Di sinilah Ayra. Di sebuah kota yang jauh dari rumah. Dengan menutup semua komunikasi dari siapapun di kota kelahirannya.Meski sejak pergi hingga sekarang tak ada air mata yang menetes, bukan berarti Ayra tak merasakan sesak di dadanya. Ia memang tidak selebay saat batal lamaran dengan Ari.Setidaknya Ayra masih menjalankan hidupnya dengan baik seperti makan, bergaul dan bekerja. Walau harus menutupi rapat perasaan sakit yang terus menderu hatinya. Membohongi diri dan banyak orang di sekelilingnya dengan tawa yang hanya sebagai selimut duka.Justru skarang dirinya berusaha menyibukan diri agar tidak memikirkan apa yang terjadi beberapa hari lalu. Agar bisa lepas dari kenyataan dirinya yang sedang kecewa.Ayra bahkan mengerjakan hal yang bukan tugasnya. Ia sengaja menutup dunia lain di luar sana. Tak ada yang bisa menghubunginya bahkan Bapaknya sekalipun. Ia tak mau frustasi seperti halnya saat kegagalan hubungannya dengan Ari dulu.
Azri pulang bersama bapak Rahman saat sudah tengah malam. Mereka barusan dari rumah sakit karena membantu Bu Retno. Karena kasihan tak ada yang bisa mengurus biaya dan hal lainnya, maka Azri dan Bapak Rahman harus mau di repotkan oleh keluarga itu.Sebenarnya kerabat Bu Retno sangat banyak. Tapi karena terkenal dengan kemahiran bu Retno yang suka mengata-ngatai orang, maka banyak dari kerabatnya tidak suka.Malahan berucap syukur melihat perempuan bermulut lancip itu masuk rumah sakit. Jangan tanyakan besti-besti beliau yang biasanya di tukang sayur itu. Tak ada satupun yang datang.Anak-anak Bu Retno juga hanya bisa seperti orang bodoh menontoni ibu mereka yang sudah seperti akan sekarat.Yang lebih lucunya lagi."Semua harta ibu harus jadi milikku. Aku anak laki-laki satu-satunya.""Enak saja. Semua harta warisan ibu harusnya jadi milikku! Banyak diantara harta ibu dihasilkan dari pendapatan Apotik. Jadi
Kala itu Azri berhasil mendapatkan beasiswa masuk SMK yang mengajarkan khusus tentang ilmu yang ia sukai dan kuasai.Cita-citanya untuk bekerja di luar negri bisa tercapai dengan beasiswa ini. Harapan membawa kakaknya hidup lebih baik dari sekarang perlahan-lahan akan tercapai.Namun, bertahun-tahun bahkan berbulan-bulan hendak mencapai beasiswa itu, hanya dalam satu hari semuanya redup.Azri pulang dengan rumah tertutup rapat. Bayangan buruk yang hadir dalam pikirannya seketika.Ia langsung masuk mendapati kamar keponakannya yang terbuka. Dari luar saja tampak berantakan seolah habis terjadi sesuatu di sana. Keponakan kecilnya yang baru berusia 5 tahunan meregang nyawa di atas tempat tidur. Azri sempat merengkuhnya berharap apa yang ia lihat tidak benar.Azri sempat panik, namun suara rintihan dan pukulan yang terdengar dekat membuat dirinya langsung ke sana. Kakaknya sudah hampir kehilangan nyawa dilant
Setelah perjumpaan pertamanya dengan Ayra, Azri mengubah pola hidupnya perlahan-lahan. Menjadi jauh lebih baik meski tak sebaik saat sebelum ia patah hati.Ia bekerja lebih giat dan mendapatkan gaji yang lebih besar berkat banyaknya kerjaan luaran yang Azri ambil.Semata uang-uang itu ia kumpulkan untuk mempersiapkan diri hingga Ayra lulus kuliah. Namun bukan hanya itu yang perlu Azri lakukan. Ia juga harus merebut hati Ayra dari lelaki lain. Karena dirinya tau saat ini Ayra sedang berpacaran dengan lelaki bernama Ari.Dari kamarnya, Azri selalu bisa memantau Ayra dari CCTV yang ia pasang di halaman rumah Bapak Rahman.Tiap kali gadis itu datang, ia akan menjumpainya. Selalu. Tidak pernah absen untuk berjumpa.Seperti sekarang, saat ia melihat motor yang sama yang selalu di bawa gadis itu. Ia segera keluar untuk menyapanya."Hai, Ay.""Hai."Ayra melintas begitu saja kala ia mendekat. Langsung ma
Mana Ayra tau kalau selama ini Azri terus berusaha memikatnya. Apalagi selama itu ia sudah menjalin hubungan dengan Ari. Selama ia kenal Azri, ia sudah menjalin hubungan dengan Ari.Sebagai perempuan anti selingkuh-selingkuh club, ia tak pernah punya pikiran dengan pria lain selain dengan pria yang sedang ia cintai. Apalagi bersikap kecentilan dan caper pada lelaki yang mendekatinya.Walau seperti itu, dirinyalah yang di selingkuhi pada akhirnya.Jadi bagaimana ia bisa memahami bahasa cintanya Azri selama ini. Apalagi ia sama sekali tidak pernah menganggap pria itu lebih dari orang suruhan Bapaknya.Meski nyatanya pria itu sebenarnya orang yang memberi modal besar pada bapaknya."Mampir makan cilok dulu ya, Ay."Tak jauh dari mobil mereka, ada bapak-bapak tua jualan cilok di pinggir jalan."Aku gak laper."Gabut sekali tiba-tiba ngajak makan cilok. Udah malam juga."Cilok gak ngenyangin, Ay. Ya? Kita makan dulu. Aku kepengen banget makan cilok, Ay."Ayra menghela nafas panjang kemudia
"Mobil suaminya bu Ayra bagus banget ya. Beruntung deh, Bu."Tim totor Ayra mulai membahas suaminya karena terpesona dengan 'mobil' yang Azri bawa. Mohon maklumi. Karena bagi mereka, punya mobil berarti punya duit.Ya wajarlah. Pejuang rupiah mereka semua."Biasa aja tuh," balas Ayra acuh."Ih, Bu Ayra merendah.""Ck! Itu mobil keluaran lama kok.""Tapi masih bagus. Emang lebih cocok sama suami ibu itu dari pada Pak Ari. Iya lih kelihatannya kaya orang kantoran. Tapi gajinya berapa sih."Jujur Ayra tidak minat membicarakan ini. Karena kalau sudah memikirkan Azri, semangat kerjanya jadi menguap. Padahal dirinya harus menyiapkan banyak soal latihan untuk anak-anak yang baru masuk bimbel.Apalagi menyusun bahan ajar agar mudah di pahami.Kertas kosong dalam komputernya tak kunjung terisi soal. Pikirannya terlalu terfokus pada Azri. Hatinya tidak enak melihat tangis pria itu. Lagi pula cen
Azri merasa dirinya berada di fase tak tau harus bagaimana agar Ayra mempercayai cintanya. Ia hanya bisa duduk di mobilnya, sembari bekerja, menunggu di depan gedung.Sekalipun melihat Ayra, ia tak akan menemui istrinya itu. Hanya sekedar duduk dan memperhatian apa yang istrinya lakukan sudah cukup mengobati kerinduannya.Walau hatinya ingin lebih. Kalau boleh sebenarnya Azri ingin memeluk gadis itu sekarang.Tapi, melihat senyum lebar dan kegembiraan Ayra rasanya sudah cukup. Ia juga harus memikirkan tentang keinginan Ayra untuk berfikir. Meski Azri akan melakukan apapun asal mereka tidak berpisah.****"Kamu kok pelitin Ari sih, Jes!""Pelit gimana, Ma?""Ari bilang kamu gak kasih uang yang dia minta! Kamu gimana sih jadi istri!"Huh! Ternyata masalah itu. Ternyata suaminya mengadu lagi pada mamanya."Emang apa kewajiban aku kasih uang ke Mas Ari, Ma? Sejak awal aku ini i
"Liat apa, Ayra?" Hampir saja Ayra meloncat saking kaget ditegur Kepala Bimbelnya. Sebenarnya sapaan beliau tidak dengan intonasi keras. Sewajarnya saja.Cuman dia sedang memikirkan orang di bawah sana."Mobil itu, kayaknya udah dari tadi pagi di sini ya?" Bu Adelia menunjuk pada objek yang ia lihat sejak tadi. Lebih tepatnya mobil itu selalu ada di mana Ayra ada."I-iya, Bu."Ayra melirik kepala bimbelnya sedikit. Ternyata beliau sedang memperhatikan wajahnyaTawa Bu Adelia pecah setelah beberapa saat. Ayra sampai memegangi wajahnya kebingungan apa yang membuat bosnya ini tertawa."Mau sampai kapan kamu merajuk dengan suamimu, Ayra?" ujar beliau di sela tawanya.Bu Adelia bertumpu pada pagar balkon lantai dua rumah yang mereka tempati."Bucin banget suami kamu," gumam beliau.Ayra melirik ke dalam. Keadaan yang sepi membuatnya mendekatkan wajah ke telinga Bu Ad
"Ayra di dalam." Yang menunggunya ternyata bos dari istrinya. Baru saja ia menaiki lorong, Bu Adelia sudah menunggunya di depan kamar rawat.Azri segera masuk ke dalam."Dia masih belum sadar sampai sekarang," ucap Adelia saat Azri terpaku melihat istrinya terbaring di atas bangsal rumah sakit.Azri merengkuh tubuh Ayra tak kuasa menahan rasa yang bergejolak dalam dirinya melihat sang istri di sini. Atas alasan apa dan kejadian apa yang menimpa istrinya."Tenang. Dia baik-baik saja. Dokter bilang dia cuma kecapean. Tapi Doktar bilang ingin bertemu denganmu. Katanya ada yang mau di sampaikan.""Ayra kenapa? Dia. . . ." Suara Azri tercekat hendak menanyakan apa yang membuat istrinya sampai berakhir di rumah sakit."Handphone Ayra kehabisan batrai. Jadi kami tidak bisa langsung menghubungimu.""Apa yang terjadi dengan Ayra?""Ayra pingsan saat bersama Fandi. Dia menggunakan handphone adm
Sejak selesai acara resepsi beberapa bulan lalu, Azri dan Ayra memutuskan tinggal di apartement. Tidak lagi tinggal di kampung di rumah bapak Rahman.Apartement yang mereka tinggali pula, bukan tempat tinggal Azri yang dulu.Rupanya sebelum acara resepsi Azri membeli apartement baru dan menjual yang lama. Pokoknya Azri kali ini benar-benar mempersiapkan kehidupan mereka ke depannya dengan jauh lebih baik.Sudah hampir 5 bulanan lebih mereka tinggal di sini."Malam ini jadi nginap di rumah bapak dan kak Ambar, kan?" Azri keluar dari ruang kerjanya dengan earphone di lehernya. Tampak wajah lelah pria itu karena bekerja hampir semalaman."Iya. Aku sudah siapkan barang kita."Ayra masih sibuk masak untuk makan siang mereka. Dirinya menyempatkan diri masak dulu sebelum berangkat kerja.Tak lupa ia juga menyiapkan masakan untuk di bawa nanti malam. Sedikit cemilan buat bapaknya dan kak Ambar. Jadi tak
Jesika duduk menunduk di sebuah taman yang cukup sepi. Ia mengenakan masker wajah, dan kacamata menutupi wajahnya. Topi lebar juga ia kenakan agar tidak dikenali.Dengan memegang sebuah undangan pernikahan, senyum dua insan yang tampak berbahagia dalam undangan itu membuat hatinya perih.Kejadian saat dirinya melawan suami dan mertuanya berbuah bahkan sampai pembicaraan perceraian. Batin Jesika tak henti-hentinya merasa nyeri dengan hal yang menimpanya.Segala bentuk kebahagiaan yang Jesika bayangkan setelah menikah dengan Ari, hanya tinggal bayangan. Bahkan tak pernah ada kebahagiaan yang nyata untuknya.Sekarang, hidupnya hancur sehancur-hancurnya. Berita perselingkuhan Jesika dan atasannya di bongkar istri Jacob. Bahkan istri atasannya yang notabenenya adalah seorang model, menyewa infotement gosib untuk mempermalukannya.Wajahnya terpampang di portal-portal gosib sebagai pelakor yang sudah tidur dengan suaminya.T
Ayra tak menyangka Azri bisa menemukan nama teman-teman sekolahnya. Bahkan teman-teman dekat masa kuliahnya. Ibu kostnya dulu, bahkan sampai orang-orang yang pernah berkenalan dengannya sesama penganjar bimbel. Semua ada dalam daftar list tamu undangan. Segelas es susu coklat tersaji di hadapannya. Lalu Azri yang duduk di kursi dengan wajah lelah. "Ada lagi yang mau di masukan dalam list?" tanya Azri lalu menguap. Undangan belum di sebar karena Ayra mau memeriksa list undangannya dulu. "Sudah cukup kok." Azri mengangguk kecil. Ia menghubungi tim WO dengan handphonenya. Detail kecil seperti menyebar undangan pun Azri gunakan tim WO nya. Walau harus bayar lebih, tapi pekerjaan jadi lebih mudah. "Kamu mau tidur aja gak? Kayaknya ngantuk," kata Ayra. "Enggaklah. Aku mau nemenin kamu coba gaunnya." Mereka menunggu di sebuah tempat perancang busana pernikahan. Padahal sepertinya Azri butuh istirahat.
Azri berjalan dengan langkah lemas. Hampir semalaman ia tak tidur mencari Ayra yang pergi setelah kejadian gila tadi malam.Saat maghrib menjelang, Ayra menghubunginya jika akan pulang terlambat karena ada urusan di bimbelnya. Hingga isya, Ayra tak kunjung pulang membuatnya khawatir, tapi Azri mencoba berpikir positif dengan terus menyelesaikan pekerjaannya.Namun gedoran pintu membuat Azri seketika menghentikan pekerjaannya. Ia membuka layar monitor yang menunjukkan CCTV di pintu depan.Dirinya tentu kaget melihat Lisa yang menggedor pintu rumahnya. Dan yang lebih mengagetkan lagi, perempuan itu hanya mengenakan sarung untuk menutupi tubuhnya."Mas! Tolong buka pintunya!" teriakan bercampur tangisan itu membuatnya berjalan ke depan untuk tau apa yang terjadi pada Lisa.Sedetik setelah pintu terbuka, Lisa memeluk Azri erat."Tolong aku, Mas. Aku mau di bunuh." Lisa meraung sambil memeluk Azri erat."Di bunu
"Kak ambar baik-baik ajakan?"Ayra menghampiri Ambar yang terkulai lemas habis mual-mual."Kakak gak apa-apa, Ay. Cuma reaksi hamil ya gini. Suka muntah-muntah."Rasa cemas Ayra berkali lipat setelah kejadian ibunya. Ia takut Kak Ambar kenapa-napa, dan Azri akan sangat murka nantinya.Apalagi mengingat sudah berkali-kali kak Ambar keguguran."Aku udah gak apa-apa, Ay. Setelah melihat Azri sekarang bahagia, aku sudah berhasil melupakan masalalu yang sangat menyedihkan itu. Terlepas, meski kadang ingat, tapi aku tidak apa-apa. Dia juga sepertinya kuat di dalam sana."Ambar mengusap perutnya yang sudah mulai berbentuk."Syukurlah, Kak. Aku gak kebayang akan sesedih apa Azri dan bapak kalau sampai kakak kenapa-napa.""Gak, Ay. Kakak gak kenapa-napa."Ayra mengangguk, lalu menundukkan wajahnya dengan bibir tertutup. Raut wajahnya menimbulkan penasaran Ambar."Tapi muka kamu kenap
Mereka pergi ke dapur untuk bicara berdua. Namun baru saja Ayra duduk di kursi meja makan, Azri sudah memotong sebelum bibirnya mengucapkan apapun."Gak bisa Ay. Maaf. Aku gak bisa bagaimanapun bujuk rayumu."Bahkan belum Ayra bicara apa-apa. Azri sudah mengklaim keputusannya.Walau begitu, Ayra menangkap ekspresi tidak enak di wajah Azri."Jadi ibuku harus tetap pergikan?" tanya Ayra.Azri mendekatkan wajahnya, ia menghela nafas pelan."Maaf. Tapi aku gak mau Kak Ambar jadi sakit karena kejadian hari ini. Kau orang berharga dalam hidupku, Ay. Begitupun kak Ambar."Ia tau saat ini Azri sedang merasa sangat serba salah.Ayra mengangguk. "Kalau gitu, tolong siapkan tempat tinggal untuk ibu."Azri tercenung seolah tak menyangka itu yang keluar dari mulut Ayra.Ia pikir akan berdebat panjang karena persoalan ini."Ibu tidak pernah mencintai Bapak. Bahkan sampai saat ini. Ta
Ayra masuk ke kamar, dari ambang pintu dirinya menyaksikan sang ibu menangis."Bu. Ibu kenapa?" tanya Ayra.Ia duduk di pinggir ranjang tak jauh dari ibunya yang duduk di lantai sambil menangis."Ibu gak tau kenapa bisa sehancur ini, Ayra!" Di usap Ayra pelan punggung ibunya. "Udahlah, Bu. Gak usah di inget lagi. Ikhlasin aja.""Ibu udah kasih apapun yang ibu punya. Bahkan rasanya gak pernah sedetikpun ibu gak mencintai dia. Tapi dia tetap meninggalkan ibu."Rupanya kesedihan ibunya berupa pada bapak tirinya yang sampai di sini Ayra tau telah pergi dengan perempuan lain."Kenapa ibu bisa menikah dengan dia?" tanya Ayra.Sang ibu tampak menoleh pada Ayra. Untuk beberapa saat terdiam."Ibu memcintainya, Ayra. Ini adalah cinta pertama dan terakhir."Sungguh sulit keluar dari mulut Ayra. Tapi, dirinya hanya ingin apa yang orang-orang katakan padanya selama ini tidak benar.
Bahan di dapur habis, opsi termudah untuk membuat makan siang hari ini hanya dengan pergi ketukang sayur yang biasanya di gerumbuni oleh emak-emak yang nyambi beli sayur sambil ngomongin orang.Ia ingat sekali ibu-ibu itu tampaknya golongan yang tidak mengerti teknologi bahkan tidak paham yang namanya kurir."Kemarin saya liat anak Pak Ridwan di kasih cowok barang.""Anak pak Ridwan si bunga itu?""Iya. Katanya itu barang dari jakarta. Sering banget saya liat cowoknya ke rumah nganter-nganterin barang gitu. Mana pake bajunya selalu sama. Merah gitu. Heran sama anak zaman sekarang."Di jelasin juga gak mau tau apa itu kurir dan kerjaannya emang gitu nganter-nganter barang.Ayra sejujurnya malas sekali ke sana. Tapi masa iya dirinya lagi-lagi tidak masak hanya karena tidak mau mendengarkan omongan orang lain.Lagi pula Bu Retno tak akan ada di tukang sayur. Ada bagusnya juga lumpuhnya bu Retno. Ngurang-nguran