"Aku tak mempermasalahkan itu semua, aku hanya ingin kamu tau dia datang kemari dan nampak senang saat aku katakan kamu pernah menceritakannya juga."Alif masih terdiam mendengarkan ucapan istrinya."Besok kamu akan kembali ke kota kan? kamu pasti akan bertemu dengannya kan??" Dewi memberikan pertanyaan dengan sinis, seolah dirinya begitu tak suka jika Alif bertemu dengan wanita itu di belakangnya. Alif menatap mata yang tampak bening namun penuh keraguan, dia tak pernah melihat Dewi seperti ini Sebelumnya."Apa kamu tak percaya padaku? aku bahkan tak perduli lagi bagaimana dia sekarang""Aku percaya padamu lebih dari siapapun, tapi pernahkah juga kamu memikirkan bagaimana berada dalam posisiku?" Dewi menjawab dengan hati berdebar, dia begitu takut kehilangan orang yang paling dia cintai sekarang.Alif menatap dalam diam, ia masih berusaha mencari tau apa yang terjadi pada istrinya sekarang."Katakan padaku sekarang, apa alasannya aku tak boleh menaruh curiga?" Dewi menaikan kedua al
"Huaaaa.... Api! Kebakar! Tokoku!" Ucapnya dengan kacau, dia menjambak rambutnya sendiri sembari terus menatap ke arah kobaran."Pak Hendra, bu Ratna nggak ikut keluar?""Ratna? Ratna dan Juna!" Ucapnya binggung, dia ingat betul istrinya itu tidur di dalam rumah, jarak rumah dan toko memang ada sepuluh meter, namun tetap saja dua merasa panik sekarang."Bagaimana ini pak, anak istri saya di dalam ini, saya harus bagaimana?" Ucap Hendra mencari siapa yang mau masuk membangunkan anak dam istrinya, sementara kakinya sendiri sudah gemetar takut."Ya jemput lah pak, kami takut mau masuk, itu anak istri bapak to!" Ucap warga acuh, mereka datang hanya untuk melihat kobaran api, bukan untuk membantu apa lagi berkorban diri."Saya mana barani pak, tolong lah bantu anak istri saya!" Hendra memohon, namun warga desa yang tak merasa simpati tetap saja hanya berdiri menonton api yang semakin membumbung tinggi.Hendra rubuh ke tanah, melihat tak ada orang yang sudi membantunya menyelamatkan anak da
Saat mereka sedang panik, mobil ambulan sudah datang membawa satu tengki penuh air kali untuk memadamkan api yang semakin besar. Ratna dan Juan langsung di bawa ke dalam ambulan untuk di periksa, sementara Hendra masih berjalan panik ke semua arah hingga akhirnya pemadam mendudukkan nya di sisi jalan, orang-orang hanya memandangnya tanpa berniat mendekat, mengingat berapa sombongnya dia selama ini, orang bahkan enggan untuk berbagi simpati.Hanya beberapa warga bersama saudara Ratna yang lain sibuk memilih dan mengeluarkan barang yang bisa di bawa lebih cepat. Hendra bahkan sibuk menghitung apa.saja yang telah habis di lalap si jago merah hingga dirinya tak lagi memperhatikan sang istri."Mas, bagaimana dengan buku tabungan kita!" Ratna yang sudah turun dari ambulan tiba-tiba mendekat dengan panik."Apa kamu nggak bawa keluar buku dan berkas penting lain.""Gila apa bagaimana sih mas, aku mana sempat memperhatikan barang lain, nyawaku saja hampir melayang!" Ucapnya sinis."Dan uang di
Hendra terdiam, dia menatap lekat wajah yang masih tertutup masker. "Aku tau semua tentangmu Hendra! Aku hanya ingin kamu tau, segala yang kami lakukan adalah kesalahan!""Oh apa alif menyuruhmu?'"Tuan Alif tidak meminta, kami datang sendiri!" "Apa maksudnya? Kenapa kamu bakar tokoku?" Hendra bicara dengan wajah kesal."Itu hanya sedikit balasan atas perbuatanmu pada tuan kami!" Ucapnya lagi lalu berbisik di telinga Hendra, tatapan nyalangnya begitu tajam."Apa kamu mencari cincin batu kesayanganmu Hendra?!" Ucapan itu membuat wajah Hendra kembali membeku."Takut? aku akan meminta penyelidikan khusus tentan ini! Bersiaplah menerima kejutan lain!" Ucap lelaki itu dan Hendra menarik ke arah nya dengan kencang."Apa yang kamu katakan? semua ini adalah ulah Alifkan? Katakan padaku!" Hendra kembali tersulut emosi.Lelaki itu mundur beberapa langkah, membuat Hendra yang panik dan ketakutan kini bertambah kalut."Aku akan balas kalian semua! Ucap Hendra sembari mengayunkan pukulan yang bisa
Pagi ini Alif bersiap kembali ke kota bersama Nadia dan Dewi, Nadia terlihat selalu tersenyum saat menatap ke arah ibunya yang berdiri di depan kaca kamar."Ibu cantik." Pujinya dengan wajah sumringah.Dewi memakai dres panjang berwarna kuning muda dengan lengan berenda putih dan jilbab senada. Dewi nampak begitu angin memakai sepatu ber hak kecil yang lancip Ujungnya, memperlihatkan tingginya yang sempuran."Anak ibu juga sangat cantik." Ucapnya pada nadia yang terlihat sangat cantik dengan dres putih dan merah muda."Apa kakek akan kenal kita bu?" Nadia bertanya dengan polosnya, dia yang paling tak sabar bertemu dengan kakeknya dari pihak ayah."Mungkin, ibu juga belum pernah bertemu kakek Nadia.""Kalau begitu Nana tanya ayah saja." Ucapnya lalu berlari ke kamar orang tuanya.Alif sudah siap saat Nadia masuk dan berlari menghampiri sang ayah."Wah, cantik sekali putri ayah ini."Nadia tersenyum mendengar pujian dari sang ayah, gadis itu duduk di atas ranjang ayahnya dan menatap leka
Dewi berjalan perlahan, memasuki pintu besar bak istana dan menatap lekat dekorasi mewah pada dindingnya di dalam. Lampu gantung dengan model yang indah membuat Dewi semakin jatuh hati dengan gaya rumah lama suaminya.Masuk ke ruangan tengah, Rendi sedang duduk bersama Beni di ruang keluarga, Lelaki itu masih ada di atas kursi rodanya, sementara Beni membelakangi tempat Alif berdiri."Mas harus pertimbangkan Askara untuk jadi pemimpin perusahaan dulu mas, dia masih harus banyak belajar." Ucap Beni tanpa tau orang yang sedang dia bicaran ada di belakangnya."Ada masalah apa dengan Aska?""Tidak ada masalah, hanya saja dia lama tak pulang dan aku rasa dia tak bisa langsung mengambil alih semua nya tanpa tau apapun mas.""Aku tak mengerti Beni, Askara bukan anak bodoh, lagi pula putraku sudah belajar memimpin perusahaan sebelum dia pergi.""Itu sepuluh tahun lalu mas, semua berbeda sekarang." Beni masih mencoba mempengaruhi kakaknya."Aska!" Rendi yang menyadari kedatangan putranya langs
Rendi menatap lekat wajah sang puta dan meminta Alif mendorongkan lagi kursi rodanya menjauh dari Nadia. Mereka duduk di kursi taman yang terbuka, menyaksikan Nadia riang bermain dengan taman kecil dan trampolin di sisi kolam renang, Rendi menatap cucunya dengan hati senang dari kejauhan."Apa papa harus bersikap begitu pada Dewi?" Pertanyaan Alif membuat Rendi terdiam."Papa tau, aku bukan lagi Aska yang dulu, jika papa tak bisa menerima Dewi sebagai istriku, maka tak ada juga tempat untuk aku dan Nadia di sini!" Alif memperjelas segalanya, dia seolah mengatakan pada sang ayah bahwa Dewi adalah segalanya sekarang!Rendi menghela napas dalam, Dewi memang terlihat wanita baik dan istimewa, namun setelah mendapat kabar dia gadis desa yang biasa saja, Rendi merasa putra nya terlalu istimewa."Nampaknya Dewi bukan dari kalangan kita." Rendi berucap dengan dingin."Ya lantas?" Alif berbalik meminta penjelasan."Sebagai seorang CEO harusnya kamu punya cinta yang lebih sepadan Aska, yang sama
Dewi mengangguk dengan cepat, dia tak mau jadi istri yang durhaka, cintanya pada sang suami terlalu besar untuk di pisahkan ayah mertuanya, mereka telah banyak melalui waktu bersama, meski berat dia tau harus berbuat apa sekarang."Kita berjuang bersama mas, aku mau menemanimu berjuang dan meluluhkan hati8 papa" Ucapnya dengan senyum mengembang, Dia tau tak mudah memang masuk ke keluarga sang suami, latar belakangnya yang biasa saja membuat dirinya pasti di remehkan, namun dia harus mencobanya juga agar bisa benar-benar menjadi menantu keluarga suaminya."Terimakasih ya Wi, terimakasih!" Ucap Alif memeluk istrinya dengan bahagia, dia tau istrinya adalah wanita hebat dan murah hati, papanya hanya tak bisa mengenali bagaimana Dewi yang sebenarnya."Mas, bolehkah aku menemui Diana?" Kalimat dari Dewi membuat Alif terkejut dan menatapnya lekat."Kenapa kamu ingin menemui Diana?"Dewi tersenyum, dia tau suaminya pasti takut jika Diana melakukan hal yang buruk padanya."Aku akan datang deng
201"Tidak, Nadia!" Aku berteriak panik saat melihat bola yang Nadia bawa terlempar tak jauh dari tubuh lelaki yang terlihat sedang bersembunyi di balik pohon besar itu."Ada apa?" Mas Alif nampak panik melihat aku berlari keluar dan berteriak."Ada apa Wi?" Mas Alif menarik tanganku dengan cemas."Mas, lelaki itu datang lagi mas, dia di bawah." Ucapku dengan panik dan segera berlari menghampiri Nadia dan Caca.Aku tak dapat memikirkan apapun lagi sekarang, rasanya banyak hal yang mengancam kedua putriku saat ini."Wi, jangan berlari." Suara mas Alif masih dapat ku dengar saat aku menuruni anak tangga. Bagaimana aku tak berlari jika bayangan lelaki asing itu menghantui seolah akan membuat nadia atau Caca dalam bahaya."Sayang, pelan saja!" Suara mas Alif kembali terdengar.Aku sudah keluar dari bungalow dan berlari menuju halaman belakang, ku lewati begitu saja kolam renang nan cantik yang terus ku kagumi dari lantai dua kamar kami, kakiku bahkan menginjak rerumputan tanpa alas, sebe
Pov Dewi.Aku masih tak habis pikir, siapa lelaki yang kami temui di minimarket tadi, aku sepertinya pernah melihat wajah lelaki itu, tapi aku tak tau dimana dan siapa."Apa kita perlu membawakan anak-anak cemilan nyonya?" Yasmin membuyarkan lamunanku.Caca dan Nadia memang sudah naik ke lantai atas dan bersiap ke pantai, karena itu Yasmin bertanya apa yang perlu dia bawa untuk menemani anak-anak."Bawakan saja beberapa jajanan yang mereka suka, jangan terlalu jauh dari bibir pantai Yas, ombak sore hari biasanya lebih besar."Aku memberi Yasmin nasehat agar tak lupa, sebab Nadia anak yang sangat ingin tau, dia pasti akan meminta ini dan itu bila rasa penasarannya sudah memuncak."Saya akan ingat nyonya." Ucap Yasmin lalu berjalan menjauhiku.Aku lantas berjalan menuju kamar, mas Alif sedang mengganti bajunya saat aku masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya nampak terkejut, takut jika pegawai kami yang masuk tanpa izin."Maaf_" Aku menyengir kuda, lupa jika mas Alif sudah naik ke kamar ka
Kami semua sudah ada di dalam mobil, perjalaanan yang akan kami tempuh cukup jauh, dua jam dari tempat kami tinggal. Mas Alif menyetir sendiri kendaraan kami, sementara yang lajn mengikiti dari belakang.Caca dan Nadia bercanda terus sampai kami ikut tertawa dengan keberadaan mereka dalam mobil, meski aku sendiri masih sangat jengkel dengan kejadian di rumah pagi ini, namun tawa Caca dan Nadia membuat aku terus merasa bersyukur."Buk, boleh tidak kami beli ice cream buk." Nadia meminta saat perjalanan kami sudah sangat jauh.Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tak ada salahnya juga membeli ice cream untuk di nikmati bersama, lagi pula ini kan liburan."Baiklah, kita akan berhenti kalau ada minimarket di depan." Ucapku yang membuat dua anak itu kegirangan tak sabar. Aku dan mas Alif hanya bisa tersenyum melihat tingkah merek yang memgemaskan bagi kami.Tak berapa lama mas Alif membelokkn mobilnya dan terparkir tepat di depan sebuah minimarket dengan logo anak lebah itu. "Nadia sama mbak
Dewi masih menatap kesl ke arah Yanti, dia lantas mendekti wanita itu lagi dan melihat ada sorot tahut di sana."Yang lain boleh kembali bekerja!" Ucap Dewi dingin, sementara satu persaru pengasuh anaknya pergi turun dari lantai atas.Yanti masih diam dan tak berani melihay ke arah Dewi, bahkan firinya masih berdiri di tempat yang sama dan dalam posisi tak berubah sama sekali."Duduklah Yan, aku ingin mendengarkan penjelasmu!" Dewi meminta Yanti duduk yang tenang sebab bnyak orang akan tai itu keponkan linnya masih menungguMas, kenapa Lukas kasar sekali padaku!"Tri bersikap begitu manja pada Beni saat mereka tiba di rumah, pertemuan Beni dan Lukas yang tanpa sengaja itu membuat mereka bersitegang di depan umum.Tri masih memegang pergelangan tangannya yang berdenyut, Lukas dengan sangat kasar meremas pergelangan tangannya hingga memar kemeraha.Beni tak pernah bisa bersikap kasar pada Tri, entah kenapa dirinya selalu saja meniruti apa perintah wanita itu, bahkan ketika Tri mutuskan
Hari ini Dewi berencana membawa Caca dan Nadia ke pantai, setelah kepergian Papa mertuanya ke luar negeri, Dewi sering melihat Caca melamun sendiri, hingga akhirnya dia berpikir untuk membawa Nadia dan Caca ke pantai untuk bersenang-senang.Sejak semalam mereka sudah tak berhenti menyiapkan segala hal yang di butuhkan untuk tamasya."Buk, baju ini bagus tidak?" Nadia menunjukkkan dres bunga putih nan cantik, dres itu hadiah dari Yasmin untuk Nadia saat baru datang ke rumah ini.Yasmin tersenyum mendapati pemberiannya jadi nb pilihan nona cilik yang dia jaga."Cantik, Nadia bisa pakai ini jika mau." Ucap Dewi dengan senyum mengembang dan gadis itu berjingkrak senang masuk kembali ke dalam kamarnya.Dewi lantas menatap ke arah Caca yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar."Hay cantik, ada apa sayang?" Dewi mendekati Caca dan membelai kepala gadis kecil itu."Caca bingung mau pakai apa." Ucapnya lugu.Dewi menarik gadia itu kembali ke kamanya. Membuka lemari yang disediak
Wajar saja bila Aziz tak lagi mau memikirkan istrinya Tri, setekah penghianatan yang dia terima Aziz bahkan tak lagi perduli dari mana semua itu.Setiap orang datang denhan hadapanndan keinginan batuAku dan semua saudaraku memang sangat dekat sejak kecil, bapak memperlakukan kami dengan sangat baik hingga kami saling menolon satu sama lain. Mbak Dewi mmemang yang paling banyak berkorban untuk kami, bahkan dia terpaksa berhenti kuliah kedokteran hanya karena tak ada yang membantu merawat nenek saat ibu bbekerja dulu."Sudahlah mbak, aku tak mau lagi bertengkar di sini, aku ingin mbak tau bahwa kami memang sangat ingin semuanya berjalan dengan baik sekarang dan mas Hendra tak ada lagi dalam kehidupan kami!" Ucapan Ratna sungguh sangat menyakiti hatiku."Aku tak ingin bertengkar untuk sekarang mbak, calon suamiku sedang sakit, tolong jangan buat aku dan keluargaku bersikap buruk pada kalian di sini. Lagi pula mas Hendra memang sudah tak cukup layak untuk jadi suamiku sekarang, aku meras
Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang telh Beni siapkan untuk Tri, setelah amukan Lukas tempo hari, Tri merajuk untuk tinggal di tempat yang hanya dirinya sendiri yang punya kuasa di sana dan jadilah Beni membelikan apartemen mewah di pusat kota.Mobil mereka tiba di parkiran basement gedung, Beni keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Tri. Wanita yang kini berpenampilan begiru elegant itu keluar dengan senyum manis menyambut tatapan hangat lelaki yang tengah tergila-gila padanya itu.Tri lantas berjalan dengan merengkuh lengan Beni dalam dekapan, mereka nampak begitu hangat dan saling menebarkan cinta hingga tak sadar sepasang mata sedang menatap dari balik kaca mobil dengam amarah memuncak.Beni mengantarkan Tri hingga ke depan lif untuk naik ke lantai atas."Aku harus kembali ke kantor sekarang, banyak audit dari pusat dan aku harus segera tiba di kantor lebih dulu." Beni membelai tengkuk Tri dengan lembut, dan mereka saling melemparkan senyum penuh bahagia."Ji
"Papa minta tolong untuk jaga Caca saat papa ada di Eropa ya wi."Papa tiba-tiba saja bicara saat kami sedang duduk bersama di gazebo belakang rumah utama."Papa akan ke Eropa?" Aku terkejut lantas menatap ke arah mas Alif yang ternyata nampak tenang dan seakan sudah tau apa yang akan di katakan papa pada kami."Papa harus mengurus beberapa bisnis kita di sana dan tak mungkin juga membawa Caca bersama kan. Anak iti butuh keluarga yang utuh Askara dan papa saja tak bisa memenuhi ruang hatinya yang hampa."Aku mendengarkan dalam diam, sebab apa yang papa katakan memang benar adanya. Caca hanyalah gaddia kecil yang masih ingin di sayangi dan di manja dengan cinta dan kasih sayang yang berlimpah."Papa rasa kalian lebih patas membesarkannya seperti anak sendiri.""apa maksud papa kami lebih pantas?" Aku tak bisa menyembunyikan tanya dalam benak."Kalian adalah keluarga yang bahagia, Caca sangat dekat dengan Nadia dan kamu Wi, Papa rasa menitipkan Caca padamu adalah pilihan yang tepat."Se
"Tidak, jangan begitu. Aku akan menunggu kekasihku ini kembali ke dalam mobil dan segera berangkat ke pabrik." Tri memutar tubuh Bebelakanginya lantas sedikit mendorong tubuh itu berjalan maju ke depan."Baiklah, aku akan pergi lebih dulu. Kamu yakin tak apa-apa aku tinggal di sini?" Beni memastikan bahwa Tri tak merasa keberatan di tinggalkan sendiri.Tri tersenyum dengan manja. "Aku tak apa-apa. Sungguh." Ucapnya lagi meyakinkan sang kekasih.Merasa Tri tak keberatan untuk di tinggalkan, Beni memberikan kecupan di kening dan bibir wanit itu, lantas berpamitan untuk kembali ke pabriknya."Aku pergi dulu." Ucapnya pelan lantas berjalan pergi meninggalkan Tri sendiri.Tri terus memerhatikan mobil mewah Beni pergi meninggalkan basement. Tri lantas kembali menunggu lif turun dari lantai atas ke tempatnya. Berada di lantai bawah gedung dengan suasana tak terlalu terang tak membuat Tri meras takut biasanya, namun entah kenapa kali ini dia merasa ada yang sedang menatap dirinya."Ada apa in