267Pak Kardi tidak langsung menjawab, mendengar keinginan Ustadz Arief yang ingin menemui Stela, untuk mengajaknya bicara. Ustadz kampung itu kembali melanjutkan bicara. "Saya hanya ingin mengajak Stela untuk berdiskusi, Pak. Ingin mengetahui mengapa Stela sampai sebegitu beraninya mengambil keputusan yang sangat di luar dugaan kita berdua." Pak Kardi masih terdiam. "Ijinkan saya berusaha untuk membantu, Pak. Anggap saja ini salah satu cara kita dalam beriktiar. Stela baru bicara dengan Bapak saja, 'kan?" Pak Kardi mengangguk, walaupun masih belum memberikan persetujuan. "Bagaimana, Pak, boleh tidak saya berbincang dengan Stela?" tanya Ustadz Arief lagi, karena melihat Pak Kardi masih saja terdiam."Boleh Ustadz, boleh," jawab Pak Kardi cepat, tidak ingin membuat Ustadz Arief tersinggung, dan mungkin saja jika si ustadz yang bicara, putrinya akan mau mendengarkan, mengingat tokoh agama ini memiliki banyak ilmu dan pengetahuan dalam banyak hal. "Ya, sudah, kita langsung ke rumah P
268"Bapak dari mana?"Langkah Pak Kardi terhenti, tetapi dia tetap pada posisinya semula, membelakangi putri bungsunya, Stela. Dia menjawab masih dalam posisi membelakangi. "Habis mengantarkan Teh Risma ke rumah bupati," jawab Pak Kardi, dia tahu putrinya jika memanggil Risma dengan panggilan teteh. "Ke rumah bupati, ada urusan apa, Pak?" tanya Stela lagi, mulai lebih mendekati sang bapak. "Kamu tidak perlu tahu, bukan urusan kamu juga," jawab Pak Kardi dengan nada ketus. "Bapak cape, mau istirahat," ucapnya lagi, mulai ingin melangkah menuju ke kamar pribadinya. "Sebentar, Pak, Stela mau bicara," ujar Stela lagi, mencoba menahan langkah sang bapak. Stela sangat memahami jika ayah kandungnya tersebut masih menyimpan amarah dan rasa jengkel kepadanya, bahkan menengok ke arahnya pun tidak mau. "Lain kali saja, bapak cape." Masih dengan nada ketus Pak Kardi menjawab pertanyaan putri bungsunya tersebut. "Sebentar saja, Pak. Stela hanya ingin minta ijin," ucapnya pelan. Pak Kardi mas
268"Bapak dari mana?"Langkah Pak Kardi terhenti, tetapi dia tetap pada posisinya semula, membelakangi putri bungsunya, Stela. Dia menjawab masih dalam posisi membelakangi. "Habis mengantarkan Teh Risma ke rumah bupati," jawab Pak Kardi, dia tahu putrinya jika memanggil Risma dengan panggilan teteh. "Ke rumah bupati, ada urusan apa, Pak?" tanya Stela lagi, mulai lebih mendekati sang bapak. "Kamu tidak perlu tahu, bukan urusan kamu juga," jawab Pak Kardi dengan nada ketus. "Bapak cape, mau istirahat," ucapnya lagi, mulai ingin melangkah menuju ke kamar pribadinya. "Sebentar, Pak, Stela mau bicara," ujar Stela lagi, mencoba menahan langkah sang bapak. Stela sangat memahami jika ayah kandungnya tersebut masih menyimpan amarah dan rasa jengkel kepadanya, bahkan menengok ke arahnya pun tidak mau. "Lain kali saja, bapak cape." Masih dengan nada ketus Pak Kardi menjawab pertanyaan putri bungsunya tersebut. "Sebentar saja, Pak. Stela hanya ingin minta ijin," ucapnya pelan. Pak Kardi mas
269[ Halo Stela? Stela? Kamu dengar saya 'kan? ] Johanes masih terus saja memanggil-manggil. Stela menurunkan handphone dari telinganya, hati dan pikirannya sedang berkecamuk. Perang antara harus menerima panggilan Johanes, atau tetap pada keputusannya untuk melupakan dan meninggalkan pria itu selamanya. Johanes masih terhubung, sayup-sayup suaranya masih terdengar. Stela langsung memutuskan hubungan percakapan, mencari nomor yang baru menghubunginya dan langsung memblokirnya. Dia sudah berketetapan untuk melupakan Johanes selamanya, janjinya kepada sang bapak. Stela langsung ke kamar tidurnya, membuka laci kotak lemari hias dan mengambil kardus hape miliknya, tempat dia menyimpan jarum tusukan untuk mengeluarkan kartu SIM Card miliknya. Hanya ada satu kartu dalam handphonenya, langsung dia keluarkan dan dia masukan ke dalam kotak hape. Dia kembali mengambil keputusan untuk mengganti kartu SIM nya dengan yang baru.Stela ingin mengubur dan melupakan masa lalunya bersama Johanes, se
