"Aku belum siap ketemu nenek, Pa. Lebih baik Papa dan Mama saja yang menemui nenek malam ini." Hana menolak dengan wajah sendu. Dia masih belum siap melihat wajah kecewa neneknya. Wajah sendu Hana, membuat Anton tampak berpikir kembali.
"Tapi Mama juga tidak setuju kamu dan dia menginap di apartemen berdua. Ingat, Hana, pernikahanmu ini bukan pernikahan sungguhan. Ini hanya sementara." Jihan menyela sambil melotot pada Green. Rasanya Jihan masih tidak percaya bahwa sekarang dia mempunyai menantu dengan penyakit yang menjijikkan seperti Green. Untuk sekali lagi menghadapi keluarga dan para kerabat Winata, rasanya benar-benar sudah tidak ada muka.
Hana menatap ibunya dengan tatapan datar. "Apanya yang bukan sungguhan? Bahkan kami menikah di hadapan Tuhan," jawab Hana dengan suara lemah. Mendengar kalimat itu, Green menoleh pelan padanya.
"Hana, kita sudah membicarakan hal ini dengan jelas sebelumnya. Harusnya kamu pa
"Kita hanya berdua di kamar ini, tetapi kamu menutup pintunya. Jika Tuan dan Nyonya Winata tahu, kita akan dimarahi." Green mengingatkan dengan wajah polos. Memang apa yang dikatakannya mungkin benar, tetapi Hana punya pemikiran yang berbeda tentang itu. Bagi Hana, karena mereka sudah menikah, itu bukan menjadi masalah walaupun orang tuanya akan marah. Bagi Hana, berdua dengan Green di satu kamar bukan satu kesalahan. Hana memang seperti itu. Asalkan dia paham apa yang akan diperbuatnya tidak salah, dia tidak akan takut untuk melakukannya. "Tidak apa-apa, Green. Ada yang mau kubicarakan padamu." Hana melangkah dan duduk di tepi ranjang king size miliknya. "Ayo duduk di sini," ajaknya sambil menepuk sisi ranjang di sampingnya. Green pun mendekat dan duduk di samping Hana dengan kikuk karena posisi mereka saat ini berada di ranjang dan hanya berdua. Sementara itu, Hana mulai memasang wajah serius, ia tampak berpikir, ingin menyusun kata-kata yang akan ia ucapkan
"Kenapa aku tidak jijik?" Hana mengulang pertanyaan Green karena sedikit heran. Dia menurunkan tangannya dari tubuh lelaki itu dan menatap wajahnya. Dengan wajah menunduk Green kembali membuka suaranya, "Bukannya seharusnya jijik ya? Soalnya orang-orang yang sudah pernah melihatku kambuh, hampir semuanya memberikan pandangan jijik padaku. Kecuali keluarga yang sudah mengasuhku. Mereka merawatku sejak kecil, dan mungkin karena itu mereka sudah terbiasa dan tidak jijik. Tapi kamu?" Green memberi jeda lalu menoleh menatap wajah Hana. "Kita bahkan baru bertemu tadi malam," ucapnya kemudian. "Aku tidak jijik karena jijik terhadap orang yang sedang sakit bukanlah sifat yang terpuji. Sebaliknya daripada merasa jijik, bukankah harusnya kasihan? Aku yakin sekali selain aku dan keluarga pengasuhmu, masih ada orang-orang lain yang tidak jijik pada penderita epilepsi, dan jumlahnya tentu tidak sedikit. Bahkan mungkin mereka bersimpati pada kalian. H
"Tidur bersama?" Lidah Green mendadak kelu. Bingung atas apa yang dia hadapi saat ini.Hana mendesah. "Tidur bersama di kamar ini. Bukan tidur bersama di ranjang, Green. Kamu akan tidur di sofa itu." Hana menunjuk sofa besar dan lebar di sudut kamarnya. Sofa itu tampak sangat nyaman. Hana juga sering tertidur di sofa itu karena benar-benar nyaman. Green menoleh pada sofa itu."Oh begitu. Tapi, apa kita harus sekamar? Aku sungguh takut sama orang tuamu," jawab Green dengan jujur. Hana meletakkan ponselnya di atas nakas dan beranjak berdiri dari ranjang menghampiri Green yang masih berdiri di tempat."Sudahlah, jangan banyak tanya. Kita sekamar supaya aku bisa mengawasimu. Bagaimana kalau penyakitmu kambuh?" Hana bertolak pinggang, mendongak menatap Green."Tapi..""Tidak ada tapi, tapi, ayo mandi sana!" Hana mendorong Green, menggiringnya menuju toilet. Tetapi ia berhenti begitu s
"Ferrari Pininfarina Sergio," gumam seseorang tak dikenal dengan wajah terpelongok ketika menatap sebuah mobil merah tua melaju melewatinya dengan kecepatan tinggi. Harga mobil itu berkisar dua hingga tiga juta dolar! Pengemudinya tak lain adalah Marcell Williams, seorang pemuda tampan berusia 18 tahun. Dia bukanlah anak orang kaya biasa, dia dikenal sebagai cucu satu-satunya pemilik perusahaan besar dan ternama, Williams Global Corporation, Reyhans Williams. Begitu sampai di lokasi balap mobil, sekelompok orang langsung menyambut Marcell dengan penuh semangat. Balapan mobil adalah salah satu hobi yang paling digemari Marcell. Sayangnya Reyhans dan kedua orang tuanya, Sally dan Albert, tidak menyukai hobinya itu. Alasannya sederhana, karena balap mobil bisa membahayakan nyawa Marcell. Marcell adalah penerus satu-satunya perusahaan Keluarga Williams di masa depan. Jika terjadi sesuatu pada Marcell, apa gunanya kekayaan yang begitu berlimpah ini? Tetapi Marcell
Ah, Hana tak berniat menjahili Green, dia cuma ingin iseng saja, ingin kembali melihat wajah malu itu. Saat tangan Green terulur ke ranjang untuk mengambilnya, Hana tiba-tiba langsung memungut pakaian itu. Hana menatap Green yang terkesiap. Tuh kan! Wajah Green semakin memerah, pasti karena ia melihat CD-nya berada di tangannya. Hahahahahha! Hana ingin terbahak-bahak. Baru kali ini dia menghadapi sosok lelaki seperti Green. "Kenapa dia gampang sekali malu?" tanya Hana di dalam hati karena merasa lucu. "Ini pakaianmu." Hana mendekat dan memberikannya pada Green. Ia berpura-pura tidak tahu atas apa yang membuat Green malu barusan. Green langsung menerima semuanya dan segera hendak masuk kembali ke dalam toilet. "Green, kenapa ke situ? Ada ruang pakaian, kan." Hana turun dari ranjang dan menghampiri pintu walk in closet. "Ganti pakaian di sini saja." Hana membuka pintu ruang pakaian itu. "Oh?" Green terkejut. Ia mende
"Maafkan aku, Green." Hana memutuskan untuk jujur saja. Berbohong pun pasti Green akan tetap curiga. "Aku cuma ingin menolongmu sampai tuntas. Aku hanya bermaksud menghilangkan secara tuntas keinginanmu untuk bunuh diri." Green diam menatap Hana yang memasang tampang bersalah. Hana memegang lengan Green dengan kedua tangannya. "Kamu tidak akan berniat untuk bunuh diri lagi, kan, walaupun kenyataannya aku berbohong?" Green menunduk, dia tersenyum kecut. "Tadinya aku pikir dengan tidak lagi berniat bunuh diri, aku sudah menolong seseorang, ternyata aku cuma ditipu." Hana semakin merasa bersalah mendengar kalimat itu. Dia kembali menjadi khawatir kalau-kalau Green malah nekat kembali untuk bunuh diri. Apa yang harus dia lakukan? "Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku tidak tahu apa persoalan yang kamu alami hingga ingin bunuh diri. Jadi aku mengambil jalan seperti itu. Seandainya aku tahu persis p
Hana keluar dari toilet, dia baru saja selesai menyikat gigi. "Green, kamu tidak sikat gigi? Kan mau tidur?" ucap Hana melihat Green ternyata sudah berbaring di sofa. Mereka saat ini sudah berada di dalam kamar Hana. "Sikat gigi?" Mata Green terbuka. Terkadang Green memang melewatkan aktivitas sikat gigi saat malam, apalagi kalau sudah mengantuk seperti saat ini. "Iya, jangan bilang kalau kamu mau langsung tidur," ucap Hana dengan nada tak percaya. Green terdiam, karena memang tadi ia berniat untuk langsung tidur. Mata Hana melebar. "Jadi benar kamu mau langsung tidur tadi?" "Um, aku..aku akan sikat gigi!" jawab Green gugup. Dia melawan rasa malasnya dan langsung beranjak pergi ke toilet. Melihat Green sudah beranjak ke kamar mandi, Hana pergi ke ruang pakaian untuk mengambil seprei, selimut dan beberapa bantal. Karena sofa itu akan menjadi tempat tidur Green, Hana mela
Pagi tiba. Ini adalah hari Minggu. Hana dan Green sedang memakan sarapan bersama di ruang makan. Seperti kemarin, Green dan Hana duduk berdampingan. Green sarapan sambil memandangi segelas susu hangat di dekatnya. Di keluarga Assa bisa dikatakan hampir tidak pernah ia meminum susu. Tetapi Green tidak pernah mengeluhkan hal itu. Dia selalu mensyukuri apa saja yang tersedia di rumah keluarga Assa. "Green, apa kamu terbiasa mengikuti acara ibadah?" tanya Hana tiba-tiba setelah meminum susu hangat miliknya. "Um, tidak," jawab Green singkat. "Pagi ini aku akan pergi beribadah. Setiap minggu aku memang terbiasa melakukannya. Apa kamu mau ikut?" ajak Hana. Green terdiam. Seumur hidupnya tidak pernah ada orang lain yang mau mengajaknya pergi bersama seperti ini. "Kalau kamu tidak keberatan membawaku, aku akan ikut," tanggap Green dengan wajah serius. "Tentu saja aku tidak keber
Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de
Mata Sally melebar mendengarnya. Apa yang dikatakan Albert benar adanya. Sally lalu berkata, "Sebelumnya Robert tidak tahu akan keadaan kita. Itu sebabnya dia masih bermain judi dan terlibat hutang lagi. Sekarang dia sudah benar-benar tahu keadaan kita, dia berjanji tidak akan lagi berbuat seperti itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Dia sangat terkejut, bahkan bersimpati akan keadaaan kita. Aku belum pernah mendengar Robert berbicara begitu dewasa seperti itu. Aku yakin kali ini dia bersungguh-sungguh.""Hahahaha..!" Albert tergelak mendengarnya. "Keluarga intimu adalah aku dan Marcell, bukan Robert! Kita kritis sekarang. Kau malah ingin memberikannya uang lagi. Di mana otakmu!" bentak Albert."Tapi dia adalah kakak kandungku! Dia dalam keadaan berbahaya sekarang. Bisa-bisa dia dibunuh kalau tidak membayar hutang dengan segera. Aku yang salah, harusnya aku memberi tahunya tentang keadaan kita.""Dia berbohong! Tanpa kau beri tahu pun dia pasti sudah tahu. Berita keluarga Williams b
"Benarkah itu?" tanya Alex dengan wajah terkejut serasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari putrinya. Evelyn juga bereaksi yang sama dengan suaminya."Iya, jadi Green adalah cucu sulung Tuan Besar Reyhans Williams," ucap Veronika menandaskan. "Saat aku menyimak pembicaraan mereka berdua, kudengar tampaknya Tuan Besar Williams sudah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya pada Green, Pa.""Apa kamu yakin? Sepertinya Tuan Besar Williams belum membuat pengumuman terkini tentang siapa yang akan menjadi ahli waris selanjutnya di muka umum," ucap Alex."Ya, itu kan bisa belakangan, Pah," sahut Evelyn. Alex mengangguk pelan."Kalau memang Green yang akan menjadi ahli waris, maka Keluarga Winata benar-benar sangat mujur!" Alex tampak merasa cemburu. "Hmmm, pantas saja PT. Andalan Winata yang jelas-jelas sudah bangkrut, tiba-tiba dalam sekejap sudah kembali berjaya." Alex mendengkus tak senang.Veronika mengangguk. "Iya, Papa benar. Tapi Papa jangan iri begitu. Tidak baik,
"Hana, apa kamu serius ingin menjodohkan mereka?" tanya Green begitu mereka memasuki kamar peraduan mereka."Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Hana curiga."Sama sekali tidak. Biasa saja," jawab Green apa adanya."Aku pikir kamu sedih, karena jika mereka jadian, Julia tidak mungkin bersikap manja padamu lagi," ketus Hana, membuat Green mengangkat alisnya sedikit heran."Sedih? Justru aku senang jika dia berhenti bersikap seperti itu," tanggap Green langsung."Masa? Kalau begitu kenapa kamu tidak mengingatkannya waktu dia terus bersikap seperti itu?" ucap Hana dengan mata melotot. Green agak terkejut melihatnya."Apa kamu marah karena dia seperti itu?" tanya Green curiga. Green sempat berpikir bahwa Hana tidak pernah marah karena pada akhirnya Hana mungkin sudah menganggap tingkah Julia sebagai hal biasa yang ternyata tidak perlu dihiraukan."Tentu saja aku marah. Kamu sendiri saja marah tadi saat aku memuji Jack. Apa kamu pikir aku tidak marah melihat Julia yang selama berhari-hari be