Part 163Susan terus berbicara walaupun dengan suara yang pelan, dia tidak ingin murid-murid yang dia ajarkan mengaji ikut mendengar pembicaraannya dengan Subroto. Subroto menatap tajam, baru kali ini ada orang yang berani menasehatinya, bahkan memintanya untuk sadar diri, mantan istrinya sendiri pun tidak berani melakukan itu. "Kamu tidak usah sok-sok'an menasehati saya. Aku tahu seperti apa kelakuanmu. Orang lain mungkin bisa kamu bohongi, tapi itu tidak berlaku buat saya. "Segala kelakuan binalmu, saya tau semua," ucap Subroto dengan nada geram, berbicara menekan seperti itu sembari mencondongkan tubuhnya mendekati Susan. Senyumnya terlihat sinis, meremehkan perempuan yang ada di depannya tersebut. Subroto kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi kayu. Susan menarik napas dalam-dalam setelah mendengarkan ucapan mantan orang yang pernah "memeliharanya" dulu, menghidupinya dengan segala kemewahan. "Mas pikir semua orang sama seperti, Mas?" Susan balik menatap Subroto tajam, rasa
Part 164 "Pak Jarot kenapa?" Ibu Saanih akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, sementara Susan terus saja berdoa di dalam hatinya. Dia memang sangat ingin jika Subroto mendapatkan hidayah, dan berubah hidupnya menjadi manusia yang lebih baik, tidak pendendam seperti sekarang ini. Bahkan, 15 tahun sudah terlewat, Subroto masih saja mencarinya untuk membalaskan dendamnya. Subroto tergagap ditegur oleh ibu panti. Sungguh hari yang sangat memalukan buatnya. Tidak pernah dia menangis di depan orang lain, bahkan bisa dibilang tidak pernah dia menjatuhkan airmatanya semenjak kesuksesan dan kekayaan bisa diraih olehnya. "Tidak apa-apa, Bu. Hanya setelah melihat anak-anak ini, saya seperti kembali mengulang kisah masa kecil saya yang suram," jawabnya, mencoba untuk tersenyum. "Suram bagaimana, Mas? Bukannya Mas Subroto dari kecil hidupnya sudah senang? Terlahir dari keluarga berkecukupan?" Susan tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut bicara. Memang, walaupun dulu mereka pernah sanga
165Satu orang anak panti perempuan yang berusia sembilan tahun lantas mendatangi Subroto, yang sudah berdiri di samping tempat duduknya bersandar pada tembok, masih berusaha agar tangisnya tidak terdengar. Dadanya terasa sesak, karena menahan isak.Susan masih menangis di depannya, terduduk di bangku yang terhalang oleh sebuah meja dengan Subroto, sementara Ibu Saanih masih memeluki anak-anak yang dulunya terlantar dan tidak punya tempat tinggal, karena sebagian besar dari mereka sengaja dibuang oleh orang tuanya karena kasus hamil di luar pernikahan.Anak perempuan itu berdiri tepat di depan Subroto. Wajahnya menengadah ke atas menatap Subroto. Sekilas, di antara masih dalam isak tangis, Susan ikut memperhatikan. Subroto wajahnya menunduk melihat anak perempuan kecil itu yang lalu berucap, "Amelia, boleh peluk Bapak tidak?"Subroto kaget dan terkejut lalu cepat-cepat mengelap mata dan pipinya yang basah oleh air mata. Dia menganggukkan kepala, tanda memperbolehkan anak perempuan be
"Kamu, kenapa belum menikah, Syu?"Pertanyaan mendadak yang diajukan oleh Subroto jelas sangat mengejutkan Susan. Dia tidak menduga sama sekali jika Subroto akan bertanya seperti itu. Pertanyaan yang tidak terduga. "Saya harus jawab apa, Mas?" jawab Susan pelan. Subroto yang tadinya duduk bersandar, sedikit mulai mencondongkan badannya, duduk seperti biasanya. "Kamu hanya cukup jelaskan alasannya saja, Syu, mengapa belum juga berumahtangga. Sepertinya, perempuan secantik kamu tidak mungkin tidak ada yang suka. "Dari informasi yang saya dapat, kamu memang sama sekali belum pernah berumah tangga. Benar 'kan?"Susan mengangguk membenarkan. Entahlah, di saat Subroto masih brengsek seperti dirinya dulu, atau sudah menunjukkan sikap baik seperti tadi. Berbincang berdua bersama Subroto, membuatnya merasa nyaman. Padahal, perbedaan usia mereka cukup jauh, sekitar 15 tahunan.Mungkin karena Subroto hampir seusia dengan almarhumah ayahnya Susan dulu. Sosok ayahnya yang dulu sering memanfaatk
GN"Atau mungkin Mas Subroto mau menghina? Mau menertawakan? Silakan, Mas, silakan ....""Tidak Syu, kamu jangan berpikiran jika saya akan melakukan itu. Maaf, saya tidak berpikir sampai sejauh itu." Kembali keduanya saling terdiam sejenak, Subroto meminum cola pesanannya. Berbicara pelan kepada Susan. "Maafkan atas perbuatanku di masa lalu, Syu. Aku yang sudah melakukannya, kamu pun pasti tidak akan pernah lupa itu. Dan ternyata, imbasnya ke dirimu hingga sampai sekarang ini. Sekali lagi maafkan aku," sesal Subroto kepada Susan. "Mas Subroto tidak salah, Mas sudah membayar saya untuk mendapatkan itu dulu. Saya pun tidak meminta Mas untuk meminta maaf ataupun ikut bertanggungjawab." Terjeda sejenak, Susan menghirup napas dalam, lalu kembali bicara. "Saya hanya menjawab pertanyaan dari Mas Subroto 'kan? Yang bertanya mengapa saya belum juga menikah?""Iya, tapi karena pertanyaan itu membuatmu jadi menangis?""Saya hanya sedang menangisi sesal dan dosa di masa lalu, Mas. Sesal yang t
Kamu bersedia 'kan mengajak aku ikut denganmu?""15 tahun kita tidak pernah bertemu. Lalu tiba-tiba Mas Subroto mengajak saya untuk menikah. Wajar 'kan jika saya curiga, jika ada sesuatu yang Mas Subroto rencanakan terhadap saya," ucap Susan lagi, kembali mengabaikan ucapan Subroto. Subroto menatap dalam. Wanita dewasa di depannya ini seperti mengalami phobia, bukan phobia ketinggian ataupun takut dengan hewan tertentu, namun Susan ini seperti takut akan sesuatu yang belum terjadi, takut akan masa depannya, curiga dan was-was yang berpusat pada persepsinya sendiri. Padahal, bisa saja itu salah, atau tidak akan sama dengan yang ada di pikirannya. "Kamu bisa 'kan sekali saja tidak menaruh rasa curiga terhadap diri, Mas? Tidak berpikir yang macam-macam, tidak selalu berpikir negatif. Demi Allah, yang Mas minta hanya kesediaan kamu untuk mengajak Mas mengikuti jalan hijrahmu. "Sekali lagi, Mas merasakan lelah dan capek menjalani kehidupan seperti ini. Banyak harta, tapi jiwa dan hati M
"Susan Prameswari. Apakah kamu bersedia menerima lamaran dari Mas, semata-mata untuk mendapatkan keridhoan Allah?"Susan menatap Subroto dengan tatapan mata yang berkaca-kaca. Kelopak matanya terasa sudah dipenuhi oleh sekumpulan kaca bening yang menggenang. Terharu, sangat terharu sekali yang dia rasakan saat ini. Pria paruh baya di depannya ini tetap meminta dirinya sendiri agar mau mengajaknya ke jalan hijrah. Berpindah dari jalan keburukan ke jalan kebaikan yang diridhoi Allah. Subroto, pria yang usianya hanya sedikit lebih muda dari almarhum papahnya, memang memiliki andil dan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan Susan. Hampir seluruh masa remajanya dulu dia habiskan bersama pria kaya raya ini. Berkecimpung dalam kemewahan dunia yang bergelimang harta dan kemaksiatan. Tiada hari yang mereka lewati bersama dulu tanpa dosa dan kemaksiatan. Lalu, apakah dirinya juga harus bersama dengan Subroto dalam melewati jalan yang sangat berbeda dengan masa lalunya? Apakah semua ini mem
Enam hari tepat di akhir pekan ini acara ospek yang dijalani Yuli akan berakhir. Banyak suka duka yang dia alami selama mengikuti acara ini. Kedekatannya dengan Deswita yang baru dikenalnya seminggu, malah sudah seperti sebuah perkawanan lama. Sifat dan prilaku Deswita yang supel dan mudah bergaul, membuat Yuli yang tadinya memiliki sifat agak sedikit introvert, mulai berani berbicara dengan kawan yang lain, bahkan lebih dulu memperkenalkan dirinya. Biasanya, Yuli sangatlah pasif, hanya menunggu tidak pernah berani memulai terlebih dahulu. Namun, pembawaan Deswita yang energik, ceria, dan terbuka, sedikit banyak mempengaruhi prilaku Yuli di dalam pergaulan.Malam terakhir ini di ruangan auditorium yang cukup luas, semua peserta ospek dari berbagai jurusan dikumpulkan menjadi satu di malam keakraban. Seluruh panitia yang terlibat dalam acara tersebut, diwakili oleh ketua panitia dan beberapa orang kating memikirkan permintaan maaf kepada semua peserta mahasiswa baru. Yuli benar-bena
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti