"Maaf, Sayang, aku terlambat datang. Ada masalah di kantor tadi dan terpaksa aku harus mengurusnya terlebih dahulu. Sekali lagi, maafkan aku, ya." Riko mendekati istrinya dan meminta maaf. Dia baru datang setelah waktu menunjukkan pukul dua siang. "Iya ...." Naila hanya menjawabnya dengan singkat. Seandainya marah pun juga takada gunanya. "Tadi Hanna sudah kirim pesan padaku, katanya sore ini sudah boleh pulang. Apa kamu sudah tak pusing lagi?" tanya Riko sambil mengelus kepala Naila yang tertutup jilbab. "Aku akan semakin pusing kalau kelamaan di sini. Apalagi sendirian, nggak ada teman. Sekarang pun aku sudah siap, semua sudah aku rapikan, jadi kita bisa langsung pulang." Naila menunjuk ke arah tas yang ada di sofa. "Maafkan aku, Sayang. Besok aku janji akan menemanimu seharian." Riko tahu Naila kecewa. "Semoga saja ...." Naila tak terlalu berharap karena dia mengerti Riko benar-benar sibuk akhir-akhir ini. "Kita tu
"Sudahlah, Sayang. Istirahtlah, wajahmu masih pucat. Kita lanjutkan pembahasan Sarah nanti saja kalau aku sudah bertemu dengannya." Riko berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Sarah. "Baiklah, setelah kamu bertemu dengannya, pasti kamu akan sependapat denganku, Mas." Naila sangat yakin dengan penilaiannya tentang Sarah. "Semoga saja ... aku juga ingin kakakku bahagia dan memiliki istri yang shalihah. Aku juga yakin dengan pilihanmu. Sekarang istirahatlah dulu, aku akan ke ruang perpustakaan sebentar," pamit Riko pada Naila. "Hemm ... nanti lupa waktu kalau sudah megang laptop ...." Naila pun kembali cemberut. Akhir-akhir ini Riko selalu lupa waktu kalau sudah mengurus pekerjaan. Riko tersenyum melihat Naila yang langsung cemberut. Dia pun mendekati Naila dan menggodanya. "Megang kamu juga belum boleh, kan?""Idih, apaan, sih, kamu, Mas. Sudah sana, jangan dekat-dekat." Naila tersenyum malu dengan ucapan suaminya. Dia lalu mendo
"Mas, Sabtu besok, aku mau jalan-jalan sama Kak Sarah ke mall. Boleh, nggak?" tanya Naila pada Riko setelah selesai makan malam. "Baiklah, Sayang. Pulangnya jangan terlalu malam, ya? Keadaanmu bagaimana?" Riko pun menanyakan keadaan istrinya. Beberapa minggu ini dia sibuk di luar kota. "Alhamdulillah aku sudah sangat sehat, 'kan sudah dua bulan lebih. Selama ini Kak Sarah yang beberapa kali ke sini menemaniku. Aku jenuh di rumah, Mas. Apalagi kamu sering ke luar kota." Naila pun cemberut tapi tak bisa protes dengan kesibukan suaminya. "Iya, Sayang. Maafkan aku, insyaa Allah bulan depan aku akan mengambil cuti. Kita berbulan madu, ya?" Ucapan Riko membuat bola mata Naila berbinar. "Ke mana, Mas?" "Kamu maunya ke mana?""Nggak usah jauh-jauh, Mas. Ke Malang saja juga nggak apa-apa. Di sana banyak tempat wisata pantai yang indah." Naila pun menyampaikan keinginannya. "Nggak ingin ke Bali?" tanya Riko. "
"Kak, di luar ada dua orang berbadan tinggi besar mencari Kakak. Sepertinya mereka debt collector, deh. Apa Kakak punya hutang?" Sarah bertanya pada Yakub yang sedang bersiap pergi bekerja. Pagi ini mereka kedatangan dua orang tamu tak diundang. "Hutang apa? Kamu tahu sendiri, kalau aku nggak pernah hutang di bank. Aku kemarin terpaksa menjaminkan sertifikat rumah kita 'kan juga karena dipinjami sama Irfan dan pinjamannya juga tanpa bunga." Yakub terkejut dengan ucapan Sarah. "Ya sudah, temui mereka dulu, Kak. Aku penasaran ada perlu apa mereka."Sarah dan Yakub menemui dua orang yang sedang duduk di ruang tamu. Yakub pun penasaran dengan kedatangan mereka. Sementara Sarah perasaannya tiba-tiba gelisah. "Maaf, dengan Saudara Yakub?""Iya, saya sendiri. Ada apa, ya?""Kami berdua dari Bank Nusantara. Kami hanya ingin mengingatkan bahwa saat ini pinjaman Saudara sudah jatuh tempo.""Maaf, pinjaman apa? Sa
"Sarah ... Sarah ... mana mau Naila dengan perabot tua seperti itu? Mereka itu orang kaya, pasti kalau beli perabotan yang model baru, yang lebih modern. Ayo, kita pulang, sudah mau maghrib."Sarah tak membalas ucapan Yakub dan dia pun berjalan mengikuti langkah kakaknya. Sarah tahu, perasaan Yakub saat ini diselimuti oleh rasa bersalah yang amat sangat. Dia hanya ingin membantu meringankan beban kakaknya. Mereka berdua bukan lahir dari orang tua yang kaya raya. Orang tua mereka sederhana tapi selalu mencukupi semua kebutuhan anak-anaknya dan tak pernah berhutang. Akan tetapi, pada akhirnya mereka terpaksa harus merelakan rumah peninggalan orang tua karena hutang, meskipun alasannya karena penipuan. Walaupun dalam hati tak rela tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Uang ratusan juta tak sedikit jumlahnya padahal Yakub diberi pinjaman sahabatnya hanya puluhan juta saja. Setelah sampai di rumah, mereka segera melaksanakan kewajiban tiga rakaat be
"Maaf, bukan begitu maksudku, Naila. Kamu jangan salah paham. Kami hanya tak ingin merepotkanmu, itu saja." Sarah mengelus punggung tangan Naila dengan lembut sambil tersenyum. "Kak, kalian sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri. Aku dari kecil tak pernah punya saudara. Teman juga tidak banyak, hanya beberapa yang mau berteman denganku. Kalau ada masalah, ceritalah padaku, siapa tahu aku bisa membantu," ucap Naila dengan ekspresi wajah sedih. "Tadinya aku mau minta tolong padamu agar mau membeli perabotan peninggalan orang tuaku, Naila. Uangnya biar bisa buat tambahan sewa rumah. Tapi Kak Yakub nggak setuju. Kami juga nggak mau merepotkanmu," sahut Sarah berterus terang. "Besok ikut aku ke bank, ya. Aku akan melunasi semua hutang kalian." Naila tersenyum lalu menggenggam lembut tangan Sarah. "Jangan, Naila. Kami nggak mau punya hutang lagi. Kalau pun diangsur tiap bulan, berapa yang harus kami bayar?" Sarah tak enak hati. Dia pun yaki
Sementara itu, di sebuah ruangan kantor di dalam gedung megah, Riko masih berkutat dengan pekerjaannya. Hari ini banyak sekali berkas-berkas yang harus disiapkan, diperiksa dan ditanda tanganinya. Semenjak pagi hingga sore, dia juga memantau langsung ke lokasi proyek yang sedang dia kerjakan. Rasa lelah tampak di wajah tampannya. Bahkan dia sampai lupa dengan ponselnya yang mati kehabisan baterai. "Pak, sudah malam. Sebaiknya kita lanjutkan saja besok." Irwan--asisten sekaligus sopir pribadi Riko, merasa kasihan melihat sang majikan yang terlihat lelah. "Maaf, Irwan. Kalau kamu mengantuk, tidurlah dulu di sofa. Aku akan menyelesaikan semua dokumen ini biar besok bisa pulang. Aku sudah rindu dengan istriku." Riko membalas ucapan Irwan tanpa memandang wajah asisten pribadinya itu. Pandangan matanya masih fokus tertuju pada dokumen yang sedang dibacanya. "Tapi Bapak belum makan malam. Apa perlu saya pesankan sekarang?" Irwan bertanya lagi, walaupun dia tahu Riko saat ini sedang fokus
"Assalamu'alaikum, Sayang. Hemm ... cantik sekali istriku hari ini. Aku benar-benar rindu.""Wa'alaikumussalaam ... aku juga rindu, Mas."Naila langsung memeluk suaminya yang sudah sampai di rumah. Riko dan Naila menuju kamar tidur mereka karena waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Riko langsung menggendong tubuh mungil istrinya, kemudian merebahkannya di ranjang. Naila mengerti apa yang diinginkan suaminya tercinta. Dia pun membalas semua sentuhan yang diberikan Riko padanya. Akan tetapi, perlakuan Riko padanya kali ini berbeda. Naila berpikir, mungkin saat ini suaminya terlalu rindu padanya. Namun, semakin lama Riko semakin kasar dan brutal. Bahkan saat ini Naila sudah tak lagi bisa menikmati surganya. Naila merasa, yang sedang bersamanya bukanlah suami yang selama ini sangat dicintainya. "Mas ... sakiittt ... tolong hentikan ...."Naila merintih dan mencoba menghentika
Ruang tamu rumah Riko telah dihias sedemikian rupa. Seorang lelaki dalam setelan jas pengantin berwarna putih telah duduk bersila di depan sebuah meja kecil.Yakub dan seorang penghulu berpeci hitam tampak berbincang akrab. Rony—sang mempelai pria, tertunduk dengan bibir komat-kamit melafalkan kalimat ijab qobul. Kedua tangannya saling remas, berkeringat, menandakan jika dirinya tengah gugup. Riko yang memperhatikan gerak-gerik Rony sedari tadi lekas menghampiri."Tenang, tarik nafas, keluarkan. Jangan sampai salah. Kalau sampai salah tiga kali, nggak jadi nikah sama Sarah."Mendengar kalimat terakhir Riko, tangan Rony memukul bahu Riko."Aku tegang malah sempat-sempatnya kamu bercanda!" Riko hanya terkekeh melihat ekspresi wajah kakaknya. Hingga beberapa menit kemudian, penghulu memberi kode bahwa acara akan segera dimulai.Ruangan mendadak hening, penghulu memulai acara dengan do'a lalu dilanjutkan dengan beberapa kalimat pembukaan, yang ditujukan kepada seluruh tamu undangan.Sem
Riko terkejut, sontak dia menoleh melihat ekspresi wajah istrinya. Naila terdiam. Sebenarnya dia sama terkejutnya dengan Riko tapi tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Naila membalas memandang Riko dengan rasa penasaran. Ada apa tiba-tiba Daffa datang ke rumah mereka? Mendengar nama Daffa disebut oleh Bi Marni, seketika semua orang turut berdiri. Namun, Riko melarang semua orang yang akan turut serta menemui Daffa."Biar saya saja sama Naila yang menemui Daffa."Riko beranjak lalu meraih tangan Naila yang tampak enggan mengikutinya. Riko paham. Dia menunduk lalu berbisik lirih di telinga Naila."Tidak apa-apa, Sayang. Aku percaya padamu."Naila mengangguk dan tersenyum mendengar sebaris kalimat yang baru saja keluar dari bibir Riko. Ada rasa hangat yang menjalar dalam hatinya, membuat kedua bola mata indahnya mengembun.Dengan lembut, Riko membelai kedua pipi Naila. Tanpa sadar, Riko melakukannya di hadapan semua orang."Maaf, ya. Jangan menangis lagi nanti cantiknya hilang."Nai
"Maaf, Mas ... aku hanya terlalu bahagia mendengar kabar ini. Aku baik-baik saja."Setelah siuman, Naila tersenyum sambil memandang kedua orang di hadapannya. Riko masih memegang erat tangannya. Sementara Sarah memijit kedua kakinya dengan lembut. Marni membawakan air madu hangat dan sepiring nasi untuk Naila."Makan dulu, Mbak. Dari kemarin Mbak Naila belum makan. Bibi masakin sayur sop daging kesukaan Mbak Naila. Jangan menyiksa diri sendiri, Mbak. Kasihan Den Riko juga, jadi ikut-ikutan nggak mau makan."Mendengar ucapan Marni, Naila langsung memandang suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Riko mengecup lembut jemari Naila dan tersenyum."Maafkan aku, Mas. Aku sudah keterlaluan," ucap Naila penuh penyesalan."Tidak, Sayang ... aku memang salah. Aku pantas mendapatkan hukuman darimu, bahkan mungkin harusnya hukumannya lebih berat dari ini. Selama kamu nggak mau makan, maka selama itu pula aku juga nggak akan makan."
"Sudahlah, ayo kita segera pergi. Kita lihat saja langsung keadaan Naila." Yakub langsung mengajak mereka segera berangkat, membuat Riko merasa lega."Ya, Kakak benar. Aku akan bersiap dulu." Sarah beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya."Jangan lama-lama, mentang-mentang ada calon suami nanti ganti bajunya nggak kelar-kelar." Yakub menggoda adiknya, membuat Rony tersenyum."Ish, Kakak ini apa-apaan, sih!" Sarah pun langsung menutup pintu kamarnya dengan kedua pipi yang merona.Mereka berangkat bersama dengan kendaraan roda duanya masing-masing. Rony bersama Riko dan Yakub berboncengan dengan Sarah. Rasa bahagia terpancar pada wajah ketiga orang itu, kecuali Riko yang sedih akibat ulahnya sendiri.Setelah sampai, Riko mengajak Sarah masuk ke kamar menemui istrinya. Terlihat oleh Riko, Naila sedang duduk di sofa dekat jendela sambil mengaji. Hanya itu kegiatan yang dilakukan Naila selama di kamar. "Sayang, lihat si
"Silakan diminum tehnya, Kak." Sarah meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja untuk Riko dan Rony. "Terima kasih, Sarah." Rony membalas ucapan Sarah sambil tersenyum. Yakub hanya memandang kedua kakak beradik itu dengan penuh tanda tanya, apalagi Naila tak ikut bersama mereka. "Maaf, Yakub, kedatangan kami ke sini, untuk meminta penjelasan dari kalian soal foto-foto ini. Naila sedang difitnah seseorang dan sekarang dia sedang sedih sampai selalu mengurung diri di kamarnya."Rony menyerahkan ponsel milik Riko pada Yakub. Sarah yang penasaran akhirnya mendekati kakaknya dan ikut melihat foto-foto yang ada di galeri ponsel milik Riko. "Ini kan foto-foto kita saat sedang di food court? Ini kita lagi di bank dan ini foto kita lagi di warung nasi rawon. Banyak sekali foto-fotonya tapi di situ kok cuma ada Naila dan Kak Yakub saja?"Sarah langsung memberi komentar mengenai foto-foto yang dilihatnya. Yakub pun langsung mengangg
Setelah pulang dari rumah sakit, Riko selalu menemani Naila di mana pun dia berada. Semua pekerjaan, diserahkan kembali pada asistennya dulu. Riko sangat mengkhawatirkan istrinya, karena sikap Naila tak seperti biasanya. Naila lebih sering melamun, duduk di sofa sambil memandang ke arah luar jendela. "Sayang ... hari ini waktunya kamu ke klinik kecantikan. Aku akan mengantarmu dan menunggumu sampai pulang. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke mall?" tanya Riko sambil mengelus lembut pipi istrinya. "Maaf, Mas, kepalaku pusing. Aku ingin di rumah saja." Naila membalas ucapan Riko tanpa memandang suaminya. "Naila, sudah beberapa minggu ini kamu selalu di rumah. Jangan mengurung diri di kamar terus dong, Sayang. Aku akan menemanimu ke mana pun kamu mau." Riko memegang lembut tangan Naila dan berusaha membujuk istrinya agar mau pergi. "Aku mau sholat dhuha dulu, ya, Mas. Maaf, Mas, aku benar-benar sedang ingin di rumah saja."Naila beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi
"Aku nggak tahu, Sayang. Aku sudah menyuruh seseorang mengecek nomer ponsel itu tapi sepertinya kartunya langsung dibuang atau mungkin dihancurkan oleh pemiliknya. " Mas, apakah penampilanku seperti seorang pezina, sampai kamu percaya dengan tuduhannya?""Astaghfirullah ... maafkan aku, Sayang. Terserah kamu mau bilang apa saja padaku, yang pasti aku menyesal. Sekali lagi, maafkan aku, Naila. Maafkan suamimu yang bodoh ini.""Aku berjanji padamu, Mas. Setelah ini, aku tak akan pergi ke mana pun sendirian, kecuali kamu yang mengajakku.""Naila ....""Tolong hargai keputusanku ini, Mas. Aku lelah dengan manusia-manusia yang terlalu mencampuri urusanku."Setelah menyampaikan keputusannya pada Riko, Naila beranjak pergi ke kamar mandi. Riko akhirnya diam dan menyesali perbuatannya. Untuk sementara, biarlah Riko menerima keputusan Naila. Mungkin lebih baik seperti ini, Naila tak akan pergi keluar rumah tanpa dirinya. R
"Bukan begitu, Pak Supri. Maaf ... jangan salah paham dulu. Saya sama sekali tidak memata-matai Naila. Saya mendapatkan foto-foto ini dari nomer yang tidak saya kenal. Justru itu, saya ingin menanyakan pada Pak Supri, apa Bapak kenal dengan laki-laki ini? Dan kenapa Naila hanya berdua saja? Ke mana Pak Supri dan Sarah?" Riko pun menjelaskan dan meminta penjelasan pada Supri. "Astaghfirullah ... ini fitnah, Den. Mbak Naila tidak berdua saja dengan Mas Yakub. Saya dan Mbak Sarah ada di sana. Kemungkinan foto ini diambil saat Mbak Sarah ke kamar mandi dan saya memang nggak pernah mau duduk satu meja dengan mereka. Saya duduk sendiri tapi tetap mengawasi Mbak Naila, Den. Saya sadar diri, saya hanya asisten rumah tangga, nggak pantas rasanya satu meja dengan majikan." Supri bicara apa adanya. "Lalu Daffa, kenapa ada di warung itu juga? Apa itu juga kebetulan?" Riko masih saja tak percaya. "Memang semua itu kebetulan, Den. Temannya Mbak Naila sedang ada janji dengan temannya di warung it
"Assalamu'alaikum, Sayang. Hemm ... cantik sekali istriku hari ini. Aku benar-benar rindu.""Wa'alaikumussalaam ... aku juga rindu, Mas."Naila langsung memeluk suaminya yang sudah sampai di rumah. Riko dan Naila menuju kamar tidur mereka karena waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Riko langsung menggendong tubuh mungil istrinya, kemudian merebahkannya di ranjang. Naila mengerti apa yang diinginkan suaminya tercinta. Dia pun membalas semua sentuhan yang diberikan Riko padanya. Akan tetapi, perlakuan Riko padanya kali ini berbeda. Naila berpikir, mungkin saat ini suaminya terlalu rindu padanya. Namun, semakin lama Riko semakin kasar dan brutal. Bahkan saat ini Naila sudah tak lagi bisa menikmati surganya. Naila merasa, yang sedang bersamanya bukanlah suami yang selama ini sangat dicintainya. "Mas ... sakiittt ... tolong hentikan ...."Naila merintih dan mencoba menghentika