Part 336Setengah lima sore setelah selesai mandi, masih dengan memakai handuk dan sedang mengeringkan rambutku yang masih basah, emak masuk ke kamarku, dan langsung duduk di dipan kecil tempat tidur. Matanya terus saja memperhatikan aku, sesekali mengusap-usap gelang-gelang emas miliknya.Aku yang merasa terus diperhatikan emak, jadi merasa serba salah."Haidmu sudah berhenti, Sarah?" tanya emak, jemarinya merapikan bandul kalung miliknya."Belum, Mak. Baru empat hari," jawabku, masih terus mengeringkan rambut dengan handuk kecil."Coba sini emak lihat," katanya, matanya terus menatap tubuhku dari kepala hingga kaki."Lihat apa, Mak?" tanyaku, masih belum mengerti maksudnya."Emak mau lihat 'punya' kamu," jelasnya. Memerah rasanya paras wajahku, terlihat jelas di muka cermin."Ihh ... Emak, malu atuh, Mak," ujarku, sungkan.Emak langsung menarik handuk yang kukenakan, hingga terlihat hanya tubuh polosku, refleks aku langsung menutupi sesuatu yang kuanggap vital."Lepas tanganmu," uca
Part 337Tidak beberapa lama, terlihat Kang Wawan dengan kendaraan motornya singgah di kedai kopi tersebut. Selang beberapa menit, gantian Kang Jaja menyusul. Duit besar sudah ada di depan mata, dan mereka harus pandai-pandai bernegosiasi. Belum lagi perempuan yang tidak memakai calo, bersikap aktif sedikit genit adalah salah satu cara mereka untuk bisa mendapatkan pelanggan. Terlihat dari luar, jika kedai kopi yang biasanya sepi kini terlihat ramai sekali.Wajah-wajah orang Jakarta itu terlihat sangat jelas dari tempat kami berkumpul di seberangnya, karena lampu kedai yang terang. Dua pria paruh baya dengan pakaian casual tetapi terlihat mahal sedang asyik berbincang dengan ditemani oleh Kang Wawan dan Kang Jaja. Dua orang calo birahi itu memang pandai dalam menarik lawan bicaranya, juga tipe orang yang mudah bergaul dan mudah akrab. Ada yang bilang jika mereka berdua memakai susuk di bibirnya, jadi apa pun perkataan yang keluar dari mulut mereka, akan terdengar sangat menarik, dan
Part 338Paras wajah emak terlihat senang bukan main, saat pria itu bilang menginginkan aku. Begitupun dengan bapak dan Kang Wawan, hanya Teh Astuti yang memasang wajah cemberut, entahlah kenapa kakakku bersikap seperti itu. Apakah masih marah karena peristiwa di pinggir jalan tadi? Aku paham maksud dari pria kota tersebut, dan aku tidak bisa berkata dan berbuat apa-apa, selain hanya berdiri terdiam. Teh Astuti mendorong-dorong pelan tubuhku, seperti menyuruh untuk berkenalan dengan orang kota tersebut, tetapi aku tetap diam.'Apa aku bisa melakukannya?' bisik hatiku."Sarah, sini duduk di samping emak." Sembari menoleh ke arahku dengan raut wajah bahagia, dan aku mengangguk mengikuti keinginan emak untuk duduk di sampingnya. Tepat di depan Kang Wawan dan pria kota tersebut. Sementara bapak memilih duduk sendiri terpisah. Dia tidak punya kuasa apapun di rumah ini, semuanya dikuasai Sarmenah, emakku. Pria paruh baya bertubuh tinggi itu terus saja memperhatikan aku. Kulitnya putih, s
Sekali lagi aku menjelaskan, jika saat ini sedang mendapatkan tamu bulanan, dan justru cubitan yang keras yang kudapatkan dari emak hingga aku mengaduh kesakitan. Kembali raut kekhawatiran terpancar jelas dari wajah emak, bapak, dan Kang Wawan, ketakutan jika si juragan dari kota besar ini akan membatalkan keinginannya untuk mendapatkan kegadisanku. Sedikit rasa khawatir, emak akhirnya ikut bicara."Sarah memang sedang mendapatkan haid, Tuan, tetapi sudah tidak banyak. Mungkin besok pun sudah selesai," ungkap emak menjelaskan."Tetapi jika tetap "Ingin" sekarang juga tidak apa-apa, Tuan, toh tinggal sedikit lagi, hanya serupa bercak-bercak," jelasnya lagi, sebisa mungkin memberikan alasan. Terkejut aku mendengar perkataan emak, bahkan di saat tamu bulanan datang menghampiri, emak tetap mempersilahkan pria itu untuk tetap bisa menyentuhku, di saat haid pertamaku. Setega itu ternyata emak terhadapku. Uang dan perhiasan yang bisa dibelinya nanti dari hasil menjual tubuhku, ternyata leb
Mobil mewah Om Gunadi pun meninggalkan desa kami. Beberapa orang tetangga langsung mengerubungi aku dan emak, juga Kang Wawan. Mereka mencari-cari informasi, berapa besar yang orang kota itu bayarkan untuk harga kegadisanku. Aku bergegas menghindari dan berniat kembali ke rumah. Sementara bagi emak, ini adalah saatnya untuk menyombongkan diri, jika sekarang harga keperawanan putrinya adalah yang tertinggi di kampung ini. Bersuara kencang saat dirinya bercerita, mungkin juga agar terdengar oleh Mak Neti. Ada kesan ingin menyombongkan diri, jika aku anaknya ternyata mampu mengalahkan putrinya si emak. Selepas menyeberang jalan untuk kembali ke rumah, sudut mataku menangkap sosok Zulham dari kejauhan yang sedang berdiri sendiri di bawah sebuah pohon besar sisi jalan yang lumayan gelap, karena sebagian tidak mampu tertembus oleh cahaya lampu penerangan yang terhalang oleh rindangnya pepohonan. Namun aku yakin, jika itu memang Zulham, dan sepertinya Zulham juga sudah tahu bahwa aku sudah
Saat aku masih merasa bimbang, harus menemui Zulham atau tidak, terdengar suara emak memanggilku kembali. Bergegas kembali ke luar kamar untuk menemui emak di ruang tamu."Ada apa, Mak?" "Emak mau pergi sebentar, biasa ... keliling kampung," jawabnya, lalu berjalan menuju pintu keluar, tubuhnya penuh dengan perhiasan. Sepertinya emak ingin memamerkan perhiasan gelang terbaru yang baru saja dibelinya. Dan juga pastinya dia akan bercerita dengan bangganya, bila harga kegadisanku adalah yang termahal di desa ini. Mungkin emak sudah kangen bercerita seperti itu, karena hanya kakakku Teh Niken yang pernah menjadi termahal sebelum dikalahkan oleh Asmunah putrinya Mak Enah, sementara Teh Astuti jauh di bawah mereka berdua. Dengan uang mudah yang didapatkan emak dari Teh Niken yang kerja di kota dan Teh Astuti, toh hidup kami tetap saja tidak kaya-kaya, atau karena emak dan bapak kecanduan berjudi? Bapak dengan judi kartu dan sabung ayam, sementara emak dengan judi angka pakong dan judi bun
"Benar, Kak," jawabku pelan atas pertanyaan Zulham, dan aku tidak mungkin berbohong. Mungkin sekarang, satu kampung sudah tahu semua tentang kabar itu. Dan sebenarnya bukan lah hal yang aneh bagi mereka, justru yang menganggap aneh itu karena orang tersebut tidak tahu kebiasaan yang berlaku di desa ini, dan Zulham termasuk salah satu dari orang aneh tersebut.Zulham pun terdiam sesaat, namun matanya terkesan seperti ada rasa kecewa, atau mungkin hanya dugaan aku saja. Zulham kemudian kembali bertanya hal yang sebenarnya sudah dia tanyakan tetapi belum sempat aku jawab."Kamu tidak takut dosa, Rah?"Aku menghela napas panjang, mengalihkan pandanganku dari Zulham, kembali menatap pesawahan di seberang sungai. "Kata emak, kami lebih takut jika tidak bisa makan dibandingkan dengan dosa, biarkan hal dosa menjadi urusan lain. Lagipula, bukan hanya kami yang melakukannya. Bahkan, mungkin ada jauh lebih parah dari kami.""Maaf ya, Rah. Kakak pikir ucapan emak tidaklah tepat. Di sisi lain, bu
Sarah mengerjapkan matanya. Air sebening kristal sudah memenuhi penglihatannya. Netranya berkaca-kaca. Kembali teringat tentang masa lalunya di desa ini. "Teh Sarah kenapa?" tegur Susan dengan hati-hati, takut mengagetkan. Susan mencondongkan tubuhnya untuk lebih mendekati Sarah. "Tidak apa-apa, Mbak Susan. Saya hanya jadi teringat tentang masa lalu," jawab Sarah pelan."Jika kisah masa lalu Teh Sarah membuat Teteh menjadi sedih, sebaiknya tidak usah diteruskan, Teh?" Sarah tersenyum mendengar ucapan Susan yang mengkhawatirkan keadaan dirinya. "Tidak apa-apa, Mbak. Sebenarnya, ini untuk pertama kalinya saya bercerita kepada orang lain tentang masa lalu saya dan desa ini. Mungkin, dengan bercerita sama Mbak Susan, bisa membuat hati saya menjadi lebih tenang. "Tapi, itu pun jika Mbak Susan kembali berkenan untuk mendengarkan.""Tentu saya sangat berkenan, Teh. Saya memang ingin tahu tentang sejarah desa tempat tinggal Teh Sarah ini. Dengan senang hati, saya akan setia untuk mendenga
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti