Berbeda dengan suasana suram yang menyelimuti anggota keluargaku ini, aku dan Abra justru menyambut pergantian hari dengan semangat baru yang menggebu.
Sebelum adzan subuh berkumandang, aku dan Abra sudah bangun dari tidur lelap. Tanpa membuang banyak waktu, kami mandi pagi secara bergantian kemudian langsung berangkat menuju ruko tempat kami akan berjualan.Kemarin aku sudah menghubungi Devi agar berangkat begitu selesai sholat subuh. Namun, karena batang hidungnya belum tampak setelah kami tiba, aku pun memutuskan untuk melipir ke pasar terlebih dahulu. Banyak bahan baku yang harus segera kami beli agar tidak kesiangan."Kapan lagi 'kan menjadikan anak orang kaya nomor lima di Indonesia ini jadi kuli. Mungkin lain kali aku harus berterima kasih pada keluargaku karena telah mempertemukan kita," ucapku berceletuk di sepanjang jalanan pasar."Cih, lalu aku bagaimana? Apa yang harus aku syukuri?" tanya Abra setengah mendumel."Kamu harusLima hari telah berlalu sejak Mas Damar terakhir kali datang ke rumah. Dan sejak hari itu, suasan rumah menjadi jauh lebih suram dari yang seharusnya. Perdebatan antara Jemima dan ibunya juga terdengar semakin intens setiap harinya. "Apa sih sebenarnya yang kamu lihat dari si Damar ini? Sudah lima hari berlalu tapi dia tidak juga kunjung datang membawa keluarganya. Mau sampai kapan dia membuat keluarga kita menunggu?!" bentak ibu tiriku hingga urat-urat biru di lehernya menonjol."Sabar, Bu!" ucap bapak mencoba menenangkan istri tersayangnya yang tampak gusar."Sabar! Sabar! Mau bersabar sampai kapan sih, Pak? Sampai perut Jemima kelihatan membesar, dan jadi pembicaraan dimana-mana?" Raung ibu tiriku menumpahkan segala emosinya."Ya, nggak gitu, Bu. Siapa tahu Nak Damar dan keluarganya baru akan datang besok," tukas bapak lagi, masih ber-positif thinking.Namun, bukannya merasa terhibur, ibu tiriku itu justru mendengus dengan dingin. "Ci
Hari-hari masih terus berjalan semestinya. Aku dan Abra dengan kesibukan kami mengurus jualan yang semakin ramai dan laris. Sementara itu, ketiga anggota keluargaku yang lain masih dengan kerisauan mereka karena Mas Damar yang tidak juga kunjung datang melamar Jemima."Alhamdulillah, pendapatan hari ini lebih banyak dari kemarin," ucapku dengan selukis senyum yang tidak berhenti merekah sejak tadi."Alhamdulillah," ucap Abra ikut serta."Bra, gimana menurut kamu kalau kita tambah menunya?" tanyaku meminta pendapat."Tambah dengan menu apa?" tanya Abra."Ayam bakar dan ikan bakar? Nanti kita juga tambah karyawan," tukasku dengan antusias."Boleh juga. Tapi kalau aku boleh sarankan, pelan-pelan aja dulu. Paling tidak kita lihat bagaimana perkembangan usaha ini mungkin sekitar sebulan ke depan," tukas Abra.Aku pun lantas menganggukkan kepala setuju. "Baiklah," ucapku lirih."Ngomong-ngomong, kenapa kamu masih saja
"Damar!""Damar!""Keluar kamu!"Teriakan tidak sabar meluncur silih berganti dari bibir bapak dan juga ibu tiriku hanya sesaat setelah mereka memarkir sepeda motornya di depan rumah keluarga Mas Damar. Teriakan heboh mereka bahkan sampai menarik perhatian para tetangga yang ada di sekitar rumah itu."Psstt, ini ada apa?""Entahlah, aku juga baru keluar nih,""Mereka mencari siapa tuh? si Damar?""Sepertinya, iya!" "Wah, ada apa, ya?" Dengungan kepo para tetangga itu terdengar datang silih berganti karena melihat sikap bar-bar keluarga kami. "Damar!""Keluar kamu!" "Jangan jadi pengecut!" Teriakan ibu tiriku semakin menggelegar. Dia sama sekali tidak mempedulikan berpasang-pasang mata yang sedang menatap penasaran ke arahnya. Aku dan Abra bahkan sampai menyisihkan diri agar tidak ikut malu."Damar!""Keluar kamu!" Ibu tiriku berteriak
"Assalamualaikum,"Suara lirih Mas Damar yang datang dari luar rumah membungkam sementara mulut dua orang wanita paruh baya yang sedang bersitegang itu."Bu, ada tamu ya?" tanya Mas Damar.Sesaat setelah dia menjejakkan kaki di ambang pintu ruang tamu, tubuh pria itu tampak kaku. Matanya juga membelalak lebar melihat kehadiran kami."J ... Jemima?" sapa Mas Damar terbata-bata. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya dengan gestur yang terlihat amat gugup."Anak kurang ajar. Kamu pikir dengan tidak menjawab telepon, kami akan membiarkan semua ini berlalu begitu saja? Kamu tidak menduga bahwa kami akan berani untuk datang ke rumahmu seperti ini 'kan?" raung ibu tiriku dengan berapi-api. Urat lehernya sampai terlihat menonjol."B ... Bukan begitu, Bu. Tolong tenang dulu," tukas Mas Damar dengan panik. Dengan langkah tergesa, dia lalu menyeret kakinya menghampiri ibu tiriku yang sudah terlihat semakin bersungut-sungut.
"Bukankah pekerjaan sangat penting untukmu? Bagaimana kalau aku membuat pekerjaan itu hilang darimu?"Ucapan dingin yang keluar dari bibir Jemima itu membuat tidak hanya Mas Damar, tetapi bahkan sudut mataku turut berkedut. "Apa maksudmu?" tanya Mas Damar.Jemima mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Nama keluargaku sendiri sudah rusak. Jadi, aku sih tidak masalah kalau nama keluargaku dikotori sekali lagi, tapi bagaimana dengan kamu, Mas? Kamu ingat apa yang pernah kamu ceritakan padaku terkait bosmu di tempat kerja? Bagaimana kalau aku memberitahunya? Mungkin kamu akan langsung dicepat. Kalau sudah dipecat, apa lagi yang bisa dibanggakan oleh seorang pengangguran?" tutur Jemima panjang lebar." ... "Mas Damar terdiam tampak mengingat maksud dari ucapan yang dilontarkan oleh Jemima. Dan tidak lama setelah itu, wajahnya pun berubah pias. Aku tidak tahu senjata apa yang dimiliki oleh Jemima untuk melawan Mas Damar kali ini. Tetapi yang
"Tidak bisa!" Ibu Wati yang mendengar persyaratan yang diajukan oleh Jemima pun berteriak menolak gagasan itu."Mana ada suami yang mengikuti istri untuk tinggal di rumah orang tua sang istri. Dimana-mana, istrilah yang mengikuti kemana pun suami pergi," pungkas ibu Wati tidak terima.Jemima lantas mendecih pelan. "Tentu saja ada. Siapa bilang nggak ada? Lagipula tidak ada aturan baku soal itu," tukas Jemima dengan santai.Ibu Wati pun menggelengkan kepalanya dengan kencang. "Pokoknya tidak bisa. Kalau pun kalian benar-benar akan menikah, Damar harus tetap tinggal di rumah ini. Dan kamulah yang harus mengikutinya!" ucap ibu Wati bersikukuh."Tidak bisa! Mas Damar-lah yang harus ikut tinggal di rumah orang tuaku. Kalau tidak, aku tidak akan mau menikah dengannya. Sebagai gantinya, dia harus dipecat oleh kantor tempatnya bekerja!" ucap Jemima dengan tegas."Kamu ... ""Baiklah. Baiklah. Aku akan ikut tinggal di rumah oran
"Ya sudah kalau begitu. Apalagi yang harus aku katakan?" kata Mas Damar dengan lesu."Bagus, jadi kita sudah sepakat?""Dengan terpaksa!" timpal Mas Damar."Kalau begitu, kami akan langsung permisi pulang dulu," pungkas Jemima seraya bangkit dari tempat duduknya. "Ayo, Pak, Bu. Kita pulang," ajak Jemima.Tanpa membuang banyak waktu, bapak dan ibu tiriku turut beranjak. Dan aku serta Abra pun dengan cepat mengikuti."Aku tunggu kedatanganmu dan keluarga paling lambat lusa ya, Mas!" ucap Jemima seraya berjalan menuju pintu ruang tamu."Kami permisi dulu. Assalamualaikum!" ucap bapak berpamitan dengan sopan."Waalaikumsalam!" timpal Mas Damar dan ibunya dengan nada ogah-ogahan.Langit telah berubah gelap ketika kami keluar dari rumah orang tua Mas Damar. Kumpulan para tetangga yang semula berjubel ketika kami datang pun, kini tidak lagi terlihat. Barangkali mereka sudah kembali ke rumah masing-masing karena azan Ma
"Dasar Jemima kurang ajar. Mulutnya seperti tidak pernah dididik saja!" gerutuku setibanya di dalam kamar."Apa lagi sih yang dilakukan saudara tirimu itu sampai membuatmu marah-marah begitu?" tanya Abra yang hendak masuk ke dalam kamar mandi.Melihat Abra yang hanya mengenakan celana pendek, tanpa baju dengan sebuah handuk biru tersampir di bahunya membuatku kembali teringat dengan bisikan laknat Jemima barusan."Nggak ada apa-apa!" jawabku cepat cenderung ketus sembari menggelengkan kepala dengan kencang untuk menutupi gugup yang dirasakan oleh hati. Namun, reaksi agak keras yang aku berikan ini justru membuat Abra otomatis mengernyitkan keningnya dengan curiga. "Aku nggak percaya. Pasti ada apa-apanya!" tukas Abra saksi.Ketidakpercayaan Abra ini membuatku spontan mendecakkan lidah. "Kalau dibilang nggak ada apa-apa tuh, berarti nggak ada apa-apa. Pun kalau aku ada masalah dengan Jemima juga, aku pasti bisa mengatasinya sendiri. Selam
"Mas, minta uang dong!" ujar Jemima ketika aku hendak berangkat bekerja."Nggak ada!" jawabku dengan terus terang. Biaya mahar dan hutang untuk menyelenggarakan pernikahan kemarin telah membuatku jatuh miskin. Uang di dalam tabunganku hanya tersisa dua juta saja. Sementara gajian masih lama. Terlebih lagi, aku enggan untuk memberikannya pada wanita culas ini."Mas, kamu nggak bisa gini dong. Aku ini istri kamu. Sudah sepantasnya kamu memberi nafkah padaku," protes Jemima tidak terima.Aku mengangkat bahu dengan masa bodoh. "Uangku sudah habis untuk membayar maharmu beserta biaya pernikahan dan lain sebagainya. Sampai nanti hutangku pada Januar habis, aku tidak bisa memberikan nafkah finansial untukmu," ungkapku."APA?!" pekik Jemima membuat telingaku seketika pengang."Kamu tidak usah teriak. Aku bilang kalau aku tidak akan memberikan nafkah padamu sampai hutangku pada Januar habis," ucapku mengulang pernyataan sebelumnya.
Berbeda dengan suasana hatiku yang ceria karena mengetahui satu lagi fakta soal Abra, suasana yang meliputi pengantin baru di keluarga ini tampak lebih suram. Sama sekali tidak ada rona bahagia yang seharusnya dimiliki oleh pasangan pengantin baru."Wah, senang ya. Sekarang rumah ini jadi makin ramai. Meja makannya sampai nggak muat nih," celetukku memecah kesunyian yang menyelimuti anggota keluargaku malam ini.Meja makan di rumah kami yang seharusnya hanya muat untuk empat orang itu kini ketambahan satu penghuni baru lagi. Tidak heran jika meja makan ini semakin terasa sempit dan penuh sesak."Iya, kamu dan suami kamu tuh yang menuh-menuhin tempat," balas Jemima dengan sewot.Bukannya marah, aku justru memiliki hasrat untuk ingin terus menggoda pasangan pengantin baru ini."Aku tahu kalau aku dan suamiku yang menuh-menuhin tempat. Oleh karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih pada semuanya karena telah membuat hal ini terjadi. Aku
"Kamu benar-benar mengenal kakaknya Mas Damar?" tanyaku dengan sedikit keterkejutan."Iya!" jawab Abra singkat."Wah, betapa sempitnya dunia ini," ucapku kemudian. "Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanyaku dengan nada sedikit terlalu antusias." ... "Abra tidak langsung menjawab, dia hanya menatapku dengan kening berkerut. Mungkin juga dia tengah menimbang apakah akan memberitahuku atau tidak."Kalau kamu tidak mau memberitahu, aku juga tidak akan memaksa," ucapku dengan cepat. Aku tidak mau Abra beranggapan bahwa aku ini wanita ceriwis yang terlalu ingin ikut campur dengan urusannya." ... "Abra tidak menanggapi. Dia masih tetap diam dengan sorot mata menyipit tajam ke arahku. Situasi ini membuatku merasa canggung dan kikuk."J ... Jangan melihatku seperti itu," ujarku dengan terbata. Dipandang seperti ini membuatku gugup. Sorot mata itu terlalu tajam hingga membuatku merasa tatapa
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
Damar POV,"Kamu bicara sendiri sama kakakmu sana. Jangan ibu terus yang disuruh ngomong. Ibu juga malu!" ujar ibu ketika aku memintanya untuk meminjam uang lagi pada kakakku itu."Yah, Bu. Aku juga malu!" tukasku terus memohon pada ibu.Meskipun aku dan sang kakak bersaudara kandung, tapi hubungan kami hampir tidak bisa disebut saudara. Aku dan kakakku yang bernama Januardi itu terpaut usia 5 tahun. Sejak kecil kami tidak pernah akur. Sikap pembeda bapak adalah pemicunya. Tidak peduli bagaimana nakalnya kakakku ini, bapak tidak pernah memarahinya. Dia senantiasa selalu menjadi favorit dalam keluarga. Berbeda sekali dengan aku yang meskipun berjuang keras dalam bidang akademik, tapi itu tidak pernah cukup untuk membuat bapak terkesan. Prestasi-prestasi yang aku peroleh di sekolah seolah tidak memiliki arti. Ketidakadilan yang mendera kami tidak hanya terbatas pada sikap bapak, tapi alam pun seolah turut serta. Aku yang setengah mati bel
"Widih, kamu kenapa jalannya begitu? Habis bertempur semalaman ya?" celetuk Jemima ketika melihatku keluar dari kamar dengan langkah sedikit mengangkang. Mendengar celetukan frontal wanita ini, aku segera melemparkan delikan sinis. "Jangan sembarangan ngomong kamu!" sentakku dengan kesal.Jemima mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Santai aja kali. Kayak gitu tuh sudah biasa di antara suami istri. Tidak usah disembunyikan," ujarnya.Tanpa sadar aku pun menggertakkan gigi karena kesal. Sesekali aku juga melirik ke arah pintu kamar di belakangku. Aku sama sekali tidak mau Abra mendengar perkataan Jemima yang kurang ajar ini."Terserah kamu!" ucapku dengan niat ingin mengakhiri topik yang sangat tidak nyaman ini.Dengan langkah tertatih karena kakiku yang terasa berat, aku kemudian berjalan menuju kulkas yang tidak jauh. Pagi ini aku memutuskan untuk bolos bekerja. Tubuhku yang serasa remuk redam ini terlalu enggan untuk diajak bekerja ke
Hari-hari yang aku dan Abra lalui masih sama seperti biasanya, hanya ada sedikit perbedaan di jam pulang. Kami yang biasanya berangkat setelah subuh dan pulang setelah isya, kini membatasi jam kerja hingga sampai jam 3 sore saja. Untuk meringankan pekerjaan, aku juga menambah dua pekerja lagi. Mereka adalah ibu-ibu paruh baya yang memang sudah berpengalaman di dapur. Nama mereka adalah ibu Dewi dan juga ibu Humairah."Aku tidak mempunyai pengalaman dalam berolahraga, jadi apa yang harus aku lakukan untuk memulai nih?" tanyaku pada Abra di suatu sore yang cerah.Saat ini aku sudah mengenakan sepasang pakaian training, dan berdiri di tengah-tengah lapangan bersama Abra."Pertama-tama, kamu harus pemanasan dulu. Lari keliling lapangan ini sebanyak lima kali," tukas Abra."Hah?""Jangan banyak protes. Lari ini baik untuk kesehatan. Jangan cuma mikir kurusnya aja tapi kondisi organ dalam tidak jelas," tukas Abra. "Dengan berlari minimal 30 men
Sejak mulai mengenal Abra, aku merasakan hidupku menjadi terombang-ambing. Seringkali apa yang sudah aku rencanakan dengan mantap hancur berantakan begitu saja. Seperti misalnya hari ini.Di tengah perjalanan pulang, Abra tiba-tiba berceletuk. "Kapan rencananya kamu akan mulai make over diri. Katanya mau tampil lebih percaya diri, tapi belum ada pergerakan juga tuh?" ucapnya."Hah? Kamu bilang apa?" tanyaku.Ada sedikit rasa tidak pasti ketika mendengar ucapan Abra yang seperti ini, apalagi karena kami sedang berada di atas sepeda motor, dan suara deru angin yang berhembus kencang membuat pendengaranku agak tidak jelas."Apa kamu tidak berniat untuk menjadi wanita yang tinggi, putih, dan langsing kayak bihun itu? Habisnya aku merasa lemak di perutmu agak tebal," tukas Abra dengan suara yang sedikit lebih dikeraskan kali ini."Kamu bilang apa?!" pekikku seraya menepuk bahu Abra dengan keras.Dengan Abra yang mengatakan bahwa lemak