Suara keletuk sepatu Gemi menggema di seantero lorong rumah Nakula yang megah. Gadis itu berhenti di depan sebuah dinding ruang tengah yang memajang potret foto keluarga Nakula yang lengkap. “Jadi ini keluarga Nakula?” Gemi mendongak menelusuri setiap wajah yang terpampang di potret tersebut. Pak Janu, yang sejak tadi berdiri di samping Gemi, mengangguk. “Betul, Nona.”Gemi diam-diam menyumpah serapah dalam hati lantaran potret keluarga ini berhasil membuat sekujur tubuhnya merinding. Bukan karena wajah-wajah di dalam potret ini mengerikan, melainkan sebaliknya—mereka semua amat mempesona. Gemi bisa menebak bahwa darah yang mengalir dari tubuh mereka bukan hanya darah asli Indonesia, melainkan campuran. Ibu Nakula, barangkali adalah salah satu wanita tercantik yang pernah Gemi tahu. Wajahnya amat kecil, tubuhnya ramping, seperti penari yang anggun. Senyumnya memberi ketenangan yang entah bagaimana berbenturan dengan atmosfir keangkuhan para ningrat yang tercetak dari potretnya. “Na
Wajah Nakula semakin mendekat. Sedikit dorongan saja maka bibir mereka bisa bergesekan. “Ka-kamu ini apa-apaan, sih? Kamu mabuk, ya? PERGI DARIKU, SIALAN!” Pekat dengan kemarahan, Gemi langsung menampar Nakula sehingga wajah pria itu tersentak ke kanan. “Maafkan saya,” Nakula tiba-tiba saja berubah lagi menjadi anjing penurut. Kesadarannya kembali bagai sapuan gelombang laut. “Aku sudah bilang padamu, Nakula. Sedikit saja kamu mendekatiku, aku enggak akan segan-segan buat melukaimu!” protes Gemi terengah-engah. “Maksudmu apa melakukan hal itu tadi, hah? Kamu mau melecehkanku?”“Kadang kala saya merasa bahwa keberanian Nona Gemi patut untuk dibuktikan. Nona begitu tangguh, jadi saya barusan melakukan hal itu untuk mengecek apakah Nona mampu berbuat sesuatu bila dipepet bahaya,” Nakula menjelaskan dengan lancar. Tidak ada kebohongan di mata redupnya yang memikat. Gemi goyah di antara keputusan untuk percaya atau menolak. “Jangan mempermainkanku,” kata Gemi antara gigi-giginya yang t
“Seorang istri tidak diwajibkan mencari kerja selama suaminya masih bisa memberi nafkah, Nona.” Suara Nakula bagaikan cemeti tajam yang memecut telinga Gemi. Gadis itu praktis bangkit dari kursi ruang tamu dan menuding wajah Nakula dengan jari telunjuknya. “Aku bukan wanita yang menganut sistem patriarki sepertimu, Nakula. Ini adalah keputusanku. Pokoknya aku mau bekerja dan menghidupi diriku sendiri tanpa bergantung dengan seluruh sumber penghidupan darimu!”Nakula membuang napas sambil memijat pelipisnya dengan jemu. “Saya tidak bermaksud menjadi patriarkat, Nona. Bukannya saya melarang Nona bekerja, tapi saya tidak ingin keselamatan Nona terancam bila keluar dari rumah ini.”“Di mana-mana enggak aman. Mau aku berdiam di rumah pun masih ada kemungkinan penjahat itu kembali dan membunuhku. Lantas kenapa aku harus menutup kesempatan bekerja di luar?”“Penjahat itu pasti akan lebih mudah berkeliaran di luar,” kata Nakula, lalu memberi gagasan lain, “Begini saja, saya akan mencarikan A
