"Eh, Bu. Maag saya kambuh," jawab Maya setelah meminum obat. "Kenapa nggak sarapan? Udah tau punya maag," kata Rima terdengar kesal. "Tadi saya bangun kesiangan, Bu. Jadi nggak sempat sarapan," jelas Maya menatap takut pada Rima, sedang Delia sudah kembali bekerja. "Memangnya kamu semalam ngapain sampe tidur telat? Emang kamu sama teman kamu pergi keluar lagi?" Entah kenapa Rima jadi kesal pada Maya. Padahal memang sejak mengetahui Firhan sudah punya istri, mood-nya turun naik. Merasa kesal juga sebal entah pada siapa. "E-enggak kemana-mana, kok, Bu. Ya, namanya juga mau sakit, Bu," jawab Maya sedikit ketus, apalagi mengingat kalau Rima adalah orang yang secara terang-terangan menyukai suaminya. Menyebalkan! "Ya, sudah. Kamu diam saja dulu." Rima pun berlalu. Maya semakin merasakan perutnya tak nyaman, bahkan dia merasa mual. Bergegas ke kamar mandi, dia pun memuntahkan obat yang baru saja ditelannya. Firhan yang melihat Maya berlari, terdiam sejenak. Dia memang
Rima mengdengkus kasar. Tak ada lagi percakapan sampai nama Maya dipanggil. Firhan terus menunggu Maya membalas pesannya, sayangnya laki-laki itu tak tahu kalau Maya tidak membawa ponselnya. Benda itu ada di tas yang Maya sampirkan di kursi tempatnya tadi duduk. Firhan tak tenang, dia jadi tak fokus dengan pekerjaannya, hingga saat melihat Rima dan Delia datang tiga jam kemudian, Firhan tak melihat Maya bersama dua orang tersebut. "Maya … emm, maksud saya Isma gimana keadaannya, Bu? Kok, tidak bareng kalian?" tanya Firhan sengaja mencegat Rima di pintu masuk ke gedung produksi. Rima dan Delia saling pandang, namun Rima meminta Delia untuk lebih dulu kembali ke tempat kerja. "Isma langsung ke mess, Pak Firhan," jawab Rima yang bisa dengan jelas melihat kelegaan di wajah Firhan. "Kondisinya bagaimana, Bu?" lanjut Firhan. "Butuh istirahat, asam lambungnya naik," jelas Rima. Firhan mendesah pasrah. "Bapak siapanya Isma? Apa … Isma adalah istri bapak?" tanya Rima
"May, apa kabar?" Maya masih tak percaya dengan suara yang menyapanya di seberang sana. Nova yang sejak tadi memperhatikan, menyentuh tangan sahabatnya yang mendadak menjadi patung. "May, siapa?" bisiknya dengan nada cemas, apalagi Maya kini malah seperti akan menangis. "Maya, tunggu aku--" "Ar-man," lirih Maya diikuti air mata yang berlomba keluar, mendengar Maya menyebut nama laki-laki sudah menghancurkan hati sahabatnya, Nova langsung merebut ponsel Maya. "Halo? Siapa ini?" kata Nova dengan nada tinggi, meski sudah mendengar kalau yang menghubungi adalah Arman, Nova ingin menegaskan. "Aku Arman. Mana Maya?" Arman balik bertanya, dia tahu kalau tadi yang bicara dengannya adalah Maya. "Mau apa kamu menghubungi Maya lagi, Breng-sek! Belum cukup kamu membuat dia terluka? Buat dia sakit hati?" Nova memaki Arman dengan gemuruh dalam dada. Sedang Maya langsung menangis sambil menutup wajahnya, melihat itu Nova semakin berang saja. "Kamu Nova 'kan? Tolong Nova, berikan pad
Firhan menatap ponselnya yang tidak mendapat tanggapan dari Maya. Dia mencemaskan istrinya yang jangankan menelpon, pesannya pun bahkan belum dibaca. Sejak tadi dia mencoba menelpon, tapi Maya tengah dalam panggilan yang Firhan pikir mungkin dari Idham atau Mala mengabarkan kondisinya. Namun hingga jam masuk kerja kembali dimulai, Maya tetap tak menerima panggilannya. "Aku nggak mungkin datang ke mess untuk melihat Maya," ujar Firhan pasrah. Lalu mencoba fokus kembali pada pekerjaan dengan harapan nanti Maya membalas pesannya. Hingga jam kerja berakhir, harapan Firhan tak menjadi kenyataan. Dengan langkah tak semangat, Firhan keluar dari lobi, dia menoleh ke arah mess berada. Dilihatnya Nova tengah berjalan sedikit tergesa. Tak ingin terus dihantui rasa penasaran atas kondisi istrinya, Firhan bergegas mengejar Nova. Dia tak peduli andai Maya marah padanya nanti. Biarlah, cepat atau lambat hubungan keduanya pasti akan diketahui orang banyak. "Mbak!" seru Firhan yang b
Sementara Lidya memijat dahinya, hal itu tak luput dari pengamatan Rudi yang baru datang dari toko. "Assalamua'aikum, Papa salam dari tadi nggak dijawab," ujarnya membuat Lidya tersentak kaget. "Wa'alaikumussalam, ya Allah. Maaf, Pa. Mama nggak denger," balas Lidya menyalami suaminya. "Kenapa? Kayak yang bingung gitu," tanya Rudi duduk di sebelah Lidya. "Anak-anak, Pa. Maya sakit." "Kata siapa? Sejak kapan?" Rudi memberondong Lidya dengan tak sabar. "Barusan abang nelpon. Dia mendapati Maya pingsan di mess," jelas Lidya. "Emang Firhan datang ke mess Maya?" Tentu saja dia tidak tahu Maya dan Firhan ada di perusahaan yang sama. "Maya dikirim kerja di perusahaan pusat yang ternyata itu perusahaan tempat abang kerja, Pa. Pantes kemarin Maya nanya abang kerja di PT apa. Mungkin saat itu dia melihat abang, dan tadi siang Arman menghubungi Maya. Entah bagaimana cerita lengkapnya, Maya ditemukan abang pingsan," terang Lidya dengan menghempas napas kasar. "Arman meng
Arman menghela napas panjang. Dia tidak mungkin pulang ke rumah Lidya malam itu juga, jadi dia memutuskan untuk pergi ke tempat tinggal Angga. Dia perlu bertanya tentang pekerjaan pada temannya itu. Tiga puluh menit kemudian Arman sudah sampai di tempat kosan Angga. Gegas dia mengetuk pintu kamar kost Angga meski saat itu mungkin saja Angga tidak ada di tempat. "Loh, Arman?" Arman tersenyum lega begitu pintu terbuka, senyumnya lebar membalas rasa kaget Angga melihatnya ada di sana. "Boleh masuk, Nggak? Capek gue," ujar Arman langsung menerobos masuk, lalu dengan santai membaringkan tubuhnya di kasur begitu saja. "Ck, kebiasaan!" Angga menutup pintu, lalu mendekat pada Arman yang terlihat sangat kelelahan. "Baru sampe gue!" jelas Arman tanpa diminta. "Nggak nanya!" balas Angga sewot. "Pengumuman aja." Arman menjawab tak acuh, meski dia tahu sahabatnya tidak serius dengan perkataannya. Angga teringat dengan surat Arman untuk Maya. Dia lantas berdiri dan mengambil
Pagi menjelang, tidur Arman terusik oleh suara ramainya lalu lintas. Laki-laki berumur dua puluh tujuh tahun itu, tersentak kaget, niatnya hanya sebentar memejamkan mata, rasa lelah justru membuatnya tidur sampai pagi. Arman kembali melajukan lagi mobilnya untuk mencari mesjid, jam setengah enam, memang terlambat dia melaksanakan kewajiban solat subuh. Tangan Arman terangkat menengadah, berdoa dengan hati yang benar-benar tulus membujuk Sang Maha. Meminta semua salah da khilafnya dimaafkan, memohon agar apa yang menjadi tujuan masih bisa dia wujudkan. Bergegas meninggalkan masjid, Arman terus melajukan mobil menuju ke perusahaan tempat Maya bekerja, tak dihiraukan perutnya yang keroncongan meminta isi. Nanti, setelah bertemu dan menjelaskan pada Maya, Arman baru akan makan, begitu pikirnya. Arman sampai di depan perusahaan Maya satu jam kemudian. Arman mencoba mengingat terakhir kapan Maya bekerja. Kalau saja jadwal kerja Maya tidak berubah, maka hari ini Maya kerja masuk sia
"Ar-man," lirih Idham dengan rahang mengetat. "Bu, Pak, maafkan saya. Tolong maafkan semua kesalahan saya. Saya datang untuk memperbaiki semuanya. Di mana Maya, Pak? Bu?" tanya Arman memberanikan mendekat namun tubuhnya langsung didorong oleh Mala. "Pergi kamu, Arman! Tak perlu lagi kamu mencari Maya. Dia sudah bahagia bersama suaminya! Bukan kah kamu yang sudah memilihkan laki-laki yang lebih baik dari dirimu sendiri?" Mala berteriak di depan Arman, segala kekecewaan Maya diluapkan seperti dirinya wakil sang adik. "Nggak, Mbak! Bukan seperti itu kebenarannya!" elak Arman, tak terasa air matanya luruh, mendengar perkataan Mala bahwa Maya bahagia bersama Firhan. Benarkah itu? "Pergi!" Idham menunjuk ke arah pagar, "dan jangan pernah datang lagi!" pekiknya membuat Mala khawatir bapaknya bisa terkena serangan jantung lagi. "Pak, sabar. Ingat, Bapak baru sembuh," kata Mala memeluk Idham. Laki-laki itu menarik napas dalam, dan menghembuskannya perlahan. Dia harus bisa mengon
Seperti rencana semula, acara resepsi pernikahan Maya dan Firhan pun digelar dua minggu kemudian. Yang awalnya berniat digelar sederhana, akhirnya pesta itu pun berlangsung cukup meriah. Firhan mengundang semua kenalan juga rekan kerjanya. Begitu juga dengan Maya meskipun dia sudah tidak lagi bekerja. Mereka mau datang, syukur. Tidak pun tak jadi masalah untuk Maya. Apalagi acara tersebut digelar di kota tempat tinggal Firhan, kemungkinan teman-teman Maya yang bekerja di perusahaan cabang, tentu sangat kecil bisa datang. Namun Maya tak berkecil hati, cukuplah dengan adanya Nova sebagai temannya yang hadir di hari bersejarah untuknya itu. Ucapan selamat juga doa restu mengalir dari para tamu. Maya terlihat anggun dengan gaun putih panjang dan jilbab yang menutup rambutnya. Ya, Maya memutuskan untuk berhijab seperti niatnya dulu. Dia akan menggunakan penutup aurat itu saat dirinya sudah menikah. Jadi tak ada alasan lagi untuk menunda niat baiknya. "Ih, cantik banget kamu pake j
"Ap-apa maksud kamu, Man?" Anna memucat wajahnya, apalagi tatapan semua orang kini tertuju padanya. "Kamu tidak pernah kehilangan ingatan kamu kan, Anna?! Kamu sudah membohongi aku hingga aku merasa bersalah, dan meninggalkan dia yang seharusnya menjadi istriku saat ini!" Arman berteriak lantang, semua kata yang sudah dia ucapkan tentang keikhlasan atas gagalnya pernikahan dengan Maya, kini seakan disesalinya begitu sadar Anna sudah membohonginya. Menipunya mentah-mentah. Siapa yang bodoh sebenarnya? "Man, bicarakan baik-baik." Lidya menghampiri Arman, mengusap punggungnya dengan lembut berharap Arman bisa menahan kemarahannya. "Anna tidak mengerti apa yang Arman katakan, Mama," kata Anna mencari simpati Lidya, sayangnya Arman sudah tidak percaya. "Bohong," desis Arman. "Kita bicarakan nanti. Tak enak dengan pak Idham dan bu Lani." Rudi menyela, "Nak Angga, bisa antar Anna pulang, Nak? Arman butuh menenangkan diri," lanjutnya pada Angga yang dengan sigap mengangguk. "Ten
Tanah Merah itu masih basah. Raga yang terbaring di dalam sana kini sudah tak merasakan sakit lagi. Segala beban dan masalah yang dirasakannya selama hidup sirna sudah, meninggalkan seseorang yang baru mengenalnya tapi justru kini dipaksa pisah lebih jauh lagi. Tak ada kesempatan bertemu, tak ada kesempatan bertanya kenapa dulu dirinya seakan dibuang. Arman terpekur dengan mata sembabnya, menatap kayu nisan yang bertuliskan nama wanita yang baru diketahuinya sebagai ibunya. Ada Anna, Angga, juga keluarga yang selama ini dikenal sebagai orang tua dan kakak lelakinya. Tanpa keberadaan Maya. Pencariannya dalam menemukan sang ibu berhasil, namun saat hendak mempertemukan ibu kandungnya dengan Lidya dan Rudi, kecelakaan malah menghentikan rencana mereka. Mobil Arman ditabrak oleh truk yang melaju kencang, saking kerasnya benturan membuat sang ibu yang tidak mengenakan sabuk pengaman, terpental keluar, hingga nyawa pun terlepas di tempat kejadian. Arman terluka cukup parah, tiga hari
Hening. Hingga beberapa saat kemudian tautan bibir keduanya terlepas. Maya langsung menunduk, namun Firhan menahan dagunya agar Maya terus bersitatap dengannya. "Apa abang bisa meminta hak dan memenuhi kewajiban abang sekarang?", tanya Firhan dengan tatapan mulai berkabut. Maya menenangkan debaran jantungnya yang menggila, namun dia pun tak bisa mengatakan tidak, hingga anggukan kepalanya sebagai izin yang diberikan, membuat Firhan kembali melabuhkan kecupan di bibirnya. Tak lama tubuh Maya pun melayang saat Firhan menggendongnya, membawanya menuju peraduan. Maya terpekik lirih, dengan sigap dia memeluk leher Firhan dengan mata keduanya yang terus bertukar tatap, senyuman terus Firhan sunggingkan, seakan menenangkan Maya bahwa semua akan baik-baik saja. "Percaya pada abang, kita akan bersenang-senang. Ibadah." Maya mengangguk dan mempercayakan semuanya pada Firhan. Membiarkan semua mengalir seperti apa harusnya. Dia hanya pasrah, saat apa yang dia jaga selama ini dan akan
"Sampe kaget gitu," ledek Maya menertawakan Firhan, padahal dia sendiri tengah mencoba menenangkan dirinya imbas perkataannya sendiri. "Harus minggir dulu, biar bisa fokus." Firhan menepikan mobil, lalu menatap Maya yang sudah memerah wajahnya. "Coba bilang sekali lagi ... yang jelas," kata Firhan menggenggam lembut tangan Maya, matanya lekat menatap manik mata sang istri. "Apaan sih, Bang. Ayo jalan lagi, katanya mau ke rumah bapak?" elak Maya menahan senyum. Firhan menggeleng merasa dipermainkan Maya. "Nggak jadi. Mau ajak ke hotel aja." "Ya ayo! Kemana aja abang mau bawa Maya, Maya ikut," balas Maya. Firhan tersenyum lebar, diciuminya tangan Maya. "Yakin?" Firhan masih mencari celah apa kebohongan itu ada. Maya menarik napas panjang, lalu mengangguk dengan sangat yakin meski wajahnya kini semakin merah saja. "Beneran sudah siap jadi istri abang sepenuhnya?" lirih Firhan membelai pipi Maya, gadis itu merasakan tubuhnya panas dingin. "Y-ya," sahut May
"Kamu pulang ke mana, May?" tanya Nova saat jam kerja habis. Setelah semua orang tahu tentang status pernikahannya dengan Firhan, Nova yakin Maya tidak akan tinggal di mess lagi. "Rumah abang," jawab Maya dengan malu. "Udah aku tebak, sih. Huh, aku jadi nggak ada temen ngegosip. Sepi," keluh Nova sedih namun dibalut canda. "Maaf, ya?! Abis mau gimana lagi?" ucap Maya, mereka tengah berjalan menuju keluar bangunan produksi, dia sudah tidak terlalu menjadi perhatian setelah para karyawan tahu dirinya istri Firhan, meski tentu saja sikap Rima jadi berubah drastis padanya. Atasannya itu jadi judes, sangat menyebalkan. Tapi Maya memilih abai, selama Rima tak membuat kontak fisik untuk menyakitinya, meski jadi suka membentak kalau memberikan perintah padanya. Biarlah, mungkin Rima sangat berharap pada Firhan sebelumnya, jadi begitu tahu laki-laki yang disukainya ternyata sudah menikah, dia jadi kecewa dan patah hati. "Loh, ya nggak papa, May. Aku paham, kok. Emang seharusny
Berita menyebar dengan cepat, hingga Maya merasa sungkan saat pergi ke kantin dengan Delia dan Nova. Dirinya terus mendapat tatapan dari para karyawan, tak jarang tatapan sinis juga bisik-bisik yang membuat Maya semakin tak nyaman. Sebagian besar mereka tak menyangka kalau pemeran utama laki-laki yang sempat viral jadi pengantin pengganti itu adalah; Firhan. Dan itu mereka sesalkan, lalu membandingkan Maya dan Rima yang selama ini mereka pikir mempunyai hubungan khusus dengan Firhan. "Boleh gabung di sini, kan?" Suara Firhan membuat Maya mengangkat kepalanya dari menekuri makan siangnya. "Bang," ucapnya, lalu melihat sekeliling yang kini menjadikan dia pusat perhatian. "Geser, Sayang," titah Firhan menyimpan nampan di sebelah nampan milik Maya. Nova dan Delia saling lirik dengan mengulum senyum, jelas sekali kalau Firhan benar-benar mencintai Maya. "Kenapa abang makan di sini? Bukannya di meja para staf?" Firhan tak menggubris pertanyaan Maya, dia langsung menjatuhkan
Maya sudah kembali bekerja, dua hari waktu istirahatnya sudah habis. Saat ini dia sedang tegang membayangkan reaksi semua orang yang pastinya sudah mengetahui tentang statusnya dan Firhan. Nova sudah memberitahu Maya, bagaimana dirinya diberondong pertanyaan oleh banyak karyawan. "Tegang amat," kekeh Firhan yang fokus mengemudi. "Takut," balas Maya tak ingin berbohong. "Santai saja, nanti juga nggak akan ada yang berani nanya. Liat saja," ucap Firhan sangat yakin. Maya berdecak, dia sudah tidak sungkan menunjukkan sikap di depan Firhan. "Sok tau!" Firhan tertawa, dengan Maya dirinya kini bisa tertawa lepas tanpa beban. Jadi bagaimana mungkin dia akan melepas Maya untuk Arman lagi? Maya istrinya, dia akan egois mempertahankan Maya. Meski selama dua malam tidur bareng, hubungan mereka belum lanjut ke tahap lebih intim, Firhan menunggu Maya benar-benar siap. Justru saat ini dia sedang membuat rencana, untuk mengundang rekan kantornya sebagai bentuk syukuran pernikaha
Arman tak pernah menyangka dirinya akan berada di titik ini. Keputusannya meninggalkan Maya, membuka kebenaran lain tentang siapa dirinya. Meski saat Lidya mengatakan, kalau wanita yang selama ini disangkanya sang ibu memang berniat membuka siapa jati diri Arman setelah dia menikah dengan Maya, pasti efeknya tidak akan seperti ini kalau Maya benar-benar menjadi miliknya. Dia pastinya tidak akan merasa sendiri, ada Maya yang akan menemaninya melewati semua kebenaran yang baru terungkap itu. Air mata Arman bercucuran, dadanya sesak serasa ada batu yang menghimpit di sana, berkali-kali dia menyesali lagi keputusannya yang keliru, namun semua terlanjur terjadi. Dia hanya berharap kesempatan memiliki Maya bisa terjadi. Seperti katanya pada Firhan tadi, dia hanya menitipkan jodohnya pada lelaki itu. Meski semua kekeliruannya harus dibayar dengan melajang seumur hidup. Mungkinkah? Sedang Firhan berhadapan dengan Lidya dan Rudi, dia mendengarkan dengan runut cerita yang dijabar