Apa lebih baik kuhabisi saja nyawanya.' Seperti ada yang berbisik di telingaku, layaknya bisikan gaib. Dan kupikir, memang itu yang ingin kulakukan. Namun, kupikir lagi, terlalu enak rasanya jika si Burhan ini langsung mati dan tidak lagi merasakan penderitaan dan rasa sakit sebagaimana yang sudah dia lakukan terhadapku selama bertahun-tahun.Akan kubalik keadaannya sekarang. Aku yang dulu lemah, tidak ada daya. Ingin pergi tidak tahu mau kemana, sanak saudara pun tidak punya, uang pun tidak pernah kupegang. Makanya, sedikit demi sedikit aku mulai mengumpulkan uang secara diam-diam, untuk persiapan jika aku akan pergi nanti. Akan tetapi, ternyata si biadab Burhan ini berniat ingin merampas semuanya tadi. Aku pernah melaporkan kepada pengurus warga, tetapi hanya berakhir dengan musyawarah perdamaian. Bahkan ada yang bilang, ribut-ribut hanya bikin malu keluarga sendiri. Lagipula, jika hal seperti ini dilaporkan tidak bakal ditanggapi kata para tetanggaku. Aku hanyalah perempuan bodo
Benar-benar kubuat habis separuh air di dalam ember, kumasukkan paksa ke dalam mulutnya, sama persis dengan yang pernah dia lakukan terhadapku, sudah tidak ada lagi rasa iba di hatiku terhadapnya.Wajahnya terlihat memerah, matanya melotot menahan sakit, seluruh isi makanan di dalam perutnya keluar semua, sedang muntah-muntah, sembari terbatuk-batuk Mas Burhan sekarang ini, sesekali tubuhnya mengejang, masih dengan tangan dan kaki yang terikat. Berkali-kali air seninya keluar, dan sudah kuantisipasi dengan meletakkan semua pakaian miliknya di bawah tubuhnya."Ampuni aku, Minarsih," rintihnya, sembari terus terbatuk-batuk. Aku hanya menatapnya dingin, tanpa ekspresi. Kuhampiri dan kudekati dia, sembari menunjukkan kon*om yang kutemukan di dalam dompetnya."Dengan siapa kau kenakan Kon*om ini, bajingan." Wajahnya berpaling menengadah kepadaku, mukanya sudah penuh dengan tempelan muntahannya sendiri, lalu kembali dia terbatuk-batuk."Kau jual tubuhku, kau peras hasil keringatku, lalu has
Tubuh kurus dan wajah tirus Tasya, putriku satu-satunya mendekap erat badanku. Kain batik lusuh milik ibu, yang kubawa saat kabur dari rumah dulu, itu yang kupakai untuk mengendongnya.Bukannya aku tidak ingin membahagiakan atau pun menyenangkan hati Tasya, tetapi, sikap keji suamiku Burhan terhadap kami berdua, membuatku tidak mampu berbuat apa-apa.Hari ini, pasar tradisional yang tidak terlalu jauh dari tempat kontrakan, menjadi tujuanku untuk menyenangkan hati Tasya. Aku ajak dia pergi membeli ayam goreng tepung kesukaannya, es cream, boneka panda, dan segala macam makanan ringan, susu, juga minuman yang ditunjuknya. Semuanya kubelikan, satu pun tidak ada yang terlewatkan.Kuajak dia menaiki permainan yang dia suka. Kuda-kudaan, mobil-mobilan, balon karakter, apa saja yang dia ingin, hari ini, aku penuhi keinginannya.Aku menangis bahagia melihat putriku tertawa ceria. Air mataku terus mengalir, saat kedua tangannya menggenggam makanan, yang dulu hanya bisa dia rintihkan.Si lakn*
Putriku Tasya, lantas membuang kardus bekas susu tersebut tepat di muka bapaknya.Burhan, dengan mulutnya yang masih tersumpal, urat leher dan wajahnya terlihat jelas, rasa pegal yang dia rasa pada mulutnya yang tidak bisa terkatup, mungkin itu yang menjadi penyebabnya. Wajah merahnya sudah penuh dengan tumpahan muntah dan susu coklat yang tadi dibuang Tasya di wajahnya, seolah-olah putri kecilku itu ingin menunjukkan, bahwa aku pun bisa menghinakanmu bapak kep*rat.Kutarik keras kaus kutang Tasya yang menyumpal mulut si Burhan, hingga pria durjana itu terbatuk-batuk keras. Tubuhnya kembali bergetar, air seninya pun terus keluar berulang-ulang. Setengah ember air mentah cukup membuat kantung penampung air seninya luber.Hal pertama, yang dilakukan oleh laki-laki yang dipanggil bapak dan suami ini hanyalah menangis, saat penyumpal itu terlepas dari mulutnya. Sembari meratap memohon ampun, kepada wanita yang dulu pernah disiksanya sampai terkencing-kencing ketakutan. Seorang wanita yan
"Hatimu terbuat dari apa, Burhan? Semua laki-laki bercerita tentang tubuhku, dan bagaimana rasanya, lalu kau tanggapi seolah-olah ini sebuah percakapan biasa. Ban*aatt kau Burhannn!" Aku kembali berdiri dari sisi ranjang. Kuinjak dan kutendang berkali-kali wajah si Burhan, tidak kuhiraukan jeritan dan lenguhan kesakitan yang keluar dari mulut jahatnya. Hidung dan mulutnya kembali mengeluarkan darah segar."Laknat! Iblis kau baj*Ngan!!" Sembari terus kutendang wajah di bagian hidungnya, hingga patah sepertinya, laki-laki itu menangis meraung-raung kesakitan. Kakiku terus saja menghantam."Bunuh aku Minarsih, bunuh saja aku!" Mulutnya sudah penuh dengan darah, menyumprat keluar dari mulutnya, begitupun wajahnya, matanya melotot menahan sakit dan badannya kembali mengejang."Bunuh? Kau mau cepat-cepat mati, cuihhj! Enak sekali!" Kutendang sekali lagi hidungnya, dengan sekuat tenaga, kembali dia melenguh kesakitan. Setiap dia berteriak yang kurasa bisa terdengar dari luar, maka akan ku be
"Sepertinya, kau selalu beruntung, Burhan. Setiap aku ingin menghabisimu, selalu ada saja yang membatalkan," ucapku, sembari duduk di ujung dipan kasur, kembali menatap Burhan tajam.Kubuka sekaleng biskuit pemberian Mpok Usman tadi, mengambilnya satu, memakannya perlahan, mataku tetap menatap Burhan tajam."Kamu tidak lapar, Burhan?" tanyaku, mengambil biscuit ke dua, dan kembali memakannya."Kamu mau kusuapi, Burhan?" tanyaku pelan."Hamm, humm, humm." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Terhalang kaus dalam yang membungkam mulutnya."Akan kulepas penyumpal mulutmu, jika kau berjanji tidak akan teriak-teriak macam orang yang tidak waras," ancamku, Burhan mengangguk. Kuturuti maunya."Ampuni aku, Sih," ucapnya memohon, aku acuhkan, seolah-olah aku tidak mendengar."Kamu tidak lapar, Burhan? Jika mau, aku suapi biscuit." Sembari memakan biscuit ketiga. Laki-laki bia*ab itu mengangguk. Kuhampiri Burhan yang masih tergeletak lemah."Buka mulutmu, jika ingin kusuapi." Burhan lantas memb
Selesai mandi, kulihat Burhan masih seperti tertidur. Mulutnya masih menyumpal kaus dalam Tasya yang kujejalkan secara paksa. Tubuhnya terkulai lemas, darah yang sudah mengering menempel hampir di seluruh wajahnya. Mukanya terlihat sudah tidak berbentuk. Membengkak, dengan banyak luka sobek dan lebam, karena pukulan benda tumpul. terlihat sungguh menyeramkan wajahnya. Napasnya terdengar bagai hewan yang baru selesai digorok. Ceceran darah, dan muntahan dari isi perut bercampur jadi satu disekitar pipinya yang menempel di lantai air mani berwarna hitam.Keluar dari pintu kamar untuk melihat ke arah jam dinding, kurang 45 menit lagi dari waktu pertemuan perjanjian dengan Ulpa. Aku sudah memakai baju ganti, mengambil gendongan untuk Tasya yang masih terlihat bagus, karena baru kubeli, lalu mendekati putriku yang masih terlelap tidur. Kuciumi pipinya lembut, Tasya masih belum terbangun. Tertegun menatap ke dalam wajah putriku, mataku mulai kembali mengembang. Betapa paras wajahnya terl
Aku terdiam saat perempuan bernama Ulpa ini menanyakan tentang keberadaan Burhan, sembari berpikir, alasan apa yang akan aku utarakan."Aku mengambil handphone miliknya, saat dia sedang mabuk berat. Dia tidak akan menyadari, di mana dia kehilangan hape-nya. Aku tidak memaksa, jika kau tidak mau juga tidak apa-apa, tetapi jangan salahkan aku jika benda ini kujual kepada orang lain, dan rahasia kotormu menjadi terbongkar," ingatku padanya."Baik, akan aku bayar, aku hanya ingin tahu di mana keberadaan Burhan, itu saja," jawabnya, lalu mengambil sebuah amplop besar dari dalam tas tangan yang dibawanya, lantas meletakkannya di atas meja."Ini uang yang sudah kujanjikan, Mbak," ujarnya, lalu mendorong uang itu untuk lebih didekatkan ke arahku.Aku lantas mengambil uang pemberiannya, dan memasukkan ke dalam tas yang aku bawa, lalu menyerahkan ponsel milik Burhan ke tangan wanita itu."Dari mana aku tahu, jika mbak tidak menyimpan dan memindahkan file-nya di tempat lain," tanyanya menyelidi
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti