"Sudah Dit, elu duluan. Setelah itu baru gue," ucap Yudhis meminta Aditya untuk berpose bersama Yuli dahulu. Adit mengangguk, melangkah mendekati springbed berukuran cukup besar, Adit berhenti tepat di tepi ranjang tidur tersebut. Pemuda itu seperti teringat sesuatu, dia lantas berucap, "Sebentar, deh. Apa tidak sebaiknya kita kasih tahu dulu bos Rey, biar dia tahu jika kita sudah sampai sejauh ini.""Buat apa?" Widya malah balik bertanya. "Ye, lemot lu, ye? Kan gue bilang kita kasih laporan dulu. Siapa tahu dia ada intruksi khusus buat kita. Seperti, mau minta foto gaya apa? Buat laporan dia ke pemesannya lagi." "Setuju gue, setuju," ujar Yudhis mendukung usulan dari Adit. "Trus gue harus gimana? Kan yang punya nomor telepon bos Rey cuma elu Dit? Hanya elu yang punya akses ke dia.""Hehehe, sorry, lupa gue," jawab Aditya sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia lalu mulai mengambil handphone miliknya di dalam kantong jaketnya. "Bos Rey ada masalah apa, ya, dengan bapaknya Yuli ini,
Part 327"Widya! Kita harus bagaimana ini?" ucap Yudhis sembari menepuk bahu gadis itu, yang langsung tersadar dari rasa terkesimanya. Lalu berubah menjadi rasa bingung, tidak tahu harus melakukan apa. "Kita harus bawa Yuli ke rumah sakit," ujar Adit cepat, melihat Widya masih belum bicara apa-apa. "Elu gila, ya, Dit. Jika dibawa ke rumah sakit, dokter pasti tahu jika Yuli seperti ini karena obat bius. Kita pastinya yang akan di penjara, karena perbuatan kita ini sudah kriminal! Membahayakan orang?" sentak Yudhis, yang tidak setuju dengan usulan Adit. "Tapi jika tidak dibawa ke rumah sakit, anak ini bisa mati! Kita bisa dituduh sebagai pembunuhnya, Dis? Hukumannya bisa lebih berat?Lu mikir nggak, sih!" jawab Adit tidak kalah keras, dan Yudhis langsung terdiam. Sepertinya, ucapan Adit ada benarnya juga. "Elu kenapa diam aja, sih, Wid? Si Yuli bisa begini karena elu!" ujar Adit malah langsung menyalahkan Widya, yang terlihat badannya gemetar. Berucap terbata-bata. "Gu-gue bi-bingun
Part 328Sampai tiga kali perawat itu melakukan panggilan, belum ada juga yang menghampirinya. Tidak juga Widya dan kedua kawannya tersebut. Perawat muda berkacamata itu lantas kembali masuk ke dalam ruangan UGD. "Bagaimana, ini?" ucap Widya dengan nada ketakutan, berharap tidak terjadi sesuatu yang membahayakan terhadap Yuli. "Elu harus hubungi keluarga Yuli secepatnya, Wid? Takut pihak rumah sakit butuh persetujuan dari keluarganya." Adit tetap meminta Widya untuk menghubungi Darman, karena hanya nomor Darman yang dia punya. "Ta-tapi gue takut, Dit?" jawab Widya, raut kecemasan memang tergambar jelas di wajahnya. "Elu harus singkirkan dulu rasa ketakutan elu, Wid? Ini darurat. Walau bagaimanapun, elu hubungi atau tidak, tetap elu Wid yang akan mereka cari, karena mereka kan tahunya Yuli menginap di apartemenlu?""Omongan Adit benar, Wid. Tetap elu yang akan mereka cari. Sekarang kita cuma bisa pasrah dengan nasib kita. Mungkin, memang ini resiko yang harus kita hadapi sama-sama.
