"Mas ....""Aku nggak marah kok, Sayang. Itu 'kan yang mau kamu tanyakan?" tanya Riko dengan pandangan lurus ke depan."Alhamdulillah kalau begitu," jawab Naila walaupun dia tahu suaminya saat ini sedang menahan emosi."Ya, aku tahu, kamu dan dia nggak sengaja bertemu. Mulai minggu depan jangan perawatan lagi di klinik itu, nanti aku carikan klinik kecantikan yang lebih bagus lagi." Riko melanjutkan ucapannya."Mas ... katanya nggak marah? Kenapa harus pindah?" protes Naila."Sudahlah, Sayang. Aku ingin memberikan yang terbaik buat istriku. Jangan berburuk sangka dulu, aku melakukan semua ini demi kebaikanmu," kilah Riko sambil melirik sebentar ke arah Naila, lalu kembali fokus menyetir." Ya sudah, Mas, terserah kamu saja." Naila pun tak ingin melanjutkan perdebatan mereka di dalam kendaraan.Riko kembali dengan pandangannya lurus ke depan. Melajukan kendaraan roda empatnya menuju suatu tempat yang dia inginkan. Ha
"Bi Marni ... Bi Marni ... Bi Marni!" teriak Riko memanggil asisten rumah tangganya.Wanita paruh baya itu tergopoh-gopoh mendatangi Riko yang berdiri di depan pintu kamarnya. Bi Marni heran, selama ini tak pernah sekali pun tuannya memanggil dengan berteriak kencang."I-iya, Den," jawab Bi Marni sambil mengatur napasnya yang sedikit terengah-engah."Tolong lain kali kalau ada tukang paket, Bibi yang menemuinya. Jangan Naila!" perintah Riko dan langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa menunggu jawaban Bi Marni."Baik, Den," jawab Bi Marni yang tak peduli tuannya sudah tak ada di hadapannya.Bi Marni kemudian mendekati Naila yang berdiri tak jauh darinya. Menepuk lembut pundak Naila, mencoba menenangkan hati majikan wanitanya. Bi Marni sudah menganggap Naila seperti putrinya sendiri. Apalagi selama ini Naila selalu memperlakukannya dengan sangat baik, tidak seperti majikan pada pembantunya."Sabar, ya, Mbak. Itu tandanya Den Ri
Beberapa bulan telah berlalu, Rony dan Vella resmi bercerai secara negara. Vella yang tak pernah menghadiri persidangan, mempercepat proses perceraian mereka. Rony menepati janji, dia sama sekali tak mau menerima uang pemberian hasil penjualan rumah mewah mantan istrinya. Dia pun tetap tak mau bekerja di perusahaan peninggalan papanya, takut khilaf, itu salah satu alasannya. Rony benar-benar berubah, sholat lima waktu tak pernah dia tinggalkan. Hidup sederhana dan apa adanya menjadi pilihannya. Dia juga tak pernah menghiraukan beberapa wanita yang mendekatinya. Rony hanya ingin fokus bekerja dan beribadah.Saat ini Rony sedang libur di akhir pekan, berkeliling mengendarai kendaraan roda duanya sendirian. Menikmati senja di hari sabtu malam panjang. Sampai suara adzan maghrib sayup-sayup terdengar berkumandang. Rony segera mencari tempat ibadah agar bisa sholat berjama'ah. Menuju mushola kecil yang bersih dan asri di sebuah kampung yang dil
"Dasar playboy! Jangan ganggu adikku!"Rony yang tak siap dengan serangan, langsung jatuh tersungkur. Sarah berteriak marah pada kakaknya."Kak Yakub! Apa-apaan kamu! Cepat bantu dia berdiri!""Kenapa kamu bawa laki-laki ini masuk ke rumah kita? Apa kamu tahu siapa dia?" Yakub tak terima dengan teriakan adiknya."Aku nggak tahu dan nggak mau tahu urusan Kakak dengannya! Tolong bantu dia duduk dan tenangkan dirimu!" tegas Sarah yang membuat Yakub terpaksa memenuhi permintaan adiknya.Dengan malas Yakub membantu Rony yang meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Pukulan yang tiba-tiba dan begitu keras, membuat Rony harus menahan rasa nyeri. Rony pun duduk dan memandang wajah Yakub dengan rasa bersalah. Tak disangka dia bisa bertemu kembali dengan teman sekolahnya dulu yang ternyata kakaknya Sarah."Maafkan Kak Yakub, ya. Aku nggak mengerti apa permasalahan di antara kalian, bahkan aku juga nggak tahu kalau kalian berdua su
"Hey, apa yang kalian berdua lakukan?" Rony dan Naila terkejut mendengar suara teriakan Riko, Naila segera melepaskan diri dari pelukan Rony. Rasa pusing di kepalanya membuat dirinya tak menyadari apa yang terjadi. Dia segera duduk di kursi yang terdekat. Naila memandang wajah suaminya yang sudah merah dan tangannya mengepal menahan marah. Rony langsung mendekati adiknya dan menenangkannya."Riko, tolong dengarkan dulu! Semua ini bukan seperti yang kamu bayangkan, aku hanya menolong Naila. Dia tadi hampir jatuh, mungkin karena sakit."Riko memandang wajah pucat istrinya, membuat emosinya mereda. Dia pun berjalan mendekati Naila."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Riko pada Naila."Mungkin karena belum makan, kata Bi Marni tadi dia nggak mau makan sebelum kamu pulang," sahut Rony memberi penjelasan."Sayang, aku 'kan sudah bilang kalau aku pulang malam, kamu makan dulu sama Bi Marni. Jangan menunggu aku pulang! Kamu selalu sa
"Selamat, ya, Riko, Naila. Dari hasil pemeriksaan USG, kehamilan Naila sudah enam minggu. Aku akan memberikan vitamin dan penguat kandungan karena Naila pernah keguguran." Setelah melakukan pemeriksaan pada Naila, Hanna mengucapkan selamat pada mereka berdua. Riko memilih Hanna sebagai dokter kandungan istrinya. Selain Hanna sudah mengetahui keadaan Naila, Riko merasa Hanna adalah seorang dokter sekaligus teman yang dapat dipercaya. "Alhamdulillah, Ya Allah," ucap Riko sambil menggenggam erat tangan Naila. "Ini resepnya dan bulan depan kontrol lagi untuk mengetahui perkembangan janin dan ibunya.""Terima kasih, Hanna.""Sama-sama ... tolong istrinya dijaga, jangan sampai membuatnya stres. Apalagi di masa-masa awal kehamilan seperti ini, hormonnya tidak stabil. Kamu harus lebih sabar lagi, Riko.""Insyaa Allah, aku akan ingat nasihatmu. Baiklah, kalau begitu kami permisi dulu."Riko dan Naila berjalan menelusuri l
"Apa kalian berdua sudah bikin janji untuk bertemu tanpa sepengetahuanku, Naila?" Riko langsung memberikan pertanyaan pada Naila yang berdiri menyambutnya di ruang tamu. "Apa maksudmu, Mas?" Naila tak terima dengan tuduhan Riko padanya. "Jangan pura-pura, aku baru saja melihatmu bicara dengan temanmu yang sok ganteng itu!" teriak Riko yang sudah dikuasai emosi karena cemburu. "Astaghfirullah, aku nggak sengaja bertemu dengannya, Mas," jawab Naila yang tak mengira suaminya bisa semarah itu. "Kenapa selalu tak sengaja? Padahal jarak rumah dan restorannya jauh dari perumahan tempat tinggal kita." Riko semakin tak bisa mengendalikan emosinya. Api cemburu telah menutup mata hatinya. "Aku nggak tahu, Mas. Aku hanya berniat membeli es teler dan sewaktu mau pulang dia sudah di situ, aku sama sekali tak ada niat ketemuan sama dia." Naila berusaha menjelaskan dengan sabar, tak ingin memperkeruh suasana. "Aku 'kan sudah bila
"Cari sampai ketemu atau aku nggak akan mau maafin kamu, Mas!""Astaghfirullah ... minta yang lainnya, ya, Sayang? Apa aja ... yang penting jangan yang itu. Aku bingung mau cari di mana?" Riko mencoba merayu istrinya yang sedang marah. "Nggak mau! Pokoknya aku mau lihat undangan pernikahannya Eva!" sahut Naila tak mau kalah. "Baiklah, tapi besok, ya, Sayang. Aku akan cari di kantor, sepertinya aku simpan di laci meja kerjaku. Aku janji besok aku bawakan undangannya." Riko akhirnya mengalah dan berharap undangan itu belum dibuangnya. "Janji, ya?""Insyaa Allah, begitu undangannya ketemu, aku langsung pulang." "Oke ... awas kalau bohong! Ya, sudah, aku mau tidur. Jangan ganggu aku!" "Sayang ... kok begitu?""Aku ngantuk!"Riko hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Naila yang di depannya bukan lagi Naila yang biasanya. Dia pun teringat pesan Hanna, agar lebih bersabar karena hormon wanita yang hamil muda akan mempengaruhi jiwanya
Ruang tamu rumah Riko telah dihias sedemikian rupa. Seorang lelaki dalam setelan jas pengantin berwarna putih telah duduk bersila di depan sebuah meja kecil.Yakub dan seorang penghulu berpeci hitam tampak berbincang akrab. Rony—sang mempelai pria, tertunduk dengan bibir komat-kamit melafalkan kalimat ijab qobul. Kedua tangannya saling remas, berkeringat, menandakan jika dirinya tengah gugup. Riko yang memperhatikan gerak-gerik Rony sedari tadi lekas menghampiri."Tenang, tarik nafas, keluarkan. Jangan sampai salah. Kalau sampai salah tiga kali, nggak jadi nikah sama Sarah."Mendengar kalimat terakhir Riko, tangan Rony memukul bahu Riko."Aku tegang malah sempat-sempatnya kamu bercanda!" Riko hanya terkekeh melihat ekspresi wajah kakaknya. Hingga beberapa menit kemudian, penghulu memberi kode bahwa acara akan segera dimulai.Ruangan mendadak hening, penghulu memulai acara dengan do'a lalu dilanjutkan dengan beberapa kalimat pembukaan, yang ditujukan kepada seluruh tamu undangan.Sem
Riko terkejut, sontak dia menoleh melihat ekspresi wajah istrinya. Naila terdiam. Sebenarnya dia sama terkejutnya dengan Riko tapi tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Naila membalas memandang Riko dengan rasa penasaran. Ada apa tiba-tiba Daffa datang ke rumah mereka? Mendengar nama Daffa disebut oleh Bi Marni, seketika semua orang turut berdiri. Namun, Riko melarang semua orang yang akan turut serta menemui Daffa."Biar saya saja sama Naila yang menemui Daffa."Riko beranjak lalu meraih tangan Naila yang tampak enggan mengikutinya. Riko paham. Dia menunduk lalu berbisik lirih di telinga Naila."Tidak apa-apa, Sayang. Aku percaya padamu."Naila mengangguk dan tersenyum mendengar sebaris kalimat yang baru saja keluar dari bibir Riko. Ada rasa hangat yang menjalar dalam hatinya, membuat kedua bola mata indahnya mengembun.Dengan lembut, Riko membelai kedua pipi Naila. Tanpa sadar, Riko melakukannya di hadapan semua orang."Maaf, ya. Jangan menangis lagi nanti cantiknya hilang."Nai
"Maaf, Mas ... aku hanya terlalu bahagia mendengar kabar ini. Aku baik-baik saja."Setelah siuman, Naila tersenyum sambil memandang kedua orang di hadapannya. Riko masih memegang erat tangannya. Sementara Sarah memijit kedua kakinya dengan lembut. Marni membawakan air madu hangat dan sepiring nasi untuk Naila."Makan dulu, Mbak. Dari kemarin Mbak Naila belum makan. Bibi masakin sayur sop daging kesukaan Mbak Naila. Jangan menyiksa diri sendiri, Mbak. Kasihan Den Riko juga, jadi ikut-ikutan nggak mau makan."Mendengar ucapan Marni, Naila langsung memandang suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Riko mengecup lembut jemari Naila dan tersenyum."Maafkan aku, Mas. Aku sudah keterlaluan," ucap Naila penuh penyesalan."Tidak, Sayang ... aku memang salah. Aku pantas mendapatkan hukuman darimu, bahkan mungkin harusnya hukumannya lebih berat dari ini. Selama kamu nggak mau makan, maka selama itu pula aku juga nggak akan makan."
