GN 302Semua perasaan rindu, rasa sayang, rasa sesal, segala rasa bercampur menjadi satu, Risma lampiaskan semuanya ke dalam pelukan Bik Junah. Sampai terisak-isak tangisannya. Perempuan tua itu adalah pengganti semua rasa kerinduan serta cintanya yang tidak pernah terlampiaskan. Tidak pernah tahu tentang siapa ibu kandungnya, karena semua yang tahu sengaja menyembunyikannya. Namun, setelah dia tahu hal yang sebenarnya, untuk sekedar ingin memeluk saja dia sudah tidak bisa. "Sudah, Non Risma, sudah ... Ikhlaskan, Non, ikhlaskan. Semuanya sudah garisan takdir. Jangan disesali, Non." Nasehat Bik Junah pelan, karena Risma masih saja memeluknya erat sambil menangis. Si bibik sangat bisa memahami apa yang sedang Risma rasakan saat ini. Risma mengendurkan pelukannya, wajahnya sudah basah dengan air mata. "Apakah almarhumah ibu akan memaafkan, Risma, Bik. Yang sudah membiarkan beliau terlalu lama menunggu," ucap Risma, punggung dan telapak tangannya sedang sibuk menghapus mata dan wajahnya
"Bismillah."Risma lantas membuka kotak kayu tersebut. Kotak kayu yang sederhana, tidak membutuhkan alat untuk membukanya. Layaknya seperti kotak sepatu saja, bisa tinggal langsung buka, dan tidak ada dikunci sama sekali. Sebenarnya, sama seperti penyimpanan kotak, hanya oleh almarhumah yang disembunyikan dan dirahasiakan. Hal pertama yang Risma lihat adalah beberapa lembar foto, yang ditaruh paling atas di atas tumpukan tersebut. Dia ambil beberapa lembar foto tersebut, dan langsung diam tertegun. Dalam diam, buka kembali matanya berkaca-kaca. Foto tua, gambarnya pun sudah ada sedikit bercak-bercak pertanda foto itu sudah lama dibuat. Tampak foto seorang gadis muda, bahkan bisa dibilang sangat muda, sedang menggendong bayi yang masih merah. Usia wanita muda di dalam foto tersebut, bahkan jika nilai Risma masih lebih muda dari putri keduanya, Neti, yang kini sudah 16 tahun. Dan itu foto almarhumah sang ibu sedang menggendong dirinya saat masih bayi. Tanpa terasa, air mata mulai men
Part 154Risma masih terus memperhatikan lembar demi lembar dari buku diary almarhumah ibunya. Dia merasa tidak perlu terburu-buru untuk mengecek satu per satu berkas yang masih berada di dalam box kayu. Dia lebih ingin mengenal tentang sosok pribadi sang ibu. Puluhan tahun, bahkan sampai setelah memiliki dua anak dari Riswan, dan setelah itu dia baru tahu jika Emak Sawiyah bukanlah ibu kandung dia yang sebenarnya, jelas sangat membuat dirinya terkejut, dan tidak semudah itu bisa menerima begitu saja. Risma waktu itu masih butuh waktu untuk menenangkan dan memahami tentang perasaannya, juga kesiapannya dalam menerima kenyataan, bahwa emak yang sudah mengurus juga merawatnya ternyata bukan orang yang melahirkannya. Walaupun pada akhirnya emak sendiri yang bercerita padanya tentang sebuah kebenaran, bahwa dirinya adalah anak dari madunya tidak langsung begitu saja dia bisa menerima kenyataannya. Makanya dia butuh waktu saat itu, tidak langsung cepat-cepat menemui ibu kandungnya. Pemi
GN 306Amplop itu terasa berat, sepertinya berisi benda-benda padat, dan bukan lagi lembaran kertas. Sudah terasa di telapak tangannya saat mengangkat dan memegang amplop tersebut. Pantas saja, jika kotak ini terlihat terisi penuh. Risma lantas membuka amplop ditumpukan paling atas. Dia tersenyum saat amplop itu dia buka, dan sudah terlihat olehnya, apa isi di dalam amplop tersebut, walaupun belum dia keluarkan benda di dalamnya. Terdapat empat emas seperti plat tipis, seukuran seperti kotak korek api dengan logo Antam pada tiap pembungkusnya. Masing-masing tertulis 25 gram. Almarhumah ibunya ternyata berinvestasi dengan membeli logam mulia. Risma tersenyum, karena sang ibu menanamkan duitnya dengan cara yang cerdas, bukan berinvestasi pada sesuatu yang tidak jelas yang hanya menawarkan keuntungan besar, namun ternyata hanya kedok untuk penipuan, investasi bodong. Amplop ke dua dan ke tiga pun semua berisi logam mulia, walaupun dalam bentuk perhiasan dua buah kalung, satu gelang, d
GN 307"Tetehhh ...?""Hai, Iyah, yuk, temenin Teteh makan?" ajak Risma kepada anak bungsu di keluarga mereka. Samsiah tidak menghiraukan ajakan Risma, dia langsung saja menghampiri tetehnya tersebut, mencium tangannya lalu memeluk. Dia sangat bahagia melihat kedatangan Risma. Setelah apa yang dia lakukan dulu terhadap saudara satu bapak beda ibu itu, Risma malah tulus menolongnya, tidak pernah sedikitpun menaruh dendam atas sikap jahatnya dulu, yang sering menghina dan merendahkan. "Teteh kok tidak ngabarin, Iyah, jika mau datang?" tanyanya, lalu duduk di samping Risma yang sedang menyendok nasi di piringnya. "Mendadak, Yah. Sudah, ambil piring dulu, temani Teteh makan?""Siap, Tetehku yang paling baik," jawab Samsiah, lalu segera ke tempat rak menyimpan piring dan gelas, kembali dan mulai menyendok nasi, sedangkan Risma sudah mulai makan. "Oh, iya, Deswita mana, Yah?" tanya Risma menanyakan keberadaan putri Samsiah dengan pernikahannya yang kedua setelah kematian suaminya yang
"Teteh harus periksa, Teh. Samsiah takut jika kankernya sudah semakin menyebar, sehingga sulit buat diobati." Maaf, Teh, bukan maksud Iyah untuk nakut-nakutin, tapi kanker itu penyakit yang paling berbahaya, Teh? Jangan dianggap enteng." Samsiah terus saja bicara, sepertinya dia sedang dalam keadaan panik. "Iya, yah, iya. Tapi kamu tenang dulu, jangan bikin teteh jadi lebih panik." Mereka masih saling berhadapan, kedua tangan Risma menempel di bahu Samsiah. "Maaf, Teh. Tapi Iyah takut Teteh kenapa-kenapa?""Bantu doa saja, Yah?" pinta Risma kepada adik bungsunya, Samsiah. Dia benar-benar tidak ingin merepotkan siapa pun. "Tapi untuk sekarang ini, doa saja tidak cukup, Teh. Pokoknya Teteh harus periksa. Samsiah siap nemenin. Kalau perlu kita ke Jakarta, ke rumah sakit yang khusus buat kanker itu." Samsiah tetap ngotot, memaksa Risma untuk memeriksa kesehatannya. Risma lantas membuka kotak peninggalan almarhumah ibunya, mengambil beberapa kertas yang dilihat paling terakhir, menyer
157Pagi-pagi sekali di hari senin awal bulan, setelah ibadah sholat subuh, Yuli terlihat sangat sibuk sekali mempersiapkan segala perlengkapan yang harus dia bawa pagi ini. Hari ini adalah hari pertamanya mengikuti masa pengenalan orientasi mahasiswa baru, atau ospek, yang akan dia ikuti sampai sepekan ke depan. Dahulu, banyak cerita seram yang menyertai setiap kegiatan ini dilaksanakan. Pembullyan, kekerasan secara fisik ataupun verbal, bahkan ada yang berujung penganiayaan. Namun di era sekarang, pihak kampus sudah memberlakukan hukum yang tegas. Akan memberikan hukuman dikeluarkan dari kampus, ataupun dibawa ke kantor polisi jika terindikasi ditemukan adanya kekerasan kepada para peserta ospek oleh panitia, yang kebanyakan adalah kakak kelas yang lebih senior. Sering disebut dengan Kating, singkatan dari Kakak Tingkat. Ospek ini semua dijadikan satu, tidak dipisahkan per fakultas, jadi, acara ospek pasti berlangsung meriah, karena hampir semua mahasiswa dan mahasiswi baru ikut s
"Seberapa yakin kamu bisa menaklukkannya?" Pemuda yang baru datang itu terus melihat ke arah barisan mahasiswa baru, fokus sekali tatapannya hanya ke satu orang target utamanya, Yuli putri dari Riswan Kusumateja. "Heii? Yakin nggak lu?" tanya orang yang meminta dia datang tadi. Pemuda itu kembali bertanya. "Elu yakin gadis itu putri dari konglomerat inceran kita?" tanyanya masih ragu-ragu. "Yakin lah, informasi dari "pusat" tidak pernah salah 'kan? Kenapa elu nanya begitu?" "Coba elu perhatiin deh, penampilan biasa saja, nggak ada yang istimewa. Outfit-nya coba lu lihat? Sepatunya aja yang banyak dijual di pasar?" tanyanya lagi, dia masih belum yakin benar. "Elu tahu kisah tentang bapaknya dulu nggak?" "Kisah apa? Trus dipersalahkan sama target kita apa? "Jelas ada hubungannya lah, terutama prilakunya. Tidak hedonis, tidak suka pamer kemewahan seperti anak Sultan yang lain." "Jujur, gue masih belum nyambung nih?" Pemuda yang berwajah tampan dan mempunyai bentuk tubuh yang p
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti