“Berbahagialah, Kak. Ini kan hari pernikahanmu.”
Gemilau Maharani yang sedang mematut diri di hadapan cermin terkejut kala mendengar suara lembut dari adiknya, Tiara Maharani.“Hari bahagia, katamu?” Gemi melirik sinis ke arah sang adik. “Ini adalah hari terburuk sepanjang sejarah hidupku!”Pada akhirnya, pernikahan antara dia dan Nakula tetap digelar. Alih-alih bahagia, dia justru merasa marah dan sedih atas paksaan orangtuanya yang mendesaknya untuk menikahi Nakula.“Aku mengerti, Kakak mungkin malu mengakui kalau Kakak jatuh cinta pada pengawal sendiri.” Tiara menjulurkan jemarinya ke arah Gemi dan mencengkeram bahu kakaknya yang sedang mematut diri di hadapan cermin rias. “Tapi, Kakak harus tetap bersyukur, karena pria yang Kakak nikahi adalah Nakula. Dia tampan dan pandai bertarung.”Senyum palsu, Gemi tahu adiknya tersenyum karena merasa senang dengan kejatuhannya. Siapa yang tidak senang melihat saingan satu-satunya didepak keluar dari rumah? Tidak lama lagi bisnis keluarganya akan jatuh ke tangan Tiara alih-alih Gemi, dan itu merupakan kekalahan terbesarnya!Adik tirinya dari pihak ibu, yang tidak ada hubungan darah setetes pun dengan Gemi, harus mewarisi salah satu bisnis terbesar keluarga Maharani? Gemi rasanya ingin menghancurkan seisi dunia ini untuk menggagalkan rencana itu.Gemi bisa merasakan adiknya menyalurkan rasa puas atas kemenangannya. Sontak saja, amarahnya kembali merangkak naik, membuat dia menepis tangan Tiara.Adiknya terlihat terkejut, tetapi beruntung seorang staf yang mengurus pernikahan membuka kamar rias dan berkata, “Nona Gemi, silakan keluar sekarang. Acara resepsi sudah dimulai.”***Acara resepsi pernikahan dilaksanakan dengan amat sederhana di sebuah hotel megah nomor satu di Surabaya. Hanya dihadiri oleh kerabat dekat saja. Tidak ada media atau jurnalis haus berita yang datang untuk mengulas momen ini, lantaran orangtua Gemi ingin menghindari adanya berita simpang-siur yang berpotensi menimbulkan sensasi publik.Gemi menatap panggung tempatnya duduk bersama Nakula. Dari kejauhan, dia dapat melihat pria itu menunggunya, didampingi oleh seorang wanita.Nakula begitu tampan dan mempesona, bagaikan prajurit langit yang turun ke bumi untuk menjemput kekasihnya. Saat Gemi melangkah maju, semua mata memandangnya, seolah tersihir dengan kecantikan Gemi.Mereka bergandengan tangan di tengah panggung. Nakula tersenyum lebar, sementara Gemi tetap memasang wajah datar.“Tersenyumlah, Nona.” Suara Nakula terdengar begitu dalam dan berat, membuat Gemi merinding sebab ini pertama kalinya dia berhadapan sedekat ini dengan pengawalnya sendiri. Terlebih ini Nakula Yudistira, pengawal paling muda yang ketampanannya selalu menjadi buah gosip di kalangan para pelayan perempuan.“Cukup kamu yang tersenyum. Nggak usah pedulikan aku,” balas Gemi, enggan menatap wajah suaminya.“Nona adalah istri saya sekarang, jadi sudah seharusnya saya peduli dengan Nona.”Gemi menatap Nakula, dan tanpa sadar pipinya memerah karena melihat betapa dekat dirinya dengan wajah pria ini. Mata Nakula serupa gurun di padang pasir—cokelat terang yang mengagumkan. Gemi harus mengingatkan dirinya untuk tidak terhisap di pasir itu.“Selamanya, aku enggak akan menerimamu sebagai suami.” Gemi berkata tegas, berusaha meredam jauh-jauh gejolak liar yang tumbuh di perutnya. Dia tidak akan mudah terpesona dengan orang ini.“Benarkah?” Nakula menggenggam tangan Gemi, lalu menarik gadis itu agar merapat padanya. Tindakan itu secara otomatis membuat seluruh tamu di ruangan bersorak kecil.“A-apa yang kamu lakukan?” Gemi mencicit panik.“Kalau Nona terus menerus berwajah masam dan menjaga jarak dengan saya, orang-orang di tempat ini akan mencium kecurigaan dari pernikahan kita.” Bibir Nakula bergerak samar. Orang lain mungkin melihat dia hanya tersenyum. “Mereka bisa tahu bahwa Nona sengaja menikah dengan saya untuk menghindari gosip yang lebih parah. Memang Nona mau menciptakan skandal yang lebih besar?”“Lalu—apa maksud—”Namun Gemi tidak sempat menyuarakan pertanyaannya sebab Nakula tahu-tahu menunduk, mendekatkan wajahnya pada Gemi.Pria itu berbisik selirih embusan angin, “Mari beri mereka tontonan yang menarik.”“….”Sebelum Gemi sempat meresapi maksudnya, gadis itu merasakan kepala Nakula merunduk, tanpa aba-aba mencium bibirnya.Seketika, seisi ruangan bersorak. Akan tetapi, Gemi tidak mendengar apa pun selain jantungnya yang berdebar dan darahnya yang berdesir di kepala. Dalam keterpakuannya, dia bisa merasakan bibir Nakula bergerak perlahan, mengecup dan memagut bibir Gemi bagai permen kapas, lembut dan manis.Sikap Nakula begitu tenang dan lembut, sungguh berbeda dengan perangainya yang selama ini tampak bagaikan anjing penjaga galak. Gemi dibuat kewalahan atas aksi tiba-tiba ini. Rasanya gadis itu hendak merosot jatuh lantaran kedua kakinya melemas, tetapi Nakula dengan sigap menahan kedua lengannya.Pria itu melepas ciumannya, lalu berkata pada Gemi dengan suara bergetar, “Maafkan saya.”Gemi tidak bisa berkata apa-apa, entah masih syok atau hanyut dalam sensasi-entah-apa yang begitu mendebarkan. Sentuhan Nakula di bibirnya masih terasa panas dan menggelitik. Tercium aroma musk dan ras
Pagi ini Gemi resmi meninggalkan rumah orang tuanya. Namun tidak satu pun dari ibu atau ayahnya menunjukkan raut kesedihan. “Saya akan sering-sering mengabari Ayah untuk memberitahu keadaan di sana.” Gemi memaksa diri untuk tersenyum, meski hatinya hancur. Ayah membalas dengan anggukan singkat, lalu meremas tangan Gemi seolah memberinya kekuatan. Lewat reaksi tersebut, gadis itu tahu bahwa Ayah sebetulnya peduli, akan tetapi sifat tegas dan kerasnya selalu menang.Saat Gemi berpaling pada ibu tirinya, dia malah mendapat tatapan sinis.“Bu,” Gemi berkata hati-hati. “Sampai nanti. Saya akan—”“Ibu ingin kamu menjalani tugas seorang istri dengan baik. Tidak perlu mengkhawatirkan keadaan rumah, karena kami pasti akan baik-baik saja tanpamu.”Kalimat itu membuat Gemi tersinggung. Dia tahu Ibu sengaja mengatakan hal tersebut—makna lain jika kehadirannya tidak dirindukan di rumah ini. Jengkel dengan sikap ibunya yang angkuh, Gemi pun membalas dengan usil, “Tentu. Saya akan melakukan peker
“Ru-rumah? Apa maksudmu?” Gemi menatap Nakula dengan sorot bingung.Namun pertanyaan terakhir Gemi tidak dijawab, sebab Nakula lekas keluar dari mobil dan berputar ke sisi pintu yang lain untuk mempersilakan Gemi turun. Gadis itu menurut, dia turun dari mobil dan berdiri tegap. Wajahnya mendongak menatap sebuah rumah mewah bergaya Georgia, yang nyaris sempurna dikatakan versi mini dari sebuah istana Eropa.Rahang Gemi jatuh. Dia menatap pemandangan itu dengan ekspresi syok.“Ayo masuk, Nona.” Nakula tiba-tiba saja memimpin jalan ke depan, sementara Gemi yang baru saja sadar dari keterkejutannya langsung mengejar pria itu.“Tunggu! Nakula, apa maksudmu? Rumah ini milikmu? Kamu mau membohongiku, ya?”Langkah kaki Gemi yang lebih pendek nyaris kesusahan mengejar Nakula. Lantas dia terpaksa berlari lebih cepat, tidak memedulikan fakta bahwa dirinya sedang mengenakan sepatu hak tinggi. Karena diliputi syok dan bingung, Gemi jadi tidak hati-hati sehingga ujung sepatunya terantuk kerikil k
‘“Kamu sungguh-sungguh punya rencana jahat pada keluargaku?”Nakula menatap Gemi dengan raut penuh teka-teki. Rahang pria itu mengeras, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu di ujung lidah. Akan tetapi tatapannya terlihat redup dan sayu, bukan raut penuh ancaman seperti yang diwaspadai Gemi. Sebenarnya apa niat pria ini? Emosinya sama sekali tidak terbaca, dan itu membuat Gemi kesal. “Hei,” Gemi menggerutu kali. “Kalau sampai kamu punya niat buruk pada keluargaku, aku enggak akan diam saja. Kamu pikir karena aku perempuan, aku enggak bisa melakukan pembalasan pada pengawal rendahan sepertimu?”Rendahan? Kata itu terdengar salah. Gemi sekejap merasa malu, tetapi berusaha tidak mengoreksi ucapannya dan tetap bersikap angkuh. Pokoknya dia tidak boleh terlihat lemah di depan Nakula. “Saya sama sekali tidak memiliki niat buruk.” Nakula membalas singkat. “Bohong!” Gemi menyulut protes. “Kalau kamu lahir dari keluarga yang begini kaya, untuk apa kamu melamar menjadi pengawal di keluarga
Makan malam di rumah Nakula menjadi momen pertama yang menggelisahkan. Gemi harus memaksa dirinya tenang ketika melihat para pelayan tiada habisnya datang sambil membawa piring-piring makanan. Salah seorang di antara mereka bahkan bertugas mengisi gelas Gemi yang kosong. “Aku akan melayani diriku sendiri,” kata Gemi yang sudah tidak tahan lagi melihat pelayan itu mondar-mandir di sekitarnya. Nakula yang menangkap kejengkelan di mata Gemi berkata, “Anda tidak suka dengan pelayan saya? Ingin menggantinya?”Saat mengatakan kalimat terakhir, raut wajah sang pelayan yang dimaksud Gemi langsung merengus panik. Dia menunduk sopan sambil perlahan melangkah mundur. “Bukan gitu. Aku hanya enggak biasa dilayani sampai seperti ini.” Gemi berkata terus terang lalu secara halus mengusir pelayan di sampingnya dengan lirikan mata. Dia kembali menatap Nakula yang memberinya pandangan datar, kemudian terbit kejengkelan yang lebih besar. “Nakula, aku penasaran dengan sesuatu.”“Silakan tanyakan apa pu
Situasi sungguh tidak terkendali. Setelah seorang pelayan mengadukan penemuan mayat kepada Nakula, pria itu mendesak maju ke dapur untuk membuktikan kesaksian itu. Nakula menyalip beberapa pelayan yang berdiri di dekat konter dapur, lalu menatap lantai di bawah wastafel cuci, tempat seorang pelayan perempuan muda terbujur lemas di antara kepingan piring yang pecah dan makanan yang tumpah. Kulit pelayan itu telah berubah menjadi kebiruan, dan muncul busa dari sudut mulutnya. Matanya membelalak ngeri seolah dia meregang nyawa dalam keadaan tersiksa luar biasa. Gemi menjerit syok. Tubuhnya gemetar sementara dia melihat Nakula berlutut di samping sang pelayan untuk memeriksa laju napas dan denyut nadinya. “Dia sudah tewas,” kata Nakula, seketika mengundang sentakan kehebohan dan jerit mendalam dari semua orang yang berdiri di sekitarnya. Diselingi rasa takut dan bingung, Gemi menghadap para pelayan lain dan berkata, “Gimana ceritanya dia bisa meninggal?”“Saya yang pertama menemukanny
Setelah menyaksikan insiden mengerikan di dapur tadi, dan mendengarkan betapa ricuhnya pihak yayasan rumah sakit yang datang untuk mengautopsi mayat tersebut, Gemi diserang rasa gelisah sampai tidak bisa tidur. Nakula masih keluar karena sedang berbicara bersama pihak forensik, tetapi Gemi di sini sudah kepalang rindu—bukan, maksudnya menunggu-nungu kedatangan Nakula lantaran dia takut sendirian. Dan setelah berlama-lama merenung, Gemi mendengar pintu kamarnya dibuka. “Nona. Kenapa Anda belum tidur?”“Enggak papa. Gimana tadi tentang obrolanmu? Kamu dapat informasi dari para petugas forensik?”“Racun arsenik,” kata Nakula selagi dia duduk di sebelah Gemi. “Ada di dalam kue kering yang disediakan untuk Anda. Pelayan itu memakannya dan efeknya langsung muncul dalam beberapa detik. Racun itu menyumbat pernapasan dan melumpuhkan otak—salah satu dari jenis racun terampuh untuk membunuh korbannya sebelum dia bisa dilarikan ke rumah sakit.”Gemi mengusap wajah dengan frustrasi terkejut d
Suara alarm dari jam digital Nakula berbunyi. Bukan bunyi melengking tajam yang merusak telinga, melainkan alunan musik klasik yang mengalun lembut. Gemi menguap lebar, menguburkan wajahnya lebih dalam, lalu menghirup aroma manis yang hangat.Gemi mengusakkan hidungnya pada sebuah permukaan yang tidak asing. Bukan seprai maupun bantal. Namun aromanya enak dan suhunya hangat. Gadis itu menempelkan pipinya dan berpikir lama. Bau ini… dia mengenalnya. Rempah manis yang harum. Perpaduan antara kayu dan cendana yang lembut sekaligus tajam. Mengapa Gemi bersandar di sini? Di … mana? Di mana dia bersandar? Gadis itu membuka mata perlahan, lalu terkejut setengah mati saat mengetahui kepalanya mendarat di dada Nakula yang masih tertidur. “Si-sial!” Gemi buru-buru menjauhkan wajah dari tubuh Nakula, berusaha menormalkan gejolak jantungnya yang bergemuruh kencang. Mengapa dia tidur bersama pria ini? Bukankah semalam Gemi berbaring di atas kasur? Gemi segera mendongak dan mendapati kasur yang t
“Nakula, biar kukatakan sekali lagi padamu,” sang abang melangkah mendekati Nakula sehingga jarak yang terpaut di antara mereka hanya beberapa sentimeter saja. “Kalau kamu enggak sanggup membunuh istrimu, biar aku atau Ayah kita yang turun tangan.”“Jangan,” Nakula merasakan suaranya agak gemetar. Dia memberanikan diri menatap sang abang. “A-aku sanggup. Biarkan aku yang mengambil tugas ini.”Lalu jemari tangan Dirga menyentuh dagu Nakula. “Adikku yang patuh, sejak dulu kamu tahu apa tugasmu berada di rumah menteri itu. Kamu bukan bekerja di sana untuk Gemi, kamu bekerja di sana untuk keluarga kita. Saat waktunya tepat, kamu harus turun tangan sendiri untuk berperang.”Nakula mengangguk. “Katakan padaku, Nakula,” kata Dirga. “Apa selama ini kamu benar-benar menyimpan rasa terhadap Gemi?”Nakula diam saja, dan Dirga meringis tipis. “Jadi rupanya benar apa yang dikhawatirkan Ayah selama ini.”“Apa maksudnya?”“Ayah kita sejak lama sudah menaruh curiga padamu. Dia takut kamu berkhianat
Sekitar satu minggu kemudian, keadaan di kediaman Nakula mereda. Tidak ada lagi tangisan Gemi yang menuntut keadilan kepada ayahnya, atau masalah-masalah berarti yang membuat sepasang suami-istri ini pusing. Nakula telah menjalani sidang perihal serangan yang dia dapat dari orang asing tempo lalu, dan hasil akhirnya menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Sementara sang penjahat yang sempat koma kini harus mendekam di penjara selama beberapa bulan setelah bersaksi bahwa dia mabuk. “Bukan hukuman yang kita harapkan, tapi seenggaknya hal ini akan membuat penjahat itu jera,” kata Gemi sambil sesekali mengiris daging panggang dalam piringnya. Dia menatap Nakula yang terdiam di kursi makan. “Nakula, kamu dengar pendapatku barusan, kan?”“Ya,” Nakula mengangguk. “Tapi tetap saja… ada yang ganjil dari pernyataan orang itu. Aku sendiri yakin bahwa dia enggak sepenuhnya mabuk.”“Kenapa kamu yakin?”“Karena dia memukulku dengan gerakan terkoordinir. Rasanya seperti terlatih dan terbiasa memuk
Nakula membaca dokumen itu baik-baik. Ada yang janggal dari jumlah pesanan dan tujuannya. 50 kotak ikan? Bila tidak salah… Nakula pernah mendengar abang sulungnya berkata hal ini. Ikan adalah kode untuk penyebutan senjata di dunia mafia. “Gemi, sedang apa kamu?” Suara itu tiba-tiba membuat Nakula dan Gemi sama-sama tersentak. Mereka menatap ambang pintu yang kini dihalangi oleh tubuh ayah Gemi. Wajah pria itu menatap keduanya dengan curiga. “A-ah, Ayah sudah pulang?” Gemi secara anggun langsung menyelipkan dokumen itu ke lantai, di balik meja kerja. Lalu di saat bersamaan gadis itu mengajak ayahnya mengobrol. “Saya sedang mencari dokumen rumah yang dulu katanya Ayah janjikan. Tapi saya tidak menemukannya….”Nakula menatap Gemi penuh tanda tanya. Dokumen rumah? “Ah, rumah itu.” Ayah maju dari ambang pintu dan memasang tampang canggung, seolah pembahasan ini melucuti kehormatannya. “Begini, rumah yang dulu Ayah janjikan, sebenarnya sudah diurus sebagian oleh orang suruhan Ayah. Renc
“Gemi, kamu serius mau melakukan ini?” Di dalam mobil yang sedang berjalan, Nakula bertanya resah kepada istrinya. “Sudah ratusan kali kamu bertanya hal yang sama padaku. Kamu mau kupukul kali ini, ya?”Nakula mendesau napas, kemudian membelokkan mobilnya di jalanan lenggang perkotaan. Mereka memasuki kawasan elite perumahan Gemi, lalu berhenti di depan sebuah gerbang rumah tinggi yang tertutup. Seorang satpam datang dari bilik jaga dan langsung membuka gerbangnya. “Halo, Pak,” Gemi menyapa Pak Emir dengan ramah. Namun anehnya yang disapa tampak gelisah dan pucat. “No-nona Gemi… ternyata Anda datang kemari.”Gemi mengerutkan kening karena menangkap keanehan ini. “Loh, kenapa? Ini kan masih rumah saya. Saya mau ketemu Ayah di dalam. Beliau ada, kan?”“Uh, itu… Tuan sedang ada proyek sosial mengunjungi desa-desa di kawasan barat. Di rumah hanya ada Nyonya dan Nona Tiara.”Raut Gemi berubah masam. Dia benci untuk bertemu dua tikus selokan itu. Namun, tujuannya datang kemari memiliki m
“Gemi, apa yang kamu lakukan di sini?”Pertanyaan Nakula membuat Gemi yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit menoleh. Gadis itu membuang napas dan membiarkan Nakula duduk di sampingnya. Dia berkata lembut, “Maaf karena aku lari tiba-tiba.”“Bukan salahmu. Pria itu memang pantas dihajar,” kata Nakula, lalu mengetatkan rahang menahan rasa jengkel. Tidak menunggu lama setelah Gemi berlari keluar dari ruang rawat tadi, Nakula langsung meninju rahang Rajendra tanpa ampun. Untung saja Pak Wiraya segera melerainya. Kalau tidak, mungkin Rajendra akan koma lagi dan tidak bisa dimintai keterangan. “Aku takut waktu dia mengatakan hal itu,” kata Gemi lirih. “Aku mengingat bagaimana sorot matanya ketika dia hendak meraihku di dalam mobil saat itu. Mengerikan sekali… Aku takut membayangkan apa yang terjadi bila dia sempat menyentuhku.”Nakula meremas tangan Gemi dengan lembut. “Gemi,” katanya sambil menatap mata Gemi lurus-lurus. “Pegang janjiku. Aku enggak akan membiarkanmu disentuh laki-l
Setelah mendengar orang di baliknya berkata sesuatu, Nakula mematikan sambungan telepon. Dia terpaku sebentar dan menatap meja dengan tatapan kosong, tidak memedulikan Gemi yang berseru-seru memanggilnya. “Nakula!” Gemi akhirnya mengguncang pundak Nakula hingga pria itu sadar. “Ah, maaf, Gemi,” kata Nakula, lalu memasukkan ponsel kembali ke sakunya. “Itu tadi telepon dari pihak rumah sakit. Orang yang waktu itu kupukuli sudah sadar dari koma. Dokter memanggilku untuk memastikan apakah aku bersedia menemuinya bersama polisi.”“Benarkah? Kalau begitu kita harus ke sana sekarang!” Gemi langsung bangkit dari meja makan sambil membelalak terkejut. Nakula mengangguk. “Aku akan kirim pesan ke Pak Wira untuk datang ke sana juga.” Pak Wira adalah kepala salah satu divisi di Polda yang bertugas menyelidiki kasus Nakula. Setelah itu, mereka berdua menaiki mobil untuk pergi ke rumah sakit. Sebelumnya mereka memastikan telah mengantar Clara kembali ke Pelita Kasih. Anak perempuan itu melambaik
Gemi dan Nakula saling berpandangan. Keduanya ingin mengatakan bahwa Clara bukanlah anak kandung mereka, tetapi saat Gemi menatap Clara yang berdiri mengapit di antara dirinya dan Nakula, dia menangkap raut wajah Clara menjadi sumringah. Seolah dia senang dianggap menjadi putri dalam sebuah keluarga. Nakula langsung berkata pelan, “Ya, dia anak kami.” Gemi cukup terkejut, tetapi tidak membantah. Sebagai gantinya dia melihat wajah Clara menjadi malu-malu dan menahan girang. Marvel, sementara itu, akhirnya mengajak mereka berdua berkeliling sebentar di Sea World—salah satu bisnis besutannya yang terbaru. Gemi menjadi takjub saat dia melihat sebuah lorong panjang yang kanan kirinya diapit aquarium raksasa. “Kalian bersenang-senanglah di sini,” kata Marvel sambil menepuk pundak Nakula seperti sahabat lama. “Aku sudah mengatakan pada asistenku agar kalian diberikan akses gratis untuk mencicipi semuanya. Sudah pakai gelang yang kuberikan, kan? Nah, bagus. Jangan sampai hilang. Gelang itu
—Kantin (Ruang Makan) Yayasan Yatim Piatu Pelita Kasih. Senin pagi pukul 09.23“Kak Gemi! Kak Gemi! Ambil ini!”Suara seorang anak kecil mengusik Gemi pagi itu. Dia berpaling dari obrolannya bersama staf pengasuh di Rumah Yatim Pelita Kasih dan langsung berhadapan dengan Clara, gadis berusia lima tahun yang tiba-tiba mendatanginya untuk memberikan plastisin berbentuk dinosaurus. “Ah, waaah, ini buatku?” Gemi mengambil plastisin itu dan memeriksa bentuknya sekilas. “Bagus banget. Kamu bikin T-Rex ini sendiri?”Clara menggeleng. “Dibantu tadi sama Kak Bagas.” Gemi berpaling pada dua staf pengasuh yang ada di dekatnya, bermaksud mencari informasi siapa Bagas. Salah satunya menjawab, “Anak kelas 3 SMP. Dia paling dekat dengan Clara.” “Oh, gitu.” Gemi berpaling lagi pada Clara. “Kenapa kamu ngasih plastisin ini ke Kakak, hm? Kamu mau mengucapkan terima kasih ya?”Clara terkikik kecil. “Habisnya muka dinosaurusnya mirip Kak Gemi!”Jawaban itu sontak membuat dua staf di belakang Gemi tert
“Kutanya sekali lagi, Gemi. Apakah kamu mencintaiku?”Semenjak Nakula merebut perhatiannya di malam pertama penyatuan mereka, Gemi sebetulnya telah merelakan sebagian hatinya jatuh untuk Nakula. Dia peduli dan menyayangi pria itu, dan dia mengharapkan Nakula melakukan hal yang sama. Akan tetapi, mengapa saat ini reaksi Nakula seperti berbeda? “Aku mencintaimu,” Gemi akhirnya memilih untuk jujur, kendati dia tahu Nakula mungkin akan bereaksi berbeda. “Dan bukankah kamu juga mencintaiku, Nakula? Kamu bilang kamu sudah menyukakku sejak tujuh tahun lalu, bukan?”Gemi berharap Nakula langsung menjawab tanpa berpikir. Namun justru kebalikannya yang pria itu lakukan. Dia berpikir sebentar lalu berkata, “Ya, aku mencintaimu. Aku … menginginkan kita untuk terus bersama.”“Memang seperti itulah yang seharusnya terjadi, bukan?” Gemi mendengkus terheran-heran, lalu, “Nakula, kamu kelihatan aneh tahu enggak? Kenapa kamu mengatakan hal itu seolah-olah kita enggak akan bersama selamanya?”Nakula di