"Cari sampai ketemu atau aku nggak akan mau maafin kamu, Mas!""Astaghfirullah ... minta yang lainnya, ya, Sayang? Apa aja ... yang penting jangan yang itu. Aku bingung mau cari di mana?" Riko mencoba merayu istrinya yang sedang marah. "Nggak mau! Pokoknya aku mau lihat undangan pernikahannya Eva!" sahut Naila tak mau kalah. "Baiklah, tapi besok, ya, Sayang. Aku akan cari di kantor, sepertinya aku simpan di laci meja kerjaku. Aku janji besok aku bawakan undangannya." Riko akhirnya mengalah dan berharap undangan itu belum dibuangnya. "Janji, ya?""Insyaa Allah, begitu undangannya ketemu, aku langsung pulang." "Oke ... awas kalau bohong! Ya, sudah, aku mau tidur. Jangan ganggu aku!" "Sayang ... kok begitu?""Aku ngantuk!"Riko hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Naila yang di depannya bukan lagi Naila yang biasanya. Dia pun teringat pesan Hanna, agar lebih bersabar karena hormon wanita yang hamil muda akan mempengaruhi jiwanya
"Bagaimana, Bisma?" "Maaf, Pak Riko, kebetulan saya sedang terburu-buru. Terima kasih tawarannya, mungkin lain kali saya akan menerimanya," jawab Bisma sambil tersenyum. Bisma sebenarnya sangat ingin menerima tawaran Riko, tetapi waktunya tidak tepat. Dia sudah ada janji dengan salah satu teman bisnisnya. "Baiklah ... terima kasih juga telah mengembalikan dompet istri saya," sahut Riko. "Naila, aku pamit, ya. Lain kali hati-hati, jangan ceroboh lagi," kata Bisma pada Naila. Ucapan Bisma sangat lembut dan penuh perhatian, membuat Riko tak suka tapi berusaha menyembunyikan perasaannya. "Iya, sekali lagi terima kasih," balas Naila. Setelah berjabat tangan dengan Riko dan mengucap salam, Bisma pun pulang. Riko tersenyum, dalam hatinya merasa senang karena Bisma menolak tawarannya. "Tumben tadi nawarin Bisma makan malam di sini, Mas," kata Naila yang masih tak percaya. "Hemm ... katanya nggak boleh marah
"Sabar, Mas Yakub. Silakan duduk dulu atau kita masuk ke dalam mushola saja." Pak Hasyim berusaha menenangkan Yakub yang emosi. "Maaf, Pak Hasyim ... saya nggak suka dengan orang ini! Jangan sampai kampung kita yang aman dan nyaman, terkontaminasi bajingan seperti dia!" Yakub berkata seraya mencengkeram kerah baju Rony. Pak Hasyim segera menarik tangan Yakub agar melepaskan cengkeramannya. Rony hanya diam dan tak mau melawan. "Astaghfirullah ... tolong lepaskan, jangan seperti ini. Mas Rony hanya belajar mengaji di sini." "Saya nggak percaya, Pak. Dia pasti ada niat jahat yang disembunyikan," kata Yakub tak terima. Setelah berhasil menjauhkan Yakub dari Rony, Pak Hasyim memberikan nasihat pada Yakub. "Mas Yakub, Mas Rony sudah dua bulan belajar mengaji di sini dan selama ini tidak pernah membuat masalah. Malah dia banyak memberi sumbangan untuk pembangunan mushola kita.Tolong hargai orang yang sedang berniat baik, Mas," ucap Pak Hasyim yang semakin membuat Ya
Bruukk!! Rony pun jatuh dan tertimpa motor maticnya. Yakub tertawa melihat laki-laki yang dibencinya meringis kesakitan. Dia berlalu bersama motor sportnya meninggalkan Rony begitu saja. "Astaghfirullah ...."Rony hanya bisa mengucap istighfar. Dia pun mencoba berdiri tapi kakinya terasa sakit saat digerakkan. Dia segera mengambil ponselnya di saku jaket yang dipakainya dan menghubungi Riko agar menjemputnya. Bersyukur panggilannya langsung mendapat jawaban. "Assalamu'alaikum, Kak. Tumben nih, malam-malam telepon. Kak Rony baik-baik saja 'kan?" tanya Riko. "Wa'alaikumussalam ... sayangnya aku sedang tidak baik, Riko. Maaf kalau kali ini aku merepotkanmu. Tolong jemput aku di Kampung Kelapa di pinggir kota. Aku ... terjatuh dari motor dan kakiku sakit kalau digerakkan. Aku juga sendirian, bingung mau minta tolong siapa," jawab Rony memberi penjelasan pada adiknya. "Innalillahi ... baiklah, Kak. Kebetulan aku juga masih d
Naila hanya menggelengkan kepala karena dia sendiri tak tahu dari mana Eva mendapat nomer ponselnya. "Jangan pergi-pergi dulu, kamu 'kan sedang hamil muda, Sayang. Bukankah hari Minggu pagi kita menghadiri pesta pernikahannya Clara?" Riko berusaha membuat Naila tak bertemu temannya. "Hemm ... aku sudah bilang, Mas, tapi katanya malam hari juga nggak apa-apa," ucap Naila seraya mengeratkan pelukannya. "Kamu nggak tanya, ada perlu apa dia minta ketemu? Aku bukannya nggak mengijinkan tapi kalau memang penting, kenapa dia nggak ke sini aja?" tanya Riko yang mulai curiga pada teman Naila. "Aku sudah tanya tadi, katanya cuma kangen aja. Aku juga sudah suruh dia main ke rumah tapi dia bilang nggak enak sama kamu, Mas." Naila bicara sejujurnya tanpa ada yang disembunyikan. "Pasti dia hanya cari alasan. Aku yakin temanmu itu pasti sengaja mengajak kamu bertemu di kafe karena dia sudah mengundang teman-temanmu yang lain, seperti Bism
Pintu kamar Naila tiba-tiba terbuka, Rony pun terkejut karena dia masih berdiri di depan pintu kamar adik iparnya. "Kak Rony?""Eh ... maaf, Naila. Aku ... aku baru saja mau ke kamarku." Rony mencari alasan untuk menutupi kegugupannya. "Oh ...."Hanya itu yang diucapkan Naila. Dia kemudian berjalan melewati Rony menuju teras rumah. Rony hanya memperhatikan wajah Naila yang tak seperti biasanya. Hari ini adik iparnya sangat cuek dan tidak ramah. "Hemm ... mungkin bawaan bayi dalam kandungannya, ya. Tumben Naila jutek banget," kata Rony dalam hati. Rony pun segera melangkahkan kakinya menuju kamar dan beristirahat. Teringat pembicaraan Naila yang didengarnya, Rony segera memberitahu Riko. Dia hanya mengirim pesan, karena saat ini adiknya masih dalam perjalanan menuju kantor. Naila menghampiri Supri yang sedang memotong rumput di taman depan. Dia kemudian menyerahkan dua lembar uang merah pada Supri yang sudah ber
Hari Sabtu pun tiba, Rony segera bersiap pergi ke Kampung Kelapa. Dia menunggu Sarah di mushola sesuai kesepakatan mereka. Menunggu dan menunggu ... hingga adzan dhuhur berkumandang, Sarah tak kunjung datang. Setelah sholat dhuhur berjama'ah di mushola, Rony segera meninggalkan Kampung Kelapa dengan pikiran penuh tanda tanya. Dia sangat yakin kalau Sarah bukanlah wanita yang ingkar janji. Pasti ini ada hubungannya dengan Yakub, itu yang Rony pikirkan saat ini. Sampai di perbatasan Kampung Kelapa, terdengar suara seseorang memanggilnya. "Om Rony!"Rony menghentikan laju kendaraannya dan seorang anak laki-laki dengan tergesa berlari mendekat. Anak laki-laki itu kemudian memberikan amplop berwarna putih padanya. "Maaf, Om Rony, ya? Ini ada surat dari Mbak Sarah." Rony mengangguk dan tersenyum. Dia merasa geli dipanggil dengan sebutan "Om". "Siapa namamu?" tanya Rony sambil menerima amplop putih dari anak laki-laki itu.
Riko memandang wajah Naila dengan penuh rasa cinta. Rasa kesal pada Naila yang keceplosan bicara tadi malam, akhirnya sirna. Dia tersenyum melihat istrinya begitu jelita. Make-up natural ditambah bibir tipis yang memakai lipstik warna mauve, memberikan kesan tampilan yang natural dan segar. Dipadukan dengan set gamis syar'i warna maroon yang dipakainya, membuat Naila terlihat elegan dan menawan. "Kamu seperti manekin mungil yang bisa berjalan, cantik sekali istriku," puji Riko yang membuat pipi Naila semakin merona."Jangan terlalu memujiku, rasanya aku nggak percaya diri saat ini," balas Naila yang juga tak mengenali dirinya sendiri saat melihat bayangan cermin di hadapannya."Kenapa nggak percaya diri? Aku yakin, pengantin wanitanya pasti kalah cantik denganmu hari ini. Aku jadi takut kalau banyak yang menggoda di pesta nanti." Riko mendekati istrinya kemudian mengecup jemari tangan Naila."Kamu ini bisa saja, Mas. Aku suda
Ruang tamu rumah Riko telah dihias sedemikian rupa. Seorang lelaki dalam setelan jas pengantin berwarna putih telah duduk bersila di depan sebuah meja kecil.Yakub dan seorang penghulu berpeci hitam tampak berbincang akrab. Rony—sang mempelai pria, tertunduk dengan bibir komat-kamit melafalkan kalimat ijab qobul. Kedua tangannya saling remas, berkeringat, menandakan jika dirinya tengah gugup. Riko yang memperhatikan gerak-gerik Rony sedari tadi lekas menghampiri."Tenang, tarik nafas, keluarkan. Jangan sampai salah. Kalau sampai salah tiga kali, nggak jadi nikah sama Sarah."Mendengar kalimat terakhir Riko, tangan Rony memukul bahu Riko."Aku tegang malah sempat-sempatnya kamu bercanda!" Riko hanya terkekeh melihat ekspresi wajah kakaknya. Hingga beberapa menit kemudian, penghulu memberi kode bahwa acara akan segera dimulai.Ruangan mendadak hening, penghulu memulai acara dengan do'a lalu dilanjutkan dengan beberapa kalimat pembukaan, yang ditujukan kepada seluruh tamu undangan.Sem
Riko terkejut, sontak dia menoleh melihat ekspresi wajah istrinya. Naila terdiam. Sebenarnya dia sama terkejutnya dengan Riko tapi tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Naila membalas memandang Riko dengan rasa penasaran. Ada apa tiba-tiba Daffa datang ke rumah mereka? Mendengar nama Daffa disebut oleh Bi Marni, seketika semua orang turut berdiri. Namun, Riko melarang semua orang yang akan turut serta menemui Daffa."Biar saya saja sama Naila yang menemui Daffa."Riko beranjak lalu meraih tangan Naila yang tampak enggan mengikutinya. Riko paham. Dia menunduk lalu berbisik lirih di telinga Naila."Tidak apa-apa, Sayang. Aku percaya padamu."Naila mengangguk dan tersenyum mendengar sebaris kalimat yang baru saja keluar dari bibir Riko. Ada rasa hangat yang menjalar dalam hatinya, membuat kedua bola mata indahnya mengembun.Dengan lembut, Riko membelai kedua pipi Naila. Tanpa sadar, Riko melakukannya di hadapan semua orang."Maaf, ya. Jangan menangis lagi nanti cantiknya hilang."Nai
"Maaf, Mas ... aku hanya terlalu bahagia mendengar kabar ini. Aku baik-baik saja."Setelah siuman, Naila tersenyum sambil memandang kedua orang di hadapannya. Riko masih memegang erat tangannya. Sementara Sarah memijit kedua kakinya dengan lembut. Marni membawakan air madu hangat dan sepiring nasi untuk Naila."Makan dulu, Mbak. Dari kemarin Mbak Naila belum makan. Bibi masakin sayur sop daging kesukaan Mbak Naila. Jangan menyiksa diri sendiri, Mbak. Kasihan Den Riko juga, jadi ikut-ikutan nggak mau makan."Mendengar ucapan Marni, Naila langsung memandang suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Riko mengecup lembut jemari Naila dan tersenyum."Maafkan aku, Mas. Aku sudah keterlaluan," ucap Naila penuh penyesalan."Tidak, Sayang ... aku memang salah. Aku pantas mendapatkan hukuman darimu, bahkan mungkin harusnya hukumannya lebih berat dari ini. Selama kamu nggak mau makan, maka selama itu pula aku juga nggak akan makan."
"Sudahlah, ayo kita segera pergi. Kita lihat saja langsung keadaan Naila." Yakub langsung mengajak mereka segera berangkat, membuat Riko merasa lega."Ya, Kakak benar. Aku akan bersiap dulu." Sarah beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya."Jangan lama-lama, mentang-mentang ada calon suami nanti ganti bajunya nggak kelar-kelar." Yakub menggoda adiknya, membuat Rony tersenyum."Ish, Kakak ini apa-apaan, sih!" Sarah pun langsung menutup pintu kamarnya dengan kedua pipi yang merona.Mereka berangkat bersama dengan kendaraan roda duanya masing-masing. Rony bersama Riko dan Yakub berboncengan dengan Sarah. Rasa bahagia terpancar pada wajah ketiga orang itu, kecuali Riko yang sedih akibat ulahnya sendiri.Setelah sampai, Riko mengajak Sarah masuk ke kamar menemui istrinya. Terlihat oleh Riko, Naila sedang duduk di sofa dekat jendela sambil mengaji. Hanya itu kegiatan yang dilakukan Naila selama di kamar. "Sayang, lihat si
"Silakan diminum tehnya, Kak." Sarah meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja untuk Riko dan Rony. "Terima kasih, Sarah." Rony membalas ucapan Sarah sambil tersenyum. Yakub hanya memandang kedua kakak beradik itu dengan penuh tanda tanya, apalagi Naila tak ikut bersama mereka. "Maaf, Yakub, kedatangan kami ke sini, untuk meminta penjelasan dari kalian soal foto-foto ini. Naila sedang difitnah seseorang dan sekarang dia sedang sedih sampai selalu mengurung diri di kamarnya."Rony menyerahkan ponsel milik Riko pada Yakub. Sarah yang penasaran akhirnya mendekati kakaknya dan ikut melihat foto-foto yang ada di galeri ponsel milik Riko. "Ini kan foto-foto kita saat sedang di food court? Ini kita lagi di bank dan ini foto kita lagi di warung nasi rawon. Banyak sekali foto-fotonya tapi di situ kok cuma ada Naila dan Kak Yakub saja?"Sarah langsung memberi komentar mengenai foto-foto yang dilihatnya. Yakub pun langsung mengangg
Setelah pulang dari rumah sakit, Riko selalu menemani Naila di mana pun dia berada. Semua pekerjaan, diserahkan kembali pada asistennya dulu. Riko sangat mengkhawatirkan istrinya, karena sikap Naila tak seperti biasanya. Naila lebih sering melamun, duduk di sofa sambil memandang ke arah luar jendela. "Sayang ... hari ini waktunya kamu ke klinik kecantikan. Aku akan mengantarmu dan menunggumu sampai pulang. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke mall?" tanya Riko sambil mengelus lembut pipi istrinya. "Maaf, Mas, kepalaku pusing. Aku ingin di rumah saja." Naila membalas ucapan Riko tanpa memandang suaminya. "Naila, sudah beberapa minggu ini kamu selalu di rumah. Jangan mengurung diri di kamar terus dong, Sayang. Aku akan menemanimu ke mana pun kamu mau." Riko memegang lembut tangan Naila dan berusaha membujuk istrinya agar mau pergi. "Aku mau sholat dhuha dulu, ya, Mas. Maaf, Mas, aku benar-benar sedang ingin di rumah saja."Naila beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi
"Aku nggak tahu, Sayang. Aku sudah menyuruh seseorang mengecek nomer ponsel itu tapi sepertinya kartunya langsung dibuang atau mungkin dihancurkan oleh pemiliknya. " Mas, apakah penampilanku seperti seorang pezina, sampai kamu percaya dengan tuduhannya?""Astaghfirullah ... maafkan aku, Sayang. Terserah kamu mau bilang apa saja padaku, yang pasti aku menyesal. Sekali lagi, maafkan aku, Naila. Maafkan suamimu yang bodoh ini.""Aku berjanji padamu, Mas. Setelah ini, aku tak akan pergi ke mana pun sendirian, kecuali kamu yang mengajakku.""Naila ....""Tolong hargai keputusanku ini, Mas. Aku lelah dengan manusia-manusia yang terlalu mencampuri urusanku."Setelah menyampaikan keputusannya pada Riko, Naila beranjak pergi ke kamar mandi. Riko akhirnya diam dan menyesali perbuatannya. Untuk sementara, biarlah Riko menerima keputusan Naila. Mungkin lebih baik seperti ini, Naila tak akan pergi keluar rumah tanpa dirinya. R
"Bukan begitu, Pak Supri. Maaf ... jangan salah paham dulu. Saya sama sekali tidak memata-matai Naila. Saya mendapatkan foto-foto ini dari nomer yang tidak saya kenal. Justru itu, saya ingin menanyakan pada Pak Supri, apa Bapak kenal dengan laki-laki ini? Dan kenapa Naila hanya berdua saja? Ke mana Pak Supri dan Sarah?" Riko pun menjelaskan dan meminta penjelasan pada Supri. "Astaghfirullah ... ini fitnah, Den. Mbak Naila tidak berdua saja dengan Mas Yakub. Saya dan Mbak Sarah ada di sana. Kemungkinan foto ini diambil saat Mbak Sarah ke kamar mandi dan saya memang nggak pernah mau duduk satu meja dengan mereka. Saya duduk sendiri tapi tetap mengawasi Mbak Naila, Den. Saya sadar diri, saya hanya asisten rumah tangga, nggak pantas rasanya satu meja dengan majikan." Supri bicara apa adanya. "Lalu Daffa, kenapa ada di warung itu juga? Apa itu juga kebetulan?" Riko masih saja tak percaya. "Memang semua itu kebetulan, Den. Temannya Mbak Naila sedang ada janji dengan temannya di warung it
"Assalamu'alaikum, Sayang. Hemm ... cantik sekali istriku hari ini. Aku benar-benar rindu.""Wa'alaikumussalaam ... aku juga rindu, Mas."Naila langsung memeluk suaminya yang sudah sampai di rumah. Riko dan Naila menuju kamar tidur mereka karena waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Riko langsung menggendong tubuh mungil istrinya, kemudian merebahkannya di ranjang. Naila mengerti apa yang diinginkan suaminya tercinta. Dia pun membalas semua sentuhan yang diberikan Riko padanya. Akan tetapi, perlakuan Riko padanya kali ini berbeda. Naila berpikir, mungkin saat ini suaminya terlalu rindu padanya. Namun, semakin lama Riko semakin kasar dan brutal. Bahkan saat ini Naila sudah tak lagi bisa menikmati surganya. Naila merasa, yang sedang bersamanya bukanlah suami yang selama ini sangat dicintainya. "Mas ... sakiittt ... tolong hentikan ...."Naila merintih dan mencoba menghentika