Part 329Darman dan istrinya, Uni, masih menunggu dengan gelisah di depan ruang IGD. Belum nampak tanda-tanda jika mereka berdua akan diberitahu tentang keadaan keponakan mereka, Yuli. Entah apa penyebabnya sehingga Yuli bisa sampai masuk ke rumah sakit Sumber Waras ini."Tadi pagi saat berangkat ke kampus, Ibu melihat sesuatu yang aneh pada Yuli tidak, Bu?" tanya Darman kepada istrinya."Sesuatu yang aneh? Aneh apanya, Pak?" tanya balik Uni, belum paham dengan ucapan dari suaminya."Maksudnya, apa terlihat seperti kurang sehat?" jawab Darman menjelaskan. Istrinya menggeleng cepat sembari menjelaskan apa yang dia lihat pagi tadi. "Tidak ada keanehan apapun, Pak. Sama seperti hari-hari biasanya. Malah terlihat lebih bersemangat, karena ini hari terakhir pelaksanaan ospek di kampusnya.""Tadi pagi Yuli berangkat ke kampus sarapan dulu 'kan?" tanya Darman lagi."Bapak ini bagaimana, sih. Kita bertiga kan sarapan bareng tadi pagi." Darman manggut-manggut, rasa panik membuatnya jadi lupa,
Part 330Langkah Riswan dan Risma menjejak cepat halaman parkir dari Rumah Sakit Sumber Waras ini. Kabar mengejutkan yang disampaikan oleh Darman, membuat mereka cepat-cepat berangkat ke Jakarta, dari tempat tinggal mereka di atas bukit Desa Cibungah. Wajah kekhawatiran terpancar jelas pada raut muka mereka berdua. Sebuah pesan lanjutan dikirimkan Darman saat mereka sedang berada di dalam perjalanan ke Jakarta, bahwa Yuli putri mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan, tidak lagi berada di IGD. Dan menurut dokter, kondisi Yuli sudah jauh lebih membaik hanya tinggal masa pemulihan. Satu jam yang lalu Yuli pun sempat sadar, dan itu membuat dokter Gunawan dan Darman merasa jauh lebih tenang. Makanya diputuskan untuk mulai dipindahkan ke ruang perawatan. Masa kritis sudah terlewatkan. Yuli ditempatkan di ruang perawatan kelas VVIP, ruangan terbaik di rumah sakit ini yang hanya berisi satu pasien saja, tanpa bercampur dengan pasien lain. Lewat pesan juga Darman mengirimkan nama dan n
Part 3315 Hari Kemudian. Susan mengusap air matanya yang terus mengalir di dalam sebuah bus di jalur jalan Pantura. Matanya menatap kosong ke arah luar jendela. Dadanya masih terasa sesak sekali. Sepagi ini, dia melakukan perjalanan untuk menghilangkan rasa sedih dan kecewanya atas peristiwa yang tidak terduga tadi malam. "Ya, Allah. Mengapa begitu berat cobaan yang Kau berikan. Aku pikir, saat bahagiaku sudah akan tiba," ucapnya lirih, sambil mengusap air matanya yang terus saja mengalir. Terdengar suara isak tangisnya. Susan benar-benar tidak menyangka, jika hal ini terjadi kepadanya. Semalam, di saat dia dan Subroto baru saja keluar dari toko perhiasan, selepas membeli cincin pernikahan mereka, beberapa orang pria dewasa mencegat mereka tepat di depan toko. Rencana pernikahan mereka yang akan dilaksanakan 10 hari ke depan, membuat Susan dan Subroto sibuk untuk mempersiapkan segala kebutuhan untuk acara akad nikah nanti. Susan sudah meminta kepada Subroto, agar pernikahan mer
Part 332POV Sarah15 tahun yang lalu di Desa Haur GeulisSelepas maghrib, sebuah mobil bernomor seri plat B berhenti tepat di rumah Mak Neti, dua orang pria pengemudi mobil tersebut mulai masuk ke dalam rumah Mak Neti. Masyarakat sekeliling rumah si mak sudah mulai ramai, karena kedatangan tamu yang berkelas, tamu dari kota, yang ingin menikmati tubuh Asmunah, anak putri Emak Neti.Kehebohan terjadi bukan karena tentang melanggar norma asusila ataupun norma agama, tetapi rasa iri, karena betapa beruntungnya anak si emak mendapatkan pelanggan dari kota besar. Norma agama sudah tidak bernilai di desa ini, semua aspek kehidupan dinilai dari kecukupan materi. Makin banyak perhiasan emas yang sering digunakan, dan dipamerkan, maka akan semakin menaikan derajat si pemakainya.Begitupun dengan Emakku, ucapan rasa iri pun terlontar dari mulutnya, kenapa tamu-tamu dari kota itu tidak mencari Astuti, kakakku yang juga berprofesi sama dengan Asmunah,Yang sering menerima tamu bermobil dari luar
Pemuda bernama Zulham itu, membangkitkan keinginanku untuk belajar mengaji, tetapi bagaimana caranya? Sedangkan di kampung ini tidak ada yang mengajarkan, ada beberapa anak-anak dari desa ini yang belajar mengaji, itupun tidak banyak, hanya beberapa anak, dan mereka harus ke desa tetangga. Sedangkan aku tidak pernah sama sekali, begitupun dengan Iroh.Zulham sudah selesai membaca kitab suci, sepertinya pemuda tampan itu tahu, jika ada aku dan Iroh yang terus memperhatikan dari kaca jendela. Zulham langsung menoleh ke arah di mana aku sedang memperhatikannya, mata kami pun langsung bersitatap, dan pemuda itu semakin terlihat cakep saat memberikan senyuman. Aku benar-benar jatuh cinta. Kurasakan paras wajah ini mulai menghangat, dan terasa jantungku berdetak lebih kencang. Tidak, aku tidak membuang muka, terus saja menatap wajahnya, malah Zulham yang terlihat sekarang menunduk, menutup kitab yang terbuka di atas lekar kayu. Sepertinya aku mewarisi darah emak dan kedua kakak perempuanku,
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti