Setelah mendengar kabar mengerikan itu—penemuan kepala manusia di pantai pangkalan militer milik Kartel Black Ice—Han langsung bergegas.
Mobil jipnya meluncur cepat, meninggalkan Cani yang berdiri di balik pintu rumah mewah mereka.Sebelum Han benar-benar pergi, Cani meminta Han untuk mengirim pesan apabila sudah mengetahui identitas dari si pemilik kepala. Setelah Han menyanggupi, barulah Cani membiarkan suaminya berlalu.Cani, dengan gaun sutra biru lautnya yang berkilauan, menatap kepergian Han dengan mata berkaca-kaca.Kecemasannya menggunung. "Kepala itu ... Mungkinkah milik Mbak Hime?"Hime, wanita yang telah dianggapnya sebagai kakak sendiri. Kenangan bersama Hime berputar di benak Cani. Tawa mereka, air mata mereka, pelukan hangat di bawah pohon randu ....Kemungkinan terburuk itu menghantui pikiran Cani.Rumah mewah milik Keluarga Ditmer terasa seperti penjara. Sedari tadi Cani tak berhenti mondar-mandir,Sebelumnya, Rio sudah menyerahkan sempel DNA Haily yang dimiliki pihak Kartel, agar dokter bisa mencocokkan apakah kepala yang ditemukan benar Haily atau bukan.Dan ... Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya penantian mereka membuahkan hasil yang mengejutkan. Dokter penyatakan jika kepala tersebut milik Haily, terbukti dengan hasil DNA yang 100 persen cocok. Data tersebut juga membuktikan bahwa asumsi Han bukan hanya bualan. Kini, tak ada alasan bagi Rip untuk tidak memercayai Han. "Jadi, Haily benar-benar sudah tewas? Pantas ia sulit dihubungi pemimpin," gerutu Rio menyentuh dagunya. "Sekarang yang menjadi teka-teki, siapa pelakunya?" sambung Han setelah menghembuskan napas lelah. Berhunung Haily berada di bawah kendali dan tanggung jawab Kartel nomor satu, di mana Rio menjadi petinggi di sana, Rio tak mungkin tinggal diam, dan membiarkan masalah ini sampai ke tangan pemimpin Kartel sebelum berhasil dipecahkan. "Ak
“Sebenarnya siapa kau?” Albert mendesak Eila supaya lekas menjawab pertanyaannya. Eila yang gelagapan pun menjelaskan bahwa ia tidak memiliki hubungan khusus dengan Rio. Soal dirinya dan Rio yang berciuman mesra, itu hanya sekedar keisengan yang dilakukan Rio untuk mempermainkan harga diri dan memberinya tekanan. “Aku adalah mantan pelayan di rumah Tuan Rio, sebelumnya aku pernah membuatnya ingin membunuhku. Untungnya, aku diselamatkan oleh Nyonya Cani,” imbuh Eila menundukkan kepala. Albert memandang Eila dengan menyipitkan mata. “Jadi, kamu bukan mata-mata yang dikirim Rio?” tanyanya. “Mata-mata? Saya tidak berani macam-macam, Tuna ....” Eila menyanggah dengan cepat. “Hidup saya, saya dedikasikan seluruh hidup saya untuk mengabdi pada Nyonya Cani,” tandasnya menggebu sambil menepuk dadanya. Tak mendapati gelagat kebohongan dari Eila, Mau tak mau Albert melepaskan cengkeram
"Lihat! Siapa yang datang?" seru Bu Helena. Cani dan suaminya berjalan mendekati Bu Helena. Seperti biasa, Cani langsung mencium punggung tangan sang ibu. Namun, ketika suami Cani ingin menyentuh jari Bu Helena. Wanita itu langsung menarik tangannya, sambil melempar tatapan jijik ke arah sang menantu. "Haduh! Ngapain sih, Mbak! Kamu pakek datang segala? Sudah aku bilang, enggak usah datang! Sebenarnya kamu baca pesan grup WA keluarga atau enggak, sih?" cerca Victory. Bu Helena merupakan ibu tiri Cani. Sedangkan Victory adalah adik kandung tunggal bapak. Maksudnya, Victory dan Cani beda ibu, namun satu bapak. Dalam kata lain, Bu Helena menikah dengan ayah Cani, lalu melahirkan Victory. "Ya … Nggak masalah dong, kalau aku hadir. Aku pengen lihat adikku menikah," terang Cani tersenyum ramah. Victory berdecap. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Han, suami Cani. "Lagian ngapain, Mbak ke sini bawa gembel? Bikin makin malu saja," ucap Victory sambil menatap rendah Han. Meskipun Ca
Rasa amarah membara di dada Cani. Tatapannya tajam, menusuk ke arah Victory yang berdiri di hadapannya. Wajah Victory, yang biasanya memancarkan keceriaan, kini terlihat begitu menyebalkan di mata Cani. "Aku ingin sekali menghancurkan wajahmu yang menyebalkan itu!" desis Cani, tangannya mengepal erat. "Ngomong apa sih, Mbak? Orang miskin bisa apa? Ambil lagi nih uangmu!" Victory melempar amplop pemberian Cani tepat mengenai wajah Cani. Cani berusaha keras untuk menahan diri, meski tingkah Victory sudah keterlaluan. "Gayamu, Dek. Padahal dulu uang segitu sudah banyak buat kamu. Sekarang kamu sombong banget," ujar Cani. Cani agak miris melihat kelakukan congkak keluarganya. Mereka seakan melupakan kehidupan mereka sebelumnya. Terutama untuk Ibu Tiri dan adiknya. "Apaan sih, Mbak. Dulu ya dulu. Manusia itu mengalami peningkatan sosial. Bukan penurunan sosial kayak kamu!" ketus Victory. "Sayang, ayo kita pulang saja," ajak Han menggenggam lengan Cani. "Pulang sana! Aku udah
Dengan santai Han menjawab, “Aku tidak dipecat, Sayang. Hari ini atasan di pabrik datang. Sehingga karyawan tidak diperkenankan untuk lembur. Mangkanya aku bisa pulang lebih awal.” Cani menghela napas panjang, rasa lega membanjiri hatinya. Suaminya ternyata tidak dipecat. "Oh ... Kirain dipecat,” sahut Mbak Fatin. “Tapi, kalau enggak lembur bayarannya makin dikit. Mana ada duit buat beli rumah keprabon,” lanjutnya mencibir. “Membeli rumah Keprabon?” tanya Han mengernyitkan dahi. Cani enggan berdebat, dengan lembut meminta Han masuk rumah. Tanpa membantah, Han menurutinya. “Kita bisa bicarakan ini nanti, Mbak. Lagi pula, Mas Han nggak ada hubungannya dengan warisan keluarga kita. Aku harap, Mbak Fatin tidak menyudutkan Mas Han,” tegas Cani. Dengan langkah cepat, Cani bergegas menuju rumah, ia tak mau berlama-lama menunggu tanggapan kakaknya. Begitu masuk ke dalam rumah, Cani sudah disambut oleh Han yang ternyata menunggunya. “Maksud dari mbakmu apa, Sayang?” tanya Han bersuara l
Perdebatan sengit tak terhindarkan. Saudara Cani yang lain mulai ikut menyudutkan Cani. Menyalahkan Cani, dan menuduh Cani serakah. "Rumah keprabon harus dibagi!" bentak Mbak Fatin. “Sebelum ayah meninggal. Ayah sudah membagi tanah kosong samping rumah. Sedangkan rumah ini adalah hakku. Ayah sendiri yang mengatakannya,” tegas Cani. “Mana buktinya kalau ayah kasih rumah ini sama kamu? Jangan asal ngoceh kamu!” tuntut Mbak Fatin. Cani menatap kakak pertamanya, dan Bu Helena yang menjadi saksi waktu itu. Cani meminta dua orang itu mengungkapkan kebenaran. Namun, keduanya mengelak pernyataan Cani. Bu Helena malah menuduh jika Cani suka ngarang. “Kok tega kalian bohong?” Cani putus asa. Cani mencegah Han yang ingin membantu dirinya berbicara. Cani tidak ingin Han diserang oleh saudara-saudaranya yang beringas. Alhasil, Han pun tak bisa mengeluarkan pendapatnya. Padahal Han sudah geregetan. “Kamu yang bohong! Mana ada ayahmu ngasih rumah keluarga kepadamu! Dasar halu!” cela Bu Helena
Dengan senyuman tipis, Han menjawab, “Uang ini milikku, Sayang.” Sontak Cani terkejut sekaligus tak percaya. Masa iya, suaminya memiliki uang sebanyak ini? Dari mana coba? “Mas Han jangan bohong ... Sekarang, Mas jawab jujur, dapat uang ini dari mana?” tanya Cani sedikit mendesak Han agar segera menjawab dengan benar. Han menatap Cani intens. Sebelum menjawab, Han sempat menghela napas terlebih dahulu. “Jangan mikir aneh-aneh. Uang ini dari hasil penjualan tanah,” terang Han. “Apa? Tanah yang di mana? Kamu menjual tanah siapa?” cecar Cani gelisah. Han menggelengkan kepala pelan. Tangannya meremat pundak Cani, meminta Cani untuk tetap tenang. Han dengan santai memberi tahu Cani, jika uang yang ia bawa, ia dapatkan dari penjualan tanah peninggalan neneknya yang telah diwariskan kepadanya. “Tanah peninggalan nenek? Kok, Mas nggak pernah kasih tahu aku sebelumnya? Mas mau main rahasia nih sama aku?” sungut Cani sedikit kesal dan merajuk. Han segera meminta maaf pada Cani, dan menj
“Ngomong apa kamu, Han ... Han ....” ejek Indra. “Emang siapa? Saksi yang mengeluarkan kesaksian palsu? Ada-ada saja. Dasar orang miskin,” hina Indra terkekeh dengan tingkah norak Han. “Biasa, baru punya uang tiga ratus juta. Mangkanya sok,” sahut Bu Helena. Han hanya menanggapi ocehan mereka dengan senyuman tipis. “Alhamdullilah ... Semua sudah beres. Sekarang, tanah beserta rumah ini telah resmi menjadi milikku,” ujar Cani merasa lega. Victory menatap sinis kakaknya. Tentu saja, dia tidak senang. “Aku pengen tanya sama kamu, Mas Han.” Victory memandang Han. “Mau tanya apa? Silakan,” jawab Han. “Kamu masih punya tabungan kah? Laku berapa tanah milik nenekmu?” tanya Victory sambil mengangkat dagu. Menunjukkan keangkuhannya. Victory sangat penasaran akan hal tersebut. Sampai-sampai, dia tidak mampu menahan diri untuk tidak bertanya. “Aku tidak punya tabungan. Hasil dari jual tanah, sudah aku berikan untuk membayar kalian,” tutur Han. Victory tersenyum pu
“Sebenarnya siapa kau?” Albert mendesak Eila supaya lekas menjawab pertanyaannya. Eila yang gelagapan pun menjelaskan bahwa ia tidak memiliki hubungan khusus dengan Rio. Soal dirinya dan Rio yang berciuman mesra, itu hanya sekedar keisengan yang dilakukan Rio untuk mempermainkan harga diri dan memberinya tekanan. “Aku adalah mantan pelayan di rumah Tuan Rio, sebelumnya aku pernah membuatnya ingin membunuhku. Untungnya, aku diselamatkan oleh Nyonya Cani,” imbuh Eila menundukkan kepala. Albert memandang Eila dengan menyipitkan mata. “Jadi, kamu bukan mata-mata yang dikirim Rio?” tanyanya. “Mata-mata? Saya tidak berani macam-macam, Tuna ....” Eila menyanggah dengan cepat. “Hidup saya, saya dedikasikan seluruh hidup saya untuk mengabdi pada Nyonya Cani,” tandasnya menggebu sambil menepuk dadanya. Tak mendapati gelagat kebohongan dari Eila, Mau tak mau Albert melepaskan cengkeram
Sebelumnya, Rio sudah menyerahkan sempel DNA Haily yang dimiliki pihak Kartel, agar dokter bisa mencocokkan apakah kepala yang ditemukan benar Haily atau bukan.Dan ... Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya penantian mereka membuahkan hasil yang mengejutkan. Dokter penyatakan jika kepala tersebut milik Haily, terbukti dengan hasil DNA yang 100 persen cocok. Data tersebut juga membuktikan bahwa asumsi Han bukan hanya bualan. Kini, tak ada alasan bagi Rip untuk tidak memercayai Han. "Jadi, Haily benar-benar sudah tewas? Pantas ia sulit dihubungi pemimpin," gerutu Rio menyentuh dagunya. "Sekarang yang menjadi teka-teki, siapa pelakunya?" sambung Han setelah menghembuskan napas lelah. Berhunung Haily berada di bawah kendali dan tanggung jawab Kartel nomor satu, di mana Rio menjadi petinggi di sana, Rio tak mungkin tinggal diam, dan membiarkan masalah ini sampai ke tangan pemimpin Kartel sebelum berhasil dipecahkan. "Ak
Setelah mendengar kabar mengerikan itu—penemuan kepala manusia di pantai pangkalan militer milik Kartel Black Ice—Han langsung bergegas.Mobil jipnya meluncur cepat, meninggalkan Cani yang berdiri di balik pintu rumah mewah mereka.Sebelum Han benar-benar pergi, Cani meminta Han untuk mengirim pesan apabila sudah mengetahui identitas dari si pemilik kepala. Setelah Han menyanggupi, barulah Cani membiarkan suaminya berlalu. Cani, dengan gaun sutra biru lautnya yang berkilauan, menatap kepergian Han dengan mata berkaca-kaca. Kecemasannya menggunung. "Kepala itu ... Mungkinkah milik Mbak Hime?" Hime, wanita yang telah dianggapnya sebagai kakak sendiri. Kenangan bersama Hime berputar di benak Cani. Tawa mereka, air mata mereka, pelukan hangat di bawah pohon randu ....Kemungkinan terburuk itu menghantui pikiran Cani. Rumah mewah milik Keluarga Ditmer terasa seperti penjara. Sedari tadi Cani tak berhenti mondar-mandir,
Eila berdiri di ambang pintu kamar Rio, jantungnya berdebar-debar seperti drum perang. Udara di dalam terasa dingin, menusuk hingga ke tulang, seakan mencerminkan sikap dingin mantan majikannya itu. Seragam pelayannya yang sederhana terasa semakin mencolok di tengah kemewahan ruangan yang dipenuhi perabotan antik dan karya seni bernilai jutaan dolar. Aroma parfum mahal yang menyengat hidungnya tak mampu menutupi bau samar ketakutan yang menyelimuti dirinya. Suara Kepala Pelayan, nyaring dan tegas, masih bergema di telinganya. Perintah itu, singkat dan lugas, telah mengantarnya ke tempat ini, ke hadapan bayangan masa lalunya yang kelam. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah masuk. Rio duduk di kursi besar berlapis kulit, siluetnya terukir jelas oleh cahaya redup yang menerpa dari jendela besar di belakangnya.Tatapan Rio tajam, menusuk, seperti pisau yang siap menghujam. Eila merasakan bulu kuduknya merinding. I
Sosok itu tertawa keras. "Aku sudah berjanji padamu. Siapa pun yang menghambat jalanmu, pasti akan aku singkirkan."Hime tercengang mendengar jawaban pria tersebut. "Xander ... Kamu gila. Xixu adalah adik kandungmu." Hime tak habis pikir. "Meskipun itu ibuku, jika ia membuatku jengkel, aku tak 'kan ragu untuk melenyapkannya," tandas Xander. Xander menarik pinggang Hime hingga kedua tubuh menempel. "Aku dengar, kamu sudah bercerai dengan Marci," bisik Xander menyatukan kedua kening. Hime menyeringai. "Kamu selalu mengetahui semua tentangku. Dasar penguntit," katanya mendorong pundak Xander agar menjauh. Hime tahu jika Xander sudah lama tergila-gila padanya. Bahkan sejak mereka masih belia, namun sayang, Hime selalu menolak cinta Xander, dan justru lebih memilih menikah dengan Marci yang juga pernah menyatakan cintanya pada Hime. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Hime.
Pernyataan Albert mengenai Xixu yang pernah melenyapkan seseorang lewat makanan mungkim benar. Terbukti dengan beberapa remaja yang jatuh pingsan setelah memakan masakan Xixu dan Eila. Mereka langsung dilarikan ke rumah sakit milik Keluarga Ditmer. Untungnya kondisi mereka baik-baik saja, setelah menerima perawatan. Sementara di rumah, Cani tak memperbolehkan Xixu maupun Eila untuk memasak lagi. Dua wanita itu menunduk, menunjukkan rasa bersalah mereka. "Ada masalah apa?" tanya Hime menghampiri Cani yang duduk bersama dua pelayannya. "Bukan masalah besar. Kamu tidak perlu tahu," sahut Xixu. "Aku tidak berbicara dengan bawahan," timpal Hime melemar tatapan sengit ke arah Xixu."Kamu juga bawahan," celetuk Xixu tak mau kalah dari Hime. Eila yang tak ingin ikut campur, memutuskan untuk pergi secara diam-diam. "Sejak kapan aku menjadi bawahan?" sungut Hime meremehkan Xixu. Cani menepuk punggung tang
"Maya siapa?" tanya Cani pada Xixu. "Nama asli wanita di depan anda adalah Maya," jawab Xixu. Hime terkekeh, "Suami palsu?" Ia berhenti sejenak, lalu kembali melanjutkan, "Sayangnya, aku dan Marci benar-benar menikah."Dilihat dari cara mereka berdua berinteraksi, Cani bisa menyimpulkan bahwa Hime dan Xixu sepertinya tidak saling menyukai satu sama lain. "Tapi aku bersyukur, aku sudah bebas sekarang," imbuh Hime. "Bebas gimana, Mbak?" tanya Cani merasa aneh dengan perkataan Hime. Sebelum menjawab, Hime mengalihkan pandangannya pada Cani. "Aku dan Marci sudah resmi bercerai. Aku yang menceraikannya."Pernyataan tegas Hime membuat Cani dan Xixu terkejut. Awalnya mereka mengira jika Hime hanya sekedar bercanda, namun setelah Hime membeberkan beberapa bukti dari ponselnya, barulah dua wanita itu percaya. "Ke-kenapa, Mbak?" tanya Cani khawatir. "Gara-gara Pak Marci yang disuruh menjaga Victory?" Tak s
Tanpa basa-basi lebih lama, Han menyalurkan nafsunya seperti orang kesetanan. Ia tidak peduli meski Cani memintanya untuk lembut. Han tidak bisa, ia menggebu-gebu. Cani hanya pasrah, menerima segala kenikmatan yang diberikan Han, sambil terus mendesah, memanggil-manggil nama suaminya tercinta. Respons Cani membuat gairah Han makin naik. Goyangannya jadi tak beraturan. Di sini Han menunjukkan sisi egoisnya, ia hanya mementingkan kepuasannya saja. Seakan menjadikan Cani sebagai objek belaka. Namun ... Cani justru bertingkah lebih binal dari biasanya. Ia seperti lenih senang jika Han beringas. "Mas Han ... Enak!" racaunya. Kedua matanya juling, berubah menjadi warna putih. Han mencengkeram pinggang Cani agar miliknya tertanam lebih dalam. Sambil sesekali menampar pantat berisi Cani. Keduanya terlena dalam suasana panas penuh gairah. Ketika sedang asyik mendesah, Cani terkejut dengan kedatangan anak buah Han. Namun begitu mereka melihat Cani dan Han yang sedang bercinta, mereka lan
Hime terlihat begitu menikmati suasa pedesaan Meksiko di sore hari. di mana matahari mulai tenggelam, langit berwarna jingga dan ungu. Udara hangat dan tenang. Hime duduk di atas tembok rendah, memandang ke arah ladang jagung yang luasSetelah puas dengan apa yang ia lakukan, Hime beranjak dari tempatnya untuk menemui Han. Ada sesuatu yang ingin ia katakan pada lelaki yang sudah ia snggap sebagai keluarganya itu. Begitu sampai di ruang kerja Han, tanpa membuang-buang waktu, Hime langsung memberitahu Han mengenai keinginannya untuk pergi ke Indonesia. "Beri aku alasan yang tepat," pinta Han. "Aku sangat merindukan suamiku. Bolehkah aku bertemu dengannya?" dalih Hime. "Aku juga akan membawa beberapa anak buah," imbuhnya. Han memandang Hime, ada kecurigaan yang terlihat dari raut wajahnya. Hal itu wajar, mengingay Hime yang pernah bermain di belakanhnya. Namun, pada akhirnya Han tetap mengizinkan Hime untuk menemui suaminya. "Terima kasih," ucap Hime. Sebelum Hime meninggalkan rua