Siang pukul 11.40. Surabaya panas menyengat seperti tangki pembakaran di neraka. Gemi dan Nakula melangkah melalui pintu tingkap kayu Rumah Yatim Piatu lalu muncul di sebuah ruang tamu luas yang nyaman. Dari dekat lorong samping tangga, muncul seorang perempuan muda yang memiliki wajah keibuan. “Halo, Nak Nakula. Apa kabar?” Wanita itu menyambut Nakula dengan murah senyum. Sudah Gemi duga, kedatangan Nakula di tempat ini pun pasti akan membuat semua orang melirik dengan penasaran, sebab sekarang itulah yang terjadi; beberapa anak penghuni panti asuhan yang mulanya duduk tenang dan bergerumbul di sudut ruangan langsung menghampiri Nakula dengan heboh. Satu dua di antaranya berteriak menyambut sambil melompat-lompat girang. “Wahhh, Mas Naku! Mas Naku datang!” “Mas, aku kangen Mas loh!” Seorang bocah perempuan yang kelihatannya berusia lima tahun langsung memeluk pinggang Nakula sambil tertawa senang. Nakula menerima sambutan mereka semua dengan hangat. Tawanya lebar dan santer, me
Setelah sekitar satu bulan tinggal bersama Nakula di kediamannya, sekaligus menjadi staf pengajar di Rumah Yatim Piatu Pelita Kasih, Gemi berhasil menggali cukup banyak informasi tentang latar belakang Nakula. Selain menjadi orang populer dan menerima banyak perhatian, Nakula juga ternyata sama seperti Gemi; dibuang oleh keluarga atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Betapa ironis mengetahui fakta bahwa mereka adalah sepasang suami-istri yang memiliki takdir sama. Gemi yang dulunya merasa sebal dan betah protes di hadapan Nakula, kini menjadi semakin lunak dan sabar lantaran merasa iba dengan kondisi suaminya sendiri. Seperti sekarang, ketika Gemi dan Nakula mendarat di sebuah toko kue sebelum pulang ke rumah, Nakula akhirnya melayangkan satu pertanyaan besar yang mengganjal pikirannya;“Kenapa Anda mengajak saya ke toko kue ini, Nona?”“Karena aku mau membelikanmu kue.” “Tapi saya tidak ulang tahun,” kata Nakula. Gemi mengambil sebuah keik sederhana dengan lelehan cokelat yang
Ini pasti mimpi. Begitulah yang Nakula rasakan ketika dia membuka mata dan terbangun di sebuah tempat yang familier—ruang kantor ayahnya. Bagi Nakula, yang telah lama diserang kepanikan atas trauma masa lalu, mimpi adalah sesuatu yang fana sekaligus nyata. Dia tahu dia bermimpi, tetapi dia tidak bisa mengendalikannya. Bayang-bayang kematian anggota keluarganya selalu melilitnya dalam kerangkeng masa lalu, mencekiknya, melumpuhkannya. Seperti saat ini, ketika Nakula melangkah menghampiri sang ayah, dia tidak bisa mengelak dari tatapannya yang membunuh. “Nakula,” kata ayahnya, yang menatap Nakula dengan bengis. “Kamu sudah kuusir dari rumah ini. Mengapa kamu kembali lagi?”Wajah Ayah mirip dengan Nakula, tetapi sang putra mewarisi kilau mata ibunya yang seindah gurun dan selembut sapuan mentari. Sementara tatapan ayahnya cenderung dingin, keji, bagaikan hiu yang bersembunyi di balik gunung es. Nakula membalas lirih, “Ayah, saya hanya ingin minta maaf.”“Kendati kamu minta maaf, masa
Saking sibuknya mengurus orang sakit, Gemi lupa bahwa sejak pagi tadi perutnya belum diisi. Maka setelah mengantarkan Nakula beristirahat di kamarnya, gadis itu turun ke lantai pertama untuk makan malam. Dia sedang celingukan di sekitar dapur saat Pak Janu muncul dari balik ruangan kosong, “Nona Gemi, Anda baru pulang?”Gemi berputar dan tersenyum. “Ah, iya. Saya baru pulang dari rumah sakit.”“Nona sakit apa?” “Itu… sebenarnya yang sakit bukan saya.” Gemi menyandarkan punggung di konter dapur yang bersih sembari menjelaskan, “Tadi ada insiden di dekat toko roti. Saya diserang seseorang, dan Nakula menyelamatkan saya. Tapi dia terluka dan harus dibawa ke rumah sakit.”“Astaga, apa kalian berdua baik-baik saja?”“Yah, tadinya enggak baik-baik aja, tapi sekarang kami sudah aman.” Lalu Gemi menunjuk lorong luar dapur. “Nakula sudah saya baringkan di kamar. Sekarang dia sedang tidur. Setiap tiga jam sekali dia harus bangun untuk minum obat.”Pak Janu membuang napas berat. “Nanti akan say
Ekspresi Nakula menegang. Ujung bibirnya berkedut ketika mendengar jawaban Pak Janu. “Berbicara tentang masa lalu saya? Sepertinya itu hal yang tidak perlu.” Kata-katanya terdengar dingin dan berlumur kemarahan. Sementara Gemi sebetulnya merasa tidak enak, tetapi dia ogah bila tiba-tiba harus meminta maaf atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Kalau Nakula tersinggung dengan obrolannya, semestinya sejak awal dia memperingati Gemi untuk tidak menggali-gali informasi tanpa izin. “Kami hanya bicara sebentar. Bukan hal penting,” Akhirnya Gemi membalas. Cepat-cepat dia mendorong bahu Nakula untuk keluar dari dapur. “Omong-omong, apa yang dokter bilang tadi? Kamu enggak boleh banyak bergerak, dasar sial. Kalau jahitan di kepalamu terbuka lagi, aku enggak mau ngantar ke dokter.”Nakula terpaksa menuruti kemauan Gemi. Pria itu kembali ke kamarnya di lantai dua bersama sang istri yang menuntun di sampingnya. Setelah Gemi baru saja menutup pintu kamar, Nakula tidak langsung berbaring di ranjan
“Nakula, biar kukatakan sekali lagi padamu,” sang abang melangkah mendekati Nakula sehingga jarak yang terpaut di antara mereka hanya beberapa sentimeter saja. “Kalau kamu enggak sanggup membunuh istrimu, biar aku atau Ayah kita yang turun tangan.”“Jangan,” Nakula merasakan suaranya agak gemetar. Dia memberanikan diri menatap sang abang. “A-aku sanggup. Biarkan aku yang mengambil tugas ini.”Lalu jemari tangan Dirga menyentuh dagu Nakula. “Adikku yang patuh, sejak dulu kamu tahu apa tugasmu berada di rumah menteri itu. Kamu bukan bekerja di sana untuk Gemi, kamu bekerja di sana untuk keluarga kita. Saat waktunya tepat, kamu harus turun tangan sendiri untuk berperang.”Nakula mengangguk. “Katakan padaku, Nakula,” kata Dirga. “Apa selama ini kamu benar-benar menyimpan rasa terhadap Gemi?”Nakula diam saja, dan Dirga meringis tipis. “Jadi rupanya benar apa yang dikhawatirkan Ayah selama ini.”“Apa maksudnya?”“Ayah kita sejak lama sudah menaruh curiga padamu. Dia takut kamu berkhianat
Sekitar satu minggu kemudian, keadaan di kediaman Nakula mereda. Tidak ada lagi tangisan Gemi yang menuntut keadilan kepada ayahnya, atau masalah-masalah berarti yang membuat sepasang suami-istri ini pusing. Nakula telah menjalani sidang perihal serangan yang dia dapat dari orang asing tempo lalu, dan hasil akhirnya menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Sementara sang penjahat yang sempat koma kini harus mendekam di penjara selama beberapa bulan setelah bersaksi bahwa dia mabuk. “Bukan hukuman yang kita harapkan, tapi seenggaknya hal ini akan membuat penjahat itu jera,” kata Gemi sambil sesekali mengiris daging panggang dalam piringnya. Dia menatap Nakula yang terdiam di kursi makan. “Nakula, kamu dengar pendapatku barusan, kan?”“Ya,” Nakula mengangguk. “Tapi tetap saja… ada yang ganjil dari pernyataan orang itu. Aku sendiri yakin bahwa dia enggak sepenuhnya mabuk.”“Kenapa kamu yakin?”“Karena dia memukulku dengan gerakan terkoordinir. Rasanya seperti terlatih dan terbiasa memuk
Nakula membaca dokumen itu baik-baik. Ada yang janggal dari jumlah pesanan dan tujuannya. 50 kotak ikan? Bila tidak salah… Nakula pernah mendengar abang sulungnya berkata hal ini. Ikan adalah kode untuk penyebutan senjata di dunia mafia. “Gemi, sedang apa kamu?” Suara itu tiba-tiba membuat Nakula dan Gemi sama-sama tersentak. Mereka menatap ambang pintu yang kini dihalangi oleh tubuh ayah Gemi. Wajah pria itu menatap keduanya dengan curiga. “A-ah, Ayah sudah pulang?” Gemi secara anggun langsung menyelipkan dokumen itu ke lantai, di balik meja kerja. Lalu di saat bersamaan gadis itu mengajak ayahnya mengobrol. “Saya sedang mencari dokumen rumah yang dulu katanya Ayah janjikan. Tapi saya tidak menemukannya….”Nakula menatap Gemi penuh tanda tanya. Dokumen rumah? “Ah, rumah itu.” Ayah maju dari ambang pintu dan memasang tampang canggung, seolah pembahasan ini melucuti kehormatannya. “Begini, rumah yang dulu Ayah janjikan, sebenarnya sudah diurus sebagian oleh orang suruhan Ayah. Renc
“Gemi, kamu serius mau melakukan ini?” Di dalam mobil yang sedang berjalan, Nakula bertanya resah kepada istrinya. “Sudah ratusan kali kamu bertanya hal yang sama padaku. Kamu mau kupukul kali ini, ya?”Nakula mendesau napas, kemudian membelokkan mobilnya di jalanan lenggang perkotaan. Mereka memasuki kawasan elite perumahan Gemi, lalu berhenti di depan sebuah gerbang rumah tinggi yang tertutup. Seorang satpam datang dari bilik jaga dan langsung membuka gerbangnya. “Halo, Pak,” Gemi menyapa Pak Emir dengan ramah. Namun anehnya yang disapa tampak gelisah dan pucat. “No-nona Gemi… ternyata Anda datang kemari.”Gemi mengerutkan kening karena menangkap keanehan ini. “Loh, kenapa? Ini kan masih rumah saya. Saya mau ketemu Ayah di dalam. Beliau ada, kan?”“Uh, itu… Tuan sedang ada proyek sosial mengunjungi desa-desa di kawasan barat. Di rumah hanya ada Nyonya dan Nona Tiara.”Raut Gemi berubah masam. Dia benci untuk bertemu dua tikus selokan itu. Namun, tujuannya datang kemari memiliki m
“Gemi, apa yang kamu lakukan di sini?”Pertanyaan Nakula membuat Gemi yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit menoleh. Gadis itu membuang napas dan membiarkan Nakula duduk di sampingnya. Dia berkata lembut, “Maaf karena aku lari tiba-tiba.”“Bukan salahmu. Pria itu memang pantas dihajar,” kata Nakula, lalu mengetatkan rahang menahan rasa jengkel. Tidak menunggu lama setelah Gemi berlari keluar dari ruang rawat tadi, Nakula langsung meninju rahang Rajendra tanpa ampun. Untung saja Pak Wiraya segera melerainya. Kalau tidak, mungkin Rajendra akan koma lagi dan tidak bisa dimintai keterangan. “Aku takut waktu dia mengatakan hal itu,” kata Gemi lirih. “Aku mengingat bagaimana sorot matanya ketika dia hendak meraihku di dalam mobil saat itu. Mengerikan sekali… Aku takut membayangkan apa yang terjadi bila dia sempat menyentuhku.”Nakula meremas tangan Gemi dengan lembut. “Gemi,” katanya sambil menatap mata Gemi lurus-lurus. “Pegang janjiku. Aku enggak akan membiarkanmu disentuh laki-l
Setelah mendengar orang di baliknya berkata sesuatu, Nakula mematikan sambungan telepon. Dia terpaku sebentar dan menatap meja dengan tatapan kosong, tidak memedulikan Gemi yang berseru-seru memanggilnya. “Nakula!” Gemi akhirnya mengguncang pundak Nakula hingga pria itu sadar. “Ah, maaf, Gemi,” kata Nakula, lalu memasukkan ponsel kembali ke sakunya. “Itu tadi telepon dari pihak rumah sakit. Orang yang waktu itu kupukuli sudah sadar dari koma. Dokter memanggilku untuk memastikan apakah aku bersedia menemuinya bersama polisi.”“Benarkah? Kalau begitu kita harus ke sana sekarang!” Gemi langsung bangkit dari meja makan sambil membelalak terkejut. Nakula mengangguk. “Aku akan kirim pesan ke Pak Wira untuk datang ke sana juga.” Pak Wira adalah kepala salah satu divisi di Polda yang bertugas menyelidiki kasus Nakula. Setelah itu, mereka berdua menaiki mobil untuk pergi ke rumah sakit. Sebelumnya mereka memastikan telah mengantar Clara kembali ke Pelita Kasih. Anak perempuan itu melambaik
Gemi dan Nakula saling berpandangan. Keduanya ingin mengatakan bahwa Clara bukanlah anak kandung mereka, tetapi saat Gemi menatap Clara yang berdiri mengapit di antara dirinya dan Nakula, dia menangkap raut wajah Clara menjadi sumringah. Seolah dia senang dianggap menjadi putri dalam sebuah keluarga. Nakula langsung berkata pelan, “Ya, dia anak kami.” Gemi cukup terkejut, tetapi tidak membantah. Sebagai gantinya dia melihat wajah Clara menjadi malu-malu dan menahan girang. Marvel, sementara itu, akhirnya mengajak mereka berdua berkeliling sebentar di Sea World—salah satu bisnis besutannya yang terbaru. Gemi menjadi takjub saat dia melihat sebuah lorong panjang yang kanan kirinya diapit aquarium raksasa. “Kalian bersenang-senanglah di sini,” kata Marvel sambil menepuk pundak Nakula seperti sahabat lama. “Aku sudah mengatakan pada asistenku agar kalian diberikan akses gratis untuk mencicipi semuanya. Sudah pakai gelang yang kuberikan, kan? Nah, bagus. Jangan sampai hilang. Gelang itu
—Kantin (Ruang Makan) Yayasan Yatim Piatu Pelita Kasih. Senin pagi pukul 09.23“Kak Gemi! Kak Gemi! Ambil ini!”Suara seorang anak kecil mengusik Gemi pagi itu. Dia berpaling dari obrolannya bersama staf pengasuh di Rumah Yatim Pelita Kasih dan langsung berhadapan dengan Clara, gadis berusia lima tahun yang tiba-tiba mendatanginya untuk memberikan plastisin berbentuk dinosaurus. “Ah, waaah, ini buatku?” Gemi mengambil plastisin itu dan memeriksa bentuknya sekilas. “Bagus banget. Kamu bikin T-Rex ini sendiri?”Clara menggeleng. “Dibantu tadi sama Kak Bagas.” Gemi berpaling pada dua staf pengasuh yang ada di dekatnya, bermaksud mencari informasi siapa Bagas. Salah satunya menjawab, “Anak kelas 3 SMP. Dia paling dekat dengan Clara.” “Oh, gitu.” Gemi berpaling lagi pada Clara. “Kenapa kamu ngasih plastisin ini ke Kakak, hm? Kamu mau mengucapkan terima kasih ya?”Clara terkikik kecil. “Habisnya muka dinosaurusnya mirip Kak Gemi!”Jawaban itu sontak membuat dua staf di belakang Gemi tert
“Kutanya sekali lagi, Gemi. Apakah kamu mencintaiku?”Semenjak Nakula merebut perhatiannya di malam pertama penyatuan mereka, Gemi sebetulnya telah merelakan sebagian hatinya jatuh untuk Nakula. Dia peduli dan menyayangi pria itu, dan dia mengharapkan Nakula melakukan hal yang sama. Akan tetapi, mengapa saat ini reaksi Nakula seperti berbeda? “Aku mencintaimu,” Gemi akhirnya memilih untuk jujur, kendati dia tahu Nakula mungkin akan bereaksi berbeda. “Dan bukankah kamu juga mencintaiku, Nakula? Kamu bilang kamu sudah menyukakku sejak tujuh tahun lalu, bukan?”Gemi berharap Nakula langsung menjawab tanpa berpikir. Namun justru kebalikannya yang pria itu lakukan. Dia berpikir sebentar lalu berkata, “Ya, aku mencintaimu. Aku … menginginkan kita untuk terus bersama.”“Memang seperti itulah yang seharusnya terjadi, bukan?” Gemi mendengkus terheran-heran, lalu, “Nakula, kamu kelihatan aneh tahu enggak? Kenapa kamu mengatakan hal itu seolah-olah kita enggak akan bersama selamanya?”Nakula di