Setelah selesai solat berjamaah di masjid, Alif duduk sebentar di teras nya, ia sudah berganti memakai baju koko sementara Deren mendelik kesal sembari memakai sepatunya di ujung teras."Kenapa?" Tanya Alif sembari menatap sahabatnya itu."Baru ini aku ke masjid pakai jas lengkap, serasa mau baca teks proklamasi aku ini."Alif tersenyum. "Ya nggak apa to, wong ya di sukai banyak, tu buktinya yang senyum lihat kamu banyak."Deren lalu melihat sekitar, memang beberapa jamaah solat keluar dan tersenyum dengannya. "Mereka membantin mungkin!" Ucapnya kesal sendiri.Kali ini Alif tak menjawab, dia kembali duduk menghadap ke depan sembari memperhatikan suasana sekitar masjid. Masjid ini di bangun di atas tanah wakaf seorang warga, berdiri hampir tiga tahun namun belum juga bisa menyempurnakan pembangunannya. Keterbatasan dana jadi salah satu alasan mengapa mesjid yang jadi tempat warga desa ini beribadah tak juga bisa rampung sesuai rencana."Assalamualaikum Kyai Mustofa!" Alif memanggil le
Hendra diam di sudut rumahnya, pikirannya kacau membayangkan bagaimana jika Alif benar-benar memberinya pelajaran, rasanya seluruh tulang dan sendinya melemah sekarang."Mas, kenapa melamun?" Ratna duduk di samping suaminya, setelah kejadian besar tadi Ratna nampak puas melihat Nadia di seret begitu oleh suaminya."Aku takut mas Alif akan membalas kita setelah ini, bagaimanapun dia sekarang kaya raya sekali"Senyum simpul Ratna mengembang dengan angkuhnya. " Apa yang akan dia balas pada kita? lagi pula mas meski kita di musuhi mas Alif dan mbak Dewi, kita tak akan pernah jatuh miskin!" Ucap wanita itu dengan senangnya, bagaimanapun hidup Dewi dan Alif tak akan membuat Ratna jadi miskin.Ya, Ratna memang sadar bahwa apapun yang dia lakukan tak berpengaruh pada siapapun, bagi Ratna usahanya dan Hendra tak tergantung pada Dewi dan suaminya, jadi dirinya tak akan merasa rugi bila bersikap seenaknya sendiri."Mas kan pegawai bank dan juga pemilik toko besar, jadi nggak akan berpengaruh pada
Nadia nampak begitu bahagia membagikan banyak mainan dan peralatan sekolah pada anak-anak seusianya, hampir seluruh anak di desanya mendapat paper bag berisi paket mainan dan juga peralatan sekolah, Dewi membantu gadis cilik itu membagi tas yang telah di isi Yasmin dan para pengasuh Nadia dengan banyak barang yanh hampir sama, Alif tersenyum melihat putrinya bisa melupakan sejenak rasa sedihnya karena perlakuan pakde dan om nya sore tadi."Mas Alif, orang kaya ya sekarang?" Yuli sintukang gibah mendekat dengan senyum malu-malu.Alif hanya terdiam saar tetangganya yang memang centil itu mendekat, perlahan lelaki itu menggeser tempat di dekat Deren."Apa sih!" Deren berdecak kesal, ia sedang sibuk memilah barang namun tuan mudanya itu menganggu.Yuli hanya tersenyum, dia belum tau saja jika Deren adalah sekertaris pribadi Alif."Mas Alif, ada kerja nggak buat saya, saya nganggur lho mas, jadi istri ke dua jug nggak apa-apa kalau ada lowongan!"Deren yang mendengar itu mengeryitkan dahin
"Jika kalian tak bisa bicara baik-baik, aku tak segan menyeret kalian semua keluar dari rumahku!" Alif masih dengan lantangnya bicara pada Hendra dan istrinya."Aku mau ketemu mbak Dewi mas!" Ucapnya tak berani lagi bersikap kasar."Bertamulah yang sopan Hendra, pakai adabmu saat di rumah orang!" Ucap Alif lagi lalu menunggu apa maksud kedatangan mereka ke rumahnya."Mana mbak Dewi?" Hendra bicara lantang menutupi ketakutannya juga."Aku di sini Hen, ada apa?" Dewi keluar dari rumah di ikuti Sinta dan Adam.Hendra terkejut jugak melihat adik dan kamu iparnya sudah lebih dulu ada di rumah Dewi."Aku mau bicara padamu mbak!" Hendra mendekat, namun dua pengawal Alif menghalangi.Melihat dua orang dengan tubuh besar Hendra mundur, di tatapnya sekeliling rumah Dewi dan bari menyadari mereka sedang di lihat hampir satu kampungnya."Jika bicaramu sopan, aku perbolehkan masuk, tapi jika dirimu saja tak bisa menghargai aku sebagai tuan rumah silahkan keluar dari rumahku!" Dewi bicara dengan la
Ratna menelan ludahnya yang kering, dia tak mengenal Dewi yang kini ada di depannya, Ratna lalu melihat dua pengawal Dewi yang besar sembari membayangkan suaminya di hajar lelaki kekar itu jika salah memberi jawaban."Bisa mati di sini mas Hendra kalau begini!" Ucapnya dalam hati lalu, dia lalu mendekati suaminya sembari berbisik."Mas kita pulang saja!" Ucapnya dengan pelan.Hendra yang mendengar bisikan istrinya menatap dan menyetujui, percuma juga dia di sana tak akan bisa membalas apapun perbuatan kakaknya. "Ayo kita pulang Ratna!" Hendra menarik Tangan istrinya, tanpa berpamitan mereka keluar dan meninggalkan rumah Dewi yang masih ramai dengan banyak orang. Sorakan bahkan terdengar saat Hendra keluar, sorakan kesal warga sekitar yang merasa kedatangan Hendra dan Ratna membuat acara pembagian bingkisan dari Dewi dan Alif tertunda cukup lama."Sial! kurang ajar !"Hendra mengamuk di dalam mobil, memaki dan mengumpat kesal pada apa yang baru saja dia terima."Aku akan balas kamu mba
Dewi menatap sayu rumah yang ia kontrak hampir seumur pernikahannya itu kini hanya menyisakan ruang depan yang hampir roboh. Banyak kenangan yang dia lalui di tempat ini namun semua tak bisa lagi ia lihat sekarang."Rumahku ya Allah rumahku!" Bu Bandi datang setelah api mulai padam, kakinya lemas menatap rumah peninggalan suaminya tak lagi berbentuk.Dewi berdiri dengan perasaan menyesal, mendekati wanita berusia hampir enam puluh tahun itu."Maafkan saya bu!" Ucapnua lirih sembari berlutut di hadapan Bu Bandi.Bu Bandi menatap nanar rumahnya dana berjongkok juga di hadapan Dewi."Rumah ini di tawar orang kemarin Wi, aku tak berikan sebab ku pikir kamu masih butuh untuk tinggal, tapi sekarang bagaimana ini, rumah ini bahkan tak bisa lagi di tempati."Alif mendengar ucapan bu Bandi dan berjongkok menyentuh tangan wanita itu. "Kami minta maaf bu, maaf..." Alif turut menyesal dengan apa yang sudah terjadi, ia juga tak mengerti mengapa kebakaran tiba-tiba saja menimpa rumah tinggalnya."Se
Tri ingin memakan sesuatu setelah lapar melilit perut nya sepanjang malam, dia memutuskan beranjak dari ranjang sembari membetulkan piamanya."Mau kemana?" Aziz bertanya, mereka memang terus terjaga sejak pulang dari rumah ibu Aziz."Masak sesuatu, aku lapar sekali. papa mau mie ?""Boleh, aku juga ingin makan sesuatu yang pedas." Ucap Aziz lalu kembali sibuk dengan ponselnya di atas ranjang.Tri berjalan ke dapur, mengisi panci dengan air bersih dan menaruhnya di atas kompor lalu meyalakan kompor taman di dapurnya. Dapur bersih miliknya nyaris tak tersentuh setiap hari, dia membayar orang untuk memasak dan membawakan makanan itu ke rumah mereka setiap pagi dan mengurus rumah yang Tri dan Aziz tinggalkan kosong.Tri sedang memikirkan banyak hal sekarang, namun tiba-tiba saja pesan masuk pada ponsel dalamnl saku piamanya.[Mbak Tri, rumah adikmu Dewi terbakar hebat!]Pesan itu membuat mata Tri membelalak tak percaya, sebentar kemudian Video kebakaran itu masuk dalam ponselnya juga. Tri
Hendra tak bisa tidur semalaman, ia tak habis pikir kenapa dengan gegabah membiarkan pikiran buruk menguasai hati nya dan akhirnya membakar rumah sang kakak. Dirinya di liputi rasa marah semalam, terlebih merasa Dewi dan suaminya sudah merendahkan dirinya di depan banyak orang."Bagaimana jika ada yang tau?" Dia tiba-tiba berhenti berjalan, merasa takut saat mengingat kembali apakah ada yang melihatnya membakar rumah Dewi semalam."Tidak... tidak... aku yakin tak ada yang melihatnya!" Ucap nya lagi sembari terus memutari kamarnya yang kecil."Mas sedang apa?" Ratna sudah berdiri di ambang pintu dan menatapnya lekat.Hendra tersentak saat Ratna membuka pintu dan memanggilnya."Jangan buat aku kaget!" Ucap Hendra kesal, dia sedang gugup sekarang dan Ratna datang dengan tiba-tiba."Aku sudah mengetuk tadi, tak dengar atau tuli? kamu kenapa sih?" Ratna merasa heran dengan sikap suaminya."Aku tak apa-apa, sudah aku mau mandi dulu." Hendra berdiri dan berjalan melewati Ratna."Bukanya kamu
201"Tidak, Nadia!" Aku berteriak panik saat melihat bola yang Nadia bawa terlempar tak jauh dari tubuh lelaki yang terlihat sedang bersembunyi di balik pohon besar itu."Ada apa?" Mas Alif nampak panik melihat aku berlari keluar dan berteriak."Ada apa Wi?" Mas Alif menarik tanganku dengan cemas."Mas, lelaki itu datang lagi mas, dia di bawah." Ucapku dengan panik dan segera berlari menghampiri Nadia dan Caca.Aku tak dapat memikirkan apapun lagi sekarang, rasanya banyak hal yang mengancam kedua putriku saat ini."Wi, jangan berlari." Suara mas Alif masih dapat ku dengar saat aku menuruni anak tangga. Bagaimana aku tak berlari jika bayangan lelaki asing itu menghantui seolah akan membuat nadia atau Caca dalam bahaya."Sayang, pelan saja!" Suara mas Alif kembali terdengar.Aku sudah keluar dari bungalow dan berlari menuju halaman belakang, ku lewati begitu saja kolam renang nan cantik yang terus ku kagumi dari lantai dua kamar kami, kakiku bahkan menginjak rerumputan tanpa alas, sebe
Pov Dewi.Aku masih tak habis pikir, siapa lelaki yang kami temui di minimarket tadi, aku sepertinya pernah melihat wajah lelaki itu, tapi aku tak tau dimana dan siapa."Apa kita perlu membawakan anak-anak cemilan nyonya?" Yasmin membuyarkan lamunanku.Caca dan Nadia memang sudah naik ke lantai atas dan bersiap ke pantai, karena itu Yasmin bertanya apa yang perlu dia bawa untuk menemani anak-anak."Bawakan saja beberapa jajanan yang mereka suka, jangan terlalu jauh dari bibir pantai Yas, ombak sore hari biasanya lebih besar."Aku memberi Yasmin nasehat agar tak lupa, sebab Nadia anak yang sangat ingin tau, dia pasti akan meminta ini dan itu bila rasa penasarannya sudah memuncak."Saya akan ingat nyonya." Ucap Yasmin lalu berjalan menjauhiku.Aku lantas berjalan menuju kamar, mas Alif sedang mengganti bajunya saat aku masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya nampak terkejut, takut jika pegawai kami yang masuk tanpa izin."Maaf_" Aku menyengir kuda, lupa jika mas Alif sudah naik ke kamar ka
Kami semua sudah ada di dalam mobil, perjalaanan yang akan kami tempuh cukup jauh, dua jam dari tempat kami tinggal. Mas Alif menyetir sendiri kendaraan kami, sementara yang lajn mengikiti dari belakang.Caca dan Nadia bercanda terus sampai kami ikut tertawa dengan keberadaan mereka dalam mobil, meski aku sendiri masih sangat jengkel dengan kejadian di rumah pagi ini, namun tawa Caca dan Nadia membuat aku terus merasa bersyukur."Buk, boleh tidak kami beli ice cream buk." Nadia meminta saat perjalanan kami sudah sangat jauh.Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tak ada salahnya juga membeli ice cream untuk di nikmati bersama, lagi pula ini kan liburan."Baiklah, kita akan berhenti kalau ada minimarket di depan." Ucapku yang membuat dua anak itu kegirangan tak sabar. Aku dan mas Alif hanya bisa tersenyum melihat tingkah merek yang memgemaskan bagi kami.Tak berapa lama mas Alif membelokkn mobilnya dan terparkir tepat di depan sebuah minimarket dengan logo anak lebah itu. "Nadia sama mbak
Dewi masih menatap kesl ke arah Yanti, dia lantas mendekti wanita itu lagi dan melihat ada sorot tahut di sana."Yang lain boleh kembali bekerja!" Ucap Dewi dingin, sementara satu persaru pengasuh anaknya pergi turun dari lantai atas.Yanti masih diam dan tak berani melihay ke arah Dewi, bahkan firinya masih berdiri di tempat yang sama dan dalam posisi tak berubah sama sekali."Duduklah Yan, aku ingin mendengarkan penjelasmu!" Dewi meminta Yanti duduk yang tenang sebab bnyak orang akan tai itu keponkan linnya masih menungguMas, kenapa Lukas kasar sekali padaku!"Tri bersikap begitu manja pada Beni saat mereka tiba di rumah, pertemuan Beni dan Lukas yang tanpa sengaja itu membuat mereka bersitegang di depan umum.Tri masih memegang pergelangan tangannya yang berdenyut, Lukas dengan sangat kasar meremas pergelangan tangannya hingga memar kemeraha.Beni tak pernah bisa bersikap kasar pada Tri, entah kenapa dirinya selalu saja meniruti apa perintah wanita itu, bahkan ketika Tri mutuskan
Hari ini Dewi berencana membawa Caca dan Nadia ke pantai, setelah kepergian Papa mertuanya ke luar negeri, Dewi sering melihat Caca melamun sendiri, hingga akhirnya dia berpikir untuk membawa Nadia dan Caca ke pantai untuk bersenang-senang.Sejak semalam mereka sudah tak berhenti menyiapkan segala hal yang di butuhkan untuk tamasya."Buk, baju ini bagus tidak?" Nadia menunjukkkan dres bunga putih nan cantik, dres itu hadiah dari Yasmin untuk Nadia saat baru datang ke rumah ini.Yasmin tersenyum mendapati pemberiannya jadi nb pilihan nona cilik yang dia jaga."Cantik, Nadia bisa pakai ini jika mau." Ucap Dewi dengan senyum mengembang dan gadis itu berjingkrak senang masuk kembali ke dalam kamarnya.Dewi lantas menatap ke arah Caca yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar."Hay cantik, ada apa sayang?" Dewi mendekati Caca dan membelai kepala gadis kecil itu."Caca bingung mau pakai apa." Ucapnya lugu.Dewi menarik gadia itu kembali ke kamanya. Membuka lemari yang disediak
Wajar saja bila Aziz tak lagi mau memikirkan istrinya Tri, setekah penghianatan yang dia terima Aziz bahkan tak lagi perduli dari mana semua itu.Setiap orang datang denhan hadapanndan keinginan batuAku dan semua saudaraku memang sangat dekat sejak kecil, bapak memperlakukan kami dengan sangat baik hingga kami saling menolon satu sama lain. Mbak Dewi mmemang yang paling banyak berkorban untuk kami, bahkan dia terpaksa berhenti kuliah kedokteran hanya karena tak ada yang membantu merawat nenek saat ibu bbekerja dulu."Sudahlah mbak, aku tak mau lagi bertengkar di sini, aku ingin mbak tau bahwa kami memang sangat ingin semuanya berjalan dengan baik sekarang dan mas Hendra tak ada lagi dalam kehidupan kami!" Ucapan Ratna sungguh sangat menyakiti hatiku."Aku tak ingin bertengkar untuk sekarang mbak, calon suamiku sedang sakit, tolong jangan buat aku dan keluargaku bersikap buruk pada kalian di sini. Lagi pula mas Hendra memang sudah tak cukup layak untuk jadi suamiku sekarang, aku meras
Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang telh Beni siapkan untuk Tri, setelah amukan Lukas tempo hari, Tri merajuk untuk tinggal di tempat yang hanya dirinya sendiri yang punya kuasa di sana dan jadilah Beni membelikan apartemen mewah di pusat kota.Mobil mereka tiba di parkiran basement gedung, Beni keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Tri. Wanita yang kini berpenampilan begiru elegant itu keluar dengan senyum manis menyambut tatapan hangat lelaki yang tengah tergila-gila padanya itu.Tri lantas berjalan dengan merengkuh lengan Beni dalam dekapan, mereka nampak begitu hangat dan saling menebarkan cinta hingga tak sadar sepasang mata sedang menatap dari balik kaca mobil dengam amarah memuncak.Beni mengantarkan Tri hingga ke depan lif untuk naik ke lantai atas."Aku harus kembali ke kantor sekarang, banyak audit dari pusat dan aku harus segera tiba di kantor lebih dulu." Beni membelai tengkuk Tri dengan lembut, dan mereka saling melemparkan senyum penuh bahagia."Ji
"Papa minta tolong untuk jaga Caca saat papa ada di Eropa ya wi."Papa tiba-tiba saja bicara saat kami sedang duduk bersama di gazebo belakang rumah utama."Papa akan ke Eropa?" Aku terkejut lantas menatap ke arah mas Alif yang ternyata nampak tenang dan seakan sudah tau apa yang akan di katakan papa pada kami."Papa harus mengurus beberapa bisnis kita di sana dan tak mungkin juga membawa Caca bersama kan. Anak iti butuh keluarga yang utuh Askara dan papa saja tak bisa memenuhi ruang hatinya yang hampa."Aku mendengarkan dalam diam, sebab apa yang papa katakan memang benar adanya. Caca hanyalah gaddia kecil yang masih ingin di sayangi dan di manja dengan cinta dan kasih sayang yang berlimpah."Papa rasa kalian lebih patas membesarkannya seperti anak sendiri.""apa maksud papa kami lebih pantas?" Aku tak bisa menyembunyikan tanya dalam benak."Kalian adalah keluarga yang bahagia, Caca sangat dekat dengan Nadia dan kamu Wi, Papa rasa menitipkan Caca padamu adalah pilihan yang tepat."Se
"Tidak, jangan begitu. Aku akan menunggu kekasihku ini kembali ke dalam mobil dan segera berangkat ke pabrik." Tri memutar tubuh Bebelakanginya lantas sedikit mendorong tubuh itu berjalan maju ke depan."Baiklah, aku akan pergi lebih dulu. Kamu yakin tak apa-apa aku tinggal di sini?" Beni memastikan bahwa Tri tak merasa keberatan di tinggalkan sendiri.Tri tersenyum dengan manja. "Aku tak apa-apa. Sungguh." Ucapnya lagi meyakinkan sang kekasih.Merasa Tri tak keberatan untuk di tinggalkan, Beni memberikan kecupan di kening dan bibir wanit itu, lantas berpamitan untuk kembali ke pabriknya."Aku pergi dulu." Ucapnya pelan lantas berjalan pergi meninggalkan Tri sendiri.Tri terus memerhatikan mobil mewah Beni pergi meninggalkan basement. Tri lantas kembali menunggu lif turun dari lantai atas ke tempatnya. Berada di lantai bawah gedung dengan suasana tak terlalu terang tak membuat Tri meras takut biasanya, namun entah kenapa kali ini dia merasa ada yang sedang menatap dirinya."Ada apa in