Anita mengabaikan Dante. Gerakannya sangat cepat, nyaris seperti angin. Anita ingin segera membawa pulang putrinya sebelum Dante bertindak dengan kuasanya.
"Anita, berhenti!" panggil Dante lagi.
Pria itu berusaha keras untuk menghentikan Anita dan membiarkan Priyanka tinggal bersamanya. Paling tidak selama mereka berada di Curaçao.
Saat pintu kamar di mana Yoona dan Priyanka dirawat hendak dibuka, Anita menghentikan gerakannya. Dia begitu tercengang saat mendengar keakraban antara anak dan ibu sambung itu.
"Ante cantik, apa kamu yakin ada yang menarik kakimu? Dan berapa banyak air yang kamu telan?" Terdengar kikikan di setiap katanya. Seharusnya ini adalah pertanyaan yang menegangkan, akan tetapi Priyanka malah tertawa seolah ada hal yang lucu.
Jelas saja Priyanka merasa geli, Yoona menceritakan pengalaman yang menyeramkan dengan mimik wajah yang lucu, sangat kontras dengan cerita sesungguhnya.
Suara Priyanka yang riang membuat
Anita memeluk Priyanka dan mengelus rambutnya yang keriting. "Ya, Tante ini tidak bersalah. Tapi, Moms mau kamu ikut Moms pulang ke Hotel." "Moms … aku masih mau tinggal dengan Daddy," rengek gadis kecil itu. Untuk kali ini, Priyanka ingin tinggal dengan Daddynya, anak itu ingin meminta haknya. Dante duduk di sofa dengan kaki bersilang. "Kamu bilang masih ada banyak urusan? Jadi, biarkan Priyanka bersamaku untuk beberapa hari kedepan." "Tidak bisa, Dante. Aku tidak mau meninggalkan Priyanka saat ini. Mungkin nanti setelah dia lebih baik kamu bisa menjemputnya di Bali," Anita bersikeras. Jelas dia masih mengkhawatirkan putrinya. Anita tidak ingin meninggalkan Priyanka disini dengan ibu tiri yang tidak menjaganya. Dante menyerah Mantan istrinya ini memang selalu keras kepala. Dante tidak ingin berdebat dengan Anita dan membuat putrinya berada dalam posisi yang serba salah. Yoona merasa prihatin dengan kesedihan suaminya. Dari yan
Dante mengerang frustasi saat dirinya bangun kesiangan. Padahal, pagi ini dia memiliki janji dengan ABRIPDA Yanto Sudradjat. "Ini semua karena Mommy yang menjauhkanku dari Yoona!" ujarnya penuh amarah sambil turun dari ranjang. Dari balkon kamar tamu, Dante melihat Yoona duduk termenung. Terlihat jelas Yoona memiliki banyak pikiran. "Sebenarnya apa yang di dia pikirkan?" monolognya sambil menuruni tangga, "Mungkin beberapa hari di sini dan mengundang para sahabatnya akan membuat Yoona kembali ceria," ucapnya optimis. Dante setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ainun. Istrinya tidak boleh sendiri, apapun yang terjadi. Selain untuk membuat Yoona bahagia, ini juga demi keselamatannya. Tadi malam saat Yoona sudah tidur akibat pengaruh obat, Dante ditegur habis-habisan oleh Dorian dan Ainun. Kelalaiannya tidak bisa dimaafkan. "Honey …," panggil Dante lembut. Wanita itu menoleh, terlihat senyum tipis di bibirnya. Wajah Yoona ma
BRIPDA Yanto menyerahkan berkas beberapa orang yang dia curigai. "Demian bersih Dante. Tidak ada satu kalipun, Demian melakukan panggilan keluar negeri. Semua alamat IP yang dia miliki tidak ada yang terhubung ke Karibia. Begitupun dengan istrinya. "Bagaimana dengan Anita? Dia juga bisa jadi tersangka kan? Motifnya jelas seperti apa yang sudah aku katakan." Dante merasa yakin salah satu dari data yang dia berikan memiliki motif yang sangat kuat untuk membunuh Yoona. BRIPDA Yanto menggeleng dan itu membuat Dante kecewa sekaligus senang. "Nyonya Anita ada di tempat seminar saat kejadian itu. Belum hanya menghubungi putri Anda satu jam sebelum kejadian dan saat dia baru saja tiba di hotel." "Sial! Jadi kita mulai dari awal lagi?" "Ya." Dante dan BRIPDA Yanto sama-sama termenung memikirkan langkah selanjutnya. Dante jelas tidak mungkin selalu mengurung Yoona dan mengawasinya dalam 24 jam. Wanita ini sangat keras kepala dan tidak akan
Yoona mengabaikan ucapan Yoora. Wanita itu langsung berlari menuju lantai dua dimana kamarnya berada dan menumpahkan semua amarah dan rasa sakit hatinya.Yoora masih diam membantu melihat kepergian Yoona. Sepenuhnya ia sadar telah melukai hati adiknya, dan entah mengapa rasanya sudah tak sebahagia dulu. Yoora seolah ikut merasakan apa yang tengah dirasakan oleh Yoona. Adiknya itu pasti sangat membencinya sampai ke tulang sumsum. Tapi, Yoora bisa apa? Kali ini ia melakukan hal ini bukan untuk dirinya sendiri, tapi demi Diva dan Leno.Dengan segera, Yoora menghapus jejak air matanya yang hampir saja tumpah."Aku tidak boleh lemah. Jika sekarang aku menyerah, siapa yang akan melindungi kedua anakku?" Yoora menarik napasnya dalam guna mencegah air mata yang akan kembali jatuh.Kini dia tahu, apa yang dirasakan oleh Sulis. Melakukan apapun demi melihat putrinya bahagia."Demi putrimu, kamu rela menyakiti putri kandungmu agar dapat selalu mel
Dia tidak sanggup jika harus kehilangan pria itu. Cintanya sudah tumbuh dan mengakar dalam hatinya hingga menembus jantung yang jika di cabut paksa, Yoona akan mati karena tidak mendapat dukungan dari pria itu lagi.Tidak, Yoona tidak ingin itu. Dante adalah miliknya, dan hanya miliknya. Yoora tidak akan bisa memisahkan dirinya dari Dante, begitupun sebaliknya.Tubuh Yoona gemetar hebat, isakkan semakin kuat terdengar. Yoona menengadahkan wajah, memohon dengan sangat pada pria itu dengan linangan air mata yang mengalir deras."Berjanjilah, Dante. Dimasa depan, jika aku memintamu tuk meninggalkanku, jangan pernah mau. Itu bukan keinginanku, Dante. Aku tidak ingin kehilanganmu!" Pinta Yoona lirih.Pria itu merangkum wajah Yoona, menghapus jejak air matanya, mengabaikan ucapan istrinya yang terdengar sedikit ambigu di telinganya."Jika Tuhan sekalipun yang turun tangan langsun
Sulis mengangkat tangannya yang gemetar, berusaha mengelus punggung Hasan. Menghibur pria itu atas ketidakberdayaannya. Mungkinkah ini saatnya untuk mengungkap segala misteri yang selama ini ia pendam. Tapi, hati seseorang pasti akan sangat hancur. Bahkan, malaikat pencabut nyawa bukan saja akan mendatanginya saat dia tahu dirinya telah mengungkap fakta kebenarannya, seseorang itu juga akan meminta nyawanya sebagai ganti dari duka yang dia tanggung.Sulis menarik napas, berusaha mengisi paru-parunya yang terasa kering."A-ayahnya Malik!" panggil Sulis lirih. Suaranya benar-benar tercekat di tenggorokan. Apapun yang akan dia katakan, seolah menyiksanya dari dalam.Hasan mengangkat wajahnya, menggenggam tangan istrinya, memberi penguatan bahwa dia tidak sendiri."Katakan, Bun … kami bersamamu. Ayah dan Malik ada disini," ujar Hasan memberi dukungan.Malik mendekap bahu ibunya, menyalurkan semua kekuatan pada wanita yang telah melahirkann
Malam itu, persalinan kakak dan adik berlangsung cukup lama. Keduanya sama-sama kritis dan membutuhkan banyak kantong darah hingga pihak rumah sakit menghubungi beberapa bank darah untuk memenuhi semua kebutuhannya. tidak beruntung, walau sulit semua bisa ditangani. Namun, satu bayi dari salah ibu itu tidak bisa menghargai. Dimalam yang sama, Hasan dengan panik mengendarai mobilnya saat tahu Sulis sudah berada di ruang bersalin diri, dan lagi-lagi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, Hasan mengalami kecelakaan akibat menghantam bahu jalan. Pria itu t
Sulis memberikan bayi kandungnya pada suster yang datang menghampirinya lebih dulu. Dengan sangat terburu-buru Sulis merengkuh bayi kecil lainnya yang terus menangis dan langsung diam ketika mendapat dekapan hangat dari dirinya.Sulis mengelus pipi kemerahan bayi dalam dekapannya yang terus membuka mulutnya, mencari sesuatu saat merasakan jari hangatnya dekat dengan bibir. Tidak ingin membuat bayi itu semakin tersiksa, Sulis menyusuinya, memberikan asinya pada bayi malang itu.Sekarang Sulis tahu, ia harus kuat demi semua orang yang membutuhkannya, termasuk kedua bayi yang baru saja ia susui. Dengan keyakinan sekuat baja, Sulis siap menemui suami dan adiknya yang begitu membutuhkan kehadirannya."Antarkan saya pada suami saya," pintanya pada suster setelah menyerahkan bayi dalam dekapannya yang sudah terlelap.