Buatlah dirimu sibuk hingga lupa akan pedihnya takdir yang harus kau jalani. Mungkin itulah motto hidup yang tepat untuk Sean saat ini. Meskipun setiap malam ia tak bisa tidur dengan nyenyak, akan tetapi pagi harinya Sean selalu berusaha menyibukkan dirinya dengan berbagai aktifitas. Tak ada waktu yang Sean habiskan untuk melamun. Ia benar-benar berusaha menenggelamkan dirinya ke dalam kesibukan. "Tuan, apa anda baik-baik saja?" selidik Ivan sembari memperhatikan Tuannya yang sejak tadi terlihat memejamkan mata.Sean tak menyahut. Sudah genap sebulan Sean pergi dari apartemen Rhein, itu juga berarti sudah empat minggu Sean memaksa tubuhnya agar tetap aktif. Meskipun jam tidurnya kurang, jam makan tak teratur dan beban pikiran menumpuk, tak sekalipun Sean berkeluh kesah pada sang asisten. "Apa kita sudah sampai di rumah sakit?" tanya Sean tanpa membuka mata ketika Ivan menghentikan mobil. "Belum, Tuan. Saya berhenti karena sepertinya anda butuh istirahat hari ini." Serta merta de
Hari berganti minggu, dunia Rhein tak lagi sama tanpa kehadiran sosok Sean di sisinya. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering mereka lakukan bersama sejak membuka mata, kini telah berubah 180°. Rhein yang dulunya mandiri, sejak menikaj menjadi sangat bergantung pada Sean. Dan, setelah sosok suaminya itu pergi, mau tak mau Rhein harus kembali menjadi wanita tangguh. Sangat berat, sangat menyiksa, akan tetapi inilah kenyataan yang harus dihadapi. Pekan kedua setelah Sean pergi dari apartemen, sejumlah uang tiba-tiba masuk ke rekening Rhein dalam jumlah yang fantastis. "Kamu sudah mengecek siapa pengirimnya, Cel?" Sambil menandatangani beberapa dokumen penjualan, Rhein menoleh pada sekretarisnya itu sekilas "Sudah, Miss. Pemilik rekening itu bernama Sebastian Ivanders. Setelah saya telusuri, beliau adalah tangan kanan orang nomor satu di perusahaan Valiers." Rhein menghentikan gerakan tangannya. Valiers? Bukankah itu salah satu perusahaan besar di Indonesia? Apakah Valiers adalah pe
"Cel, tolong batalkan rapat nanti sore. Aku kurang enak badan hari ini!" keluh Rhein yang merasakan pandangannya berkunang-kunang. Celia yang baru saja memasuki ruangan sang bos, sontak berlari mendekat dan menahan tubuh Rhein yang hampir roboh. "Apa perlu saya panggil Dokter, Miss?" usul Celia cemas seraya menuntun Rhein ke sofa di tengah ruangan. "Nggak usah! Sepertinya aku cuma kurang darah. Tolong belikan suplemen penambah darah di apotek." "Baik, Miss!" Dengan segera, Celia berbalik dan melaksanakan perintah bosnya. Setelah Celia pergi dan menghilang di balik pintu, entah mengapa Rhein tiba-tiba teringat pada jadwal menstruasinya. Ia mencoba mengingat-ingat tanggal berapa mens terakhirnya di bulan lalu. Saat sadar bila jadwalnya telah telat hampir dua minggu, bulu kuduk Rhein seketika berdiri. "Nggak mungkin aku hamil!" elak Rhein menampik pemikirannya sendiri. Meski jelas-jelas ia dan Sean melakukan hubungan intim seminggu pasca Rhein selesai menstruasi, akan tetapi ia
"Selamat, anda positif hamil." Ucapan Dokter yang memberi selamat atas kehamilan, terdengar seperti ucapan belasungkawa ditelinga Rhein. Karena masih ragu pada hasil testpack yang semuanya menampilkan dua garis merah, sore sepulang dari kantor, Rhein lantas bergegas ke Dokter Obgyn untuk memastikan kebenaran. Dan, di sinilah ia berada sekarang. Mengendarai mobilnya tanpa tahu harus ke mana. Menangis dan terus saja menyumpahi Sean yang telah menghamilinya. Seandainya ia hamil bulan lalu, mungkin Rhein akan bahagia karena berhasil membuktikan pada Veronica bila ia tak mandul. Namun, kini ia malah hamil di waktu yang tidak tepat. Ia positif hamil ketika hubungannya dan Sean sedang berada di ujung tanduk. Tanpa Rhein sadari, hati kecilnya mengarahkan mobil itu menuju rumah Veronica. Tak ada tempat lain yang bisa ia tuju untuk mengabarkan berita kehamilan ini selain maminya. Sebelum turun, Rhein memastikan matanya tak lagi sembab. Sementara itu di dalam, Veronica baru saja menyelesaik
Flashback On."Papa, kenapa Papa pelgi lagi? Kan, Papa balu datang!" protes Rhein kecil sembari memperhatikan sang papa yang tengah membereskan pakaiannya. Tangan kekar dan berbulu itu menghentikan aktivitasnya. Ia lantas duduk di samping sang putri dan memangkunya. "Papa harus kembali bekerja, Rhein. Nanti, Papa akan jenguk Rhein tiap sebulan sekali ke sini," jelas suara bariton itu dengan lugas. "Telus, yang ambil lapolku besok lusa siapa? Telus, yang fotoin aku pas tampil di acala pelpisahan kelas siapa?" Bocah berusia 4 tahun yang sudah cerdas namun masih cadel itu memprotes lagi. Sang papa tak menyahut, ia hanya membelai rambut sang putri dengan perasaan campur aduk. "Maafin Papa ya, Nak. Papa janji akan sering-sering tengok kamu di sini. Rhein jaga diri, ya! Jangan nakal dan nyusahin Mami. Kamu harus makan yang banyak biar cepet besar dan tinggi. Nanti, kalo kamu sudah besar, Papa akan bawa Rhein tinggal di tempat kerja Papa."Dan, dari Rhein lulus Playgroup hingga Senior
Menjelang ulang tahun sang nenek, Adena kembali datang ke Indonesia bersama Harvey. Liburan keduanya yang sempat tertunda karena Dena tiba-tiba diminta pulang ke Prancis oleh neneknya, membuat Harvey menjadwal ulang liburan mereka setelah acara ulang tahun Nyonya Chevalier selesai.Sean yang sudah lumayan tenang sepeninggal Dena, kini kembali kesal ketika mengetahui sang adik datang ke Indonesia. "Apa anda jadi ikut malam malam di mansion, Pak?" Ivan melirik sang tuan dari spion tengah. Saat ini keduanya baru saja pulang dari Perusahaan Valier yang memproduksi berbagai macam alat bantu kesehatan. Sama seperti Don Bosco yang berpusat di Prancis, perusahaan Valier adalah perusahaan induk yang menjadi pusat gurita bisnis keluarga Valier. "Entahlah, Ivan. Aku masih malas bertemu Adena dan pria itu!" sahut Sean lirih sembari memundurkan sandaran kursi agar posisinya bisa rebahan. Membayangkan bertemu Adena yang usil saja sudah membuat Sean senewen, apalagi jika harus ditambah bertemu
"Kamu akan datang ke acara itu?" Entah sudah berapa kali Ralp bertanya pada Rhein dan sahabatnya itu tak sekalipun memberi jawaban pasti. Sambil mengibaskan undangan ulang tahun Nyonya Chevalier di depan wajah kawan karibnya, Ralp berharap Rhein segera memberi kepastian. "Segera putuskan, Rhein! Besok jadwalku padat," jelas Ralp geregetan. "Aku bingung, Ralp! Apa menurutmu aku harus datang?" Rhein balik bertanya dengan tatapan memelas. "Tapi aku nggak siap ketemu Sean. Dia pasti datang, kan?" "Menurutmu?" Ralp mengangkat sebelah alisnya dan bersedekap. "Pastikan dulu untuk apa tujuanmu ke sana. Kalau hanya ingin memenuhi undangan nenek-nenek itu, aku akan menemanimu. Tapi kalau tujuanmu untuk bertemu Sean, silahkan berangkat sendiri! Aku nggak mau jadi obat nyamuk buat kalian berdua!" Rhein merengut ketika Ralp mengejeknya. Sambil mendengus, ia lantas menyahut, "enak saja! Justru aku malas datang karena pasti Sean juga ada di tempat itu!" "Jadi mau datang atau nggak?" ulang Ralp
Sehari sebelum hari H, pihak EO telah menurunkan kru-nya untuk mensterilkan lokasi sebelum dihias sesuai dengan permintaan Nyonya Chevalier. Tenda dengan atap transparan yang menjulang tinggi di halaman belakang, ratusan macam bunga yang menghiasi setiap sudut, lampu-lampu kristal bergantungan juga panggung yang akan menjadi pusat acara inti di tengah-tengah taman dengan tenda yang mengelilingi. Semua beres sejak pagi sebelum acara akan berlangsung di sore hari. Sementara Adena dan Nyonya Chevalier sangat antusias pada pesta itu, Sean justru merasa sebaliknya. Bertemu dengan banyak orang, tersenyum dan berpura-pura bahagia itu sangat melelahkan. Bahkan sejak pagi, neneknya telah mewanti-wanti Sean agar bersikap ramah pada semua tamu-tamu besar yang akan hadir di acara itu. "Ingat, Sean. Pesta ini juga akan menjadi pestamu karena Nenek akan mengenalkanmu secara resmi sebagai penerus Valier Corp." Berulang kali sang nenek mengingatkan Sean agar cucunya itu mau bergabung dengan yang
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga