Sebagaimana kebiasaannya, Saroh berangkat untuk pencarian nafkah ketika pagi masih menyatu dengan pukul delapan. Dia mengawalinya dengan gairah maksimum. Taksi online menjadi moda transportasinya. Satu-satunya aktivitas Saroh di kantornya ialah pengarahan singkat mengenai proyek penanggulangan bencana alam. Program yang digarap adalah perwujudan perlindungan sekolah dari bahaya bencana alam di Kota Bogor. Ia terlibat dalam pelaksanaan program tersebut. Sesudah pengarahan singkat berakhir, Saroh serta kolega-koleganya mengunjungi kantor BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Bogor. BPBD Kota Bogor merupakan mitra kerja dalam proyek tersebut. Saroh, kolega-koleganya, serta para pegawai BPBD Kota Bogor menggelar sebuah rapat. Hal yang dibahas adalah rancangan peraturan-peraturan yang terkait dengan proyek tersebut. Rapat berlangsung hingga jam makan siang. Sehabis bersantap siang, Saroh serta kolega-koleganya menghadiri seminar pendidikan di Kampus Institut Pertanian
"HABIS INI KITA KE MANA?" ulang Saroh kesal. "Kalem sedikit, Say ...," sahut Arung pelan. Dia mengusulkan, “Bagaimana kalau kita ke Es Teler 77?” Tanpa berpikir panjang, Saroh menyetujui usul Arung. Arung menggenggam erat telapak tangan Saroh. Mereka berjalan menuju lantai pertama. Di atas tangga eskalator, keduanya bersepakat. Mereka berdua akan mengunjungi Toko Buku Gramedia ini pada hari-hari esok. Sesampainya di gerai Es Teler 77, Saroh dan Arung langsung memesan menu. Mereka menempati kursi di pojok ruangan. "Kapan kamu lanjut kuliah S2?" Arung memulai obrolan baru. Bahu Saroh terangkat. Saroh belum dapat menentukan tahun studi pasca sarjananya. Bisa tahun ini, bisa juga tahun berikutnya. Sebab keseharian Saroh dicengkeram oleh kesibukan pekerjaan. Konsentrasi Saroh tercurahkan untuk aktivitas di kantornya. "Kamu kuliah S2 di kampus aku aja," Arung menganjurkan. Dia mengutarakan alasan, "Kuliah di Stanford Graduate School of Business sanga
Sebuah kabar tentang Musyawarah Tingkat Nasional (Mutingnas) Apwimesia bertengger di deretan berita populer di seluruh media daring. Seorang anak pejabat tinggi negara terpilih sebagai Ketua Umum BPP Apwimesia. Dia menundukkan dua pesaingnya hanya dengan satu putaran. Dua pesaingnya bukan anak pejabat maupun taipan. Cuma pengusaha muda biasa. Menurut sumber terpercaya, sang anak pejabat tinggi negara menerapkan praktik jual beli suara dalam Mutingnas Apwimesia. Dia menyuap pemilik suara, yaitu para Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Apwimesia yang tersebar di berbagai provinsi. Uang suap berasal dari kas internal beberapa BUMN. Para pemilik suara mengantongi uang suap setelah Mutingnas usai, satu jam sebelum mereka pulang ke daerah masing-masing. Para pemilik suara bersedia menerima uang suap karena kondisi bisnisnya belum mapan. Penghasilan mereka masih berproses. Sulit membuktikan keberadaan praktik jual beli suara tersebut. Karena transfer uang dan kwitansi pembayaran tia
Kendaraan Pinto menjauhi rumah Ardan. Melaju secara kencang. Melintasi jalan-jalan yang tadi dilewati. Pinto dan kendaraan yang mengangkutnya balik ke komplek perumahan dinas anggota DPR RI. "Woooiii ... Mas Pinto!" pekik Bisma ketika mendapati siluet Pinto di beranda depan rumah dinasnya. Pinto menoleh ke Bisma. "Tumben kamu dateng ke sini malem-malem," Bisma berbasa-basi. "Iya. Maaf ya, Mas. Saya mengganggu jam kelonan Mas Bisma," canda Pinto dengan muka kuyu. Bisma mengakak. "Nggak usah minta maaf. Orang kamu nggak salah," tepis Bisma. "Jam segini saya belum kelonan sama istri saya. Lagian, istri saya tidur di rumah pribadi saya," sambungnya menegaskan. Ia menyilakan, "Ayo, kita masuk ke dalem." Dia menggapai bahu Pinto dan merangkulnya. Mereka melangkahkan kaki bersama ke ruang tamu. Di ruang tamu, Pinto melakukan hal yang sama persis dengan hal yang dilakukannya di rumah Ardan. Diamenceritakan perintah Woro Supriyanto, alasan di balik perintah
Celotehan Monik Okky memuat kerinduannya terhadap Pinto. Ingin sekali ia menemui Pinto. Saling berbagi buah tutur. Bertukar cerita menarik. Namun sayang, Monik Okky tersandera oleh jadwal padat. Kerinduan Monik Okky simetris dengan hasrat Pinto. Pinto terlalu ingin berada di sisi Monik Okky. Menikmati laku agung Monik Okky tanpa penghalang. Secara langsung merasakan kilau aura Monik Okky. Pinto enggan mengungkapkan hasratnya. Apabila Pinto mengungkapkan hasratnya, niscaya sangkaan keliru Monik Okky muncul. Dijamin, Pinto dilanda oleh kerepotan. Dia wajib mencurahkan isi perasaan sejatinya. Sudah tentu merembesi penawar kepahitan di sanubari Monik Okky. "Aku ada schedule di lokasi biasa hari Sabtu sore," Monik Okky mengabarkan rutinitasnya. "Kalau Kak Pinto pengin dateng, dateng aja." Pinto memahami kalimat terakhir Monik Okky. Monik Okky mengirimkan kode tersirat kepadanya. Jari tengah Pinto menggosok jidat. "Di situ ada wartawan, nggak? Kalau ada, wartawan be
Berdasarkan pesan WA yang Pinto baca, Mas Ondi dan Mas Gagan tengah bercengkerama di lobi Hotel Ritz Carlton. Mas Ondi mengenakan kemeja berwarna abu-abu. Mas Gagan menutupi tubuh bagian atasnya dengan kemeja batik berwarna cokelat tua. Di hotel yang sama, Pinto menebar pandangannya ke tiap sudut lobi. Ia menyapu para wanita. Memusatkan pria-pria berkemeja. Perhatiannya tertumbuk pada dua lelaki yang sedang berbincang lepas. Pinto yakin betul, merekalah manusia yang bersiap menyambut kedatangannya. Tanpa komando, Pinto berjalan menuju mereka. “Permisi … Nama Mas berdua, Mas Ondi sama Mas Gagan?” tanya Pinto hati-hati. Perbincangan mereka berdua terhenti. Kemudian, mengangguk bersamaan. Salah satu dari keduanya menyahut, “Anda pasti Pak Pinto.” Mulut Pinto melongo. Tidak mengira bahwa laki-laki itu mengetahui namanya. Pinto lantas menanyakan penyebab orang tersebut tahu namanya. “Seluruh warga Indonesia juga tahu nama Anda Pinto!” ceplos orang kedua. “Anda
Kendaraan Pinto menjauhi rumah Ardan. Melaju secara kencang. Melintasi jalan-jalan yang tadi dilewati. Pinto dan kendaraan yang mengangkutnya balik ke komplek perumahan dinas anggota DPR RI. "Woooiii ... Mas Pinto!" pekik Bisma ketika mendapati siluet Pinto di beranda depan rumah dinasnya. Pinto menoleh ke Bisma. "Tumben kamu dateng ke sini malem-malem," Bisma berbasa-basi. "Iya. Maaf ya, Mas. Saya mengganggu jam kelonan Mas Bisma," canda Pinto dengan muka kuyu. Bisma mengakak. "Nggak usah minta maaf. Orang kamu nggak salah," tepis Bisma. "Jam segini saya belum kelonan sama istri saya. Lagian, istri saya tidur di rumah pribadi saya," sambungnya menegaskan. Ia menyilakan, "Ayo, kita masuk ke dalem." Dia menggapai bahu Pinto dan merangkulnya. Mereka melangkahkan kaki bersama ke ruang tamu. Di ruang tamu, Pinto melakukan hal yang sama persis dengan hal yang dilakukannya di rumah Ardan. Diamenceritakan perintah Woro Supriyanto, alasan di balik perintah
Perintah Woro Supriyanto mengusik ketenteraman Pinto. Semisal hantu yang terus menghantui Pinto. Ke manapun raga Pinto bergerak, perintah Woro Supriyanto tetap membayangi Pinto. Di dalam keramaian, Pinto merasakan kesepian. Sendirian merenungkan perintah Woro Supriyanto. Selain itu, perintah Woro Supriyanto mengaduk-aduk benak Pinto. Membuat Pinto berkecamuk sekaligus pusing tujuh keliling. Pinto bingung, tindakan apa yang mesti diambil. Ia enggan menangisi kekhilafan yang diperbuat. Takut terhadap kesalahan yang mengacaukan kehidupannya. Terlebih, perintah Woro Supriyanto menentukan masa depan asmaranya. Pinto sukar menilai apakah perintah Woro Supriyanto tepat atau keliru. Dia bukan pakarnya. Yang jelas, Pinto memikul kegalauan. Sekiranya dibiarkan, kegalauan tersebut mungkin menjelma menjadi kekalutan. Memang, Woro Supriyanto telah membeberkan alasan di balik perintahnya kepada Pinto. Ditambah celotehan Yeni Supriyanto yang menepatkan alasan Woro Supriyanto. Namun, P