Saat Gemi membuka mata keesokan harinya, dia menemukan dirinya tertidur dengan bersandar di lengan Nakula yang terbuka. Pakaiannya telah terlucuti entah kemana—Gemi malas mengingat-ingat bagian itu. Yang tersisa dari kenangannya semalam adalah potongan manis hubungan intim pertama yang dia lalui bersama Nakula. Gadis itu mengingat setiap sentuhan Nakula; hangat sekaligus lembut. Bibir Nakula yang memagut miliknya dan menari di setiap jengkal kulitnya. Memabukkan, menggairahkan. Tidak pernah terpikir di benaknya bahwa Gemi akan menyerahkan dirinya kepada Nakula. Dia telah melanggar janjinya; telah menjilat ludah yang dia buang di hadapan Nakula, sumpah bahwa dirinya tidak akan pernah menganggap Nakula sebagai suaminya. Namun kini Gemi justru menjadi seekor merpati yang terbujur lemah di hadapan sang pemburu. Ketika gadis itu bergerak sedikit, Nakula terbangun. Wajah mereka saling menatap lama. “Apa badan Anda sakit?” Adalah pertanyaan Nakula yang dilesatkan begitu halus untuk Gemi,
“Ibumu mengundang kita di pesta pelantikan Tiara?” Pertanyaan Nakula barusan ditanggapi anggukan oleh Gemi. Gadis itu menjawab seraya memasang jepit mutiara di rambutnya, “Rasanya aku enggak mau datang ke pesta itu. Ibu dan adikku pasti akan mencari cara untuk mempermalukanku di depan publik.”Nakula tiba-tiba datang dan memeluk Gemi dari belakang, menyandarkan dagunya pada pundak gadis itu. “Kenapa kamu enggak mau pergi? Kita bisa datang dan mengejutkan mereka.”“Mengejutkan dengan cara apa?”“Entahlah. Mungkin kamu bisa tampil sebagai Nyonya muda Yudhistira yang bersahaja.”Gemi terkekeh dan mengayunkan tubuh ke kanan dan kiri. Dia menatap refleksi dirinya dan suaminya di hadapan cermin, lalu berkata, “Kamu serius mau mengaku sebagai putra bungsu Meraki Group? Bagaimana kalau mereka semua terkejut?”“Kurasa itu… boleh.” Nakula memejamkan mata dan mengendus aroma leher Gemi yang harum bunga daisy, seraya menggumam lembut, “Aku ingin lihat bagaimana raut mereka yang terkejut.”Gemi be
Malam ini Gemi tampil cantik dengan gaun berwarna krem yang membungkus tubuh rampingnya dengan manis. Rambutnya yang panjang bergelombang dijepit dengan klip mutiara, dan riasan tipis di wajahnya tampak segar dan anggun. Saat sedang mematut penampilannya di hadapan cermin, Nakula memanggilnya dari ambang pintu. “Sudah siap berangkat?”“Ya.” Gemi berputar dan mengambil tas tangan di dekat kasur. Nakula memandang Gemi tanpa berkedip. “Kenapa melihatku begitu?”“Hanya terkejut. Ternyata di dunia ini bidadari tanpa sayap benar-benar nyata.”Gemi tertawa dan mengancam Nakula akan melempar bantal ke mukanya. “Jangan harap bisa meluluhkan hatiku pakai kata-kata begitu, dasar cowok sial.”Nakula tersenyum, lalu menekuk lengannya agar disambut Gemi. Gadis itu mengalungkan tangannya tanpa ragu dan mereka berjalan menuju mobil yang sudah menunggu di bawah.Di dalam mobil, Gemi merasa cemas membayangkan apa yang akan terjadi dalam beberapa menit ke depan. Sesegera mungkin dia akan datang ke lant
Nakula kehilangan Gemi. Pemikiran itu bergaung di kepala Nakula sejak tiga puluh menit lalu, dimulai ketika Gemi tiba-tiba pamit darinya sambil menggandeng Pierre—tunangan Tiara, pergi untuk membersihkan noda minuman di pakaian. Nakula tidak sempat menghalau mereka berdua. Memangnya siapa dia? Dia kan hanya seorang pengawal! Setidaknya itulah yang Nakula pikirkan sebelum beberapa detik kemudian dia sadar; sekarang status dirinya di hadapan Gemi adalah sebagai suami, bukan lagi pengawal. Seharusnya dia tidak membiarkan Gemi melakukan rencana seenak pusar, apalagi tanpa melibatkan dirinya! Di mana gadis itu? Nakula mencari ke seluruh sudut ruangan. Naik ke tangga dan berputar mengelilingi lorong, mengunjungi kamar mandi dan memeriksa di dalamnya satu-satu. Dia bahkan mengabaikan orang tua Gemi yang sejak tadi mengawasinya bagai burung gagak. Tampaknya ayah dan ibu Gemi mempertanyakan keberadaannya di sini, mengapa Nakula mondar-mandir seperti anjing penjaga yang kehilangan majikanny
Menggoda tunangan orang lain.Misi itu terdengar berbahaya di telinga Nakula. Dia tidak ingin istrinya yang manis melakukan perbuatan itu kendati apa semua itu hanyalah pura-pura. Namun, Nakula terlanjur menyetujui keinginannya. Sekarang dia harus berhadapan dengan bencana sesungguhnya. “Lihat, Tiara sedang pidato di depan seluruh tamu undangan.” Gemi berbisik-bisik di dekat Nakula dan menggandeng tangan pria itu agar maju lebih dekat. Mereka berdiri tepat di dekat barisan para tamu undangan yang berdiri sambil menyaksikan pidato Tiara. Sang adik tampak anggun dan cerdas di hadapan seluruh khalayak. Caranya berbicara mungkin akan membuat semua orang terpana dengan kemampuannya dalam public speaking, akan tetapi tidak bagi Gemi. Setelah bertahun-tahun tinggal bersama Tiara, dia tahu betapa busuk dan licik hati adiknya. “Semua orang memujanya seperti seorang putri. Enggak ada yang tahu bahwa anak itu sebenarnya siluman,” bisik Gemi kepada Nakula yang berdiri di sampingnya. “Dia meman
Pagi itu, Gemi terbahak sambil menunjuk-nunjuk layar tabletnya yang memperlihatkan wajah Tiara dalam versi menggelikan; garpu kue yang seharusnya masuk ke mulutnya justru salah sasaran masuk ke lubang hidung. Sebagian mukanya belepotan krim, dan ekspresinya berubah laksana serigala betina yang mengamuk. Headline berita itu bahkan membuat situasi tersebut tampak lebih konyol lagi; “DIKIRA MULUT, TERNYATA LUBANG HIDUNG; PUTRI MENSOS MENGALAMI KEJADIAN MEMALUKAN SAAT MENGHADIRI PESTA PERESMIAN JABATAN” Geni mengusap air mata yang merembes di ujung matanya lantaran terlalu banyak tertawa. Setelah meletakkan tablet di atas meja taman, dia mendongak pada Nakula yang duduk di hadapannya, “Kamu lihat kan? Rencana kita semalam berhasil! Walaupun pesta itu enggak sepenuhnya kacau, tapi Tiara tetap mendapat malu! A-aduh, perutku sampai sakit… hahaha.” Nakula membuang napas atas perilaku jail Gemi kepada sang adik. Dia tidak berniat untuk menertawakan hal yang menurutnya tidak lucu, akan tetap
“Apa? Datang ke rumah?” Nakula menelan ludah dengan gugup. Dia memegang ponselnya erat-erat di telinga. “Ayah tunggu paling lambat malam ini. Jangan lupa untuk membawa… istrimu,” katanya di seberang telepon. Komando itu membuat Nakula diserang gelisah. Dia menengok ke belakang dan menatap Gemi dari balik dinding, lalu membalas ayahnya lagi, “Kenapa harus membawa istri saya? Dia tidak ada hubungannya dengan masalah keluarga kita, Ayah.”“Masalah keluarga? Kamu pikir apa yang mau Ayah perbincangkan denganmu?” Ayah tertawa di balik telepon, tetapi suara tawanya terdengar datar dan cenderung meremehkan. “Ayah hanya ingin mengajak kalian berdua makan malam.”“Baiklah,” Nakula akhirnya setuju secara pasrah. Dia tidak bisa membangkang untuk urusan ini. “Sore nanti saya—maksudnya kami, akan datang ke rumah.”Setelah itu telepon dimatikan. Nakula kembali pada Gemi dan mengatakan apa yang baru saja terjadi. Tentu saja Gemi terkejut. Bertemu mertua laki-laki? Hal itu tidak pernah terbayang ole
Gemi mengerutkan kening setelah mendengar perkataan ayah mertuanya. Musuh terbesar? Apakah yang dimaksud musuh adalah … semacam pesaing di dunia bisnis? Gemi ingin bertanya lebih lanjut tentang hal itu, akan tetapi Nakula mendadak saja bangkit dari sofa dan langsung bersikap aneh—entah apakah gelagatnya disebut canggung atau panik. Yang pasti dia melonggarkan dasi pada kemejanya dan berkata menekan pada sang ayah. “Ini sudah mau masuk jam makan malam. Sepertinya lebih baik kita berkumpul di ruang makan.” Kemudian setelah mengatakannya, Nakula langsung mengajak Gemi pergi dari ruangan. Sang istri memilih untuk tidak bertanya apa pun lantaran saat ini perutnya kelewat lapar. Kendati demikian, Gemi tahu Nakula menyimpan sesuatu yang tidak ingin dia beritahu kepadanya. Barangkali gadis itu akan menyelidikinya kapan-kapan. Acara makan malam berlangsung lancar. Tidak banyak yang Gemi obrolkan dengan ayah mertuanya kecuali pertanyaan-pertanyaan pendek bernada interogasi. Bagaimana keadaa
“Nakula, biar kukatakan sekali lagi padamu,” sang abang melangkah mendekati Nakula sehingga jarak yang terpaut di antara mereka hanya beberapa sentimeter saja. “Kalau kamu enggak sanggup membunuh istrimu, biar aku atau Ayah kita yang turun tangan.”“Jangan,” Nakula merasakan suaranya agak gemetar. Dia memberanikan diri menatap sang abang. “A-aku sanggup. Biarkan aku yang mengambil tugas ini.”Lalu jemari tangan Dirga menyentuh dagu Nakula. “Adikku yang patuh, sejak dulu kamu tahu apa tugasmu berada di rumah menteri itu. Kamu bukan bekerja di sana untuk Gemi, kamu bekerja di sana untuk keluarga kita. Saat waktunya tepat, kamu harus turun tangan sendiri untuk berperang.”Nakula mengangguk. “Katakan padaku, Nakula,” kata Dirga. “Apa selama ini kamu benar-benar menyimpan rasa terhadap Gemi?”Nakula diam saja, dan Dirga meringis tipis. “Jadi rupanya benar apa yang dikhawatirkan Ayah selama ini.”“Apa maksudnya?”“Ayah kita sejak lama sudah menaruh curiga padamu. Dia takut kamu berkhianat
Sekitar satu minggu kemudian, keadaan di kediaman Nakula mereda. Tidak ada lagi tangisan Gemi yang menuntut keadilan kepada ayahnya, atau masalah-masalah berarti yang membuat sepasang suami-istri ini pusing. Nakula telah menjalani sidang perihal serangan yang dia dapat dari orang asing tempo lalu, dan hasil akhirnya menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Sementara sang penjahat yang sempat koma kini harus mendekam di penjara selama beberapa bulan setelah bersaksi bahwa dia mabuk. “Bukan hukuman yang kita harapkan, tapi seenggaknya hal ini akan membuat penjahat itu jera,” kata Gemi sambil sesekali mengiris daging panggang dalam piringnya. Dia menatap Nakula yang terdiam di kursi makan. “Nakula, kamu dengar pendapatku barusan, kan?”“Ya,” Nakula mengangguk. “Tapi tetap saja… ada yang ganjil dari pernyataan orang itu. Aku sendiri yakin bahwa dia enggak sepenuhnya mabuk.”“Kenapa kamu yakin?”“Karena dia memukulku dengan gerakan terkoordinir. Rasanya seperti terlatih dan terbiasa memuk
Nakula membaca dokumen itu baik-baik. Ada yang janggal dari jumlah pesanan dan tujuannya. 50 kotak ikan? Bila tidak salah… Nakula pernah mendengar abang sulungnya berkata hal ini. Ikan adalah kode untuk penyebutan senjata di dunia mafia. “Gemi, sedang apa kamu?” Suara itu tiba-tiba membuat Nakula dan Gemi sama-sama tersentak. Mereka menatap ambang pintu yang kini dihalangi oleh tubuh ayah Gemi. Wajah pria itu menatap keduanya dengan curiga. “A-ah, Ayah sudah pulang?” Gemi secara anggun langsung menyelipkan dokumen itu ke lantai, di balik meja kerja. Lalu di saat bersamaan gadis itu mengajak ayahnya mengobrol. “Saya sedang mencari dokumen rumah yang dulu katanya Ayah janjikan. Tapi saya tidak menemukannya….”Nakula menatap Gemi penuh tanda tanya. Dokumen rumah? “Ah, rumah itu.” Ayah maju dari ambang pintu dan memasang tampang canggung, seolah pembahasan ini melucuti kehormatannya. “Begini, rumah yang dulu Ayah janjikan, sebenarnya sudah diurus sebagian oleh orang suruhan Ayah. Renc
“Gemi, kamu serius mau melakukan ini?” Di dalam mobil yang sedang berjalan, Nakula bertanya resah kepada istrinya. “Sudah ratusan kali kamu bertanya hal yang sama padaku. Kamu mau kupukul kali ini, ya?”Nakula mendesau napas, kemudian membelokkan mobilnya di jalanan lenggang perkotaan. Mereka memasuki kawasan elite perumahan Gemi, lalu berhenti di depan sebuah gerbang rumah tinggi yang tertutup. Seorang satpam datang dari bilik jaga dan langsung membuka gerbangnya. “Halo, Pak,” Gemi menyapa Pak Emir dengan ramah. Namun anehnya yang disapa tampak gelisah dan pucat. “No-nona Gemi… ternyata Anda datang kemari.”Gemi mengerutkan kening karena menangkap keanehan ini. “Loh, kenapa? Ini kan masih rumah saya. Saya mau ketemu Ayah di dalam. Beliau ada, kan?”“Uh, itu… Tuan sedang ada proyek sosial mengunjungi desa-desa di kawasan barat. Di rumah hanya ada Nyonya dan Nona Tiara.”Raut Gemi berubah masam. Dia benci untuk bertemu dua tikus selokan itu. Namun, tujuannya datang kemari memiliki m
“Gemi, apa yang kamu lakukan di sini?”Pertanyaan Nakula membuat Gemi yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit menoleh. Gadis itu membuang napas dan membiarkan Nakula duduk di sampingnya. Dia berkata lembut, “Maaf karena aku lari tiba-tiba.”“Bukan salahmu. Pria itu memang pantas dihajar,” kata Nakula, lalu mengetatkan rahang menahan rasa jengkel. Tidak menunggu lama setelah Gemi berlari keluar dari ruang rawat tadi, Nakula langsung meninju rahang Rajendra tanpa ampun. Untung saja Pak Wiraya segera melerainya. Kalau tidak, mungkin Rajendra akan koma lagi dan tidak bisa dimintai keterangan. “Aku takut waktu dia mengatakan hal itu,” kata Gemi lirih. “Aku mengingat bagaimana sorot matanya ketika dia hendak meraihku di dalam mobil saat itu. Mengerikan sekali… Aku takut membayangkan apa yang terjadi bila dia sempat menyentuhku.”Nakula meremas tangan Gemi dengan lembut. “Gemi,” katanya sambil menatap mata Gemi lurus-lurus. “Pegang janjiku. Aku enggak akan membiarkanmu disentuh laki-l
Setelah mendengar orang di baliknya berkata sesuatu, Nakula mematikan sambungan telepon. Dia terpaku sebentar dan menatap meja dengan tatapan kosong, tidak memedulikan Gemi yang berseru-seru memanggilnya. “Nakula!” Gemi akhirnya mengguncang pundak Nakula hingga pria itu sadar. “Ah, maaf, Gemi,” kata Nakula, lalu memasukkan ponsel kembali ke sakunya. “Itu tadi telepon dari pihak rumah sakit. Orang yang waktu itu kupukuli sudah sadar dari koma. Dokter memanggilku untuk memastikan apakah aku bersedia menemuinya bersama polisi.”“Benarkah? Kalau begitu kita harus ke sana sekarang!” Gemi langsung bangkit dari meja makan sambil membelalak terkejut. Nakula mengangguk. “Aku akan kirim pesan ke Pak Wira untuk datang ke sana juga.” Pak Wira adalah kepala salah satu divisi di Polda yang bertugas menyelidiki kasus Nakula. Setelah itu, mereka berdua menaiki mobil untuk pergi ke rumah sakit. Sebelumnya mereka memastikan telah mengantar Clara kembali ke Pelita Kasih. Anak perempuan itu melambaik
Gemi dan Nakula saling berpandangan. Keduanya ingin mengatakan bahwa Clara bukanlah anak kandung mereka, tetapi saat Gemi menatap Clara yang berdiri mengapit di antara dirinya dan Nakula, dia menangkap raut wajah Clara menjadi sumringah. Seolah dia senang dianggap menjadi putri dalam sebuah keluarga. Nakula langsung berkata pelan, “Ya, dia anak kami.” Gemi cukup terkejut, tetapi tidak membantah. Sebagai gantinya dia melihat wajah Clara menjadi malu-malu dan menahan girang. Marvel, sementara itu, akhirnya mengajak mereka berdua berkeliling sebentar di Sea World—salah satu bisnis besutannya yang terbaru. Gemi menjadi takjub saat dia melihat sebuah lorong panjang yang kanan kirinya diapit aquarium raksasa. “Kalian bersenang-senanglah di sini,” kata Marvel sambil menepuk pundak Nakula seperti sahabat lama. “Aku sudah mengatakan pada asistenku agar kalian diberikan akses gratis untuk mencicipi semuanya. Sudah pakai gelang yang kuberikan, kan? Nah, bagus. Jangan sampai hilang. Gelang itu
—Kantin (Ruang Makan) Yayasan Yatim Piatu Pelita Kasih. Senin pagi pukul 09.23“Kak Gemi! Kak Gemi! Ambil ini!”Suara seorang anak kecil mengusik Gemi pagi itu. Dia berpaling dari obrolannya bersama staf pengasuh di Rumah Yatim Pelita Kasih dan langsung berhadapan dengan Clara, gadis berusia lima tahun yang tiba-tiba mendatanginya untuk memberikan plastisin berbentuk dinosaurus. “Ah, waaah, ini buatku?” Gemi mengambil plastisin itu dan memeriksa bentuknya sekilas. “Bagus banget. Kamu bikin T-Rex ini sendiri?”Clara menggeleng. “Dibantu tadi sama Kak Bagas.” Gemi berpaling pada dua staf pengasuh yang ada di dekatnya, bermaksud mencari informasi siapa Bagas. Salah satunya menjawab, “Anak kelas 3 SMP. Dia paling dekat dengan Clara.” “Oh, gitu.” Gemi berpaling lagi pada Clara. “Kenapa kamu ngasih plastisin ini ke Kakak, hm? Kamu mau mengucapkan terima kasih ya?”Clara terkikik kecil. “Habisnya muka dinosaurusnya mirip Kak Gemi!”Jawaban itu sontak membuat dua staf di belakang Gemi tert
“Kutanya sekali lagi, Gemi. Apakah kamu mencintaiku?”Semenjak Nakula merebut perhatiannya di malam pertama penyatuan mereka, Gemi sebetulnya telah merelakan sebagian hatinya jatuh untuk Nakula. Dia peduli dan menyayangi pria itu, dan dia mengharapkan Nakula melakukan hal yang sama. Akan tetapi, mengapa saat ini reaksi Nakula seperti berbeda? “Aku mencintaimu,” Gemi akhirnya memilih untuk jujur, kendati dia tahu Nakula mungkin akan bereaksi berbeda. “Dan bukankah kamu juga mencintaiku, Nakula? Kamu bilang kamu sudah menyukakku sejak tujuh tahun lalu, bukan?”Gemi berharap Nakula langsung menjawab tanpa berpikir. Namun justru kebalikannya yang pria itu lakukan. Dia berpikir sebentar lalu berkata, “Ya, aku mencintaimu. Aku … menginginkan kita untuk terus bersama.”“Memang seperti itulah yang seharusnya terjadi, bukan?” Gemi mendengkus terheran-heran, lalu, “Nakula, kamu kelihatan aneh tahu enggak? Kenapa kamu mengatakan hal itu seolah-olah kita enggak akan bersama selamanya?”Nakula di