Malam itu, Citra akhirnya menutup kafe bersama Rani dan temannya yang lain. Ada perasaan lega karena akhirnya dia telah melewati pekerjaannya hari ini dengan baik. Sebelum melangkah pulang, Citra membuka ponselnya, pesan dari Raka muncul di layar. "Maaf, Citra. Aku akan pulang larut malam karena ada pekerjaan."Citra mengetikan jawaban balasan, dan memutuskan untuk memesan ojek online untuk pulang. Dalam perjalanan, Citra merasa ada yang aneh. Sebuah mobil mengikuti. Kecurigaan mulai menggelayut di pikirannya.Sesampainya di rumah, Citra menatap ke belakang dan mengerutkan kening setelah melihat dengan jelas mobil yang memang mengikutinya. Citra tahu itu adalah mobil Nadya. Di dalam mobil, Nadya dan Anita, yang telah menunggu di dalam, saling berpandangan dengan rasa bingung dan curiga."Dia tinggal di sini?" Anita bertanya, terkejut melihat komplek perumahan mewah di depan mata. "Aku tidak tahu ada perumahan seperti ini di Namba.""Mungkin ini pemberian dari Kakek Bramantyo," Nady
"Citra, ada apa dengan pipimu?" Suara Raka memecah keheningan saat ia baru saja memasuki rumah. Ia meletakkan tas kerjanya di meja samping pintu dan langsung menghampiri Citra yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Mata tajamnya menangkap memar kecil di pipi Citra.Citra yang semula asyik menonton televisi kaget dan reflek menoleh ke arah Raka. Ia tersenyum, mencoba mengabaikan luka di pipinya. "Oh, ini? Gak apa-apa kok, Mas. Cuma masalah kecil tadi."Raka menyipitkan mata, tidak puas dengan jawaban singkat itu. Ia duduk di samping Citra, jemarinya lembut menyentuh pipi Citra, meraba luka yang tampak baru. "Masalah apa?"Citra menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Tadi…sebenarnya Nadya dan ibu tiriku datang. Mereka minta aku untuk ngomong ke Kakek bahwa aku telah memaafkan Nadya. Tapi, karena aku tolak, jadi kami akhirnya sempat bertengkar dan sepertinya pipiku gak sengaja tercakar."Mendengar itu, wajah Raka seketika mengeras. Citra buru-buru menyela, tak ingin Raka
Citra yang sedang serius memoles make up di wajahnya di depan meja rias. Hari ini adalah hari wisuda yang sudah ia nanti-nantikan, jadi Citra ingin tampil sebaik mungkin. Wajah Citra tersenyum lebar begitu menyadari kehadiran Raka di balik pintu. Raka nampak rapi dengan kemeja garis-garis berwarna biru dipadukan dengan setelan jas. Matanya menatap kagum pada Raka. “Kamu kelihatan kayak dosen, Mas. Kalau kamu berdiri di depan kelas, aku yakin semua mahasiswa pasti bakal memperhatikan. Bukannya lihat materi kuliah, tapi lihat dosennya.” Citra tertawa kecil membayangkan hal itu. Raka terkekeh kecil, menghampiri Citra yang masih duduk di depan meja rias. “Sepertinya jika aku jadi dosen, justru malah nggak bisa fokus ngajar kalau mahasiswanya cantik seperti kamu.”Citra menjadi tersipu mendengar itu. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, gaun sederhana warna krem yang dia kenakan serta rambut yang tertata rapi dengan beberapa helai dibiarkan tergerai. “Terima kasih, Mas,” jawabnya s
“Kamu benar-benar nggak merasa bersalah, Nadya?” Arga membuka pembicaraan dengan suara tajam saat dia melangkah ke ruang tamu, di mana Nadya duduk santai, menonton televisi. Wajahnya datar, tak menunjukkan sedikit pun penyesalan.Nadya menoleh santai ke arah Arga. “Kenapa harus merasa bersalah? Aku kan masih istrimu, Arga. Lagipula, semua sudah beres, kan? Papa sudah kasih aku kesempatan kedua.”Arga mengepalkan tangannya erat, menahan amarah yang sudah di ujung tanduk. “Kesempatan kedua? Itu yang bikin aku gak habis pikir. Kamu tahu apa yang kamu lakuin salah besar, tapi masih bisa dengan tenang di sini seolah gak ada apa-apa.”Nadya hanya tersenyum tipis, seolah semua kemarahan Arga itu hal sepele. “Kamu terlalu memperbesar masalah, Ga. Aku udah minta maaf, dan Papa kamu setuju untuk kasih aku kesempatan lagi. Kenapa kamu gak bisa ngelupain semua dan mulai lagi dari awal?”Arga merasa darahnya mendidih mendengar kalimat itu. Nadya begitu santai, tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Nge
"Selamat malam semua, aku sudah siapkan makan malamnya!" Nadya berkata dengan suara ceria, memasang senyum manis saat membawa nampan penuh lauk ke meja makan.Nadya tampak bersemangat, meski wajah-wajah yang menunggunya di meja tidak menunjukkan antusiasme yang sama. Ia berusaha mengabaikan suasana dingin itu, berharap upayanya kali ini bisa sedikit memperbaiki keadaan.Arga duduk di ujung meja, diam dengan pandangan kosong ke arah piringnya. Ratna di sebelahnya, terlihat lebih fokus pada gelas di tangannya daripada makanan di meja. Sedangkan Kakek Bramantyo, duduk tegap dengan ekspresi serius seperti biasanya, mengabaikan keberadaan Nadya sepenuhnya.Namun, Andi yang duduk di sebelah Kakek tampak berusaha menjaga suasana. Dia mengangguk sambil tersenyum kecil, meski terkesan formal. "Bagus, Nadya. Terima kasih sudah membantu pelayan hari ini."Nadya mengangguk dengan semangat, walau senyumnya terasa dipaksakan. "Iya, Pa. Aku pikir hari ini aku mau bantu-bantu sedikit, biar suasana
Citra terbangun dengan perutnya yang bergejolak. Rasa mual yang menyiksa membuatnya terjaga dari tidurnya yang lelap. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan bingung, berusaha mengingat apa yang telah dimakannya semalam. "Apa aku salah makan?" gumamnya pelan, merasakan keringat dingin mulai bercucuran di dahinya.Tak lama kemudian, suara muntahan mengisi ruangan sempit kamar mandi. “Hoek,” Citra mengerang pelan, menahan rasa sakit yang menyerang perutnya. Tak lama kemudian, ketukan lembut terdengar dari arah pintu."Citra, kamu kenapa?" suara Raka terdengar jelas saat dia mengetuk pintu kamar mandi dengan cemas. Di dalam, Citra masih berusaha menenangkan perutnya yang terus mual.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Citra pelan, berusaha menenangkan suaminya meski tubuhnya terasa lemas. Dia mengatur napasnya, lalu berjalan keluar dengan wajah yang pucat. “Sepertinya cuma salah makan, perutku nggak enak dari tadi malam.”Raka memandang Citra dengan khawatir. “Tapi kamu terlihat pucat ban
Citra terbaring di ranjang, memandangi langit-langit kamar dengan senyum geli. Raka, duduk di tepi ranjang, wajahnya menunjukkan ketulusan dan kekhawatiran yang bercampur aduk. Sejak kabar kehamilannya, dan kepulangan mereka dari rumah sakit, Raka seolah berubah menjadi sosok yang sangat melindungi, bahkan terkesan posesif.“Citra, kamu harus lebih hati-hati,” ujar Raka, menatapnya penuh perhatian. “Jika ada yang kamu butuhkan, beri tahu saja.”Citra tertawa pelan, "Hamil itu kan bukan sakit, Mas. Aku masih bisa kok ngapa-ngapain sendiri. Santai aja."Raka yang sedang memasangkan bantal tambahan di belakang punggung Citra mengerutkan keningnya. "Aku cuma nggak mau kamu kecapekan, Cit."Citra tersenyum geli. Tidak menyangka akan melihat sisi lain dari Raka seperti ini. Raka duduk di sampingnya, tatapannya serius, " Cit, aku rasa mulai sekarang kamu nggak usah kerja dulu di kafe."Citra terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Raka, "Nggak kerja di kafe?" tanyanya dengan ragu. "Ta
“Ini terakhir kalinya aku ngeliat dapur ini, ya?” kata Citra pelan, matanya menyapu seluruh sudut kafe tempat ia bekerja selama beberapa bulan terakhir.Rani, sahabatnya di kafe, tiba-tiba merangkul bahunya erat. “Iya, Cit. Aku masih nggak percaya kamu beneran berhenti kerja,” ucap Rani dengan suara bergetar, mencoba menahan air mata.“Ya ampun, jangan nangis dong, Mbak Rani,” balas Citra sambil tersenyum, meski hatinya juga terasa berat. Rani menyeka air matanya yang mulai jatuh. “Aku ngerti, tapi kita semua bakal kangen banget sama kamu, Cit. Meskipun kamu baru sebentar di sini, tapi kamu tuh udah kayak keluarga di sini.”Saat itu, beberapa pegawai kafe lainnya muncul dari dapur, membawa kue kecil dan balon-balon yang sudah didekorasi dengan sederhana. “Surprise!” teriak mereka bersamaan.Citra terkejut melihat mereka semua bersorak dengan penuh semangat. “Kalian... ngadain ini buat aku?”“Tentu aja! Masa kamu pergi gitu aja tanpa pesta perpisahan?” jawab salah satu teman kerjanya
“Arga, kamu nggak pernah pikirin masa depan kita, ya?” tanya Nadya tajam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Suaranya bergetar menahan emosi, tetapi tatapannya menusuk.Arga hanya menatap layar ponselnya tanpa memberi respons berarti. “Masa depan? Kita baik-baik aja sekarang, kan?” jawabnya singkat, tanpa berpaling.Nadya meremas tangannya, menahan diri untuk tidak meledak. “Baik-baik aja? Kamu serius? Arga. Apa kamu nggak mau punya keluarga yang utuh?”Arga mendengus pelan, akhirnya meletakkan ponselnya di meja. “Nadya, aku capek. Bisa nggak kita nggak bahas ini sekarang? Aku lagi nggak mood.”“Lagi nggak mood?” Nadya menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Setiap kali aku bahas soal anak, kamu selalu nggak mood! Aku ini istri kamu, Arga! Aku juga punya hak untuk menginginkan sesuatu dalam hidup kita.”Arga mengangkat bahu, menatap Nadya dengan dingin. “Kalau kamu mau anak, kenapa nggak cari orang lain aja yang mau kasih itu ke kamu? Aku udah bilang, aku nggak tertarik.”Kalimat
“Citra, kamu sudah minum jusnya?” Raka bertanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di balik pintu. Suara lembutnya membuat Citra menoleh dengan senyum tipis.“Iya, sudah tadi pagi,” jawab Citra.Raka mendekat dan memegang tangan Citra, membimbingnya ke sofa. “Itu bagus, tapi aku siapkan lagi jus baru nanti. Kamu perlu vitamin yang cukup.”Citra tersenyum, namun dalam hatinya ia merasa sedikit sungkan dengan sikap protektif Raka yang semakin intens. “Mas, aku masih bisa melakukan beberapa hal sendiri, kok.”Raka tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi, aku mau kamu benar-benar istirahat dan menikmati masa-masa kehamilan ini.”Citra menggigit bibirnya. Sebenarnya Citra senang dan perasaannya menghangat tiap kali Raka memerhatikannya, hanya saja sepertinya ini terlalu berlebihan. “Aku tahu, Mas, tapi rasanya ini … agak berlebihan. Aku nggak apa-apa, Mas.”Raka meraih tangan Citra dan mengusapnya lembut. “Aku cuma khawatir. Kita baru saja masuk trimester pertama. Dokter bilang kandunganmu ma
“Citra, pelan-pelan saja. Kamu jangan terlalu cepat berdiri begitu,” suara Raka terdengar cemas, memegang tangan Citra yang baru saja turun dari tempat tidur rumah sakit.Citra tersenyum kecil, namun matanya lelah. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku juga nggak selemah itu."Raka menggeleng, wajahnya penuh ketegasan. “Kamu harus banyak istirahat, Cit. Kandungan kamu masih lemah, dokter juga sudah ingatkan.”Citra menghela napas panjang, menatap suaminya dengan tatapan lembut. “Kamu sudah seperti penjaga pribadi saja, Mas. Aku sampai nggak bisa bergerak sedikit pun karena ada kamu.”Raka tertawa kecil, namun tetap memasang wajah serius. "Kalau itu artinya kamu dan bayi kita tetap aman, aku rela jadi penjaga pribadimu."Citra menunduk, perasaan hangat dan terharu menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Mas. Kamu nggak tahu betapa aku menghargai semua yang kamu lakukan."Raka menggenggam tangan Citra erat. "Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku cuma ingin memastikan kamu dan anak kita aman. Jadi m
"Raka, aku mohon, kami cuma ingin memastikan Citra baik-baik saja. Bagaimana pun juga Citra masih adikku." Suara Nadya terdengar lembut, hampir seperti merayu. Namun, wajahnya penuh dengan senyum pura-pura yang biasa ia pakai untuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan.Raka memandang Nadya dengan tatapan yang tajam, menahan amarah yang jelas terpancar dari matanya. "Untuk apa kalian ingin memastikan Citra baik-baik saja? Tanpa kalian Citra baik-baik saja.” Raka menjeda ucapannya dan melangkah lebih dekat pada Nadya dan Arga.Aura intimidasinya membuat Arga tanpa sadar mundur satu langkah kecil hingga dia berada di belakang Nadya.“Citra tidak perlu melihat wajah penuh kepalsuan dari kalian.”Arga menghela napas pelan, matanya tak berani bertatapan langsung dengan Raka. Wajahnya pucat, jelas ketakutan. Namun, Nadya tetap memaksa, tidak tahu malu."Tapi, Raka, kami kan keluarga juga. Kami ini peduli pada Citra," Nadya mencoba membela diri dengan nada memelas. "Lagipula, siapa tahu keha
"Ingat, Arga, kamu jangan terlihat panik,” ujar Nadya, mencoba menenangkan suaminya yang tampak gelisah di lorong rumah sakit. “Kalau kamu panik, Kakek akan tahu dengan mudah kalau kamu memang yang mendorong Citra.”Arga menelan ludah, wajahnya pucat. Ia takut harus menemui kakeknya, tetapi kini ia juga merasa takut pada Nadya. "Aku nggak siap, Nadya. Aku ... aku nggak tahu harus ngomong apa kalau Kakek tanya soal Citra."Nadya tersenyum tipis, menarik tangan Arga dan menggenggamnya erat. "Dengarkan aku baik-baik. Kamu nggak perlu jujur. Bilang saja kalau kamu nggak tahu apa-apa, justru kamu menemukan bahwa Citra pingsan begitu saja."Arga memandang Nadya dengan cemas. "Tapi Nadya, kemarin kamu sendiri lihat aku … aku mendorong Citra. Bagaimana kalau ada yang melihat lagi selain kamu?"Nadya menatap Arga datar. Arga terlihat sangat lemah sekarang, terlalu penakut. Entah bagaimana dulu ia ingin bersama Arga, namun saat ini bukan hal itu yang menjadi fokus utama Nadya. “Kamu terlalu ban
Arga, kamu kelihatan tegang sekali," suara Nadya terdengar santai di belakang Arga yang sejak tadi mondar-mandir di kamar mereka. Arga berhenti, menatap Nadya dengan wajah cemas. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Nadya. Ini... ini di luar kendaliku. Citra … dia pingsan karena aku," Arga mengusap wajahnya, tampak bingung. Nadya justru tersenyum tipis, tak terlihat cemas sedikit pun. "Menurutku, apa yang kamu lakukan nggak salah. Malah seharusnya sudah lama dilakukan. Kamu kan tahu, hamilnya Citra justru membuat kita semakin terancam di keluarga ini." Saat Arga mengonfrontasi Citra, Nadya ada di sana. Diam-diam melihat mereka berdua bertengkar di balik pilar. Nadya senang Arga bisa meluapkan kekesalan pada Citra karena selama ini Arga selalu membela Citra padahal jelas-jelas selama ini Nadya yang selalu ada untuk Arga. Arga mendelik ke arah Nadya, terkejut mendengar ucapannya. "Kamu ... benar-benar nggak merasa bersalah, ya? Citra itu sedang hamil dan aku mendorongnya! Bagaimana kalau
"Citra, kamu sudah sadar?" Suara lembut Raka menyapa saat Citra perlahan membuka mata.Citra mengerjap, melihat sekeliling dan menyadari bahwa dia berada di ruangan putih dengan peralatan medis. Napasnya pelan dan lemah.Wajah Raka terlihat khawatir di sebelahnya, sedangkan kakek Bramantyo yang duduk di kursi sebelahnya, tampak menunjukkan raut kelegaan di wajahnya yang tua dan berwibawa itu."Mas Raka… Kakek… Kenapa aku ada di sini?" Citra bertanya, suaranya serak dan pelan.Raka menatapnya dalam, ada pancaran kemarahan matanya, tetapi Raka tetap terlihat tenang. "Aku yang harusnya bertanya, Citra. Bagaimana kamu bisa pingsan? Apa yang terjadi sebelum itu?"Citra mengerutkan keningnya, mengingat kejadian saat itu. "Aku ... aku terjatuh, Mas.""Terjatuh? Apa maksudnya kamu terjatuh?" tanya Raka pelan dan dingin. Tidak mungkin Citra bisa ceroboh dengan terjatuh sendiri dan Raka juga tidak bodoh untuk mengerti bahwa mungkin ada seseorang yang ingin mencelakakan istrinya. “Katakan padaku
Setelah makan malam merayakan ulang tahun Kakek Bramantyo, Kakek Bramantyo memanggil Raka ke ruangannya dan berbicara berdua.Entah apa yang kakeknya dan cucu terbuang itu bicarakan, tetapi Arga menjadi semakin sebal melihat kepergiam Raka bersama Kakek Bramantyo dan mengetahui Citra kini telah hamil.Kepalan tangan di kedua sisi tubuh Arga mengerat dan rahangnya mengeras. Posisinya kini benar-benar terancam dan Arga tidak bisa membiarkan hal itu lebih parah lagi.Tanpa pikir panjang Arga menghampiri Citra yang ditinggal sendiri oleh Raka.“Citra, kamu sengaja, ‘kan?!” Arga mendesis sambil melangkah mendekati Citra yang duduk sendirian di ruang tamu.Citra mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah Arga. “Apa maksudmu, Arga? Aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan.”Arga mencibir, matanya berkedip penuh amarah. “Jangan pura-pura nggak tahu! Kamu pasti merasa menang sekarang karena berhasil hamil. Kamu pikir kamu bisa menguasai keluarga Bramantyo hanya karena itu?”Napas Citra tertahan
“Sayang, kamu yakin kuat?” tanya Raka, menatap Citra dengan penuh perhatian sambil mengulurkan tangannya.Citra tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Raka. “Iya, aku baik-baik saja, Mas. Lagipula, ini kan ulang tahun kakek. Masa aku nggak datang?”Mendengar ucapan Citra, Raka tampak ragu. “Mas, aku tahu kamu khawatir. Tapi, aku nggak mau kalau Nadya berpikir aku takut sama dia kalau sampai nggak datang ke ulang tahun Kakek,” jawab Citra dengan tegas.Raka mengangguk, “Baiklah, asal kamu janji nggak memaksakan diri. Kalau mulai capek atau nggak enak badan, kamu bilang, ya.”Citra tersenyum dan mengangguk. “Pasti. Terima kasih ya, Mas.”Mereka kemudian berjalan menuju pintu depan rumah besar keluarga Bramantyo dengan hadiah di tangan. Raka masih sesekali melirik Citra, memastikan istrinya baik-baik saja. Begitu pintu terbuka, aroma masakan menguar dari ruang makan.“Selamat ulang tahun, Kek!” seru Citra ceria saat melihat Kakek Bramantyo duduk di ujung meja.Kakek Bramantyo langsung