Mereka masih bercakap sesekali berhenti berjalan ke arah mobil, terlihat jika Amran sudah mulai masuk kendaraan, sementara Toni berdiri di sisi mobil memandangi Risma dan Pak Kardi."Kata-kata yang di film viral itu benar, Pak, jika kita berbuat baik, insya Allah kebaikan pun akan datang pada kita, walaupun mungkin bukan kita sendiri yang merasakan.""Maksudnya apa, Neng Risma?""Maksudnya begini, Pak. Terkadang, perbuatan baik itu dilakukan oleh orang tua kita semisal menolong orang yang sedang kesusahan, tetapi dibalas oleh Allah, kebaikan itu bisa datang kepada anak cucunya. Emak pun suka bilang begitu jika menolong orang, semoga Tuhan juga akan memberikan pertolongan kepada anak cucunya nanti.""Jika itu, bapak pun berpendapat sama, Neng. Tidak pernah meminta Allah membalas amal kebaikan kita, tetapi berharap agar anak cucu bapak diberikan kemudahan di mana pun berada.""Doa yang sama yang sering diucapkan suami saya, Bang Riswan," ucap Risma, kembali melangkah menuju mobil."Tet
260"Alasan Riswan apa sih, Neng? Karena seperti tidak masuk di akal bapak, kok ada yang seperti suami Eneng?"Risma menoleh ke belakang, ke tempat Pak Kardi yang duduk bersama Amran dan Toni, tersenyum tipis saja. "Saya harus menanyakan dahulu nanti dengan Bang Riswan, Pak. Boleh tidak bercerita tentang alasannya mengapa dahulu harus berpura-pura miskin," jawab Risma, lalu tertawa kecil. "Tetapi yang jelas, dahulu ada sedikit masalah di dalam masa lalunya, sehingga Bang Riswan memutuskan untuk mencoba kehidupan yang baru," jelas Risma lagi, dan Pak Kardi mengangguk-angguk tanda memahami, tidak terus-terusan mencecar Risma dengan banyak pertanyaan. "Mungkin memang itu cara Allah, agar dapat menemui takdir hidupnya." Pak Kardi berucap pelan, tetapi semua yang di dalam mobil pastinya bisa mendengar. "Maksud dari menemui takdir hidupnya itu apa, Pak?" tanya Risma, kembali menoleh ke kursi belakang. "Maksudnya, Neng Risma. Jika Riswan dahulu tidak ada masalah dengan lingkungannya yang
"Putri bapak, Stela, meminta ijin untuk mengikuti keyakinan calon suaminya.""Astagfirullah!" Tanpa sadar langsung terucap dari mulut Risma dan Amran, begitupun Toni. Dan air mata Pak Kardi pun akhirnya luruh. Wajahnya terlihat lelah, masalah putrinya begitu mengganggu pikirannya. Amran mencoba menguatkan dengan mengusap-usap punggung Pak Kardi, sementara Toni terdiam, mengalihkan tatapannya ke luar kendaraan. Keadaan hening sesaat, mereka bingung harus berkata apa. Risma tidak menyangka jika masalah yang dihadapi kadesnya itu begitu pelik. Dia tahu sekali jika Pak Kardi taat dalam beribadah, permintaan putrinya itu pasti sangat mengagetkannya. "Bapak bilang apa saja dengan, Stela?" Risma kembali mulai bertanya, menoleh ke arah Pak Kardi. Pak Kardi mengusap air mata dengan ujung telunjuknya, mencoba untuk tersenyum. "Bapak jelas sangat marah besar, kecewa, sakit rasanya. Sedari kecil diajarkan soal agama, tau-tau meminta ijin untuk berpindah agama." Pak Kardi terdiam, memegangi dad
262.Lima menit mereka menunggu konfirmasi dari orang dalam rumah, sebuah pihak pengaman yang sama yang menahan mereka untuk mempersilahkan kendaraan untuk masuk, sepertinya tim keamanan tersebut ingin benar-benar memastikan apakah Risma benar-benar sudah membuat janji dengan wakil gubernur. Mobil yang dikendarai Risma memasuki halaman rumah pribadi pejabat tersebut. Seorang petugas mengamankan mengarahkan kendaraan agar diparkir di samping rumah. Risma dan yang lainnya langsung di persilahkan menuju ke sebuah pendopo kecil tidak jauh dari tempat mereka memarkir mobil, pendopo itu terletak tepat di samping rumah. Pendopo yang terbuat dari kayu, dan berdinding bambu yang dipelitur terlihat begitu serasi dengan tumbuhan tanaman di sekelilingnya. Mereka semua lantas dipersilahkan untuk duduk dan menunggu di pendopo tersebut.Mereka duduk bersila di lantai pendopo yang dilapisi tikar pandan, benar-benar Sunda sekali. Sambil menunggu, Risma bertanya dengan pelan kepada Pak Kardi. "Maaf,
262Risma cukup cerdas untuk bisa memahami perubahan wajah orang yang ada di depannya tersebut. Dia memilih untuk diam, menunggu apa yang akan diucapkan oleh Pak Munandar. Pak Kardi terus memperhatikan dengan perasaan tegang, menunggu apa yang akan dilakukan oleh sahabat masa kecilnya tersebut. "Astaghfirullah ...," ucap Munandar pelan, mengusap wajahnya dengan telapak tangan, lantas tersenyum tipis lalu mulai bertanya kepada Risma. "Boleh saya tahu tujuan adik-adik ini datang untuk menemui saya?" Risma menoleh kepada Amran, dan kakaknya tersebut memberikan kode mempersilahkan adiknya tersebut yang bicara. Kembali Risma menghadap ke arah Pak Munandar. "Kedatangan kami kemari untuk meminta maaf atas perlakuan dan sikap almarhum bapak kami terhadap Pak Bupati di masa lalu," jawab Risma pelan. "Bapak kalian sudah meninggal?" tanya Munandar, sikapnya sudah terlihat tenang. "Sudah Pak, beberapa bulan yang lalu," jawab Risma kembali menunduk. Dia sudah siap jika seandainya Pak Munandar
264"Dek Risma kenal dengan Riswan Kusumateja yang sekarang ditahan oleh KPK?" Pertanyaan mendadak dari Pak Munandar cukup mengagetkan Risma, dia tidak menjelaskan dari awal kepada kepala daerah itu bukan karena ingin menutupi, tetapi karena berbeda urusan permasalahan. "Chairiswan Kusumateja nama lengkapnya, beliau benar suami saya, Pak?" jawab Risma, Munandar mengangguk-angguk. Risma melanjutkan bicara. "Mohon maaf, Pak, jika dianggap suami saya ikut terlibat dalam kasus gratifikasi tersebut. Tetapi saya percaya, suami saya tidak terlibat apapun juga tidak tahu menahu tentang hal itu, walaupun salah satu tersangka penyuap nya adalah anak buah dari suami saya." Risma berusaha untuk menjelaskan menurut dari sudut pandangnya. "Beritanya sudah ramai dan viral beberapa hari kemarin, tentang rekayasa kasus yang membuat suami dek Risma dianggap terlibat. Subroto, saya kenal orang itu, seorang bos media yang sering menggunakan berbagai macam cara agar tujuannya bisa tercapai.""Bapak Mun
265Pak Kardi, kades Desa Cibungah menghentikan langkahnya tepat di depan pintu pagar tembok rumahnya. Keberadaan sang putri bungsunya di rumah kediaman miliknya membuat dia ragu-ragu untuk melanjutkan langkah masuk ke dalam pekarangan rumah.Dari tempat dia berdiri terlihat lampu teras rumah menyala terang, begitupun lampu ruangan dalam. Pintu rumah terlihat terbuka separuh, biasanya karena dia tinggal dan hidup sendiri Pak Kardi selalu menutup pintu terlebih dahulu setiap kali ingin pergi. Dan putrinya itu sudah mengetahui kebiasaannya yang selalu menyimpan kunci rumah di bawah pot bunga jika rumah dalam keadaan kosong. Pak Kardi menyembunyikan tubuhnya di balik tembok pagar rumah. Entah, kali ini dia merasa malas untuk menemui putri bungsunya tersebut, biasanya dia selalu menyambut kedatangan Stela dengan riang gembira layaknya seorang bapak terhadap putrinya. Tetapi tidak untuk kali ini. Hatinya masih merasakan sakit mendengar keinginan putrinya waktu itu. Dia tidak ingin lagi ma
266Ustadz Arief pun mulai ingin berdiri dari hadapan Pak Kardi. Dia tidak ingin memaksa, jika memang kades desanya itu tidak ingin bercerita tentang masalah yang dihadapinya. Pak Kardi menahan paha Ustadz Arief dengan telapak tangannya, tanda untuk menahan agar sang ustadz untuk tidak pergi. "Maaf Ustadz, bukannya saya tidak ingin bercerita ataupun tidak percaya dengan Ustadz, tetapi saya malu.""Malu? Malu kenapa, Pak?" tanya Ustadz Arief dengan nada sedikit heran. "Saya dan Stela ada satu permasalahan, Ustadz. Saya benar-benar tidak ingin lagi bertemu dengannya," jawab Pak Sukardi dengan nada sedih, wajahnya memang terlihat murung. "Kok bisa begitu, Pak? Bukannya Stela putri kesayangan Bapak?" Pak Kardi kembali berkaca-kaca, wajahnya lalu menunduk sembari mengusap kedua mata dengan jemarinya. Dan itu semakin membuat membuat Ustadz Arief semakin heran sekaligus penasaran. "Begitu berat kah masalahnya, hingga Bapak tidak ingin menemui Stela?" Pak Kardi hanya mengangguk, masih mal
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti