Wajah Kak Andin berubah murung. "Iya, dulu. Itu tes pack waktu aku hamilin Raka." Kak Andin menutup wajahnya dengan tangan. Aku merasa bersalah karena telah mendakwahnya. Aku pun mendekat dan memeluknya. "Kaka, maaf.""Nggak perlu minta maaf, Nay. Kakak cuman lagi rindu sama Raka." Aku merogoh ponselku yang ada di dalam saku celana, memperlihatkan pada Kaki Andin foto Leo waktu makan sayur tadi pagi. "Raka. Kamu ketemu di mana, Nay?" Kak Andin sangat antusias melihat foto Leo itu."Itu Leo, Kak. Dia tinggal di apartemen besar yang ada di pertigaan sana. Naya rasa mukanya mirip banget sama Raka, makanya Naya fotokan buat Kakak." "Tapi, ini Raka Nay. Ini Raka.""Nanti Naya bawa Kakak ke sana buat ketemu dia."Kak Andin berubah senang kemudian dia memelukku erat. "Makasih, Nay." ***Aku mencoba menelepon nomor Ardi yang aku dapatkan dari Kak Andin waktu itu. Rasanya sangat tidak tega melihat Kak Andin bersedih setiap hari seperti itu, bagaimanapun menyebalkannya dia aku tetap akan p
Rizki datang lagi, hampir setiap hari dia datang ke rumah kecilku ini. Malam ini, dia datang untuk menjenguk mama. Mama teramat senang dijenguk olehnya karena Rizki datang tidak pernah dengan tangan kosong. "Gimana keadaan Tante sekarang?" tanya Rizki lembut. "Alhamdulillah sekarang sudah baikan, Nak Rizki.""Baguslah kalau begitu. Tante, Rizki ada bawakan cemilan sehat buat Tante.""Wah, makasih ya Nak Rizki.""Iya, sama-sama."Percakapan mereka terdengar sampai ke ruangan tengah, aku sedang berada di ruangan tengah untuk mempersiapkan dagang esok hari. "Naya mana, Tante?" "Ada tuh, sibuk sama sayurannya." Aku tidak perduli dengan perkataan mereka. Terdengar suara gesekan kaki dengan lantai berjalan menuju ke arahku, bisa ditebak. Itu pasti Rizki. "Nay," ucapnya lembut. Kan, bener. Nggak mungkin tebakanku melesat. "Iya, Riz. Ada apa?" Aku masih sibuk dengan pekerjaanku tanpa menoleh kearah Rizki. "Kamu sibuk banget ya?" tanyanya. Aku menghentikan kelincahan tanganku. "Memang
Senyuman Rizki mengembang sedari kejadian di restoran tadi. Aku tidak berani berkata jujur, aku takut akan sangat mengecewakannya. Di mobil, sambil menyetir Rizki sesekali menatap ke arahku. Ada ungkapan yang terpatri dari senyuman dan tatapan tulusnya itu, membuatku merasa sangat tidak tega dibuatnya. "Makasih ya, Nay. Kamu udah bikin aku bahagia banget malam ini," tuturnya lembut. "I-iya, Riz." Mama datang menyambangi kami yang berada di luar rumah. "Kalian sudah pulang." "Iya, Tante. Eh, maksudnya calon Mama mertua." Mata mama membulat, Rizki menunjuk ke arah cincin yang telah terpasang di jari manisku. Mama langsung mengerti dan mengucapkan selamat pada kami. "Akhirnya, nah gini dong. Kalian berdua memang cocok." Mama menepuk pundakku. Fia juga tidak kalah senang dari Rizki. Apakah hanya aku yang tidak merasakan kebahagiaan itu. "Mari, Nak. Masuk dulu!" "Enggak, Ma. Rizki mau langsung pulang aja sudah malem." Rizki meraih tangan mama dan mengecup punggung tangan mama kemudi
Suara alarm menderit, memekak memaksaku untuk keluar dari zona mimpi. Aku membuka mataku lebar. Perlahan aku bangun seraya mengucek mataku. Kantuk masih belum sirna karena semalam aku kembali bisa tertidur pukul dua pagi, niat mau tidur cepat malah sama saja dengan hari-hari sebelumnya. Aku melenggang pergi ke kamar mandi, handuk ungu sudah menggantung di bahuku. Sesampainya di kamar mandi, aku merasa ada yang membuatku tidak nyaman. Ada dar*h di celanaku. “Aneh, nggak ada hujan nggak ada angin malah datang bulan.” Aku pun melanjutkan mengguyur badanku. Selepas mandi, aku mencari bajuku yang tersusun tanpa lemari. Hanya di dalam koper saja. “Oh iya, dompetku mana ya?” Aku mencari-cari dompet milikku. Saat aku melihat baju jaket yang tergantung di belakang pintu, aku teringat jika semalam aku meletakkan dompetku di dalam saku jaket itu. Aku segera merogoh isi saku jaket, bukan dompet yang aku temukan melainkan benda pipih persegi panjang. “Sekarang aku haid, nggak mungkin kan la
''Mbak, kalau boleh tahu. Siapa nama majikan Mbak. Orang tuanya Leo.'' Aku menunggu dengan sangat jawaban dari pertanyaanku yag satu ini. Mbak Lisa nampak berpikir. ''Namanya Tuan Rizki, Mbak.'' ''Rizki?'' ''Iya, Mbak. Rizki, nama ibunya Prisyilla.'' Aku menganggguk saja. Ternyata bukan Ardi. Anak kecil ini adalah Leo dan bukan Raka. Mereka hanya mirip saja, lagian juga wajah anak-anak itu kadang memang banyak miripnya. ''Oh, pasti mereka super sibuk, ya. Jarang ada di rumah.'' ''Iya, Mbak. Namanya juga orang kaya. Apalagi ibunya jarang banget pulang ke sini karena dia kerja di kota seberang, jauh.''''Di seberang, Mbak? Kayaknya sama tempat tinggalku yang dulu.''''Owalah, ternyata Mbak Naya tinggal di sebrang, pantesan kayak pernah lihat dulu.'' ''Iya, Mbak. Saya baru aja tinggal di sini, baru beberapa bulan.''''Lamaan, Mbak. Saya baru ke sini belum sempat sebulan. Dulu pernah, tapi sudah beberapa tahun yang lalu waktu Leo belum satu taun umurnya, terus pindah lagi ke kota se
Aku berlari kencang setelah turun dari motor ojek yang baru saja mengantarku. Aku mendapatkan kabar dari Rizki kalau mama dibawa ke rumah sakit, tentunya aku bergegas mendatangi.“Suster, pasien atas nama Ibu Sari,” tanyaku ngos-ngosan pada salah seorang suster.Suster sibuk membuka buku catatannya. “Iya, Ibu Sari ada di ruangan B. Sebelah kanan, Bu.”“Makasih, Suster,” ucapku lalu bergegas pergi menuju ruangan yang disebutkan oleh suster.Sesampainya di ruangan, ada Rizki dan juga Kak Andin yang sedang mondar-mandir di depan ruangan dengan pintu yang tertutup rapat. Wajah keduanya tiada terukir kebahagiaan sedikitpun, hanya kesuraman yang dapat kulihat dari pancaran wajah mereka. Aku mendekati Kak Andin yang sedang terpaku menatap lantai dengan tatapan kosong. “Kak, Mama kenapa?” tanyaku perlahan.Bulir bening akhirnya jatuh membasahi pipinya, dia langsung saja memelukku. Aku mengusap rambutnya yang tergerai tanpa ikat itu dengan keadaan hati yang tak karuan.“Ini semua salah aku, Na
"Mamaku nanyain kamu," ungkap Rizki. "Maaf ya, Riz. Malah gagal jadinya.""Bukan salah kamu, Nay. Memang sudah takdirnya." Rizki memeggenggam tanganku lembut. "Oh iya, motormu mana? Tadi ke sini pakai apa?" "Tadi, aku ke sini pakai ojek. Motor aku titipin sama orang." Rizki mengangguk saja. ***Aku berdecit lesu. Duduk merenung di bawah gumpalan awan malam yang berusaha menutupi cahaya bulan malam ini. Teringat jumlah nominal yang harus dikeluarkan untuk biaya operasi Mama. Seratus juta bukanlah biaya yang rendah, apalagi untuk orang dengan penghasilan puluhan ribu perhari ini. Jangankan seratus juta, satu juta saja sangat jarang aku temukan sekarang, hampir tidak ada. Aku memungut sisa-sisa kenangan indah yang berusaha kucari dalam kehidupanku yang telah lalu untuk membuatku sedikit merasa bahagia meski hanya secuil dan lewat ingatan saja, namun tak ada satu pun kenangan indah yang tidak membuatku mengingat hal yang tidak ingin aku ingat. Hampir setiap momen bahagiaku ada pada M
Aku pulang ke rumah untuk mandi. Di rumah, aku tidak menemukan Kak Andin. Dia tidak pulang ke rumah. Aku masuk ke kamar untuk mengambil handukku, saat aku ingin melenggang pergi aku tanpa sengaja menyenggol gelas kaca yang ada di atas meja. Bark, jatuh. Pecah berhamburan di lantai. “Astaga. Namabh kerjaan aja.” Aku dengan terpaksa membersihkan pecahan gelas tersebut. “Aw,” jeritku karena tanpa sengaja pecahan kecil menusuk jari telunjukku.Aku langsung membasuh jari telunjukku pakai air, menghilangkan aliran darahnya. "Pertanda apa ini?" gumamku. Aku langsung mencari ponselku, prasangka buruk di hati kini mencekat niatku untuk mandi. Aku bergegas menelpon Kak Andin, masih tetap sama tidak ada jawaban. "Kak, kamu di mana sih?" "Apa jangan-jangan, Kak Andin ke tempat Leo?" pikirku. Motorku sudah ada di pelatar rumah, Rizki sudah menyuruh orang untuk mengantarkan motorku ke rumah. Aku bergegas beranjak menuju apartemen yang ada di pertigaan. Gerbang dikunci, begitu pun pintu y
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba
Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.
Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "
Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa cinta dengan perempuan lain selain kamu, Sayang." Budi mengecup kening Nia. Sebulan setelah menikah, kabar gembira datang. Sinta sedang mengandung. Kabar bahagia itu sebenarnya adalah kabar paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang merelakan suaminya dengan perempuan lain. "Aku selalu bersama Nia, membantunya berobat sampai ia sembuh. Aku yakin, dia pasti sembuh. Pengobatan tidak sebentar, memakan waktu yang sangat lama namun Nia tidak pernah menyerah. Saat mendengar kabar jika Sinta telah melahirkan seorang putri, keadaan Nia membaik. Aku tidak tahu seperti apa kuatnya hati Nia, aku tidak mengerti bagaimana ia sangat kuat menelan pahitnya kecemburuan." "Setelah Sinta melahirkan, Budi semakin jarang pulang ke rumah untuk menemui Nia. Aku semakin prihatin dengan keadaan Nia, namun Nia seratus persen percaya pada suaminya." "Nia, hari ini kamu harus ke rumah sakit lagi buat periksa sama dokter. Gimana, Budi pulang hari ini?" Nia menggengg
"Siapa dia, siapa orang yang ada dalam foto tersebut?" tanyaku. "Ia Nia. perempuan berambut sebahu yang cantik dan lemah lembut. Aku, Nia dan Sinta ibumu dulunya tiga sekawan." Aku terperanjat. "Apa, tiga sekawan?" ujarku tak percaya. "Benar. Sejak sekolah, kami bertiga selalu bersama. Hingga akhirnya waktu kelulusan SMP kami bertiga terpisah, aku pindah ke kota yang jauh dari sini. Tinggalah Nia dan Sinta, mereka tetap bersama. Setelah puluhan tahun aku kembali ke kota ini, namun aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka karena aku telah hidup dalam rumah tanggaku." Suara Tante tiba-tiba berubah, sepertinya ia menahan tangisnya. "Sekian lamanya, aku merindukan mereka namun apalah daya aku malu jika harus bertemu mereka dengan kondisi menyedihkanku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku menikah dengan lelaki miskin yang tidak berguna. Kehidupan kami susah, aku menikah di umur yang terbilang masih muda dan aku harus menanggung betapa beratnya kehidupan rumah tangga yang tidak
"Enak banget ya kamu numpang hidup mewah sama keponakanku." Tante duduk di sofa dengan santai. Aku memilih untuk tak menanggapi, rasanya berada di sini membuatku terbakar raga dan hati. Aku bersiap untuk melenggang pergi meninggalkannya sendiri."Eh, mau ke mana kamu?" cegat tante. "Mau istirahat Tante, Mas Adji bilang Naya harus istirahat di kamar sekarang." "Enak aja. Nggak bisa gitu dong. Sini dulu, pijitin kaki aku!" Tante menepuk-nepuk kakinya. "Cepetan!""Nggak mau, pijit saja sendiri." Aku melanjutkan langkah kakiku."Oke, kamu mau aku melakukan hal yang tidak-tida ke ibumu?" ancamannya membuatku kembali berhenti. Aku membalikkan badanku cepat. "Jangan berani melukai mama, Naya nggak akan segan-segan melakukan hal buruk pada tante." "Coba aja kalau bisa. Heh, emangnya kamu bisa apa?" "Naya bisa bilang ke polisi kalau tante mencoba melakukan pembunuhan.""Kata siapa, mana buktinya? Oh, kamu mau kakak sama ibumu celaka, gitu? Kalau kamu mau, aku bisa eksekusi mereka berdua