Aisy!" panggilnya seraya berlari ke arahku. Aku yang sedang mencabuti rumput bersama Maryam melambaikan tangan padanya. "Ini." Hilma menyodorkan sebuah coklat kepadaku. "Buat Ust Maryam mana?" tanya gadis gemuk di sebelahku. "Gak ada," balasnya singkat. "Makasih, ya." Kuraih coklat dari tangan Hilma. "Mau bantuin?" Hilma meraih rumput yang mulai meninggi, lalu mencabutnya. "Ust Aisy," panggilnya pelan. "Ya." "Ust Aisy mau gak jadi mamaku?" "A-apa?" Pertanyaan Hilma membuatku terkejut. "Kamu ini bicara apa?" "Ust Aisy pernah menikah kan? Lalu suaminya meninggal, papaku juga ditinggal mama, aku pikir ... kalian berdua cocok. Dan jugaaa ... aku suka Ust Aisy." Aku dan Maryam saling pandang, tak mengerti deng
Uhuk! Rasanya air minumku mengisi rongga dada hingga membuatku terbatuk-batuk. Maryam membantuku dengan menepuk-nepuk punggung. "Ust Aisyah baik-baik saja?" tanya Pak Fawwaz. "Gak apa-apa," jawabku sambil terbatuk."Hilma, itu gak sopan!" Ujar lelaki bertubuh tinggi itu kepada putrinya.Hilma melipat kedua tangannya di dada sambil cemberut. Makan malam itu berlanjut dengan suasana yang makin canggung. Sesekali kuperhatikan raut wajah Mas Fahim, masih seperti biasa, datar. Tuh kan, dia memang gak peduli! **** Ponselku berdering tatkala baru selesai dari kamar mandi. Abi? Segera kuangkat telepon darinya. Lelaki paruh baya itu mengucapkan salam, dengan suara bergetar dia memberitahukan bahwa adik perempuanku yang di pondok mengalami kecelakaan. Lututku terasa lemas mendengarnya. Rasa trauma atas kehilangan Mas Faqih karena kecelakaan kembali menghantui pikiran. Aku meminta izin kepada ustadz Irwan untuk pulan
FOV Fawwaz Entah karena aku jatuh cinta padanya atau hanya sekedar ingin memenuhi keinginan anakku, aku bermaksud untuk menghalalkannya. Aku pun tak mengerti, wanita itu seolah memiliki magnet yang mampu menarik hatiku hingga sulit lepas dari sosoknya. Jantungku berdegup kencang saat kedua manik coklat miliknya ragu-ragu membalas tatapanku. Mungkin akan ada yang bilang jika aku sudah tak lagi mencintai istriku yang telah wafat, hingga begitu cepat aku mencari pengganti dirinya. Tidak, akan selalu ada ruang untuk cinta istriku di hati ini. Usianya memang jauh dibawahku. Namun, ada sebuah keyakinan di hati bahwa Aisyah cocok menjadi ibunya Hilma, juga pendampingku tentunya. Kudapati kabar bahwa adiknya kecelakan. Aku berpikir Bagaimana caranya agar aku bisa meringankan kesedihannya. Tak mungkin jika menghiburnya secara langsung. Akhirnya kuputuskan untuk membantu biaya operasinya. *** "Lis, bagaimana jika aku meni
Bergegas kupijakan kaki di trotoar saat angkot yang kutumpangi belum sempurna berhenti. Gerimis semakin menderas, dengan berlari kutuju ruang IGD Rumah Sakit yang disesaki pasien. Kuedarkan pandangan hingga mata ini tertuju kepada seorang lelaki yang terbaring dengan pakaian yang kukenal. "Mas," lirihku. Matanya terbuka, bercak darah hampir memenuhi bagian belakang kepalanya. "Dokter!" teriakku, kenapa tidak ada satu orang pun yang mengobatinya? Seorang perawat menghampiri, "Mbak tunggu di sana dulu ya, kami akan segera menangani pasien." Kenapa tidak dari tadi ditangani? Aku beringsut mundur, membiarkan mereka mengobati suamiku. Tak henti-hentinya aku berdoa, memohon agar Sang Pencipta menyelamatkan suamiku yang baru saja mengalami kecelakaan. Hampir sebulan suamiku dirawat di Rumah Sakit, hingga akhirnya kami memutuskan untuk merawatnya di rumah. Pernikahan kami baru berjalan empat bula
Pagi masih menyimpan kabutnya. Di sebuah kota yang dingin ini, aku menimba ilmu di sebuah pondok pesantren dari Tsanawiyah hingga Aliyah. Alhamdulillah, aku sudah menyelesaikan hafalanku, juga mendapat ijazah sanad qira'ah. Seperti biasa, setiap santri yang lulus, maka akan melakukan pengabdian selama satu tahun di sebuah lembaga yang ditunjuk oleh pesantren. Dan, inilah awal mula perjalanan aku mengenalnya. Namaku Aisyah. Abi bilang, itu adalah nama istri nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Katanya juga, agar aku bisa meneladani kecerdasan dan akhlak beliau. Aku sulung enam bersaudara. Keempat adikku perempuan dan yang paling kecil laki-laki. Diusia yang ke delapan belas tahun ini, aku mendapat tugas untuk pengabdian di kota Yogyakarta, kota yang aku pernah bermimpi untuk tinggal di sana. "Baik-baik ya, Nak. Abi percaya kamu bisa menjaga diri." Ah, abi, terima kasih atas kepercayaanmu selama ini. Abi pamit untuk pulang. Aku tetap berdiri menungguny
Deru suara mobil mengejutkanku. Lagi-lagi, jantung ini rasanya berdetak semakin kencang. Kulirik yang datang dari balik tirai jendela. Itu dia, bersama ayahnya. Abi menerima mereka dengan senyum semringah. Beliau yang paling antusias saat mendengar bahwa akan ada seorang pemuda yang datang untuk mengenalku lebih jauh. Padahal usiaku masih sembilan belas tahun, haruskah secepat ini? Pertemuan kala itu berjalan lancar. Kami memutuskan untuk ke tahap selanjutnya, yaitu khitbah. Dua minggu kemudian, lamaran diadakan. Dia datang bersama keluarganya. Aku cukup terkejut saat melihat dirinya ada dua. Ya, dia kembar. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak ta'aruf, tapi tetap saja aku merasa terkejut melihatnya. Mereka sangat mirip. Sepertinya, hanya kaca mata saja yang membedakan antara keduanya. Ustadzah Aminah ikut bersama rombongan mereka. Begitu juga dengan Maryam, aku senang sahabatku itu ikut ke sini. Sebuah gamis polos
Lelaki yang menikahiku lima bulan yang lalu itu terbaring lemah, matanya tertutup, dengan sebagian kepala yang ditutupi perban. Hampir dua jam aku menungguinya, akan tetapi dia belum juga sadar. Perawat memberi tahukan bahwa Mas Faqih telah mendapatkan kamar. Akhirnya, lelaki bermata teduh itu dipindah ke ruang perawatan. Kedua orang tuaku sampai di Rumah Sakit. Dengan tergopoh mereka menghampiri. "Bagaimana keadaan Faqih? Kecelakaan di mana? Dia baik-baik aja kan?" cecar Ummi. Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya air mata yang mampu menerjemahkan bagaimana porandanya hatiku saat itu. Ummi meraih dan memeluk tubuh ini yang terasa lemah. Sedang Abi mengusap punggungku berusaha menenangkan. Hampir sebulan Mas Faqih dirawat, tetapi keadaannya masih tetap sama. Hanya bisa terbaring, dirinya begitu kesulitan meski hanya untuk menggerakan bagian tubuhnya. Ibu mertuaku sudah tiga minggu di Rumah sakit, menunggui dan iku
FOV Fawwaz Entah karena aku jatuh cinta padanya atau hanya sekedar ingin memenuhi keinginan anakku, aku bermaksud untuk menghalalkannya. Aku pun tak mengerti, wanita itu seolah memiliki magnet yang mampu menarik hatiku hingga sulit lepas dari sosoknya. Jantungku berdegup kencang saat kedua manik coklat miliknya ragu-ragu membalas tatapanku. Mungkin akan ada yang bilang jika aku sudah tak lagi mencintai istriku yang telah wafat, hingga begitu cepat aku mencari pengganti dirinya. Tidak, akan selalu ada ruang untuk cinta istriku di hati ini. Usianya memang jauh dibawahku. Namun, ada sebuah keyakinan di hati bahwa Aisyah cocok menjadi ibunya Hilma, juga pendampingku tentunya. Kudapati kabar bahwa adiknya kecelakan. Aku berpikir Bagaimana caranya agar aku bisa meringankan kesedihannya. Tak mungkin jika menghiburnya secara langsung. Akhirnya kuputuskan untuk membantu biaya operasinya. *** "Lis, bagaimana jika aku meni
Uhuk! Rasanya air minumku mengisi rongga dada hingga membuatku terbatuk-batuk. Maryam membantuku dengan menepuk-nepuk punggung. "Ust Aisyah baik-baik saja?" tanya Pak Fawwaz. "Gak apa-apa," jawabku sambil terbatuk."Hilma, itu gak sopan!" Ujar lelaki bertubuh tinggi itu kepada putrinya.Hilma melipat kedua tangannya di dada sambil cemberut. Makan malam itu berlanjut dengan suasana yang makin canggung. Sesekali kuperhatikan raut wajah Mas Fahim, masih seperti biasa, datar. Tuh kan, dia memang gak peduli! **** Ponselku berdering tatkala baru selesai dari kamar mandi. Abi? Segera kuangkat telepon darinya. Lelaki paruh baya itu mengucapkan salam, dengan suara bergetar dia memberitahukan bahwa adik perempuanku yang di pondok mengalami kecelakaan. Lututku terasa lemas mendengarnya. Rasa trauma atas kehilangan Mas Faqih karena kecelakaan kembali menghantui pikiran. Aku meminta izin kepada ustadz Irwan untuk pulan
Sebulan berlalu, Hilma tampaknya sudah betah di pondok, dia tak lagi mengeluh ingin pulang atau menyalahkan papanya lagi. "Ust Aisy!" panggilnya seraya berlari ke arahku. Aku yang sedang mencabuti rumput bersama Maryam melambaikan tangan padanya. "Ini." Hilma menyodorkan sebuah coklat kepadaku. "Buat Ust Maryam mana?" tanya gadis gemuk di sebelahku. "Gak ada," balasnya singkat. "Makasih, ya." Kuraih coklat dari tangan Hilma. "Mau bantuin?" Hilma meraih rumput yang mulai meninggi, lalu mencabutnya. "Ust Aisy," panggilnya pelan. "Ya." "Ust Aisy mau gak jadi mamaku?" "A-apa?" Pertanyaan Hilma membuatku terkejut. "Kamu ini bicara apa?" "Ust Aisy pernah menikah kan? Lalu suaminya meninggal, papaku juga ditinggal mama, aku pikir ... kalian berdua cocok. Dan jugaaa ... aku suka Ust Aisy." Aku dan Maryam saling pandang, tak mengerti deng
Semilir angin menerpa wajah, sekelebat kenangan bersama Mas Faqih terputar kala melihat wajah itu. Astaghfirullah, segera aku memalingkan muka. Aisyah, dia bukan Mas Faqih-mu! "Ada apa, Aisy?" tanya Maryam keheranan. "Gak apa-apa. Ayuk, masuk!" Deretan rumah tempat tinggal untuk para pengajar berderet rapi memanjang. Maryam memberi tahu bahwa rumah yang agak besar diperuntukan bagi yang sudah berkeluarga, sedang yang mirip kamar bagi yang masih lajang, dan aku memilih tinggal sekamar dengan Maryam. "Istirahat dulu, gih! Besok ada rapat untuk semua staf pengajar dan karyawan." Aku mengangguk. "Oh ya, Maryam. Tadi aku lihat ada adiknya Mas Faqih." "Oh iya, aku lupa bilang. Ustadz Fahim juga akan mengajar di pesantren ini." "Benarkah?" Maryam mengangguk. Aku cukup terkejut, padahal dulu dia mengajar di pondok pesantren yang cukup terkenal, tetapi sekarang lebih memilih mengajar d
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, Allahumma'jurni fii mushibati wa akhlifli khaira minhaa," lirih kuucapkan do'a itu. Sekuat tenaga menahan kesedihan. Walau bagaimanapun, ini adalah takdir dari yang Maha Kuasa. Namun, tetap saja, rasa kehilangan yang teramat membuat tubuhku terasa lemah. Tak disangka, begitu banyak sekali orang yang datang untuk takziah. Yang mengikuti shalat jenazah pun begitu banyak hingga ke luar masjid. Bahkan syaikh dari Madinah yang Mas Faqih menimba ilmu kepadanya pun mengucapkan bela sungkawa melalui telepon kepada abi, tak lupa do'a-do'a terbaik mengalir dari lisan mereka. Sungguh, dunia itu memang fana. Pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Tak berguna lagi segala harta dan jabatan, hanya amal yang menemani dan menjadi penerang di gelapnya kubur. Ummi menggenggam lenganku berusaha menguatkan. Dia menceritakan kisah tentang kesabaran Ummu Sulaim saat ditinggal wafat anaknya. Kisah itu cukup membuat
Lelaki yang menikahiku lima bulan yang lalu itu terbaring lemah, matanya tertutup, dengan sebagian kepala yang ditutupi perban. Hampir dua jam aku menungguinya, akan tetapi dia belum juga sadar. Perawat memberi tahukan bahwa Mas Faqih telah mendapatkan kamar. Akhirnya, lelaki bermata teduh itu dipindah ke ruang perawatan. Kedua orang tuaku sampai di Rumah Sakit. Dengan tergopoh mereka menghampiri. "Bagaimana keadaan Faqih? Kecelakaan di mana? Dia baik-baik aja kan?" cecar Ummi. Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya air mata yang mampu menerjemahkan bagaimana porandanya hatiku saat itu. Ummi meraih dan memeluk tubuh ini yang terasa lemah. Sedang Abi mengusap punggungku berusaha menenangkan. Hampir sebulan Mas Faqih dirawat, tetapi keadaannya masih tetap sama. Hanya bisa terbaring, dirinya begitu kesulitan meski hanya untuk menggerakan bagian tubuhnya. Ibu mertuaku sudah tiga minggu di Rumah sakit, menunggui dan iku
Deru suara mobil mengejutkanku. Lagi-lagi, jantung ini rasanya berdetak semakin kencang. Kulirik yang datang dari balik tirai jendela. Itu dia, bersama ayahnya. Abi menerima mereka dengan senyum semringah. Beliau yang paling antusias saat mendengar bahwa akan ada seorang pemuda yang datang untuk mengenalku lebih jauh. Padahal usiaku masih sembilan belas tahun, haruskah secepat ini? Pertemuan kala itu berjalan lancar. Kami memutuskan untuk ke tahap selanjutnya, yaitu khitbah. Dua minggu kemudian, lamaran diadakan. Dia datang bersama keluarganya. Aku cukup terkejut saat melihat dirinya ada dua. Ya, dia kembar. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak ta'aruf, tapi tetap saja aku merasa terkejut melihatnya. Mereka sangat mirip. Sepertinya, hanya kaca mata saja yang membedakan antara keduanya. Ustadzah Aminah ikut bersama rombongan mereka. Begitu juga dengan Maryam, aku senang sahabatku itu ikut ke sini. Sebuah gamis polos
Pagi masih menyimpan kabutnya. Di sebuah kota yang dingin ini, aku menimba ilmu di sebuah pondok pesantren dari Tsanawiyah hingga Aliyah. Alhamdulillah, aku sudah menyelesaikan hafalanku, juga mendapat ijazah sanad qira'ah. Seperti biasa, setiap santri yang lulus, maka akan melakukan pengabdian selama satu tahun di sebuah lembaga yang ditunjuk oleh pesantren. Dan, inilah awal mula perjalanan aku mengenalnya. Namaku Aisyah. Abi bilang, itu adalah nama istri nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Katanya juga, agar aku bisa meneladani kecerdasan dan akhlak beliau. Aku sulung enam bersaudara. Keempat adikku perempuan dan yang paling kecil laki-laki. Diusia yang ke delapan belas tahun ini, aku mendapat tugas untuk pengabdian di kota Yogyakarta, kota yang aku pernah bermimpi untuk tinggal di sana. "Baik-baik ya, Nak. Abi percaya kamu bisa menjaga diri." Ah, abi, terima kasih atas kepercayaanmu selama ini. Abi pamit untuk pulang. Aku tetap berdiri menungguny
Bergegas kupijakan kaki di trotoar saat angkot yang kutumpangi belum sempurna berhenti. Gerimis semakin menderas, dengan berlari kutuju ruang IGD Rumah Sakit yang disesaki pasien. Kuedarkan pandangan hingga mata ini tertuju kepada seorang lelaki yang terbaring dengan pakaian yang kukenal. "Mas," lirihku. Matanya terbuka, bercak darah hampir memenuhi bagian belakang kepalanya. "Dokter!" teriakku, kenapa tidak ada satu orang pun yang mengobatinya? Seorang perawat menghampiri, "Mbak tunggu di sana dulu ya, kami akan segera menangani pasien." Kenapa tidak dari tadi ditangani? Aku beringsut mundur, membiarkan mereka mengobati suamiku. Tak henti-hentinya aku berdoa, memohon agar Sang Pencipta menyelamatkan suamiku yang baru saja mengalami kecelakaan. Hampir sebulan suamiku dirawat di Rumah Sakit, hingga akhirnya kami memutuskan untuk merawatnya di rumah. Pernikahan kami baru berjalan empat bula