270Baru berjalan beberapa langkah, Risma kembali menengok ke belakang, ke arah kedua security tersebut yang masih berdiri memperhatikannya. "Tolong jangan ada yang memberitahukan kedatangan saya dengan orang-orang yang ada di gedung sana ya, Pak?""Iya, Bu," jawab keduanya, hampir berbarengan sembari mengangguk. Risma kembali melanjutkan langkahnya. Yang terlihat hanya tembok berwarna hijau, sepertinya gedung itu menghadap ke arah membelakangi pos security. Semakin dekat, semakin jelas terlihat jika tempat pertemuan itu satu ruangan besar memanjang dengan kantin perusahaan. Tempat makan di saat memasuki jam istirahat. Risma sengaja tidak langsung masuk ke ruangan tersebut, karena melihat ada beberapa karyawan berpakaian rapih sedang berkumpul di samping tempat pertemuan. Dari pakaian yang mereka kenakan, sepertinya orang-orang yang memiliki jabatan lumayan di pabrik ini. Ada sekitar tujuh orang yang kesemuanya pria, mereka tidak menyadari kehadiran Risma. Mereka sedang asyik berbin
271"Ya memang seharusnya Akang sih yang pantas menggantikan posisi Pak Julius, Akang kan kerja sudah lama di sini, dari pertama pabrik ini didirikan?""Benar tuh, Kang. Pantas saja Akang tidak mau diatur sama Pak Toni, apalagi mengakui kepemimpinannya." Orang yang dipanggil akang itu terdengar menjawab. "Ya memang harusnya saya yang jadi kepala pabrik di sini. Saya ikut membangun pabrik ini menjadi besar seperti sekarang," ucapnya, terdengar jumawa. "Tetapi Akang 'kan dapat lebih banyak dari kami, coba seandainya dari dulu kami ikut Akang, mungkin hidup kami sudah sejahtera seperti Akang?" Mereka masih saling bersahut-sahutan. "Memangnya Pak Julius dulu tidak tahu jika Akang "main" barang-barang di gudang?""Dia tahu, tetapi dia tidak berani melarang, karena kartunya sudah saya pegang.""Dipegang bagaimana maksudnya, Kang?""Jadi gini, semisal saya pesan barang sama suplier, kan disetorkan ke Julius dulu. Nah, sama dia nilai barangnya di mark-up?""Mark- up itu apa, Kang?""Mark-u
272Risma mulai melangkah mendekati mereka, tetapi tidak menghampiri, dia melanjutkan langkah menuju kantin. Dia hanya ingin melihat wajah-wajah orang itu satu per satu, ingin lebih memastikan seperti apa sosok orang yang dipanggil akang. Masker yang menutupi wajahnya sangat membantu buat Risma untuk menutupi identitas dirinya yang sebenarnya. Enam orang yang sedang berbincang itu melihat dan memperhatikan dirinya, dan itu membuat Risma lebih mudah untuk mengenali mereka satu per satu. Seorang penjaga kantin terlihat sedang merapihkan barang dagangannya. Dari cerita Toni, Risma baru tahu jika kantin di pabrik ini di isi oleh orang luar pabrik. Ada beberapa kantin yang menjual makanan yang berbeda-beda. Para karyawan hanya mendapatkan kupon untuk makan siang, yang bisa ditukar dengan makanan di kantin ini, dan pihak kantin nanti yang menukar kupon tersebut dengan uang kepada pabrik. Pembelian secara cash pun diperbolehkan di kantin ini, semisal dengan kupon dia masih merasakan kurang
273Kembali melewati sekumpulan pekerjaan pembangkang tersebut, Risma sudah mengetahui nama-nama mereka satu persatu, masih asyik berbincang, dengan sesekali diiringi oleh gelak tawa. Membuka pintu ruangan rapat, langsung terlihat meja penerima tamu, dan terlihat ada satu orang di situ, petugas security wanita dan Risma langsung menghampiri. Petugas keamanan perempuan itu langsung berdiri, meja penerima tamu menutupi hampir separuh tubuhnya. "Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?""Pagi, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Pak Toni?" ucap Risma, menjelaskan maksud tujuannya. "Pak Toni sedang rapat, Bu? Ibu sudah ada janji sebelumnya?" tanya security perempuan tersebut, masih dengan nada yang sopan. "Sudah Mbak, saya sudah buat janji sebelumnya." Risma pun tetap bersikap mengikuti aturan, walaupun sebenarnya dia bisa saja langsung mengakui jika pabrik ini adalah milik suaminya. "Oh, baik Bu. Boleh saya tahu nama Ibu, biar saya catat dahulu nama Ibu?" tanyanya lagi, tangannya sud
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti