Selesai mandi, kulihat Burhan masih seperti tertidur. Mulutnya masih menyumpal kaus dalam Tasya yang kujejalkan secara paksa. Tubuhnya terkulai lemas, darah yang sudah mengering menempel hampir di seluruh wajahnya. Mukanya terlihat sudah tidak berbentuk. Membengkak, dengan banyak luka sobek dan lebam, karena pukulan benda tumpul. terlihat sungguh menyeramkan wajahnya. Napasnya terdengar bagai hewan yang baru selesai digorok. Ceceran darah, dan muntahan dari isi perut bercampur jadi satu disekitar pipinya yang menempel di lantai air mani berwarna hitam.Keluar dari pintu kamar untuk melihat ke arah jam dinding, kurang 45 menit lagi dari waktu pertemuan perjanjian dengan Ulpa. Aku sudah memakai baju ganti, mengambil gendongan untuk Tasya yang masih terlihat bagus, karena baru kubeli, lalu mendekati putriku yang masih terlelap tidur. Kuciumi pipinya lembut, Tasya masih belum terbangun. Tertegun menatap ke dalam wajah putriku, mataku mulai kembali mengembang. Betapa paras wajahnya terl
Aku terdiam saat perempuan bernama Ulpa ini menanyakan tentang keberadaan Burhan, sembari berpikir, alasan apa yang akan aku utarakan."Aku mengambil handphone miliknya, saat dia sedang mabuk berat. Dia tidak akan menyadari, di mana dia kehilangan hape-nya. Aku tidak memaksa, jika kau tidak mau juga tidak apa-apa, tetapi jangan salahkan aku jika benda ini kujual kepada orang lain, dan rahasia kotormu menjadi terbongkar," ingatku padanya."Baik, akan aku bayar, aku hanya ingin tahu di mana keberadaan Burhan, itu saja," jawabnya, lalu mengambil sebuah amplop besar dari dalam tas tangan yang dibawanya, lantas meletakkannya di atas meja."Ini uang yang sudah kujanjikan, Mbak," ujarnya, lalu mendorong uang itu untuk lebih didekatkan ke arahku.Aku lantas mengambil uang pemberiannya, dan memasukkan ke dalam tas yang aku bawa, lalu menyerahkan ponsel milik Burhan ke tangan wanita itu."Dari mana aku tahu, jika mbak tidak menyimpan dan memindahkan file-nya di tempat lain," tanyanya menyelidi
Minarsih mengerjapkan matanya. Penglihatannya sudah terlihat berbayang, karena genangan air. Hatinya masih merasakan sakit. Perbuatan dzolim dan biadap yang dilakukan suaminya Burhan terhadap dirinya dan Tasya, masih menggoreskan luka dan rasa sakit yang mungkin tidak akan mudah untuk menghilangkan dari dalam hatinya. Sarah dan Susan diam termangu. Ternyata, ada wanita yang hidupnya sampai mengalami penderitaan yang keji seperti itu. Jauh di dalam lubuk hatinya mereka mengucapkan syukur, jika hal seperti itu tidak pernah terjadi terhadap diri mereka. Berbeda orang, ternyata berbeda juga pengalaman dan perjalanan hidupnya. Hal yang tidak pernah kita alami, tidak pernah terjadi dalam diri kita, bukan berarti itu tidak terjadi terhadap orang lain. Sekali lagi, berbeda orang, berbeda pula jalan hidupnya. Mata keduanya pun sudah berkaca-kaca, mendengar penuturan cerita dari Minarsih. Pantas saja, jika perempuan itu mengernyit kesakitan tadi, saat Sarah dan Susan tanpa sengaja menyentuh
Susan memasuki sebuah kedai yang menjual seblak di depan pasar kampung Sindang Mulya, desa tetangga dari desanya Sarah tinggal. Pikirannya yang pusing karena masalah yang sedang dihadapinya, membuatnya ingin makan seblak yang super pedas. Dia tidak ikut bersama Sarah yang sedang mengantarkan Minarsih dan putrinya Tasya untuk mencari kontrakan buat tamu yang baru mereka kenal itu tinggal. Susan banyak mengambil pelajaran dari cerita yang dia dengar dari Sarah dan Minarsih. Di dalam hatinya ada mengucap rasa syukur. Ternyata, setiap orang memiliki masalahnya masing-masing, bahkan mungkin jauh lebih berat dari yang sedang dia alami saat ini. Setelah memesan seblak yang dia inginkan kepada pedagang. Susan sengaja memilih tempat di sudut ruangan untuk duduk di dalam kios sederhana tersebut. Terlihat olehnya, ada seseorang wanita yang sepertinya hampir selesai menikmati hidangannya. Terlihat dari isi mangkuknya yang hampir habis. "Numpang duduk, ya, Mbak?" tegur Susan kepada perempuan te
15 Tahun SebelumnyaPov Irma"Anakmu sekarang sudah berapa, Irma?"Pertanyaan kawan-kawan sekolah dulu saat reuni SD sampai SMA membuatku sering menelan ludah dan hati yang terasa sakit. Hanya bisa tersenyum tanpa menjawab, bukan sebuah jalan keluar. Pertanyaan-demi pertanyaan akan terus berlanjut. "Irma, kamu kok belum menikah juga sampai sekarang?" Aku menjawab dengan sejujurnya, apa adanya, malah tatapan mata yang seolah-olah sedang mengasihani, bahkan terkadang seperti menyudutkan. Mau tidak mau tetap harus kuterima. Entahlah, saat ini aku jadi tidak suka reunian lagi, ataupun hanya sekadar kumpul-kumpul kawan seangkatan. Aku tidak ingin dianggap berbeda. "Kamu pilih-pilih mungkin?" Memangnya salah, ya, jika kita ingin mendapatkan pasangan yang membuat diri kita merasa nyaman, bukan asal punya pasangan. Aku jadi tidak mau lagi ikutan kumpul-kumpul.Karena, aku tidak ingin dikasihani.÷÷÷Malam ini sepulang kerja lembur, aku langsung membersihkan diri. Mandi, salat, lalu rebaha
Kabar tentang adik bungsuku Naura yang akan dilamar sudah menyebar di wilayah tempatku tinggal. Sama seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Saat aku dilangkahi oleh adik-adikku yang lain. Pastinya, akan selalu menjadi bahan omongan, ataupun sindiran dari tetangga sekitar yang memang pikirannya julid. Sakit memang, selalu menjadi bahan omongan. Namun, dari pengalaman-pengalaman yang terjadi sebelumnya, aku jadi bisa lebih percaya diri. Memang sangat sakit ... tetapi, bukannya rasa sakit selalu menjadi bagian kehidupan setiap manusia? Hanya mungkin, masalahnya yang berbeda. Keluargaku adalah pendatang di kampung ini. sudah puluhan tahun tinggal di daerah pinggiran kota besar Jakarta. kami sekeluarga harus tetap menjaga sikap dan adab, itu yang bapakku wanti-wanti dan kepada kami semua. Karena, selama apapun kami tinggal di sini, julukan kami tetap sebagai warga pendatang. Bahkan, aku dan ketiga adik-adikku semuanya lahir di kota ini. "Si Irma mau dilangkah lagi, yee, sama adeknye yan
Malam ini adalah malam mangkat perhelatan pernikahan adik bungsuku, Naura. Setelah selesai acara tahlilan selamatan, team dekorasi pun mulai bekerja. Segala persiapan sedang dikerjakan. Tenda sudah terpasang sedari siang. Taman pelaminan, dekorasi panggung, semua sudah terpasang di samping rumah, di atas lahan lapangan bulu tangkis.Aku dan Ibu sedang asyik menyaksikan kesibukan pemasangan dekorasi hiasan taman pelaminan, dengan banyak bunga-bunga dan daun-daun hijau, serta tanaman-tanaman hias. Ini sudah ketiga kalinya aku hanya menjadi penonton. Menyaksikan adik-adikku, berdiri bahagia di depan kursi pelaminan sana. Tersenyum bahagia menyambut tamu-tamu undangan yang datang dengan perasaan sumringah. Tidak terasa, mengembang air mataku.'Apakah masih ada jodohku' lirih kepedihan di dalam batin. Lalu cepat-cepat menghapusnya, malu jika sampai dilihat orang."Irma, Ibu tinggal ke dalam dulu." Ibu berucap pamit kepadaku. Akan tetapi beliau berhenti sesaat, mungkin karena melihat masi
Aku benar-benar tidak menyangka, jika Fadlan yang menjadi penghulu di acara pernikahan adikku, Naura dan Faudzan.Kupikir, selepas SMA tidak akan pernah bertemu Fadlan lagi.Fadlan adalah cinta pertamaku. Cinta terbaik yang pernah kujalani. Karena setelah itu, sulit rasanya untuk aku jatuh cinta lagi. Selalu saja Fadlan yang kujadikan bahan perbandingan.Fadlan, pria pertama yang pernah mengenggam tanganku, pernah mencium pipi, juga pria pertama yang pernah memelukku. Fadlan selalu jadi yang pertama dalam hidupku. Sulit rasanya untuk bangkit, memulai cinta dan cerita yang baru. Padahal, sudah terlewat puluhan tahun yang lalu. Saat Fadlan mulai duduk bersila dan tanpa sengaja bersitatap muka denganku. Terlihat, jika wajahnya pun menggambarkan keterkejutan yang luar biasa. Hal yang sama dengan yang kurasakan saat pertama melihat kehadirannya tadi. Sungguh tidak menyangka, setelah puluhan tahun berlalu, malah kami dipertemukan di saat momen-momen sakral seperti ini.Prosesi Ijab Qabul
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti