Operasi dilakukan demi menyelamatkan dua nyawa, ibu dan bayi. Setelah dua tahun berlalu semenjak melahirkan anak pertamanya, kini bekas sayatan di perut Akira mulai dirobek kembali.Akira masih dalam keadaan setengah sadar, karena bius anestesi yang hanya menghilangkan sensasi nyeri dari pinggang ke bawah.Sayu-sayu Akira bisa mendengar obrolan dokter dan suster yang masih berusaha mengeluarkan bayinya. Waktu terasa berjalan sangat lambat, begitu yang dirasakan Anggara yang tengah menunggu di luar.Keadaan begitu berbalik. Dulunya kelahiran Ashley, justru Argilah yang berada di sisi Akira. Namun kini ketika bayinya akan lahir, justru Anggara yang menjaga.Meskipun Anggara tahu jika bayi yang sedang berjuang di dalam bukanlah darah dagingnya, namun Anggara tidak bisa bersikap abai. Jika hal ini menyangkut tentang Akira dan bayi itulah yang kelak akan menjadi adik bagi Ashley, putrinya.Anggara melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu menunjuk pukul dua dini hari. Sudah
Setelah Akira dipindah ke ruang rawat, Anggara segera menjenguknya. Melihat kondisi istrinya yang masih tak sadarkan diri, membuat hati Anggara begitu terenyuh. Wajah cantik Akira terlihat sangat pucat. Anggara rela tidak tidur semalaman, hanya untuk berjaga di sisi Akira. Mulutnya tak henti-hentinya melantunkan doa, agar istrinya segera sadar. Bunyi monitor menambah kesedihan di hati Anggara. Baru beberapa jam lalu, mereka kembali berbicara setelah sekian lama tidak bertemu, bahkan Anggara masih bisa merasakan lembutnya pelukan Akira di tubuhnya. Namun sekarang keadaan begitu mengiris hati Anggara. Anggara masih mencoba mencari tahu apa yang membuat keadaan istrinya, menjadi seperti ini. Mungkin Rumi mengetahui penyebab Akira seperti ini, karena hanya wanita itu yang selalu berada di sisi istrinya. Anggara teringat akan janjinya pada Ashley. Dia segera melihat ke arah jam tangan, sudah menunjukkan jam delapan kurang. “Sayang, aku pamit jemput putri kita. Cepatlah sadar demi ak
Anggara sudah berada di perjalanan kembali ke rumah sakit. Dia merasa tidak nyaman meninggalkan Akira sendirian.Untungnya jalanan belum terlalu ramai, sehingga mereka secepatnya tiba di rumah sakit Griya Medika.Anggara menggendong putrinya memasuki kamar Akira, sementara Rumi berjalan mengekor di belakang.“Mami?” Ashley begitu antusias melihat wajah Akira, tangannya menggapai ke arah ibunya yang terbaring.“Mami masih tidur, Ash. Kita jangan ganggu dulu ya, kasihan mami perlu istirahat,” ucap Anggara memperingatkan putrinya. Namun dia tetap melangkah menghampiri ranjang pasien, dan mendudukkan Ashley di tepi ranjang.Tangan Ashley terulur menyentuh pipi Akira. “Daddy, mami sakit?”“Hum, mamimu sedikit sakit, hanya perlu istirahat sebentar. Doakan mami agar lekas sembuh, Ash.”Ash mengangguk lalu kembali menatap wajah Akira.“Cepat sembuh ya, mami,” ujar Ashley sembari mengusap lembut pipi Akira. Namun melihat Akira tak kunjung merespon, membuat Ashley bingung.Ashley hendak mengaju
“Aku memintamu untuk menggantikanku dalam pertemuan hari ini. Dan tolong pesankan tiket pesawat untuk kepulanganku hari ini,” ucap Argi kepada Clara yang baru saja terbangun dari tidur.Clara beranjak dari tempat tidur, membiarkan tubuh telanjangnya terpampang nyata di hadapan kekasihnya.“Mas, apa yang membuatmu ingin pulang? Bukankah kita harus menyelesaikan pekerjaan hingga satu minggu ke depan?” Clara melangkah menghampiri Argi yang tengah berdiri di depan cermin.“Aku akan meminta Bayu untuk membantumu. Ada hal penting yang menungguku di rumah,” jawab Argi tanpa menoleh ke arah Clara.Tubuh polos Clara memeluk tubuh Argi dari belakang.“Hal penting apa, sayang? Sampai kamu meninggalkan pekerjaanmu? Apa ini ada hubungannya dengan istrimu?” Clara mengendus aroma parfum di tubuh Argi, sembari tangannya mulai menyentuh bagian sensitif Argi dari belakang.“Hentikan Clara! Cepat bersihkan tubuh kotormu! Dan lakukan perintahku tadi!” Sentak Argi, sembari menggeser tubuhnya.Clara kecewa
Argi segera melakukan perjalanan pulang setelah mendapatkan jadwal penerbangan pada malam hari.Sebelumnya, dia telah menelpon supir untuk mengantarkan mobilnya di bandara.Di sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya rasa cemas itu mengusik ketenangannya. Bolak-balik mencoba menelpon Akira dan Rumi, namun kedua wanita itu tak kunjung menjawab. Membuat amarah dihatinya kian membara.Setelah menanti, akhirnya Argi tiba di bandara. Dia segera melangkah menuju mobilnya yang sudah terparkir, dan Soni juga berada di samping mobil.“Pulanglah, biar aku yang menyetir sendiri.” Argi melempar beberapa lembar uang untuk Soni, sebagai ongkos pulang.Dengan rasa tak sabar, Argi memacu kendaraan roda empatnya menuju rumah.Hari sudah sangat larut, dia mengemudikan mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi. Menyalip setiap kendaraan yang ada di depannya. Tanpa peduli suara klakson dari kendaraan lain, yang merasa terganggu akan tindakannya menyalip.Hingga tak lama, Argi tiba di kediamannya. Buru-buru
Bab 80Akira berpaling untuk menatap wajah Anggara.“Mas Aang? Maaf sudah membangunkanmu,” jawab Akira dengan senyum tipis.“Kenapa menangis? Apa ada yang terasa sakit? Aku akan memanggilkan dokter. Tunggu disini!” ujar Anggara lalu segera memutar tubuhnya untuk mencari pertolongan. Namun tangan Akira mencengkram lengannya.“Jangan mas, aku merasa baik. Tetaplah disini, aku masih ingin bersamamu,” ucap Akira dengan pandangan memohon.Anggara berbalik dan menatap wajah sendu Akira.“Jika kamu merasa baik, lalu kenapa menangis?”“Aku hanya merasa bersalah, tidak dapat menjaga anakku, mas. Dulunya Ash lahir sebelum waktunya, kini adik Ash harus kembali merasakannya. Bagaimana keadaan bayiku, mas?” Akira tahu jika ucapannya mungkin akan melukai hati Anggara, namun dirinya begitu penasaran dengan keadaan bayi yang baru dilahirkan.Anggara mengulurkan tangan untuk menghapus air mata yang membasahi pipi Akira.“Bayi kita masih dalam ruangan steril, jika kamu ingin melihatnya aku akan membawa
Akira terdiam untuk beberapa saat. Potongan apel yang sudah berada di mulutnya, terpaksa dia telan paksa. Mendadak lidahnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan Anggara. Meskipun Akira tahu jawabannya tidak, namun dia merasa takut jika kedua suaminya akan saling bertengkar. Akira sendiri tahu bagaimana sikap Argi yang berubah kejam, dan mendadak muncul rasa takut akan keselamatan Anggara. “Semenjak aku kembali, aku sudah mengetahui jika kamu sudah menikah dengannya. Sehingga aku memutuskan untuk tidak muncul di hadapanmu,” lanjut Anggara lagi sembari menaruh setengah apel yang masih tersisa. “Maafkan aku mas, sungguh aku tidak tahu jika mas Anggara ternyata masih hidup,” jawab Akira dengan perasaan bersalahnya. Sungguh kali ini dia sangat menyesali keputusannya, menerima pinangan Argi. “Saat itu aku berjanji pada diriku sendiri, jika hidupmu bahagia bersama Argi. Maka aku sudah siap untuk melepasmu, aku hanya tidak ingin membuatmu merasa bingung untuk memilih,” ucap Anggara sem
Pagi datang begitu cepat. Sesuai dengan ucapan Anggara, pagi ini dia telah meninggalkan rumah sakit untuk pulang ke rumah. Bahkan ketika Akira belum terbangun dari tidurnya. Setelah mencium kening istrinya, Anggara segera meninggalkan ruangan dan meminta satu suster untuk menemani Akira selama dia tinggal.Akira terbangun setelah mendengar sapaan selamat pagi dari seorang suster yang sedang membuka gorden. Matahari merambat masuk memenuhi ruangan.“Saatnya nyonya Akira sarapan, sebentar lagi dokter akan datang untuk melakukan pemeriksaan,” ucap suster dengan ramah.Akira tak menjawab, justru merotasikan pandangan ke penjuru ruangan untuk mencari keberadaan Anggara.“Tadi pagi suami nyonya sudah pergi, beliau mengatakan jika ingin pulang ke rumah dan memerintah saya untuk menemani nyonya,” jelas suster sebelum Akira mengajukan pertanyaan.Tentu Akira sudah menduganya, meski sedikit merasa hampa tanpa kehadiran Anggara, tapi dia tidak ingin bersikap egois. Ashley juga membutuhkan ayah
“Bagaimana kabarmu?” tanya Raditya dengan pandangan menelisik. Dia hendak memastikan kebenaran dari ucapan putranya.Hingga tatapannya tertuju pada perut Clara, yang terlihat masih datar. Tak lama, tatapannya pun kembali pada wajah Clara.“Kondisi saya seperti yang anda lihat. Andai pak Anggara tidak memberikan pekerjaan ini, mungkin saja hidup saya luntang-lantung,” ucap Clara menjelaskan.“Bolehkah aku bertanya?”Clara kembali memandang ke arah Raditya dengan mata memicing.“Silahkan, pak Radit!”“Apa benar kau telah mengandung benih putraku, Clara?” tanya Raditya sengaja mengurangi volume suaranya agar obrolan mereka tidak didengar orang lain.Clara menundukkan pandangan, jari jemarinya saling meremas di atas paha. Entah apa maksud dari kedatangan Raditya kesini, namun haruskah Clara menjawab jujur?Clara masih trauma akan sikap Argi yang kasar padanya sejak pertemuan terakhir mereka. Perkataan Argi yang tidak terima jika dirinya mengandung calon bayi keluarga Rinega, masih terngia
Argi Rinega menerima hukuman pidana penjara selama dua belas tahun. Itulah keputusan dari hakim yang menangani kasusnya.Tentu hal ini membuat orang tua Argi kecewa. Putra semata wayangnya harus menjalani hukuman berat.Meskipun pihak dari pengacara yang disewa oleh Raditya meminta pengajuan banding untuk meringankan hukuman. Namun dengan tegas putranya malah menolak.“Biarkan aku menjalani hukumanku. Mungkin dengan ini putraku akan memaafkan kesalahanku,” ucapnya sembari memeluk ibunya yang tengah terisak.Hati Lina hancur. Ibu mana yang tidak merasa sedih jika harus hidup terpisah dengan putranya.“Kami sudah tua nak, dua belas tahun itu bukan waktu yang sebentar. Biarkan pengacara papa untuk kali ini membantumu. Setidaknya untuk memotong masa hukumanmu,” ucap Lina sembari terisak.Argi bergeming, tangannya mengusap pelan punggung wanita yang telah melahirkannya.“Maaf, aku sudah mengecewakan kalian dengan perbuatanku,” hanya itu yang mampu terucap di mulut Argi. Hingga salah beber
Akira segera menjalani perawatan di sebuah klinik. Hal ini karena Anggara hanya menemukan klinik yang terdekat dengan lokasi pemakaman.“Dari kalian, siapa yang menjadi suami pasien?” tanya seorang petugas nakes yang bertugas. Melihat pada dua pria tampan yang mengantar satu wanita, tentu petugas tampak bingung.Anggara sedikit terkejut mendengar pertanyaan suster, sedari tadi dia tidak menyadari keberadaan Argi yang ternyata mengikutinya hingga klinik.“Saya suami pasien,” jawab Anggara setelah menoleh sekilas ke belakang.“Baik, ikuti saya. Dokter ingin berbicara dengan anda,” ucap suster, lalu membuka pintu ruangan lebih lebar.Anggara segera memasuki ruangan, sementara suster mencegah Argi yang hendak masuk.“Maaf, hanya suami pasien. Anda bisa menunggu di luar.”Suster segera menutup pintu ruangan. Lalu mengantar Anggara untuk menghampiri dokter.Sekilas Anggara melihat pada Akira yang tengah berbaring di atas ranjang pasien. Kondisinya masih memprihatinkan, kedua matanya masih t
Selama di perjalanan, mobil Anggara terus mengikuti mobil milik Argi yang berada di depannya.Perjalanan menuju ke suatu tempat yang entah kemana.“Mas, aku takut,” ucap Akira yang entah mengapa hatinya mendadak diliputi rasa khawatir dan ketakutan. Padahal Argi akan mengantarkan mereka untuk bertemu putranya.Namun mengapa justru Akira merasakan dadanya terasa sakit tanpa sebab. Air mata terus jatuh bercucuran. Apakah karena kerinduan yang mendalam pada putranya?Anggara menggenggam tangan Akira dengan tatapan fokus ke depan. Dia tidak ingin kehilangan jejak Argi, tentu Anggara sedikit merasa was-was akan ajakan Argi.Mungkinkah Argi semudah itu menyerah untuk memberikan putranya pada Akira?Atau apakah ini sebuah jebakan?“Bersabarlah, kita akan segera bertemu dengan putra kita. Tidak perlu takut, sayang. Ada aku!” ucap Anggara menenangkan hati istrinya.Anggara dibuat terkejut tatkala mobil mereka terhenti di sebuah pemakaman umum. Kedua alisnya saling bertaut, wajahnya terlihat me
Anggara mulai mengorek informasi dari media berita yang kini dia telusuri. Dan memang benar ucapan Bayu, sudah seminggu berlalu perusahaan itu di tutup.Lalu kemana perginya Argi? Mengapa di saat seperti ini justru dia menghilang? Apakah ini sebuah kesengajaan yang merupakan cara Argi untuk menghindar dari hukumannya?Tapi mengapa dia meminta pengacaranya untuk menolak gugatan cerai?Anggara mengalami jalan buntu, berhari-hari mencari keberadaan Argi namun hasilnya nihil. Hingga hari itu dia mendapatkan kabar dari anak buahnya.“Bos Anggara, kami sudah mengecek di bandara, jika sepuluh hari yang lalu ada penumpang atas nama Argi Rinega, serta Raditya Rinega dan istrinya melakukan penerbangan ke luar negeri,” ucap Dewa dari seberang telepon.“Kemana tujuan mereka?”“Singapura.”Anggara kembali terdiam. Haruskah dia mencari putra Akira hingga ke negeri Singa?Selama persidangan cerai belum usai, maka dia tidak bisa berbuat apapun untuk merebut putra Akira. Tentu hal asuh harus jatuh ke
“Baiklah, karena berkas sudah lengkap, nanti saya akan segera mengurusnya,” ucap pengacara Kim pada Anggara dan Akira, yang saat itu berkunjung ke kantornya.“Kapan persidangan pertama akan dilakukan, Kim?” tanya Anggara memastikan.“Nanti akan saya kabari, pak Anggara. Kemungkinan besar satu hingga dua Minggu ke depan, tergantung dari pihak pengadilan yang memberi jadwal. Mungkin dua hari ke depan kita akan mengirim surat gugatan cerai kepada yang bersangkutan. Jika pihak yang digugat menyetujuinya, maka proses akan semakin cepat,” jelas Kim.Tentu hal itu tidak mungkin terjadi, Anggara tahu betul bagaimana ucapan terakhir Argi. Dia tidak akan semudah itu melepaskan Akira. Namun apapun yang terjadi, Anggara akan mengusahakan untuk gugatan cerai itu diterima.“Tolong hubungi aku tentang perkembangan prosesnya nanti,” ucap Anggara akhirnya, sebelum memutuskan obrolan.***Hari berlalu sangat cepat, pihak kepolisian sudah berhasil membuktikan kesalahan pria yang melakukan penculikan, me
“Auwhhh! Apa kalian tidak bisa bekerja dengan benar?” sentak Argi pada suster yang tengah mengobati luka di wajahnya.“Maaf tuan, saya tidak sengaja,” suster menunduk dengan tangan gemetar karena ketakutan.“Pergilah! Dasar tidak becus!” Argi mengibas tangannya untuk mengusir suster yang merawatnya.Bayu yang berdiri tak jauh dari sana, tak heran dengan sikap arogan Argi. Namun dia ikut merasa prihatin atas apa yang menimpa teman sekaligus bosnya itu.Dia tidak menyangka akan terjadi keributan seperti tadi. Dua temannya saling berkelahi. Tentu menurut pandangan Bayu, Argi adalah pihak yang salah. Bagaimana tidak, jika Argi memukul lebih dulu saat kondisi Anggara tidak fokus. Jadi wajar jika Anggara memberinya pelajaran.“Hey, apa kau sudah menghubungi para investor? Bagaimana? Apa mereka mau menerima tawaran kita?” pertanyaan yang ditujukan pada asistennya.“Hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mau menginvestasi ke perusahaan kita. Mungkin kamu harus memulihkan nama baikmu dulu, bar
Anggara membawa Clara menuju rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Wajah Clara terlihat pucat dengan beberapa bekas tamparan yang masih membekas di pipinya. “Apa anda suaminya?” tanya dokter yang menangani Clara. “Bukan, aku hanya menolong,” balas Anggara singkat. “Apa yang terjadi dengan nona ini?” tanya dokter lagi. Sebelum memberikan tindakan, tentu dia harus mengetahui kronologi yang terjadi sehingga pasien seperti ini. “Beberapa orang menculiknya, dan aku berhasil menemukannya. Sepertinya dia mendapatkan perlakuan kasar, dan wanita ini sedang hamil,” jelas Anggara. Mata dokter melebar mendengar penjelasan Anggara. “Baiklah saya akan memberikan tindakan pertolongan, dan memeriksa kondisi janinnya. Apa anda bisa menghubungi keluarga nona ini?” tanya dokter lagi. “Akan saya usahakan,” jawab Anggara, meskipun dia tidak tahu perihal tentang Clara. Anggara pun digiring keluar ruangan, saat dokter mulai memeriksa keadaan pasien. Mungkin saat ini istrinya sedang kebi
“Permisi, Pa. Apa ada mas Anggara di dalam?” ucap Akira sembari mengetuk pintu ruang kerja ayah mertuanya. Meskipun pintu ruangan itu sedikit terbuka, namun Akira tidak langsung masuk. Karena takut mengganggu pembicaraan Baskoro dengan suaminya. Yang dia tahu Anggara berada di dalam.“Masuklah, Akira!” suara Baskoro terdengar dari dalam. Akira segera membuka pintu lebih lebar. Tatapannya merotasi ke sekeliling ruangan. Namun tak melihat keberadaan suaminya di sana.“Dimana mas Anggara, pa?” tanya Akira penasaran.“Aang masih ada urusan sebentar. Kamu tidak perlu khawatir,” jawab Baskoro dengan mimik datar. Sesuai dengan permintaan putranya, dia tidak akan memberitahu Akira.“Kemana, pa? Kok tumben mas Anggara gak ijin ke aku?” tanya Akira lagi dengan kedua alis saling bertaut, wajahnya masih terlihat cemas.Baskoro menghela nafas, memandang pada menantunya dari balik kacamatanya.“Tadi suamimu buru-buru, sepertinya ini mengenai perusahaan. Kamu tidak perlu khawatir, secepatnya suamim