Mendapat pertanyaan balik yang ringan seperti itu, tentu saja Nyonya Shassy langsung mengerutkan dahi pada anak gadisnya itu.
"Apa kamu tidak sedih?" tanyanya penasaran dengan ekspresi santai yang ditampilkan putri semata wayangnya tersebut.
"Sedih soal apa, Ma?" tanya Asta balik dengan tatapan polos.
"Kamu tidak sedih karena ditipu?" Nyonya Shassy memperjelas semuanya.
"Emm … soal Mas Bram tadi?" tanya Asta dengan santai lalu berbalik menghadap kaca di depannya dan kembali lanjut melepas aksesoris yang menempel di tubuhnya. "Tadi sedih sih Ma, sekarang nggak," lanjutnya.
Mendengar jawaban putrinya tersebut, Nyonya Shassy pun langsung menghela napas panjang. "Untung kamu tidak benar-benar menyukai laki-laki kurang ajar itu," komentarnya.
"Aku menyukai dia kok Ma, orangnya baik awalnya. Tapi ya … cuma suka saja," sahut Asta masih dengan nada ringan seperti sebelumnya.
'Apa anak ini menganggap pernikahan adalah main-main,' batin Nyonya Shassy, memikirkan perkataan putrinya itu.
"Sudahlah yang penting kamu tidak sakit hati, itu sudah cukup untuk Mama," ujarnya sambil melanjutkan apa yang dilakukannya tadi.
Asta pun mengangguk sembari tersenyum hambar menatap kaca yang ada di depannya. 'Bagaimana mungkin aku nggak sakit hati? Ya pasti sakit hati banget tadi. Tapi masa aku harus nangis guling-guling gara-gara ditipu laki-laki beristri, di depan banyak orang lagi? Cih, nggak level,' batin Asta dengan mata yang kini mulai memerah mengingat kejadian tadi.
Setelah beberapa saat, akhirnya Asta selesai melepaskan semua pernak-pernik dan gaun pengantin di tubuhnya.
"Akhh, akhirnya lepas semua," ucap Asta sambil meregangkan tubuhnya yang kini hanya berbalut baju mandi.
"Dasar kamu ini," celetuk Nyonya Shassy sambil tersenyum kecil menatap tingkah Asta. "Ingat sekarang kamu sudah menjadi seorang istri, buang jauh-jauh semua sikap kamu yang manja dan suka seenaknya sendiri itu," tutur Nyonya Shassy sambil mencubit pipi putri kesayangannya itu.
"Ih Mama," ucap Asta sembari mengusap-usap bekas cubitan gemas Mamanya itu.
Lalu Nyonya Shassy pun terkekeh melihat ekspresi putrinya yang memang kerap kali membuatnya tertawa geli itu.
Setelah beberapa saat membiarkan mamanya puas tertawa, kemudian Asta pun menggenggam tangan wanita paruh baya yang sangat menyayanginya itu dan menariknya pelan ke arah ranjang di kamarnya tersebut.
"Ma, Asta mau tanya sesuatu," ucapnya sembari mendudukkan bokongnya di atas ranjang yang kemudian diikuti oleh Nyonya Shassy.
"Ada apa?" tanya Nyonya Shassy sambil menatap wajah putrinya itu dengan lembut.
Kemudian Asta mengatur posisinya agar lebih nyaman di sana. "Menurut Mama, pernikahan yang benar itu yang bagaimana? Dan sikap seorang istri yang baik itu seperti apa?"
Mendengar pertanyaan tersebut, tentu saja Nyonya Shassy langsung tertawa kembali.
"Ah, Mama!" Protes Asta yang mulai kesal karena merasa selalu ditertawai oleh wanita yang sangat disayanginya itu.
"Maaf-maaf, Mama pikir kamu tidak akan pernah bertanya seperti ini pada Mama," sahut Nyonya Shassy sambil mengusap air mata yang sempat mengintip di sudut matanya.
"Yang namanya rumah tangga itu tidak ada yang benar-benar baik, pasti akan ada masalahnya entah itu kecil ataupun besar. Yang namanya pasangan itu tidak boleh egois, tidak boleh mementingkan ego masing-masing. Ingat, jika yang satu api berarti yang satu harus menjadi air, ngerti?"
Asta pun mengangguk-ngangguk mendengar perkataan wanita paruh baya di depannya itu. "Terus, istri yang baik?" tanyanya lagi.
"Kalau istri yang baik itu … yang bisa menerima kekurangan suami dan melengkapinya. Mau berjuang bersama, menemani suka dan duka," terang Nyonya Shassy lalu mengusap kepala Asta. "Nantinya kamu juga akan mengerti," imbuhnya sembari tersenyum hangat.
Setelah itu mereka pun terus mengobrol di dalam kamar tersebut dengan santai.
\*
Sementara itu di ruang baca, kini terlihat Tuan Keenan dan Cakra sedang duduk bersama dengan suasana tegang menyelimuti mereka.
"Aku setuju Pa," ucap Cakra tanpa ragu sedikit pun.
Mendengar jawaban tersebut, Tuan Keenan pun langsung menghela napas panjang.
"Aku sangat percaya ini semua demi kebaikanku dan juga Asta. Aku akan melakukan semuanya seperti yang Papa katakan tadi," imbuh Cakra tanpa ragu sedikit pun.
"Apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?" tanya Tuan Keenan mencoba memberikan kelonggaran, jika Cakra memintanya.
"Tidak. Aku akan melakukan semuanya seperti yang Papa katakan," jawabnya dengan yakin. "Dan aku akan berangkat malam ini juga," imbuhnya.
Tatapan berat pun ditunjukkan oleh laki-laki 50 tahunan itu ketika mendengar keteguhan hati laki-laki muda di depannya yang saat ini sudah berstatus sebagai menantunya—walaupun hanya sebatas dalam agama.
Dan sesaat kemudian Cakra pun berdiri dari kursi yang didudukinya. "Aku akan bersiap Pa," ucapnya terdengar ingin berpamitan pada laki-laki yang sangat dihormatinya itu.
Mendengar hal itu Tuan Keenan pun ikut berdiri dari kursi yang didudukinya saat ini.
Dan setelah itu Cakra pun meraih telapak tangan laki-laki paruh baya yang sedang menatapnya itu dan mengecupnya sebagai tanda meminta restu.
"Lakukan yang terbaik," ucap Tuan Keenan sambil menepuk-nepuk pundak Cakra seperti yang biasa ia lakukan.
"Baik Pa."
Setelah itu Cakra pun keluar dari dalam ruang baca dan segera pergi ke kamarnya. Namun ketika ia sampai di depan pintu kamarnya, terdengar seseorang memanggilnya dari arah lain.
Sontak saja, Cakra yang kini sedang memegang handle pintu kamarnya pun langsung menoleh, menatap ke arah orang yang memanggilnya itu.
"Kak, kamu mau ke mana?" tanya gadis cantik berkulit putih langsat yang sudah berstatus sah sebagai istrinya itu.
"Kenapa?" tanya Cakra dengan gaya acuh, lalu membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam ruangan itu begitu saja.
Dan Asta seperti biasa dengan santainya masuk ke dalam kamar tersebut. "Bukannya kita sudah menikah, kenapa kamu tetap di kamar ini?" tanyanya dengan ringan.
"Lalu?" Cakra pun menanggapi kalimat Asta dengan tak kalah ringan sembari berjalan ke arah lemarinya dan mengeluarkan koper dari dalam lemari tersebut.
"Ya … bukannya kalau sudah suami-istri itu tidurnya bareng?" tanya Asta dengan sok polos sembari menatap ke arah koper yang baru dikeluarkan oleh Cakra.
Kemudian Cakra mengangkat koper tersebut dan meletakkannya di atas ranjang yang ada di dalam kamar tersebut. "Kamu sudah dewasa bukan anak SD lagi, jadi jangan sembarangan bicara," ucap Cakra sembari membuka koper.
"Tunggu, kamu mau ke mana?" tanya Asta saat Cakra mulai memasuk-masukkan pakaian ke dalam koper tersebut.
"Jawa Timur," jawab Cakra singkat.
"Kenapa kamu ke sana?" tanya Asta yang makin penasaran. Kini ia pun berjalan ke arah ranjang dan duduk di pinggiran ranjang tersebut, tepat di sebelah koper milik Cakra.
Kemudian Cakra pun menoleh ke arah Asta dengan malas. "Ck, kenapa tanya-tanya?"
"Ya tanyalah, emangnya nggak boleh?" sahut Asta dengan santai sembari terus menatap ke arah koper tersebut.
Cakra pun menghela napas dalam mendengar jawaban tersebut. "Aku ada bisnis di sana," ujarnya dengan tenang.
"Kapan kamu berangkat?"
"Malam ini," jawab Cakra ringan sembari sibuk memasukkan beberapa barang ke dalam koper tersebut.
Asta pun langsung mengernyitkan keningnya mendengar hal itu. "Apa ini ada hubungannya dengan syarat itu? Kalau iya, aku mau ikut."
"Kamu itu ngerepotin, jangan pernah berpikir ingin ikut denganku," tukas Cakra.
"Ck," decak Asta kesal. "Tapi ini benar ada hubungannya dengan syarat itu kan?" tanyanya lagi
"Cerewet sekali. Sudah kamu diam saja, jangan bikin masalah," sahut Cakra yang terlihat tak senang dengan pertanyaan-pertanyaan dari wanita di dekatnya itu.
"Hisss …," ujar Asta dengan kesal lalu bangun dari ranjang tersebut dan meninggalkan kamar itu begitu saja.
"Dasar anak itu," ucap Cakra sambil menatap pintu kamarnya yang baru saja dilewati oleh Asta.
Setelah berkemas cukup lama dan berpamitan pada Nyonya Shassy yang diwarnai isak tangis, akhirnya Cakra pun meninggalkan rumah tersebut dengan membawa mobil kesayangannya.
\*\*
Malam pun berganti pagi, dan Cakra yang menyetir sendirian mobil tersebut pun akhirnya sampai di salah satu kota di Jawa Timur yang dituju. Dan setelah melewati tanda masuk kota tersebut, ia pun menjalankan mobilnya dengan lebih santai.
Hingga beberapa saat kemudian terdengar sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya.
"Siapa," gumam Cakra sembari meminggirkan mobilnya.
Setelah itu ia dengan cepat mengambil ponsel yang ada di dalam sakunya itu.
"Mama," gumamnya ketika menatap nama yang tertera di layar ponselnya.
\*
"Kra, apa Asta bersama kamu?" tanya Nyonya Shassy dengan nada panik sesaat setelah Cakra mengangkat panggilan tersebut.
"Asta? Dia tidak di rumah?" tanya Cakra balik dengan nada tinggi karena terkejut.
"Tidak. Di mana anak itu, astaga," ujar Nyonya Shassy dengan pelan di dalam panggilan tersebut.
"Aku tidak tahu Ma, apa mungkin dia per—"
Tiba-tiba ….
"Jangan berisik!" teriak seseorang dari bagian belakang mobil.
Mendengar hal itu, Cakra pun langsung menoleh ke bagian belakang mobilnya dan di sana terlihat seorang gadis cantik yang masih memakai baby doll sedang berbaring dengan mata tertutup."Ada apa Kra? Mama dengar ada yang berteriak, apa terjadi sesuatu?" tanya Nyonya Shassy di dalam panggilan tersebut."Ah, tidak ada apa-apa Ma," jawab Cakra sembari memijat keningnya sambil menatap gadis yang sedang dicari-cari oleh Nyonya Shassy yang kini tertidur pulas di bagian belakang mobilnya."Kamu yakin tidak ada masalah?"Cakra pun menghela napas berat. "Tidak ada. Hanya saja sekarang Mama tidak perlu memikirkan Asta, dia ada di sini," terangnya."Bukannya tadi kamu bilang tidak tahu?" tanya Nyonya Shassy yang terdengar bingung."Aku memang tidak tahu sejak kapan dia ada dan tidur di mobil ini. Ck, dasar gadis ini," gerutu Cakra sambil
Mendengar suara yang tak asing di telinganya itu, Cakra pun langsung berlari keluar dari tempat tersebut. Sedangkan para pegawai tempat itu pun saling menatap dan sesaat kemudian mereka ikut berlari keluar dari tempat itu.Dan ketika semua pegawai sampai di teras tempat makan tersebut, mereka mendapati pemandangan aneh. Terlihat Cakra sedang menatap tajam ke arah seorang gadis yang kini berada di bawah tubuh seorang pemuda di pinggir jalan raya depan tempat makan tersebut."Ah, cepat bangun!" teriak gadis yang masih menggunakan baby doll itu sembari berusaha mendorong tubuh laki-laki di atasnya."Bangun-bangun, kamu nggak lihat kakiku keram!" tukas pemuda tersebut sembari berusaha beralih dari tubuh gadis yang ada di bawahnya menggunakan kedua tangannya.Dan karena tak sabar, gadis itu pun langsung menendang tubuh pemuda yang ada di atasnya hingga pemuda tersebut pun
"Dih segitunya," ujar pemuda tersebut sembari mengedipkan sebelah matanya pada Asta."Kamu …," ujar Asta sambil menyipitkan matanya pada pemuda yang baru menyapanya tersebut.'Dih, bisa-bisanya Si Kampret ini menggodaku di depan banyak orang,' gerutu Asta di dalam hati.Sedangkan Cakra yang saat ini sedang berdiri di samping Asta pun langsung bertanya pada pemuda yang sedang turun dari motor matic-nya itu. "Siapa kamu?"Dan setelah memarkirkan motornya dengan benar, laki-laki tersebut pun berjalan mendekati ketiga orang tersebut dan berdiri tepat di depan Cakra. "Aku Satria, tetangga di sini," jawab Satria sambil mengulurkan tangannya, meminta untuk berjabat tangan."Benar, dia ini tetangga di sini," sahut Pak Harto yang saat ini berdiri tepat di sebelah Cakra.Cakra yang mendengar hal tersebut pun langsung menerima jabat tangan dari Satria. "Cakra, peny
"Aku?" tanya Asta sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.Namun Cakra tak menjawab pertanyaan tersebut dan hanya memberikan tatapan tajam untuk menanggapi pertanyaan Asta tersebut."Astaga Kak ... mana mungkin aku suka pada laki-laki tengil seperti itu," ujar Asta lalu membuang napas kasar sambil menggedikkan bahunya.Namun Pak Harto yang masih berada tidak jauh dari Cakra pun langsung menyahut, "Hati-hati jangan bicara seperti itu, nanti bisa kualat. Istri saya itu dulu juga seperti itu pada saya, dan sekarang kami sudah punya anak tiga."Mendengar hal tersebut Asta pun langsung tersenyum canggung.'Andaikan bapak-bapak ini tahu kalau aku ini istri laki-laki di dekatnya itu, dia pasti tidak akan bicara begitu,' batin Asta yang merasa sedikit bingung saat ingin menjawab kalimat Pak Harto tersebut. Setelah lebih dari satu jam mengelilingi r
"Kampret!" teriak Asta sambil berlari dari depan pintu kamarnya menuju ke arah Cakra dan Satria.Sontak saja kedua laki-laki tersebut menatap ke arah Asta. Dan sesaat kemudian Asta pun langsung merebut benda pribadi berenda yang dipegang oleh Satria tersebut. "Ambil kembaliannya," ucap Asta sambil memberikan uang lima puluh ribu ke tangan Satria dan dengan cepat berbalik sembari berlari membawa benda tersebut kembali ke dalam kamarnya.Kedua laki-laki yang sedang berdiri di dekat pintu masuk rumah tersebut pun hanya terdiam terpaku melihat kelakuan Asta yang*absurd* tersebut.Setelah beberapa saat …."Ehem!" Sebuah deheman kemudian muncul dari bibir Satria. "Ya sudah kalau begitu, aku ke sini untuk memastikan benda yang masuk ke dalam daftar belanjaanku tadi," imbuhnya."Ya," sahut Cakra dingin.Lalu Satria pun menyodorkan uang yang diberikan ole
"Ck, apa Kakak tidak tahu, aku ini ingin … mandi," ujarnya ketika tubuh sintalnya hanya berjarak beberapa inchi dari tubuh laki-laki di depannya itu.Dan setelah itu ia pun dengan cepat berjalan menjauh dari Cakra tanpa menoleh sedikit pun.Dan ketika ia sampai di depan pintu kamar mandi yang ada di ruang belakang, ia pun berhenti untuk membetulkan handuk yang melilit tubuhnya sambil menoleh ke arah Cakra. "Kita makan malam apa, atau kita keluar saja?" tanyanya dengan suara yang dibuat sedikit serak-serak seksi mengundang.Cakra yang sedari tadi terus memperhatikan langkah dan setiap gerakan dari tubuh Asta pun langsung menjawab tanpa sadar, "Keluar.""Bagus," sahut Asta sambil tersenyum manis dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang sudah berada di depannya itu.Cakra pun langsung terkesiap ketika Asta menghilang dari pandangannya. "Astaga," gumamnya sambil mengus
"Hei!" Terdengar panggilan dari arah lain.Sontak saja Cakra dan Asta langsung menoleh ke arah suara tersebut."Kalian orang yang ada di tempat makan tadi kan?" tanya seorang laki-laki yang kini sedang berada di halaman rumah Satria."Dia …," gumam Asta sambil menunjuk ke arah laki-laki tersebut.Laki-laki itu pun mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi Asta tersebut. "Kenapa, apa kalian lupa padaku?" tanyanya."Tidak," sahut Cakra dengan cepat. "Kamu Dokter Rendra kan?"Asta pun langsung menoleh kembali ke arah Cakra. 'Kok tidak kaget, apa dia sudah tahu sebelumnya?' batinnya."Benar-benar," sahut Rendra yang kemudian berjalan keluar dari halamannya dan masuk ke halaman rumah tersebut.Setelah sampai di teras rumah tersebut, Rendra pun bersalaman dengan Asta dan Cakra dengan santai. "Kalian tinggal
"Apa yang sedang …." Kalimat Cakra terhenti ketika melihat Asta dan Rendra sedang berada di depan kompor gas. "Kamu sedang apa?" Cakra mengganti pertanyaannya dan langsung mengarahkan pertanyaan tersebut khusus untuk Asta.Asta yang sedang memegang spatula di tangannya pun menjawab dengan ringan, "Masak.""Kamu bisa masak?" tanya Cakra lagi."Bisa, dikit," jawab Asta lalu menoleh ke arah Rendra. "Kalau dia nih ... jago," imbuhnya lalu kembali terkekeh.Melihat hal tersebut, Cakra pun langsung mengerutkan keningnya. 'Sejak kapan mereka menjadi akrab?' batinnya yang merasa ada yang salah dengan hal itu."Iya aku jago karena yang aku masak ini ayam jago, Benarkan?" sahut Rendra sembari ikut tertawa kecil.Kemudian Cakra pun menyahut, "Lalu suara tadi ...." Cakra menggantung kalimatnya."Suara apa?" tanya Asta, menanggapi kalimat laki-
"Lalu apa jawaban yang tepat?" Tanya Cakra sambil menatap langsung mata Asta. Dia dengan lembut meraih belakang kepala Asta, dan kemudian membawa wajah mereka semakin mendekat satu sama lain. Hingga setelah beberapa saat akhirnya Cakra mengecup lembut bibir Asta. Ciuman itu membuat tubuh Asta benar-benar kaku.'Gila, ini bukan karena marah dan ini juga bukan sedang mimpi, dia benar-benar nyium aku,' batin Asta yang saat ini hanya mengedipkan matanya beberapa kali tanpa bereaksi apa pun terhadap ciuman Cakra.Hingga ...Tiiiit! Suara bel dari mobil lain yang ada di belakang mobil Cakra membuat Asta langsung mendorong tubuh Cakra.Ishhh! Desis Cakra karena bagian belakang kepalanya terbentur body mobil. "Maaf," ucap Aska sambil meringis melihat ekspresi wajah Cakra. "Cepet injak gasnya orangnya udah ngamuk-ngamuk," imbuh Asta sambil menatap ke arah belakang dan melihat orang yang ada di dalam mobil di belakang mereka saat ini baru saja keluar dari mobil.Cakra pun segera kembali ke
Setelah turun dari mobil Asta langsung menarik tangan laki-laki yang saat ini ada di dekatnya. Dia membawa laki-laki itu menjauh dari mobil."Kamu gila, ngapain kamu di sini?" tanya Asta sambil menatap tajam laki-laki yang ada di depannya."Sat, kamu jangan macam-macam, deh." Asta mengatakan hal itu sambil melepaskan lengan Satria. "Kamu kan tahu gimana galaknya Kak Cakra, Kamu sengaja ingin membuat aku kena marah terus."Sesaat kemudian Satria mengeluarkan ponselnya dan kemudian menyodorkan ponsel itu kepada Asta. "Apa?" Tanya Asta sambil menatap ke arah ponsel milik Satria. "Tulis nomor HP kamu," pinta Satria sambil terus menyodorkan ponselnya kepada Asta."Untuk apa?" tanya Asta sambil beralih kembali menatap mata Satria dengan dahi yang mengernyit."Tentu saja untuk menghubungi kamu, emangnya untuk apa lagi," jawab Satria sambil meraih tangan kanan Asta dan kemudian meletakkan ponselnya di atas tangan Asta. "Jika kamu tidak mau memberikan nomor ponselmu, maka aku akan berjal
"Mama mendengar kalau ada masalah dengan tempat yang dijadikan sebagai tantangan oleh Papamu," jawab Nyonya shassy dengan nada bicara yang terdengar jelas kalau dia sedang khawatir. Asta kembali menatap ke arah Raka yang saat ini sedang berbicara dengan Pak Harto. "Memang ada masalah, Ma. Tapi kakak sudah menyelesaikan semuanya," jawabnya lalu menghela napas panjang. "Apakah kamu tidak berbohong pada Mama?" Tanya Nyonya Shassy dengan cepat. Sebuah senyum kecil muncul di bibir Asta ketika mengingat kejadian di balai desa. "Iya Ma, Asta tidak bohong. Mama tenang saja semuanya di sini masih baik-baik saja," jawabnya untuk meyakinkan ibunya yang pasti selalu mengkhawatirkannya. "Lalu, apakah kamu sudah makan?" Tanya Nyonya Shassy."Sudah, pokoknya Mama tenang saja aku baik-baik saja di sini. Makanan juga ada di mana-mana jadi Mama tidak perlu khawatir. Sekarang Asta tutup dulu teleponnya karena Asta mau pergi ke toko kain, oke?" Ucap Asta dengan perlahan dan membuat kalimatnya terdeng
Asta pun langsung berbalik menatap ke arah Cakra. "Kamu yang melakukan ini?" tanyanya sambil nunjuk ke arah tanda cupang di tulang selangkanya.Cakra yang masuk ke dalam kamar itu dengan tergesa-gesa pun langsung mengganti ekspresi wajahnya. "Jangan konyol," sahutnya ringan."Apa maksudnya konyol?" Asta tak terima dengan perkataan Cakra. "Aku tahu jelas ini bekas ciuman, tidak mungkin bentuk begini karena digigit nyamuk."Cakra menghela napas panjang lalu melangkah ke arah lemari yang ada di kamar itu. "Mungkin kamu terbentur sesuatu," elaknya sambil mengambil pakaiannya dari dalam benda benda persegi panjang tersebut.Namun, di sela-sela gerakannya dia sempat melirik ke arah Asta yang saat ini sibuk dengan bekas merah di tulang selangkanya dan melupakan handuk kecil yang tak begitu bisa menutupi tubuhnya.'Jika yang di sini bukan aku, pasti laki-laki itu sudah memakan Asta sampai habis,' batin Cakra sambil mengalihkan pandangannya. Dia mencoba sebisa mungkin menahan hasrat yang tentu
Pada akhirnya, malam ini Asta terpaksa tidur di kursi ruang tamu karena dia bersikeras tak mau tidur sekamar dengan Cakra. Sedangkan kamarnya … setelah Cakra mengambil semua barang-barang Asta, akhirnya Cakra mengunci pintu kamar tersebut."Aku benar-benar tidak pernah berpikir akan ada hari seperti hari ini," gumam Asta sambil menatap ke arah langit-langit ruang tamu tersebut.'Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Apa aku besok kembali ke Jakarta saja ya,' batin Asta dengan mata yang mulai terasa berat.Setelah itu pada akhirnya Asta pun tertidur karena saat itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sementara itu saat ini Cakra sedang menatap ke langit-langit kamarnya. Dia mencoba mengingat semua hal yang dia lakukan hari ini."Asta," desahnya yang tak bisa merasa tenang jika sudah menyangkut wanita yang sudah menjadi bagian hidupnya sejak dia kecil itu.'Apa yang harus aku lakukan? Apa lebih baik aku mengatakan yang sebenarnya tentang syarat dari Papa,' batin C
"Aku bilang … aku lupa mematikan kompor!" teriak Asta tiba-tiba sambil menendang perut Cakra, hingga membuat Cakra mundur beberapa langkah.Dan tanpa berpikir panjang, Asta pun berlari keluar dari kamar tersebut dan kemudian masuk ke dalam kamarnya sendiri.Sedangkan Cakra saat ini sedang mengelus perutnya. "Dia benar-benar menendangku," gumamnya.Setelah itu Cakra pun keluar dari kamarnya dan pergi ke dapur untuk mengecek apakah benar kompor di dapur benar-benar masih menyala. Akan tetapi, benar saja yang dia temukan adalah kompor yang mati. Bahkan tidak ada apa pun di atas kompor tersebut."Asta!" panggil Cakra yang tidak melihat istrinya di sana. Sementara itu, saat ini Asta tengah duduk di ranjang kamarnya. Dia membuka sedikit celananya dan memastikan semuanya."Gila, aku benar-benar lepas," gumamnya sambil menutup kembali celananya.Setelah itu Asta menatap ke arah langit-langit kamarnya. Dia menyentuh bibirnya dengan perlahan. "Dia benar-benar menciumiku, kasar lagi," uca
Setengah jam berlalu. Saat ini Asta yang sudah sampai di rumah pun segera meletakkan barang belanjaannya di meja dapur. Ia bernyanyi kecil sembari menyiapkan bahan masakannya."Jangan pernah kau sakiti aku lagi, cobalah untuk leng—""Sepertinya kamu sedang senang?" tanya Cakra yang tiba-tiba masuk ke dapur. "Biasa saja," jawab Asta sembari berbalik untuk mengambil pisau di dekat rak piring.Cakra kemudian dengan tenang duduk di kursi yang ada di sana. "Kamu ke mana saja tadi?" tanyanya.'Huh, sudah kusiapkan untuk ini,' batin Asta."Belanja bahan makanan, ke mana lagi," jawabnya dengan ringan."Belanja bahan makanan lebih dari satu jam?" tanya Cakra lagi.Asta pun menghela napas panjang. "Belanja kan harus milih," sahutnya masih dengan sikap tenang."Oh iya, nanti kamu kirimkan makanan ke tetangga sebelah," ucap Cakra dengan nada datar.Langsung saja Asta menoleh. "Maksud kamu ke tempat Satria?" 'Kalau benar-benar untuk mereka, ini pasti ada yang tidak beres.' Asta
"Iya kamu," sahut Satria sembari duduk di dekat Asta dan kemudian menyenderkan punggungnya di bangku tersebut. "Kamu sendiri yang menolak ajakanku. Jadi tentu saja aku terpaksa melakukan itu.""Otak kamu isinya apa?" Satria pun menoleh dan menjawab, "Cukup banyak." "Hiss …," desisan disertai ekspresi masam pun muncul di wajah Asta yang benar-benar seperti kehilangan akal menghadapi pemuda di sampingnya itu."Kenapa lagi, apa aku salah menjawab lagi?" seloroh Satria sembari menatap seorang laki-laki yang sedang berjalan ke arah mereka membawakan dua gelas pesanannya."Tidak," tukas Asta sembari menoleh kembali pada Satria. "Oh, iya aku mau bicara serius dengan kamu, baga—""Iya, aku menyukai kamu. Jadi kapan kita jadian?" Satria memotong ucapan Asta dengan seenaknya sendiri."Sembarangan." Asta membulatkan matanya. "Aku ini ingin bertanya sesuatu yang penting.""Apa?""Dari mana kamu tahu kalau aku tidak jadi bertunangan dan bahkan sudah menikah?" tanya Asta dengan ekspresi yang beru
Asta yang baru saja masuk ke dalam rumah pun langsung melangkah ke kamarnya. Ia segera merebahkan tubuhnya di ranjang setelah menutup pintu kamarnya."As!" panggil Cakra sembari mengetuk pintu kamar tersebut cukup keras."Apa lagi sih," gerutu Asta yang semakin dalam membenamkan wajahnya ke bantal.Klak! Pintu kamar tersebut terbuka."Kamu sedang apa?" Cakra yang saat ini berada di tengah pintu kamar tersebut kini menatap aneh ke arah Asta yang masih tengkurap di atas ranjang."Tidur," jawab Asta tanpa mengganti posisinya."Ck," decak kesal Cakra ketika mendapat jawaban yang tak sesuai di pikirannya. "Duduk! Aku ingin bertanya sesuatu pada kamu.""Satria?" Asta menyahut tanpa menoleh sedikit pun."..." Cakra diam selama beberapa saat karena tebakan istrinya itu benar adanya dan itu membuatnya merasa sedikit aneh. "Ada hubungan apa kamu dengan dia?" Mendengar hal itu Asta pun bangun dari posisinya dan duduk bersila menatap Cakra. "Kamu cemburu?""Kamu tahu kan, aku tidak