***
"Siapa, Ra?"Danendra langsung keluar dari kamar sesaat setelah dirinya memakai kaos hitam polos juga celana pendek. Mengerutkan kening, dia memandang Adara yang masih berdiri di dekat pintu."Lho, enggak dibuka?""Degdegan," kata Adara apa adanya.Penasaran, Danendra berjalan mendekati Adara lalu memandang intercom di samping pintu. Teresa. Di luar sana sang mama berdiri sambil menenteng kotak makan susun di tangannya."Mama," gumam Danendra. Dari intercom, dia memandang Adara. "Mama aku lho, Ra. Kenapa enggak dibukain?""Kamu aja," kata Adara. "Aku takut.""Takut kenapa? Mama aku enggak makan orang kok," tanya Danendra.Adara hanya tersenyum meringis tanpa menjawab ucapan Danendra, sementara jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.Sikap Teresa yang masih terlihat sinis padanya memang membuat Adara segan. Dia tahu mertuanya itu tak suka padanya karena sudah mengganggu hubungan Danendra dan Felicya.Dan sekarang—jika bisa, ingin sekali rasanya Adara minggat saja ke kamar agar tak bertemu dengan Teresa."Lama banget bukanya? Lagi apa sih?"Pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Teresa ketika Danendra membuka pintu apartemen, sementara Adara masih berdiri tak jauh dari sana."Maaf, Ma. Tadi aku lagi pake baju dulu. Baru beres mandi," jawab Danendra."Adara?" Teresa menaikkan sebelah alisnya. "Bisa kan, dia diminta buka pintu?"Setelahnya—tanpa menunggu jawaban Danendra, Teresa melangkah masuk ke apartemen sang putra dan tentu saja dia berpapasan dengan Adara."Pagi, Tante," sapa Adara canggung.Mengukir senyum tipis, Teresa tak langsung menjawab sapaan Adara karena dia justru memandang Adara dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu memandang Danendra."Mau ke mana?" tanya Teresa pada Danendra."Anu Tan-""Mau keluar," jawab Danendra."Keluar ke mana?" tanya Teresa penuh selidik."Ngabisin waktu berdua aja, Ma," jawab Danendra. "Kita kan enggak honeymoon, jadi mau keluar berdua sebelum kerja lagi. Udah bilang juga sama Papa.""Oh," jawab Teresa singkat. Dari Danendra, dia kembali mengalihkan perhatiannya pada Adara. "Mama bawa sarapan buat kalian berdua. Bukan makanan berat sih, cuman roti sandwich sama susu.""Ya ampun, Tan. Ngerepotin banget. Padahal, Adara baru aja mau pesen," ucap Adara."Tan?" Teresa menaikkan sebelah alisnya—memandang Adara masih dengan tatapan yang sama. "Enggak mau panggil Mama gitu? Ah, atau kamu emang sengaja enggak mau panggil Mama karena pernikahan kalian enggak didasari cinta?""Ma, kok ngomong gitu?" tanya Danendra tak suka."Kenapa? Mama cuman tanya aja kok," ucap Teresa santai."Jadi Dara boleh panggil Mama?" tanya Adara."Kamu anggap Tante mertua, enggak? Kalau anggap, say Mama aja. Kecuali kalau enggak," jawab Teresa. "Mama mau simpan sarapannya dulu. Ditunggu di ruang makan."Seperti di rumah sendiri, Teresa langsung melenggangkan kakinya menuju ruang makan, sementara Adara hanya bisa menghela napas pelan—berusaha menerima perlakuan Teresa seburuk apapun itu karena lagi, di sini dialah yang salah.Tak ada angin tak ada hujan, Adara tiba-tiba saja meminta Danendra menikahinya. Jadi wajar bukan, Teresa masih tak terima?"Ra, sikap mama aku jangan diambil hati ya," kata Danendra. "Dia cum-""Its okay, Dan. Wajar kok Mama kamu bersikap kaya gitu," ungkap Adara. "Di sini aku yang salah.""No." Danendra menggeleng seolah tak mau Adara menjadikan dirinya sendiri menjadi pihak paling bersalah. "Kamu enggak salah sama sekali. Kamu lakuin ini juga karena terdesak keadaan, kan?""Iya sih.""Ya udah," kata Danendra sambil mengusap puncak kepala Adara dengan lembut. "Jangan sedih ya. Mamaku aslinya baik kok. Kamu tahu sendiri, kan?""Yeah, i know," kata Adara.Tangan kiri Danendra yang semula mengusap pucuk kepala Adara kini berpindah pada lengan perempuan itu. Menuntun sang istri, keduanya melangkahkan kaki untuk menghampiri Teresa.Namun, tepat ketika hampir memasuki dapur, Danendra berhenti mendadak membuat Adara ikut berhenti karenanya."Kenapa?" tanya Adara penasaran."Maaf tadi aku bohong," kata Danendra."Soal apa?""Pas Mama tanya kita mau ke mana," ucap Danendra."Oh itu, iya enggak apa-apa," kata Adara. "Aku tahu kebohongan kamu itu buat lindungin aku. Makasih ya.""Sama-sama.""Aku emang enggak tau diri," ucap Adara."Enggak usah ngomong yang aneh-aneh.""Maaf.""Ayo sarapan."Adara mengukir senyum lalu mengangguk pelan dan setelahnya mereka menghampiri Teresa yang sibuk menata sandwich di piring."Punya kamu," ucap Teresa sambil menunjuk dua buah sandwich di piring. "Enggak pake selada.""Makasih, Ma."Menari kursi, Danendra duduk bersebelahan dengan Adara, sementara Teresa duduk di depan pengantin baru itu."Enggak ada yang kamu enggak suka kan, Ra? Mama masukkin semuanya di sandwich kamu.""Enggak, Ma. Dara suka semua kok," ucap Adara."Kamu ingat-ingat ya, kalau buat roti sandwich, Danendra enggak suka pake selada," ucap Teresa. "Felicya udah hafal banget. Kamu juga harus hafal. Kamu istri Danendra soalnya.""Ma." Danendra menatap sang mama tanpa berkata apapun—berharap Teresa akan paham jika dia tak suka pembahasan mamanya itu yang sengaja membawa Felicya.Meskipun Danendra tahu Adara tak mencintainya, tetap saja dia takut perempuan itu akan tersinggung dengan ucapan sang mama."Udah, Dan. Enggak apa-apa," ucap Adara pelan, sementara tangannya di bawah meraih tangan pria itu agar tak protes lagi pada sang mertua."Kenapa? Apa ada yang salah sama omongan Mama?" tanya Teresa pada Danendra. "Benar, kan? Kamu enggak suka selada?"Enggak ada kok, Ma. Enggak ada yang salah," ucap Adara."Ya udah makan kalau gitu," ucap Teresa. "Mama enggak akan lama. Mau ada urusan soalnya.""Iya, Ma."Setelahnya—tanpa banyak mengobrol, Danendra dan Adara menyantap sarapan mereka masing-masing, sementara Teresa sibuk dengan ponselnya, entah sedang apa.Tak ikut sarapan, Teresa memang sudah makan di rumah sebelum menemui putranya di apartemen."Sandwichnya enak, Ma," puji Adara."Suka?" tanya Teresa."Iya," jawab Adara."Kamu bisa belajar buat sama Felicya nanti," kata Teresa. "Dia pintar banget masak soalnya. Meskipun, sibuk dengan karir dia jadi designer, masalah kenyangin perut, dia juga jago.""Ah iya," kata Adara canggung. Dia yang semula tersenyum, kini hanya memasang raut wajah yang sulit diartikan, sementara Danendra hanya mendesah—tak enak dengan Adara karena ucapan sang mama."Oh ya, Dan. Kapan Felicya pulang?" tanya Teresa."Belum ngabarin," jawab Danendra singkat."Kamu masih komunikasi kan, sama dia?" tanya Teresa."Masih," kata Danendra yang lagi-lagi singkat. Dalam hati, dia ingin menegur sang mama agar tak terus membahas Felicya. Namun, nyatanya tak bisa.Danendra juga harus tetap bersikap sopan pada Teresa."Tolong jelasin secara baik-baik saja dia ya, nanti. Meskipun Feli pastinya kecewa, Mama enggak mau hubungan dia sama kita jadi renggang," perintah Teresa. Dari Danendra, dia kembali memandang Adara. "Kalau perlu kamu yang jelasin aja sama Feli ya, Ra. Bilang ke dia kalau Danendra terpaksa nikah sama kamu karena keadaan kamu terdesak. Mama udah cocok bangey sama dia dan Mama enggak mau kalau Feli jadi jauh setelah ini.""Iya, Ma. Nanti Adara yang jelasin ke Felicya," ucap Adara."Bagus," kata Teresa. "Ah, coba aja Mama masih punya anak bujang. Udah Mama nikahin dia sama Felicya. Menantu idaman banget.""Ma." Danendra tak bisa diam lagi. Dia yang semula menyantap sandwichnya langsung meletakkan roti lapis itu dengan sedikit kasar sampai menimbulkan bunyi yang cukup keras. "Bisa berhenti bahas Felicya enggak, Ma? Di sini ada Adara.""Terus masalahnya apa?""Adara istri Danendra, Ma. Mama bisa kan hargain posisi dia dengan enggak bahas perempuan lain?" tanya Danendra."Jadi kamu enggak suka?""Enggak.""Dan, udah. Aku enggak apa-apa," kata Adara."Aku yang apa-apa, Ra," ucap Danendra."Kamu kenapa sih, Dan?" tanya Teresa."Harusnya aku yang tanya, Mama kenapa?" tanya Danendra. "Enggak suka banget kayanya sama Dara sampai harus bahas Feli terus?""Kamu tanya kenapa?" tanya Teresa sambil beranjak dari kursi yang dia duduki. "Karena Dara udah rusak hubungan kamu sama Feli, Dan!""Mama.""Udahlah, Mama pulang aja kalau gini. Kamu nyebelin."Beranjak, Teresa pergi begitu saja meninggalkan Adara juga Danendra."Ma, mau ke mana?" panggil Adara yang ikut beranjak—berniat untuk menyusul. Namun, tangan Danendra mencekalnya. "Dan.""Enggak usah disusul.""Tapi Dan-""Habisin sarapan kamu."***"Dan.""Hm."Danendra yang sejak beberapa menit lalu berdiri di depan cermin—merapikan penampilan lantas bergumam pelan ketika namanya kembali dipanggil Adara yang saat ini duduk di pinggir kasur."Sekali lagi maaf ya," ucap Adara penuh sesal. Entah sudah berapa kali dia meminta maaf—sejak kejadian Teresa tadi, hatinya tetap merasa tak enak karena secara tak langsung dialah penyebab dari perselisihan ibu dan anak itu.Danendra menghela napas. Dia yang sudah tampan dengan kemeja abunya berbalik badan lalu bersandar pada meja rias di sana."Kenapa minta maaf terus? Kamu enggak salah," ucap Danendra.Tahu Danendra tak lagi membelakanginya, Adara menoleh lalu memandang sang suami. "Secara enggak langsung aku salah, Dan," ucapnya. "Semua ini kan bermula dari aku. Kalau aku enggak minta tolong kamu buat nika-""Sssst." Danendra beranjak. Dia berjalan menghampiri Adara lalu berjongkok di depan perempuan itu dan setelahnya, sebuah tatapan teduh diberikan Danendra untuk sang istri. "Semua
***"Ini rumahnya?""Iya, ini rumahnya."Setelah terhambat macet, Adara dan Danendra akhirnya sampai di Majalengka setelah tiga jam menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.Berada di perkampungan, suasana asri masih terasa ketika mobil Danendra berhenti persis di depan sebuah rumah sederhana yang memiliki pagar besi pendek.Kata Adara itu rumah sepupu Rafly yang semalam menghubunginya. Delapan tahun berpacaran, Adara memang sudah cukup akrab dengan saudara Rafly bahkan dia pun beberapa kali berkunjung.""Ya udah."Berjalan lebih dulu diikuti Danendra yang mengikutinya dari belakang, Adara sampai di depan pintu."Degdegan," ucap Adara sambil menghela napas pelan ketika tangannya perlahan terulur—berniat mengetuk pintu."Gak sabar ketemu Rafly ya?" tanya Danendra.Adara menoleh lalu tersenyum. "Iya," jawabnya. "Aku udah enggak sabar pengen ketemu dia.""Semoga Rafly baik-baik aja," ucap Danendra."Aamiin," ucap Adara. Kembali memandang pintu bercat putih di depannya, Adara memantapkan
***"Rafly."Perlahan manik mata itu terbuka setelah hampir satu jam tertutup. Adara mengerjap kemudian mengedarkan pandangannya hingga tak lama kedua matanya tertuju pada seorang pria yang tengah duduk di sampingnya sambil meletakkan kepala di samping tangan Adara."Danendra." Adara berucap pelan—membuat Danendra yang sempat terlelap seketika terbangun lalu ikut mengerjap."Ra, kamu bangun juga," kata Danendra."Aku di mana?" tanya Adara. Kesadarannya belum terkumpul, dia tak mengingat apa yang sudah terjadi padanya satu jam lalu. "Aku kenapa?""Kamu pingsan tadi," ucap Danendra."Pingsan?" Adara beringsut kemudian duduk di kasur queen size milik Muthia yang sejak tadi di tiduri. "Aku pingsan kena .... "Adara terdiam ketika otaknya perlahan mulai bekerja—mengingat kembali kejadian apa saja yang dia alami seharian ini. Sarapan bersama Teresa, perjalanan menuju Majalengka, Sesampainya di rumah Wulan, hingga yang paling baru adalah ketika dirinya tiba-tiba saja lemas setelah melihat na
***"Nyaman?""Udah, Dan. Nyaman."Setelah maghrib, Adara juga Danendra memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Hampir satu jam lebih berdiam dan bermonolog di samping pusara Rafly, hati dan pikiran Adara akhirnya mulai tenang.Terlebih lagi ada Danendra yang setia menghiburnya sejak tadi, bahkan Danendra pun berjanji akan selalu ada di samping Adara sebagai pengganti Rafly.Pengganti. Entah kenapa satu kata itu seolah melekat pada diri Danendra sekarang karena mungkin memang itulah dirinya. Ditakdirkan untuk menjadi pengganti Rafly di kehidupan Adara dan tentu saja meskipun pesimis, Danendra berharap perlahan statusnya bukan lagi pengganti, tapi yang utama di hati Adara."Ya udah kalau gitu," kata Danendra. Menutup pintu bagian kiri, dia kemudian mengitari porsche hitamnya lalu duduk di kursi kemudi.Berpamitan pada Wulan juga Muthia, pukul setengah tujuh malam, Danendra juga Adara benar-benar pergi meninggalkan kampung halaman Rafly menuju Jakarta.Sebenarnya Adara ingin sekali mengin
***"Akhirnya sampai juga."Danendra melepaskan kedua tangannya dari setir tepat setelah porsche yang sejak tadi dia kendarai berhenti di basemant apartemen.Sempat terjebak macet, pukul sepuluh malam Danendra dan Adara akhirnya sampai setelah menempuh perjalanan panjang dari Majalengka.Alih-alih menemani Danendra, Adara sudah tidur sejak satu jam lalu—membuat Danendra terpaksa mengemudi dalam suasana hening juga dalam keadaan yang sedikit mengantuk. Beruntung, setelahnya dia dan Adara bisa sampai dengan selamat."Pulas banget kamu tidurnya, Ra," gumam Danendra pasca melepas safetybelt lalu memandangi Adara yang terlelap dalam tidurnya Mengulurkan tangan, Danendra menyelipkan anak rambut Adara ke belakang telinga agar tak menghalangi wajah cantik perempuan itu. Untuk beberapa detik, Danendra tersenyum. Namun, senyuman itu kembali luntur ketika ucapan Felicya di telepon tadi kembali terlintas di pikirannya."Awas ya kalau kamu berani selingkuh dari aku, Dan. Aku percaya kamu. Aku yak
"Sedang apa kalian?!"Baik Adara maupun Danendra membuka paksa kedua mata mereka ketika teriakan perempuan terdengar melengking di dalama kamar.Mengerjap beberapa kali, Danendra tentu membulatkan matanya melihat perempuan yang tak pernah dia duga akan datang, nyatanya sudah berdiri di belakang Adara dengan wajah yang dilingkupi emosi."Siapa, Dan?" Adara yang baru tersadar ikut bangun lalu menoleh dan tentu saja dia terkejut melihat Felicya berdiri di depannya."Ngapain kalian?" tanya Felicya—berusaha setenang mungkin, meskipun nyatanya ketenangan itu pun hampir hilang karena deru napasnya mulai memburu."Feli, kapan kamu pulang?" tanya Danendra."Aku tanya, kaliang ngapain?!" teriak Felicya lagi. Bukan pada Danendra, tatapan Felicya justru tertuju pada Adara lalu di detik yang sama dia mengulurkan tangannya—menjambak rambut Adara lalu menariknya tanpa ragu. "Perempuan murahan! Ngapain kamu tidur sama Danendra, Dara?! Kamu udah punya calon suami!""Feli sakit, Fel!" Adara yang bering
***"Fel, aku minta maaf. Aku enggak punya pilihan lain selain menikah dengan Adara."Hampir sepuluh menit ucapan maaf itu selalu dilontarkan Danendra untuk Felicya yang kini masih terisak dalam tangisannya.Setelah membuat gadis itu tenang, Danendra memang mulai menceritakan semua yang terjadi beberapa hari ini—termasuk pernikahan dadakannya dengan Adara juga kepergian Rafly karena sebuah kecelakaan pada Felucya.Dan tentu saja Felicya—sebagai perempuan yang sebulan terakhir ini menyandang status kekasih Danendra menjadi orang yang paling terluka dengan kabar tersebut.Tak mudah bagi Felicya untuk mendapatkan hati Danendra. Meski baru saja berpacaran satu bulan dengan pria itu, nyatanya untuk pendekatan saja dia membutuhkan waktu berbulan-bulan dan kini? Dengan mudahnya Adara merebut Danendra darinya.Jahat. Salahkah jika Felicya menganggap Adara adalah perempuan jahat?"My heart is broken," lirih Felicya tanpa menyingkirkan kedua telapak tangan yang sejak tadi menutupi wajah cantikn
***"Ah, sakit!"Danendra meringis ketika kapas yang sudah dibasahi alkohol itu mendarat dengan sempurna pada luka di lututnya yang maru saja selesai dibersihkan. Beruntung hanya lutut kiri saja yang terluka, karena jika keduanya mungkin Danendra akan kesakitan saat berjalan, karena nyatanya luka di lutut biasanya akan lebih sulit sembuh dibanding luka pada bagian tubuh lain."Kekencengan ya? Maaf, aku enggak sengaja."Adara yang menempelkan kapas tersebut seketika langsung mendongak—menatap Danendra yang duduk di sofa dengan tatapan khawatir.Danendra kembali ke apartemen dengan lutut yang berdarah tentu saja membuat Adara khawatir. Mengabaikan roll rambut yang masih menempel di kepalanya, Adara langsung bergegas mencari kotak P3K lalu segera mengobati luka di lutut suaminya itu.Karena secara tak langsung semua yang terjadi pada Danendra gara-gara Adara."Enggak kok cuman emang perih aja kayanya," kata Danendra."Maaf ya," ucap Adara pelan."Untuk?""Untuk yang terjadi pagi ini," uc
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat