Berbeda dengan suasana di kamar sebelah yang menghabiskan sore dengan penuh gairah dan desahan, di kamar 405 yang ditempati oleh Harvey dan Ivan justru sebaliknya. Sejak memasuki kamar, atmosfir neraka sudah mulai terasa. Bahkan setelah melihat tempat tidur yang hanya satu dengan ukuran kingsize, Ivan semakin menggeram frustasi. Apakah Sean lupa tak memesan double bed? Atau memang dia sengaja ingin membuat Ivan dan Harvey kembali berperang? "Kau tidurlah di sofa bila tak nyaman tidur denganku di kasur!" usir Harvey ketus sembari memasukkan kopernya ke dalam lemari. Dari cara Ivan menatapnya, jelas sekali terlihat sorot arogan dan penuh kebencian itu. Dengan statusnya yang hanya seorang asisten, Harvey heran mengapa Ivan terlihat sangat angkuh dan sinis padanya yang notabene tak pernah berinteraksi langsung dengan pria itu. Setelah memasukkan kopernya ke lemari di sisi yang berbeda, Ivan lantas beringsut ke kamar mandi tanpa merespon Harvey. Tubuhnya terasa gerah, pun perutnya mula
"Cheers!" Bunyi gelas yang berdenting kala menyatu di satu titik, mengisi keheningan di meja bundar yang berisi lima orang tersebut. Sean dan Rhein baru saja mengumumkan bila mereka berdua akan merayakan kembali pesta pernikahan mereka secara meriah setelah kembali ke Indonesia. Mengingat dulunya pernikahan mereka berdua hanya diadakan secara sederhana, maka kali ini Sean akan mengumumkan pada semua orang bila Rhein adalah miliknya. Hingga detik ini, Rhein masih belum berani memberitahu Sean bila dirinya tengah berbadan dua. Melihat Sean begitu antipati pada anak kecil, Rhein semakin dilema untuk mengabari suaminya itu. "Rhein, kenapa melamun?" Sean menyentuh tangan istrinya yang bertumpu di meja. Harvey, Dena dan Ivan sontak menoleh pada pasangan -yang sedang dimabuk cinta itu, secara bersamaan. Rhein memang melamun dan tak banyak bicara sejak mereka tiba di restoran. Melihat semua mata tertuju padanya, Rhein sontak tersenyum gugup. Ia meletakkan tangannya yang lain di atas tan
Satu jam sebelum Sean menemukan Rhein dan Ivan di tepi pantai, ia tengah tertidur dengan sangat pulas di kamar hotel. Namun, suara berisik yang berasal dari ketukan pintu yang berkali-kali terdengar, mau tak mau membuatnya membuka mata dengan kesal. "Rhein, siapa itu yang mengetuk pintu!?" sungut Sean sembari berbalik dan hendak memeluk istrinya, akan tetapi sisi ranjang tempat Rhein tidur ternyata kosong. Sean terkesiap kala tangannya tak menemukan tubuh istrinya, dengan gesit ia beringsut duduk dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Buka pintunya!!!" Teriakan yang berasal dari pintu membuat Sean termangu lama. Dengan ragu, ia pun turun dari ranjang dan menghampiri pintu. Terlihat dari kaca intip yang berada di tengah pintu, sosok Adena-lah yang ternyata berada di baliknya. "Dena! Apa yang kamu lakukan di sini?!" hardik Sean marah setelah membuka pintu dan mendapati adiknya tengah sempoyongan menahan tubuhnya sendiri. "Kamu mabuk?""Diam! Jangan cerewet! Di mana kau sembun
Liburan hari pertama, kelima wisatawan itu sudah berlayar dengan menggunakan kapal feri menuju Udo Island. Harvey yang masih hang over akibat terlalu banyak minum, tak banyak bicara sejak naik kapal tadi. Perutnya yang masih mual karena alkohol, kini bertambah mual karena gerakan kapal yang naik turun terkena ombak. Demikian juga dengan Adena, ia memejamkan mata sejak naik dan belum membukanya lagi hingga kapal hampir merapat di pelabuhan. Tadi pagi ketika membuka mata dan mendapati dirinya tidur di kamar kakaknya, Adena kaget bukan kepalang. Ia bahkan tak bisa mengingat apa yang terjadi hingga ia bisa bertukar kamar dengan Sean. Berbanding terbalik dengan dua manusia yang tengah hang over itu, Rhein dan Sean justru tengah menikmati pemandangan laut dan tebing bebatuan yang tinggi dan indah. Ia meminta Ivan untuk mengabadikan kemesraan mereka melalui kamera ponsel. "Bagaimana jika kita sekalian melakukan sesi foto profesional untuk dipajang di undangan pernikahan kita nanti?" usul
Udo Botania Garden. Rhein tentu saja sangat bahagia kala tempat wisata yang ia datangi adalah kebun bunga yang sangat asri. Ratusan pohon tropis di sepanjang jalan, juga beraneka macam bunga yang tumbuh, membuat Rhein berkali-kali berdecak bahagia. Sebuah aula di alam terbuka dengan beberapa pilar-pilar tinggi yang membentuk setengah lingkaran, membuat Rhein merasa sedang berada di negeri dongeng. Terlebih patung-patung dewi yunani yang berjajar di situ, juga taman bunga yang berada di tengah-tengah aula besar itu, membuat Rhein betah berlama-lama di sana. "Indah sekali, Sean!" puji Rhein berbinar kagum. "Aku hebat, kan, dalam memilih tempat berlibur?!"Rhein memutar bola matanya gemas. "Bukankah Harvey yang memilih pulau ini untuk berlibur?" "Jadi kamu berniat memuji Harvey di depan suamimu, begitu!?" protes Sean cemburu dan membuat Rhein tertawa dengan keras. "Maaf, Darling! Tapi memang kenyatannya seperti itu," sangkal Rhein sembari melingkarkan tangannya di perut Sean. "Cih
Sambil menikmati segelas es krim kacang yang wajib dicoba di pulau Udo, Adena yang baru saja kabur dan bersembunyi dari Harvey, malah menghabiskan waktunya dengan membaca buku di dalam cafe yang cukup terpencil yang tak mungkin ditemukan oleh Harvey, terlebih Dena sudah menyembunyikan sepedanya, jadi sangat kecil kemungkinan Harvey akan mengecek keberadaan Dena di sini. Ketika kemudian seorang pengunjung lain datang dan disapa oleh pemilik cafe, Dena sontak menoleh dengan panik. Tapi ternyata, sosok yang sedang membungkuk sopan pada pemilik cafe itu adalah pria yang membuat pupil matanya membesar secara mendadak. "Ivan!" panggil Dena sembari melambaikan tangan pada asisten kakaknya itu. Bukannya membalas lambaian itu, Ivan malah mengepalkan tangan diam-diam di balik tubuhnya. Damn! Ketenangan yang ia idamkan rupanya mustahil untuk terwujud. "Kemarilah!" perintah Adena sembari menunjuk kursi di depannya yang kosong. Dengan kikuk, Ivan pun terpaksa menurut dan duduk. Ia tak bisa m
Tuan dan Nyonya Kim, pemilik cafe yang didatangi oleh Ivan dan Adena, menyadari bila salah satu customernya tengah tidak baik-baik saja. Ivan yang terus menerus merasa gatal di seluruh tubuhnya, akhirnya ditawari obat antihistamin oleh Tuan Kim. "Anak kami yang berusia 12 tahun juga menderita alergi. Jadi kami selalu menyetok obat di kotak p3k," jelas Tuan Kim dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. Setelah meminum obat itu, Ivan mengucapkan terima kasih pada pemilik cafe yang sangat perhatian dan baik hati. "Apa sudah mendingan?" tanya Dena setelah beberapa saat berlalu. "Lumayan. Sudah tidak segatal di awal tadi." Ivan menjawab setelah selesai menguap. Gatalnya mereda, kini rasa kantuk yang bergantian datang. Beberapa kali Ivan menguap hingga membuat kedua matanya basah oleh air mata. "Apakah anda masih mau di sini, Nona? Masih dua jam tersisa sebelum kita kembali ke dermaga."Dengan cepat Adena menganggukkan kepalanya. "Aku masih mau di sini sampai jam pulang tiba. Aku malas
"Mohon maaf, Sir. Kita harus segera berangkat." Nahkoda membungkukkan badannya untuk meminta maaf pada Sean -yang hingga detik-detik terakhir masih berharap adik dan asistennya muncul. Seluruh tubuh Sean serasa lemas mendengar penjelasan Nahkoda, ia bersandar di pagar besi dan menatap nanar ke arah pintu masuk dermaga yang telah sepi. "Sean, kita bisa kembali besok untuk mencari Dena dan Ivan," bisik Rhein memberi semangat pada suaminya yang bersedih. "Kita nggak bisa memaksakan kehendak dan mengorbankan kepentingan orang banyak di kapal ini." Dengan berat hati, Sean akhirnya mengangguk dan mempersilahkan Nahkoda untuk berangkat. Ia memperhatikan Harvey yang duduk tak jauh darinya dengan kecewa. Bagaimana bisa Harvey begitu tenang meninggalkan Dena di pulau itu? Di mana tanggung jawabnya sebagai seorang kekasih? Di lain tempat, sepeda yang Ivan kayuh melesat membelah jalanan. Adena yang duduk di boncengan belakang, berteriak-teriak kegirangan ketika kecepatan Ivan semakin bertamb
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga