Semakin matahari bergerak ke barat, semakin ceria pula suasana hati Rhein. Rasa tak sabar untuk bisa segera berjumpa dengan Harvey sudah sampai di ubun-ubun. Bahkan setiap detik yang ia lalui terasa sangat lama dan menjemukan. Tepat pukul lima sore, Rhein melesat pergi tanpa menunggu Celia membacakan jadwalnya untuk esok hari. Ia hanya melambaikan tangan pada sekretarisnya itu sebagai kode bila sedang terburu-buru dan tak ingin diganggu. "Ponsel anda ketinggalan, Miss ...."Perkataan Celia tertelan angin karena Rhein sudah lebih dulu masuk ke dalam lift, sementara ponsel yang tadi di cas di meja malah ditinggal begitu saja. Tiba di sebuah cafe yang cozy, rupanya Ralp dan Harvey sudah lebih dulu sampai dan mengobrol di dalam. Sejak turun dari mobil, Rhein tak bisa menahan rasa gugupnya yang mendadak timbul. Beberapa kali ia harus menghembuskan napas panjang agar tak terlihat konyol di depan Harvey. 'Calm down! Ini hanya makan malam biasa!' batin Rhein pada dirinya sendiri. Namun,
Sepanjang malam itu, Sean tetap berada di samping Rhein yang meneguk berseloki-seloki vodka. Ralp juga ikut minum hingga dua sahabat itu mabuk berat. Sean membiarkan Rhein menikmati waktunya, menghabiskan malam dengan menari di lantai dansa hingga tubuhnya lemas dan berakhir pingsan karena kelelahan. Setelah mengantar Ralp pulang ke apartemennya, Sean pun membawa Rhein pulang ke apartemen mereka berdua. Dengan menggendong Rhein ala bridal style, pria bersorot mata tajam itu membopong istrinya hingga ke kamar. Sesekali terdengar suara rintihan Rhein yang memilukan, bergantian dengan isakan tangis sambil mengutuk nama Harvey berulang kali. Selama di kelab tadi, Sean sengaja tak banyak minum karena khawatir pada keadaan keduanya bila sama-sama mabuk. Seminggu lalu, tak mabuk saja Sean bisa berciuman dengan Rhein, apalagi bila mereka berdua mabuk! Sean takut tak bisa menahan diri, ia tak ingin kehilangan kontrol. Setelah menidurkan Rhein dan menyelimutinya, Sean beringsut kembali ke ka
Bukan main rasa bahagia yang Sean rasakan ketika Veronica tiba-tiba datang dan memutuskan untuk menginap. Wajah gugup yang Rhein tampakkan ketika mereka berdua menyambut kedatangan Vero, seolah menggambarkan betapa wanita itu sangat tak siap untuk tidur sekamar lagi dengan Sean. "Tidurlah. Aku tidak akan melakukan apapun padamu meskipun kamu telah melihat semua yang ada di tubuhku." Sean memperhatikan Rhein yang sejak tadi nampak gelisah di atas ranjang yang sama dengannya. Tiap kali Veronica datang dan bermalam di apartemen, keduanya akan tidur seranjang seperti selayaknya suami-istri sungguhan. Dan sialnya, Veronica selalu datang di waktu yang tidak tepat. "Bukan salahku, Sean! Kamulah yang bersalah karena telah membawaku ke kamarmu!" tuduh Rhein kesal sembari tetap memunggungi 'suaminya'. "Kamu bisa memeriksa CCTV bila masih tak percaya padaku, Rhein." "Cih! Males banget!""Lagi pula untuk apa aku membawamu ke kamarku? Bila memang aku mau berniat buruk padamu, aku bisa melakuk
Flashback On. "Dean, aku membeli lingerie baru. Apakah malam ini kamu bisa mampir ke tempatku?" "Aku sibuk, Angela! Jangan ganggu aku!" bentak Dean sebelum Angela menyelesaikan perkataannya melalui telepon. Terdengar hembusan napas kecewa di ujung sana. Sudah seminggu lebih Dean tak pernah sempat berkunjung ke apartemen Angela. Selain karena kesibukannya, Dean tak mau terikat lebih jauh dengan gadis itu. Ada saja alasan dan rayuan Angela setiap kali menelepon Dean agar tunangannya itu mau mampir dan bercinta. Namun, sebisa mungkin Dean menahan diri untuk mengalihkan hasratnya pada kesibukan yang tak pernah ada habisnya. "Baiklah, Mi Amor. Datanglah kapanpun kamu mau, oke? Aku akan menunggumu." Flashback Off. Dan, bagai terkena karma, saat ini justru Sean yang mengejar Rhein agar mau bercinta dengannya. Ia tak bisa lagi mengalihkan hasrat lelakinya pada kesibukan karena Sean tak memiliki banyak aktifitas seperti dulu. Alhasil, pikiran kotornya selalu saja mengganggu setiap kali
Brak. Suara pintu kamar yang ditutup dengan kasar oleh Rhein membuat Sean bergidik kaget. Ia mengawasi istrinya yang berjalan cepat menuju ke arahnya yang baru saja membereskan ranjang. "Ada apa?" tanya Sean bingung ketika tatapan Rhein sangat tajam seolah hendak mencabik-cabik tubuhnya. "Cepat hamili aku, Sean!" Bagai mendengar suara letusan kembang api di malam yang sunyi, Sean membeliakkan mata syok ketika dengan lancarnya Rhein meminta untuk dihamili. "A-apa?" "Hamili aku! Aku lelah dengan permintaan mami yang selalu memojokkan aku.""Tapi hamil dan punya anak tidak semenyenangkan itu, Rhein." Rhein menggelengkan kepalanya cepat. "Aku nggak peduli. Yang penting aku hamil dulu dan bisa membuktikan sama mami kali aku nggak mandul!" Suhu AC yang dingin di siang hari yang terik, mendadak terasa panas di kulit Sean. Terlebih setelah Rhein bersiap untuk membuka minidress-nya di hadapan Sean. Wanita itu tak peduli, harga dirinya sedang dipertaruhkan. "Rhein, tunggu! Aku tidak si
Usai perdebatan itu, Rhein beringsut pergi dan belum juga kembali hingga malam. Tak ingin membuat Veronica khawatir karena Rhein tak kunjung pulang hingga larut malam, terpaksa Sean berbohong dan mengatakan bila istrinya itu sedang ada pekerjaan yang harus diselesaikan. "Lembur di hari minggu begini?" sanggah Veronica tak percaya pada penjelasan Sean. Hanya anggukan kepala singkat yang Sean tunjukkan sebagai respon. Ia sendiri tak yakin apakah saat ini Rhein berada di tempat yang aman mengingat pertengkaran tadi siang pasti sangat menyakitkan untuknya. Pada akhirnya, karena jarum jam sudah menunjuk angka 12 dan Rhein belum juga kembali, Sean memutuskan untuk menghubungi Ralp. Sayangnya, sahabat istrinya itu tak tahu di mana Rhein berada saat ini. Karena semakin gelisah tak kunjung menemukan jejak istrinya, Sean memutuskan keluar untuk mencarinya sendiri. Sambil mengayunkan langkah menuju mobil yang ia parkir tersembunyi di ujung basement, Sean merogoh ponselnya di saku celana. Ia
"Kau selalu membuat masalah! Selalu membuat kekacauan!" kecam Sean sembari menolehi adiknya di kursi belakang yang tengah membersihkan luka berdarah di wajah Ivan. Alih-alih menjawab, Adena justru fokus mengusap darah dari bibir, pelipis dan hidung Ivan. Sesekali pria itu meringis kesakitan ketika Adena menekan luka yang mulai membiru di wajahnya. Sementara Sean mengomel sambil menyetir, Rhein justru sudah terlelap di sebelah Sean. Sejak naik tadi, Rhein yang sudah teler berat tak sanggup lagi membuka matanya dan menyangga tubuhnya. "Apa jadinya jika aku dan Ivan tidak datang tepat waktu?! Bisa-bisa kalian berdua digerayangi oleh pria-pria itu!" omel Sean murka. Sekilas, Adena melirik sinis pada kakaknya yang terus saja mengomel dan marah-marah. Ivan yang menyaksikan hal itu, hanya bisa mengelus dada pasrah. Tadi di kelab, tepat setelah Adena menarik Rhein pergi, sekumpulan pria itu mengeroyok Ivan dan menghujaninya dengan pukulan. Bila tak main keroyokan, mungkin Ivan masih b
Usai mengantarkan Veronica untuk kontrol ke rumah sakit. Sorenya Sean kembali menemani mertuanya itu arisan di salah satu restoran. Tentu saja di sana juga ada neneknya yang sejak tadi tak lepas memandangi cucu kesayangannya yang tengah menunggu di meja berbeda. Tanpa Sean ketahui, sejak tadi rupanya sang nenek mengambil fotonya secara diam-diam dan mengirimkan foto itu pada Adena. "Sean, ayo kita pulang," ajak Veronica setelah acara arisan sosialita itu selesai. Sean mengangguk dan bangkit dari kursi. Ia lantas membuntuti sang mertua hingga keduanya tiba di tempat parkir. Namun, betapa terkejutnya Sean saat menyadari bila ada sesuatu yang tak beres dengan ban mobil Veronica. "Ada apa, Sean?" tanya Veronica bingung ketika melihat Sean tiba-tiba berjongkok dan memeriksa ban belakang. "Bannya kempis, Mi."Sean meraba bekas sayatan benda tajam yang membuat ban mobil Veronica menjadi gembos. Seseorang pasti telah dengan sengaja membuat ban mobil ini kempis. "Waduh, Mami nggak bawa b
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga