"Mas Alif, sebenarnya siapa mas Alif ini?" Tanya Adam pada Alif."Sekarang itu tak penting, yang aku mau adalah kejujuran mbak Tri dulu. Botol di tangan Lisa bukan miliknya, botol itu edisi terbatas dan hanya Nadia yang punya dengan inisial namanya, kalaupun Lisa punya botol yang sama, tak akan mungkin ada inisial nama Nadia di situ!"Lisa menangis sekarang, Sinta memeluk keponakannya karena kasihan."Katakan Lisa, botol ini punya siapa?" Sinta bertanya dengan lembut."Punya Nadia tante, Huaaaa" Tangisnya pecah setelah menggakui semua.Aziz menatap ke arah istrinya dengan tajam, wajahnya bagai di coreng sekarang, bagaimana bisa dirinya tak tau apapun tentang kebenaran ini."Bagaimana tanggung jawabmu sekarang mas? apa yang kamu lakukan pada anakku tadi sungguh keterlaluan!" Dewi menatap ke arah Aziz, namun lelaki angkuh itu hanya diam tak bergeming."Dan kamu Lisa, tante sudah lihat rekaman cctv di sekolah, Nadia mendorong Lisa karena terus di cakar dan di amuk, tapi kenapa kamu menga
"Alif akan bahagiakan Dewi lebih dari ini bu, untuk menebus semua salah Alif pada Dewi dan keluarga ini juga.""Ya, ibu percaya itu, jadi sekarang ibu minta kamu juga menerima dan memaafkan keluarga ini atas sikapnya padamu le." Ibu menatap penuh harap namun Alif masih diam tak menjawab."Mau kan Le memaafkan saudaramu di sini?" Tanya ibu lagi, matang berembun penuh harap.Alif masih diam, tak sanggup lagi menjawab tanya ibu mertuanya, di tatapnya wajah-wajah yang bahkan sedetik lalu masih menggores luka, mereka kini hanya diam, tak meminta sendiri kata maaf dari nya namun juga tak lagi punya nyali untuk melontarkan hinaan pada keluarganya."Maaf itu sesuatu yang tak hanya di di minta bu!" Dewi yang sejak tadi meremas batinnya yang tergores menjawab dengan gemetar, gemuruh amarah di dadanya seolah meluap bagai lahar panas yang di muntahkan dari perut bumi."Maaf itu sesuatu yang datang dari sini!" Ucapnya menunjuk dadanya sendiri.Matanya tajam kini menatap ke arah kakak dan adiknya.
"Sepuluh tahun lalu, aku tak pernah melupakan hari di mana aku kehilangan segalanya." Alif mengingat kembali hari kelam yang bahkan sudah terkubur terlalu dalam."Hari itu aku baru saja pulang dari Australia, setelah hampir empat tahun aku menempuh pendidikan di sana, aku pulang. Mama menjemputku di bandara dengan senyum mengembang, tapi kamu tau sayang, senyumnya terasa berbeda. Kupikir karena kita lama tak jumpa, namun ternyata senyum itu menyimpan banyak luka.""Dari mana kamu tau itu senyum luka?""Dari tindakan yang mama lakukan."Dewi menaikkan alisnya, dia masih belum mengerti kemana arah ucapan suaminya."Mamaku sakit Wi, kanker rahim stadium lanjut, orang bilang hadirku adalah keajaiban, mama bahkan divonis tak bisa memiliki anak, namun nyatanya aku lahir setelah perjuangannya melawan penyakit."Dewi mengengam tangan suaminya, setelah menjalani rumah tangga delapan tahun, baru hari ini Alif menceritakan kisah keluarganya."Mama berjuang untuk sembuh, meski hampir lima tahun
"Bagaimana ini mas, kita bisa hancur jika Alif melakukan sesuatu pada kita!" Hendra terlihat cemas, sejak tadi ia tak bisa duduk dengan tenang.Aziz yang tak tau harus berbuat apa kini juga menatap Hendra dengan gelisah, tak pernah terbayangkan sedikitpun dalam benaknya bahwa Alif yang selama ini dia anggap miskin memiliki kekayaan yang tak terbayangkan olehnya."Ibu sudah pernah bilang pada kalian untuk bersikap baik dengan sesama keluarga, kamu yang paling besar Aziz, tapi tak bisa memberikan contoh yang baik." Reni bicara setelah semua yang terjadi, sejak dulu Aziz memang yang paling terlihat tak menyukai Alif."Ibu jangan buat aku tambah pusing!""Kenapa menyalahkan ibu mas, apa yang ibu katakan benar menurutku!" Ucap Sinta, dia dan sang suami hanya melihat saja kebingungan dua kakak lelakinya itu.Aziz mengusap kasar rambutnya, ia tak tau bagaimana harus membawa wajah sekarang saat bertemu Alif dan Dewi." Bagaimana jika besok Alif memecat aku mas?" Tri, istrinya juga menambah be
Setelah selesai solat berjamaah di masjid, Alif duduk sebentar di teras nya, ia sudah berganti memakai baju koko sementara Deren mendelik kesal sembari memakai sepatunya di ujung teras."Kenapa?" Tanya Alif sembari menatap sahabatnya itu."Baru ini aku ke masjid pakai jas lengkap, serasa mau baca teks proklamasi aku ini."Alif tersenyum. "Ya nggak apa to, wong ya di sukai banyak, tu buktinya yang senyum lihat kamu banyak."Deren lalu melihat sekitar, memang beberapa jamaah solat keluar dan tersenyum dengannya. "Mereka membantin mungkin!" Ucapnya kesal sendiri.Kali ini Alif tak menjawab, dia kembali duduk menghadap ke depan sembari memperhatikan suasana sekitar masjid. Masjid ini di bangun di atas tanah wakaf seorang warga, berdiri hampir tiga tahun namun belum juga bisa menyempurnakan pembangunannya. Keterbatasan dana jadi salah satu alasan mengapa mesjid yang jadi tempat warga desa ini beribadah tak juga bisa rampung sesuai rencana."Assalamualaikum Kyai Mustofa!" Alif memanggil le
Hendra diam di sudut rumahnya, pikirannya kacau membayangkan bagaimana jika Alif benar-benar memberinya pelajaran, rasanya seluruh tulang dan sendinya melemah sekarang."Mas, kenapa melamun?" Ratna duduk di samping suaminya, setelah kejadian besar tadi Ratna nampak puas melihat Nadia di seret begitu oleh suaminya."Aku takut mas Alif akan membalas kita setelah ini, bagaimanapun dia sekarang kaya raya sekali"Senyum simpul Ratna mengembang dengan angkuhnya. " Apa yang akan dia balas pada kita? lagi pula mas meski kita di musuhi mas Alif dan mbak Dewi, kita tak akan pernah jatuh miskin!" Ucap wanita itu dengan senangnya, bagaimanapun hidup Dewi dan Alif tak akan membuat Ratna jadi miskin.Ya, Ratna memang sadar bahwa apapun yang dia lakukan tak berpengaruh pada siapapun, bagi Ratna usahanya dan Hendra tak tergantung pada Dewi dan suaminya, jadi dirinya tak akan merasa rugi bila bersikap seenaknya sendiri."Mas kan pegawai bank dan juga pemilik toko besar, jadi nggak akan berpengaruh pada
Nadia nampak begitu bahagia membagikan banyak mainan dan peralatan sekolah pada anak-anak seusianya, hampir seluruh anak di desanya mendapat paper bag berisi paket mainan dan juga peralatan sekolah, Dewi membantu gadis cilik itu membagi tas yang telah di isi Yasmin dan para pengasuh Nadia dengan banyak barang yanh hampir sama, Alif tersenyum melihat putrinya bisa melupakan sejenak rasa sedihnya karena perlakuan pakde dan om nya sore tadi."Mas Alif, orang kaya ya sekarang?" Yuli sintukang gibah mendekat dengan senyum malu-malu.Alif hanya terdiam saar tetangganya yang memang centil itu mendekat, perlahan lelaki itu menggeser tempat di dekat Deren."Apa sih!" Deren berdecak kesal, ia sedang sibuk memilah barang namun tuan mudanya itu menganggu.Yuli hanya tersenyum, dia belum tau saja jika Deren adalah sekertaris pribadi Alif."Mas Alif, ada kerja nggak buat saya, saya nganggur lho mas, jadi istri ke dua jug nggak apa-apa kalau ada lowongan!"Deren yang mendengar itu mengeryitkan dahin
"Jika kalian tak bisa bicara baik-baik, aku tak segan menyeret kalian semua keluar dari rumahku!" Alif masih dengan lantangnya bicara pada Hendra dan istrinya."Aku mau ketemu mbak Dewi mas!" Ucapnya tak berani lagi bersikap kasar."Bertamulah yang sopan Hendra, pakai adabmu saat di rumah orang!" Ucap Alif lagi lalu menunggu apa maksud kedatangan mereka ke rumahnya."Mana mbak Dewi?" Hendra bicara lantang menutupi ketakutannya juga."Aku di sini Hen, ada apa?" Dewi keluar dari rumah di ikuti Sinta dan Adam.Hendra terkejut jugak melihat adik dan kamu iparnya sudah lebih dulu ada di rumah Dewi."Aku mau bicara padamu mbak!" Hendra mendekat, namun dua pengawal Alif menghalangi.Melihat dua orang dengan tubuh besar Hendra mundur, di tatapnya sekeliling rumah Dewi dan bari menyadari mereka sedang di lihat hampir satu kampungnya."Jika bicaramu sopan, aku perbolehkan masuk, tapi jika dirimu saja tak bisa menghargai aku sebagai tuan rumah silahkan keluar dari rumahku!" Dewi bicara dengan la
201"Tidak, Nadia!" Aku berteriak panik saat melihat bola yang Nadia bawa terlempar tak jauh dari tubuh lelaki yang terlihat sedang bersembunyi di balik pohon besar itu."Ada apa?" Mas Alif nampak panik melihat aku berlari keluar dan berteriak."Ada apa Wi?" Mas Alif menarik tanganku dengan cemas."Mas, lelaki itu datang lagi mas, dia di bawah." Ucapku dengan panik dan segera berlari menghampiri Nadia dan Caca.Aku tak dapat memikirkan apapun lagi sekarang, rasanya banyak hal yang mengancam kedua putriku saat ini."Wi, jangan berlari." Suara mas Alif masih dapat ku dengar saat aku menuruni anak tangga. Bagaimana aku tak berlari jika bayangan lelaki asing itu menghantui seolah akan membuat nadia atau Caca dalam bahaya."Sayang, pelan saja!" Suara mas Alif kembali terdengar.Aku sudah keluar dari bungalow dan berlari menuju halaman belakang, ku lewati begitu saja kolam renang nan cantik yang terus ku kagumi dari lantai dua kamar kami, kakiku bahkan menginjak rerumputan tanpa alas, sebe
Pov Dewi.Aku masih tak habis pikir, siapa lelaki yang kami temui di minimarket tadi, aku sepertinya pernah melihat wajah lelaki itu, tapi aku tak tau dimana dan siapa."Apa kita perlu membawakan anak-anak cemilan nyonya?" Yasmin membuyarkan lamunanku.Caca dan Nadia memang sudah naik ke lantai atas dan bersiap ke pantai, karena itu Yasmin bertanya apa yang perlu dia bawa untuk menemani anak-anak."Bawakan saja beberapa jajanan yang mereka suka, jangan terlalu jauh dari bibir pantai Yas, ombak sore hari biasanya lebih besar."Aku memberi Yasmin nasehat agar tak lupa, sebab Nadia anak yang sangat ingin tau, dia pasti akan meminta ini dan itu bila rasa penasarannya sudah memuncak."Saya akan ingat nyonya." Ucap Yasmin lalu berjalan menjauhiku.Aku lantas berjalan menuju kamar, mas Alif sedang mengganti bajunya saat aku masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya nampak terkejut, takut jika pegawai kami yang masuk tanpa izin."Maaf_" Aku menyengir kuda, lupa jika mas Alif sudah naik ke kamar ka
Kami semua sudah ada di dalam mobil, perjalaanan yang akan kami tempuh cukup jauh, dua jam dari tempat kami tinggal. Mas Alif menyetir sendiri kendaraan kami, sementara yang lajn mengikiti dari belakang.Caca dan Nadia bercanda terus sampai kami ikut tertawa dengan keberadaan mereka dalam mobil, meski aku sendiri masih sangat jengkel dengan kejadian di rumah pagi ini, namun tawa Caca dan Nadia membuat aku terus merasa bersyukur."Buk, boleh tidak kami beli ice cream buk." Nadia meminta saat perjalanan kami sudah sangat jauh.Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tak ada salahnya juga membeli ice cream untuk di nikmati bersama, lagi pula ini kan liburan."Baiklah, kita akan berhenti kalau ada minimarket di depan." Ucapku yang membuat dua anak itu kegirangan tak sabar. Aku dan mas Alif hanya bisa tersenyum melihat tingkah merek yang memgemaskan bagi kami.Tak berapa lama mas Alif membelokkn mobilnya dan terparkir tepat di depan sebuah minimarket dengan logo anak lebah itu. "Nadia sama mbak
Dewi masih menatap kesl ke arah Yanti, dia lantas mendekti wanita itu lagi dan melihat ada sorot tahut di sana."Yang lain boleh kembali bekerja!" Ucap Dewi dingin, sementara satu persaru pengasuh anaknya pergi turun dari lantai atas.Yanti masih diam dan tak berani melihay ke arah Dewi, bahkan firinya masih berdiri di tempat yang sama dan dalam posisi tak berubah sama sekali."Duduklah Yan, aku ingin mendengarkan penjelasmu!" Dewi meminta Yanti duduk yang tenang sebab bnyak orang akan tai itu keponkan linnya masih menungguMas, kenapa Lukas kasar sekali padaku!"Tri bersikap begitu manja pada Beni saat mereka tiba di rumah, pertemuan Beni dan Lukas yang tanpa sengaja itu membuat mereka bersitegang di depan umum.Tri masih memegang pergelangan tangannya yang berdenyut, Lukas dengan sangat kasar meremas pergelangan tangannya hingga memar kemeraha.Beni tak pernah bisa bersikap kasar pada Tri, entah kenapa dirinya selalu saja meniruti apa perintah wanita itu, bahkan ketika Tri mutuskan
Hari ini Dewi berencana membawa Caca dan Nadia ke pantai, setelah kepergian Papa mertuanya ke luar negeri, Dewi sering melihat Caca melamun sendiri, hingga akhirnya dia berpikir untuk membawa Nadia dan Caca ke pantai untuk bersenang-senang.Sejak semalam mereka sudah tak berhenti menyiapkan segala hal yang di butuhkan untuk tamasya."Buk, baju ini bagus tidak?" Nadia menunjukkkan dres bunga putih nan cantik, dres itu hadiah dari Yasmin untuk Nadia saat baru datang ke rumah ini.Yasmin tersenyum mendapati pemberiannya jadi nb pilihan nona cilik yang dia jaga."Cantik, Nadia bisa pakai ini jika mau." Ucap Dewi dengan senyum mengembang dan gadis itu berjingkrak senang masuk kembali ke dalam kamarnya.Dewi lantas menatap ke arah Caca yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar."Hay cantik, ada apa sayang?" Dewi mendekati Caca dan membelai kepala gadis kecil itu."Caca bingung mau pakai apa." Ucapnya lugu.Dewi menarik gadia itu kembali ke kamanya. Membuka lemari yang disediak
Wajar saja bila Aziz tak lagi mau memikirkan istrinya Tri, setekah penghianatan yang dia terima Aziz bahkan tak lagi perduli dari mana semua itu.Setiap orang datang denhan hadapanndan keinginan batuAku dan semua saudaraku memang sangat dekat sejak kecil, bapak memperlakukan kami dengan sangat baik hingga kami saling menolon satu sama lain. Mbak Dewi mmemang yang paling banyak berkorban untuk kami, bahkan dia terpaksa berhenti kuliah kedokteran hanya karena tak ada yang membantu merawat nenek saat ibu bbekerja dulu."Sudahlah mbak, aku tak mau lagi bertengkar di sini, aku ingin mbak tau bahwa kami memang sangat ingin semuanya berjalan dengan baik sekarang dan mas Hendra tak ada lagi dalam kehidupan kami!" Ucapan Ratna sungguh sangat menyakiti hatiku."Aku tak ingin bertengkar untuk sekarang mbak, calon suamiku sedang sakit, tolong jangan buat aku dan keluargaku bersikap buruk pada kalian di sini. Lagi pula mas Hendra memang sudah tak cukup layak untuk jadi suamiku sekarang, aku meras
Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang telh Beni siapkan untuk Tri, setelah amukan Lukas tempo hari, Tri merajuk untuk tinggal di tempat yang hanya dirinya sendiri yang punya kuasa di sana dan jadilah Beni membelikan apartemen mewah di pusat kota.Mobil mereka tiba di parkiran basement gedung, Beni keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Tri. Wanita yang kini berpenampilan begiru elegant itu keluar dengan senyum manis menyambut tatapan hangat lelaki yang tengah tergila-gila padanya itu.Tri lantas berjalan dengan merengkuh lengan Beni dalam dekapan, mereka nampak begitu hangat dan saling menebarkan cinta hingga tak sadar sepasang mata sedang menatap dari balik kaca mobil dengam amarah memuncak.Beni mengantarkan Tri hingga ke depan lif untuk naik ke lantai atas."Aku harus kembali ke kantor sekarang, banyak audit dari pusat dan aku harus segera tiba di kantor lebih dulu." Beni membelai tengkuk Tri dengan lembut, dan mereka saling melemparkan senyum penuh bahagia."Ji
"Papa minta tolong untuk jaga Caca saat papa ada di Eropa ya wi."Papa tiba-tiba saja bicara saat kami sedang duduk bersama di gazebo belakang rumah utama."Papa akan ke Eropa?" Aku terkejut lantas menatap ke arah mas Alif yang ternyata nampak tenang dan seakan sudah tau apa yang akan di katakan papa pada kami."Papa harus mengurus beberapa bisnis kita di sana dan tak mungkin juga membawa Caca bersama kan. Anak iti butuh keluarga yang utuh Askara dan papa saja tak bisa memenuhi ruang hatinya yang hampa."Aku mendengarkan dalam diam, sebab apa yang papa katakan memang benar adanya. Caca hanyalah gaddia kecil yang masih ingin di sayangi dan di manja dengan cinta dan kasih sayang yang berlimpah."Papa rasa kalian lebih patas membesarkannya seperti anak sendiri.""apa maksud papa kami lebih pantas?" Aku tak bisa menyembunyikan tanya dalam benak."Kalian adalah keluarga yang bahagia, Caca sangat dekat dengan Nadia dan kamu Wi, Papa rasa menitipkan Caca padamu adalah pilihan yang tepat."Se
"Tidak, jangan begitu. Aku akan menunggu kekasihku ini kembali ke dalam mobil dan segera berangkat ke pabrik." Tri memutar tubuh Bebelakanginya lantas sedikit mendorong tubuh itu berjalan maju ke depan."Baiklah, aku akan pergi lebih dulu. Kamu yakin tak apa-apa aku tinggal di sini?" Beni memastikan bahwa Tri tak merasa keberatan di tinggalkan sendiri.Tri tersenyum dengan manja. "Aku tak apa-apa. Sungguh." Ucapnya lagi meyakinkan sang kekasih.Merasa Tri tak keberatan untuk di tinggalkan, Beni memberikan kecupan di kening dan bibir wanit itu, lantas berpamitan untuk kembali ke pabriknya."Aku pergi dulu." Ucapnya pelan lantas berjalan pergi meninggalkan Tri sendiri.Tri terus memerhatikan mobil mewah Beni pergi meninggalkan basement. Tri lantas kembali menunggu lif turun dari lantai atas ke tempatnya. Berada di lantai bawah gedung dengan suasana tak terlalu terang tak membuat Tri meras takut biasanya, namun entah kenapa kali ini dia merasa ada yang sedang menatap dirinya."Ada apa in