“Aku boleh …” Echa tampak ragu-ragu mengatakannya. Sejenak dia melirik ke arah Hesti dan Berry yang tersenyum padanya. “aku mau bicara berdua denganmu, Mas.”“Apa yang perlu dibicarakan lagi dengan orang ini, Echa?” kesal Hesti. “Kamu sayang Papamu, ‘kan?”“Maaf, Ma. Sebentar.” Echa segera menarik tangan Niko menjauh dari mereka.Tangan Niko langsung meremas jemari Echa yang lentik, berusaha menenangkan istrinya yang tampak gelisah, “Sabar, ya.” Echa menghembus napas pelan, “Iya, Mas. Tapi aku sangat takut,” katanya sambil menatap suaminya penuh arti. “menurutmu apa aku harus menerima tawaran Berry?”“Jangan, Echa.” Niko dengan cepat menggelengkan kepala. “Berry bukanlah orang baik. Niatnya penuh dusta.”“Aku tahu, Mas. Tapi aku nggak punya pilihan lain. Lagian syaratnya cuma memintaku kerja di perusahaannya. Aku janji akan berhati-hati. Aku nggak akan menerima makanan atau sesuatu dari Berry. Aku juga nggak akan mau diajak pergi berdua dengannya, walaupun itu berhubungan dengan peke
Pesan terkirim. Sialnya lagi, daya baterai ponsel miliknya habis hingga mati.Ting!Di dalam mobil, Echa membuka pesan dari suaminya.‘Mas?’ Echa menatap layar ponsel dengan mata membulat.[JANGAN!]Pesan terakhir disertai emoticon marah dari suaminya itu sangat mengejutkan. Lantas dia pun langsung menghubungi Niko, tetapi nomor suaminya itu nonaktif.Echa menggelengkan kepala tak percaya. Dia tak menyangka Niko seegois ini.“Ada apa?” tanya Hesti yang duduk di sebelah Echa.“Nggak ada apa-apa,” kilah Echa sambil memaksakan senyuman.Namun, dengan cepat tangan Hesti mengambil ponsel milik Echa.“Ma, kembaliin hp Echa.” Echa berusaha merebut ponsel miliknya.Hesti menghiraukan dan membuka benda pipih itu. Ternyata dugaannya benar, perubahan ekspresi anaknya disebabkan oleh pesan dari Niko.“Tuh, ‘kan! Laki-laki ini memang brengsek! Berani sekali dia ngancam anakku seperti ini!” kesal Hesti. Dan tak lama kemudian dia tiba-tiba mengernyit.“Echa, jadi selama ini kamu sering ngebantah Mam
“Mas, maaf aku telah salah paham padamu. Tapi untuk masalah yang satu ini, maaf aku juga tidak bisa menurutimu, mas, ” tegas Echa.“Apa Mas menyusulku untuk membawaku pulang?” tanya Echa. “iya, Mas. Aku akan pulang, tapi setelah urusan kami selesai.”“Aku menunggumu di sini,” jawab Niko.“Terima kasih, Mas.”Dengan menahan rasa kecewanya dalam hati, Echa kembali menghampiri Mamanya. Sementara, Niko mengawasinya dari kejauhan, memastikan istrinya tidak disentuh oleh Berry.***Setelah memastikan Fikram mendapatkan pertolongan pertama, Hesti tiba-tiba berjalan sendirian menghampiri Niko yang masih terduduk di kursi tunggu.“Niko, belikan aku nasi goreng sana,” ketus Hesti sambil melemparkan uang dua puluh ribuan. “cepat, aku lapar.”“Baik, Ma,” jawab Niko sambil memainkan ponsel.“Loh, cepetan! Malah main hp. Nggak ada otak kamu, ya?” sempat-sempatnya Hesti berkata kasar.Niko menunjukkan layar ponsel miliknya, “Aku sudah memesankan Mama nasi goreng terenak di Onfood.”“Lama! Beli di se
“Hueek!” Echa menunduk di atas closet yang terbuka. Niko mendekati dari belakang dan mengusap tengkuk beserta punggungnya.“Sayang, kamu kenapa?” tanya Niko lembut.“Paling aku masuk angin, Mas … Ah, lupa. Aku belum makan dari tadi siang. Mungkin ini penyebabnya,” jawab Echa, lalu membasuh mulutnya.“Duh, habis ini makan, ya.”“Iya, Mas.”“Sepertinya kamu nggak demam,” ucap Niko sambil memegang kening istrinya. “terus perutmu kembung, nggak?”Echa menggeleng pelan, “Nggak, Mas.”Niko berlanjut menekan area ulu hati sang istri, “Sakit?” dan istrinya menggeleng.“Kalau inimu?” Tangan Niko beralih memegang gunung kembar milik istrinya.“Aww …. Hish tanganmu nakal.” Echa tersenyum. Dia membalikkan badan dan menatap suaminya penuh cinta.“Nyeri nggak?”“Sedikit nyeri sih.” Dia melihat Niko mengatupkan mulutnya, melihat raut tampan yang terlihat bingung.Niko mengeryit. Yang terjadi pada Echa saat ini bukan gejala dari sakit maag dan masuk angin, tapi menunjukkan tanda-tanda kehamilan.“Ada
“Mas kok bisa ada di sini? Tadi ‘kan masih di bawah?” tanya Echa.“Oh aku tadi naik lift Eksekutif,” jawab Niko jujur.“Loh, ‘kan.” Echa heran.“Ehem …” Danang berdehem pelan untuk menarik perhatian suami-istri itu. “aku bertemu suamimu di bawah. Jadi sekalian kami naik satu lift.”Echa mengangguk-angguk, “Oh, gitu.”“Duduklah. Bukankah ada yang mau dibicarakan?” tanya Danang.“Oh, Iya, Pak.” Seketika Echa melangkahkan kakinya. Dia memilih duduk tepat di samping suaminya.Echa menoleh ke samping saat Niko tiba-tiba berdiri, “Mas mau ke mana?” “Urusanku sudah selesai. Sekarang giliranmu. Good luck,” jawab Niko dengan senyuman kecil, kemudian dia beralih menatap Danang. “terima kasih, Pak.”“Sama-sama.”Echa sedikit kesal melihat Niko keluar dari ruangan, padahal dia berharap sang suami menemani dirinya untuk menghadap Danang.“Jadi, gimana? Ada keperluan apa kamu menemuiku?” tanya Danang.DEG!Pertama, Echa menerbitkan senyuman dan mencoba bersikap senormal mungkin, “Pak, maaf sebelum
Niko dan Echa memutuskan pergi ke rumah orang tuanya untuk bertemu dengan pihak bank Bunapin.Baru menginjakkan kaki di sana, Niko langsung disambut dengan nada tinggi sang mertua, “Sampah nggak tahu diri! Ngapain kamu ikut-ikutan ke sini! Keluar, sana! Ini bukan urusanmu!” Detik ini Hesti masih belum mengetahui bahwa hutang-hutangnya sudah dilunasi oleh menantu yang dihina-hinanya.“Mas Niko suamiku, Ma. Urusanku juga menjadi urusannya,” sahut Echa sambil melirik seorang lelaki yang sudah duduk nyaman di sofa. “kenapa Mama lebih menghormati orang asing dibandingkan menantu Mama sendiri?” sindirnya.“Echa, jaga mulutmu!” Hesti memarahi anaknya dengan suara pelan. “jangan bikin dia tersinggung.”Laki-laki itu tak lain adalah Berry. Dia bersandar santai di punggung sofa. Kakinya terlipat. Tangannya datar di atas paha. Raut wajahnya puas bak atlet yang sebentar lagi akan menerima medali juara dunia. Menganggap dirinya sudah berhasil membuat Echa tak berkutik menerima tawarannya.“Echa,
“Kamu menantangku?” tanya Berry sambil mengeluarkan ponsel miliknya, bermaksud untuk menakut-nakuti Niko.“Aku tidak bilang begitu. Tapi jika kamu ingin melaporkan, silahkan. Sekalian gandeng wartawan,” jawab Niko–santai.“Sudah dengar, ‘kan?” Echa menyambung. “selagi suamiku tidak salah, suamiku tidak takut.”Berry menciut. Pasalnya jika menggandeng wartawan, nama baik STAR Group bisa terseret jika laporannya tidak terbukti.Hesti mengernyit melihat ekspresi Echa. Sepertinya anaknya itu tahu segalanya.“Echa, jelaskan sama Mama. Sampah ini dapat uang miliaran rupiah dari mana? Bukannya keuntungan investasinya sudah ludes?”Echa sejenak menoleh pada suaminya dengan tatapan penuh cinta, sudah saatnya Mamanya menerima Niko sebagai menantu satu-satunya di keluarga ini.“Mama heran ‘kan melihat orang yang sering Mama remehkan ternyata bisa membantu kita?” tanya Echa dan Hesti hanya terdiam. “Ma, sebenarnya mulai hari ini Niko diterima kerja sebagai asisten direktur WARA Corp,” ungkapnya d
“Mama jahat! Mama nggak punya hati!” pekik Echa dengan wajah berlinang air mata. “lebih baik Echa pergi dari sini! Echa nggak mau ketemu Mama lagi!”“Apaan sih?” Hesti juga berdiri–kesal. “Mama ngelakuin ini semua demi kebahagiaan kamu! Yang bisa ngebahagiain kamu itu–”“Bukan demi kebahagiaan Echa, tapi demi keuntungan Mama sendiri,” potong Echa.“Echa kamu mulai berani melawan Mama?!” suara Hesti meninggi. Kali ini dia benar-benar marah.“Ini bukan kedurhakaan, Ma. Taat dan berbakti kepada orang tua ada batasannya,” balas Echa. “jika orang tuanya bersikap sewenang-wenang terhadap anaknya, apalagi mengajarkan hal keburukan, haruskah anaknya berbakti? Mama harus instrospeksi diri.”“Echa, kamu!” Hesti yang emosi bergerak maju dan mengarahkan tangan kanannya ke wajah Echa. “anak durhaka!”Niko selalu melindungi Echa. Dia menangkap tangan Hesti di udara, “Jangan, Ma.”“Jangan ikut campur, Sampah! Echa, anakku!” mata tajam Hesti menghunjam Niko. “Echa, istriku,” balas Niko sambil melepa