"Sudahlah, ayo kita segera pergi. Kita lihat saja langsung keadaan Naila." Yakub langsung mengajak mereka segera berangkat, membuat Riko merasa lega."Ya, Kakak benar. Aku akan bersiap dulu." Sarah beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya."Jangan lama-lama, mentang-mentang ada calon suami nanti ganti bajunya nggak kelar-kelar." Yakub menggoda adiknya, membuat Rony tersenyum."Ish, Kakak ini apa-apaan, sih!" Sarah pun langsung menutup pintu kamarnya dengan kedua pipi yang merona.Mereka berangkat bersama dengan kendaraan roda duanya masing-masing. Rony bersama Riko dan Yakub berboncengan dengan Sarah. Rasa bahagia terpancar pada wajah ketiga orang itu, kecuali Riko yang sedih akibat ulahnya sendiri.Setelah sampai, Riko mengajak Sarah masuk ke kamar menemui istrinya. Terlihat oleh Riko, Naila sedang duduk di sofa dekat jendela sambil mengaji. Hanya itu kegiatan yang dilakukan Naila selama di kamar. "Sayang, lihat si
"Silakan diminum tehnya, Kak." Sarah meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja untuk Riko dan Rony. "Terima kasih, Sarah." Rony membalas ucapan Sarah sambil tersenyum. Yakub hanya memandang kedua kakak beradik itu dengan penuh tanda tanya, apalagi Naila tak ikut bersama mereka. "Maaf, Yakub, kedatangan kami ke sini, untuk meminta penjelasan dari kalian soal foto-foto ini. Naila sedang difitnah seseorang dan sekarang dia sedang sedih sampai selalu mengurung diri di kamarnya."Rony menyerahkan ponsel milik Riko pada Yakub. Sarah yang penasaran akhirnya mendekati kakaknya dan ikut melihat foto-foto yang ada di galeri ponsel milik Riko. "Ini kan foto-foto kita saat sedang di food court? Ini kita lagi di bank dan ini foto kita lagi di warung nasi rawon. Banyak sekali foto-fotonya tapi di situ kok cuma ada Naila dan Kak Yakub saja?"Sarah langsung memberi komentar mengenai foto-foto yang dilihatnya. Yakub pun langsung mengangg
Setelah pulang dari rumah sakit, Riko selalu menemani Naila di mana pun dia berada. Semua pekerjaan, diserahkan kembali pada asistennya dulu. Riko sangat mengkhawatirkan istrinya, karena sikap Naila tak seperti biasanya. Naila lebih sering melamun, duduk di sofa sambil memandang ke arah luar jendela. "Sayang ... hari ini waktunya kamu ke klinik kecantikan. Aku akan mengantarmu dan menunggumu sampai pulang. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke mall?" tanya Riko sambil mengelus lembut pipi istrinya. "Maaf, Mas, kepalaku pusing. Aku ingin di rumah saja." Naila membalas ucapan Riko tanpa memandang suaminya. "Naila, sudah beberapa minggu ini kamu selalu di rumah. Jangan mengurung diri di kamar terus dong, Sayang. Aku akan menemanimu ke mana pun kamu mau." Riko memegang lembut tangan Naila dan berusaha membujuk istrinya agar mau pergi. "Aku mau sholat dhuha dulu, ya, Mas. Maaf, Mas, aku benar-benar sedang ingin di rumah saja."Naila beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi
"Aku nggak tahu, Sayang. Aku sudah menyuruh seseorang mengecek nomer ponsel itu tapi sepertinya kartunya langsung dibuang atau mungkin dihancurkan oleh pemiliknya. " Mas, apakah penampilanku seperti seorang pezina, sampai kamu percaya dengan tuduhannya?""Astaghfirullah ... maafkan aku, Sayang. Terserah kamu mau bilang apa saja padaku, yang pasti aku menyesal. Sekali lagi, maafkan aku, Naila. Maafkan suamimu yang bodoh ini.""Aku berjanji padamu, Mas. Setelah ini, aku tak akan pergi ke mana pun sendirian, kecuali kamu yang mengajakku.""Naila ....""Tolong hargai keputusanku ini, Mas. Aku lelah dengan manusia-manusia yang terlalu mencampuri urusanku."Setelah menyampaikan keputusannya pada Riko, Naila beranjak pergi ke kamar mandi. Riko akhirnya diam dan menyesali perbuatannya. Untuk sementara, biarlah Riko menerima keputusan Naila. Mungkin lebih baik seperti ini, Naila tak akan pergi keluar rumah tanpa dirinya. R
"Bukan begitu, Pak Supri. Maaf ... jangan salah paham dulu. Saya sama sekali tidak memata-matai Naila. Saya mendapatkan foto-foto ini dari nomer yang tidak saya kenal. Justru itu, saya ingin menanyakan pada Pak Supri, apa Bapak kenal dengan laki-laki ini? Dan kenapa Naila hanya berdua saja? Ke mana Pak Supri dan Sarah?" Riko pun menjelaskan dan meminta penjelasan pada Supri. "Astaghfirullah ... ini fitnah, Den. Mbak Naila tidak berdua saja dengan Mas Yakub. Saya dan Mbak Sarah ada di sana. Kemungkinan foto ini diambil saat Mbak Sarah ke kamar mandi dan saya memang nggak pernah mau duduk satu meja dengan mereka. Saya duduk sendiri tapi tetap mengawasi Mbak Naila, Den. Saya sadar diri, saya hanya asisten rumah tangga, nggak pantas rasanya satu meja dengan majikan." Supri bicara apa adanya. "Lalu Daffa, kenapa ada di warung itu juga? Apa itu juga kebetulan?" Riko masih saja tak percaya. "Memang semua itu kebetulan, Den. Temannya Mbak Naila sedang ada janji dengan temannya di warung it
"Assalamu'alaikum, Sayang. Hemm ... cantik sekali istriku hari ini. Aku benar-benar rindu.""Wa'alaikumussalaam ... aku juga rindu, Mas."Naila langsung memeluk suaminya yang sudah sampai di rumah. Riko dan Naila menuju kamar tidur mereka karena waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Riko langsung menggendong tubuh mungil istrinya, kemudian merebahkannya di ranjang. Naila mengerti apa yang diinginkan suaminya tercinta. Dia pun membalas semua sentuhan yang diberikan Riko padanya. Akan tetapi, perlakuan Riko padanya kali ini berbeda. Naila berpikir, mungkin saat ini suaminya terlalu rindu padanya. Namun, semakin lama Riko semakin kasar dan brutal. Bahkan saat ini Naila sudah tak lagi bisa menikmati surganya. Naila merasa, yang sedang bersamanya bukanlah suami yang selama ini sangat dicintainya. "Mas ... sakiittt ... tolong hentikan ...."Naila merintih dan mencoba menghentika