"Kau selalu membuat masalah! Selalu membuat kekacauan!" kecam Sean sembari menolehi adiknya di kursi belakang yang tengah membersihkan luka berdarah di wajah Ivan. Alih-alih menjawab, Adena justru fokus mengusap darah dari bibir, pelipis dan hidung Ivan. Sesekali pria itu meringis kesakitan ketika Adena menekan luka yang mulai membiru di wajahnya. Sementara Sean mengomel sambil menyetir, Rhein justru sudah terlelap di sebelah Sean. Sejak naik tadi, Rhein yang sudah teler berat tak sanggup lagi membuka matanya dan menyangga tubuhnya. "Apa jadinya jika aku dan Ivan tidak datang tepat waktu?! Bisa-bisa kalian berdua digerayangi oleh pria-pria itu!" omel Sean murka. Sekilas, Adena melirik sinis pada kakaknya yang terus saja mengomel dan marah-marah. Ivan yang menyaksikan hal itu, hanya bisa mengelus dada pasrah. Tadi di kelab, tepat setelah Adena menarik Rhein pergi, sekumpulan pria itu mengeroyok Ivan dan menghujaninya dengan pukulan. Bila tak main keroyokan, mungkin Ivan masih b
Usai mengantarkan Veronica untuk kontrol ke rumah sakit. Sorenya Sean kembali menemani mertuanya itu arisan di salah satu restoran. Tentu saja di sana juga ada neneknya yang sejak tadi tak lepas memandangi cucu kesayangannya yang tengah menunggu di meja berbeda. Tanpa Sean ketahui, sejak tadi rupanya sang nenek mengambil fotonya secara diam-diam dan mengirimkan foto itu pada Adena. "Sean, ayo kita pulang," ajak Veronica setelah acara arisan sosialita itu selesai. Sean mengangguk dan bangkit dari kursi. Ia lantas membuntuti sang mertua hingga keduanya tiba di tempat parkir. Namun, betapa terkejutnya Sean saat menyadari bila ada sesuatu yang tak beres dengan ban mobil Veronica. "Ada apa, Sean?" tanya Veronica bingung ketika melihat Sean tiba-tiba berjongkok dan memeriksa ban belakang. "Bannya kempis, Mi."Sean meraba bekas sayatan benda tajam yang membuat ban mobil Veronica menjadi gembos. Seseorang pasti telah dengan sengaja membuat ban mobil ini kempis. "Waduh, Mami nggak bawa b
Tiba di kantor dengan kepala pening dan perut mual tak pelak membuat Rhein senewen sepanjang hari. Pagi itu, ia terbangun karena telepon dari Ralp yang berdering. Meskipun matanya masih berat untuk terbuka, nyatanya ia malah bangkit dan merogoh ponsel yang ia simpan di tas kecilnya. Omelan dari Ralp serta cercaan pertanyaan dari pria itu membuat kesadaran Rhein lekas kembali. Ia lantas memutuskan mandi setelah memperhatikan jam sudah menunjuk angka 7. Setiba di kantor, dihari Senin yang biasanya sangat hectic, Rhein malah lebih banyak menghabiskan waktunya dengan melamun. Ia berusaha keras untuk mengingat bagaimana ia tiba di rumah semalam. Terlebih Ralp tak tahu menahu ketika Rhein bertanya padanya. Mungkinkah Sean yang menjemputnya? Tapi, bagaimana Sean bisa tahu di mana Rhein menghabiskan waktunya bersama Adena malam itu? Semalam, Adena sama mabuknya dan bahkan lebih dulu teler dibanding Rhein. Mereka berdua berdisko sampai larut malam, hingga kemudian seorang pria meninju wajah
Karena mobil Veronica masih belum di derek dari restoran arisan tadi sore, juga mobil Rhein yang hanya berisi dua seat, akhirnya mau tak mau dengan sangat terpaksa mereka menaiki mobil Adena menuju restoran yang dituju. Sepanjang perjalanan, wajah Sean yang masam serta tak banyak bicara membuat Rhein merasa bersalah. Namun, demi menyenangkan Adena yang kemarin telah membantunya melewati hari yang suram, terpaksa Rhein mengabaikan perasaan Sean dan memilih untuk menyetujui undangan makan malam itu. Tiba di restoran jam 8 malam, mereka berlima duduk di dalam ruang VIP yang menjadi tempat langganan keluarga Chevalier. Sean pernah dua kali datang ke restoran ini dan ia akui semua menu makanannya memang enak. Tanpa mereka ketahui, Adena menyusun sebuah rencana untuk membongkar kedok Sean di malam ini. Ia sudah tak tahan melihat Sean selalu berpura-pura menjadi orang lain kala bersama Rhein. Ia ingin sang kakak hidup bahagia tanpa harus menipu dan menutup-nutupi jati dirinya. "Silahkan
"Lepaskan aku, Sean!" teriak Rhein penuh amarah ketika Sean terus menariknya secara paksa. Mereka berdua kini telah berada di pinggir jalanan dengan kendaraan yang ramai berlalu lalang. Karena tak membawa mobil, alhasil Sean bingung hendak pulang dengan menaiki apa. Karena cekalan Sean sangat erat, Rhein tak bisa melepaskan diri begitu saja. Pria itu terus menarik Rhein pergi menjauh dari restoran itu. "Sean!" teriak Rhein kesal."Kita akan selesaikan ini di rumah, Rhein!""Aku nggak mau pulang bersama penipu sepertimu!" "Aku bukan penipu! Aku memiliki alasan mengapa aku harus melakukan semua ini padamu.""Pembohong! Aku nggak percaya lagi dengan semua perkataanmu. Lepasin aku, Brengsek!" umpat Rhein sambil tak kuasa menahan tangis. Sean menghentikan taksi yang lewat lantas memaksa Rhein untuk masuk. Sopir yang kebingungan karena Rhein terus memberontak, mengira Sean adalah penjahat yang hendak melakukan tindak penculikan. "Saya suaminya, Pak. Tolong segera antar kami ke aparte
Setelah menahan diri selama berbulan-bulan lamanya, pada akhirnya Sean meloloskan nafsunya yang tak lagi bisa ia bendung. Malam panjang dengan permainan ranjang yang panas dan liar, menjadi bukti bila selama ini Sean begitu menahan hasrat pada sang istri. Semua yang ada pada tubuh Rhein adalah candu, Sean tak melewatkan sedikitpun bagian-bagian itu dari sentuhannya. Menyadari bila Rhein ternyata masih perawan, membuat Sean semakin yakin untuk memiliki Rhein dan menghabiskan sisa usia bersama. Sean semakin posesif, ia tak mau kehilangan semangat hidupnya lagi. Sementara Rhein yang masih berada di bawah pengaruh alkohol, sangat menikmati setiap pergerakan yang Sean lakukan di bagian bawah tubuhnya. Rasa sakit yang sempat ia rasakan diawal, berganti menjadi kenikmatan yang sukar untuk dijelaskan. Rhein tak rela Sean berhenti, ia menginginkan hentakan keras itu lagi dan lagi dan lagi. Dua anak manusia yang baru saja merasakan surga dunia secara halal itu semakin menggila hingga perlah
Flashback On"Tuan, apa anda sudah mau diantar kembali ke penthouse?" Dean mengalihkan pandangannya pada sang asisten yang sejak tadi menyetir di belakang kemudi. "Aku masih ingin jalan-jalan, Ivan," putus Dean sembari berpaling dan mengawasi jalanan yang mulai lengang di dinihari. Mendengar perintah itu, Ivan kembali berputar arah. Setiap malam, Ivan yang baru pulang menyelesaikan pekerjaan di perusahaan keluarga Chevalier, akan mengantar sang tuan berkeliling kota tanpa tujuan yang pasti. Tanpa absen sehari pun, setiap jam sebelas malam, Ivan akan menjemput Dean di apartemen dan membawanya jalan-jalan ke manapun yang diinginkan sang tuan. Sudah hampir setahun rutinitas ini berlangsung, dan Ivan dengan setia akan menuruti apapun yang tuannya inginkan. Jalanan yang sepi juga toko-toko yang sudah tutup membuat suasana hati Dean semakin sendu. Seperti malam yang kelam, bahkan semua orang pun seolah lenyap ditelan kegelapan. Tatapan Dean yang sejak tadi kosong, mendadak terbelalak k
Karena terkejut mendengar pertengkaran dan keputusan yang diambil oleh putrinya, Veronica pingsan dan segera dilarikan ke rumah sakit. Dengan selang oksigen yang terpasang di hidung, serta kabel-kabel yang menempel di dada, Veronica tergeletak lemah dan belum juga sadarkan diri. Hingga menjelang sore, Rhein menemani sang mami tanpa beranjak sedetik pun. Sementara itu, Sean berjaga di luar ICU karena hanya satu orang yang diperbolehkan masuk ke dalam. Terlampau panik dan khawatir pada keadaan Veronica membuat sepasang pasutri yang tengah berkonflik itu tak mengindahkan rasa lapar yang melanda keduanya. Tenaga dan emosi yang sama-sama terkuras sejak semalam, tak membuat Sean ataupun Rhein beranjak untuk sekedar membeli makan dan beristirahat. Kesedihan atas pertengkaran mereka terasa tak sebanding dengan rasa cemas yang saat ini mereka berdua rasakan. Menjelang malam, barulah Veronica sadar dan meminta minum karena tenggorokannya terasa kering. Dokter masih tak mengijinkan Veronica u
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga