"Iya, Bang. Eneng juga percaya jika ujian dari Allah pasti sesuai dengan kemampuan hambanya.""Oh iya, Neng. Emak mana?""Emak sedang tidak enak badan, Bang. Sekarang lagi istirahat di kamar.""Bawa berobat atuh, Neng?""Emak bilang nggak usah, Bang. Cuma masuk angin biasa.""Oh iya, Neng, itu progres pembangunan masjid dan pesantren sudah sejauh mana?""Masjid alhamdulillah sudah selesai, Bang. Sudah digunakan warga untuk sholat. Kang Amran yang jadi marbotnya. Untuk pesantren sudah hampir 90% menurut ustaz Arief. Insya Allah semua bisa diresmikan berbarengan setelah abang bebas dari pengadilan."Sesaat pembicaraan mereka lewat video call terjeda sebentar, terlihat Riswan sedang berbicara dengan si pemilik handphone. Salah seorang penjaga yang bersedia meminjamkan. Lalu Riswan kembali bicara. "Neng?""Iya, Bang.""Jika seandainya abang di-vonis bersalah dan harus melewati masa tahanan di penjara bagaimana, Sayang?""Kok Abang bicara seperti itu? Kan Abang nggak salah? Abang hanya ko
254 "Tamu siapa, Ris?" tanya Emak Sawiyah, sembari merapihkan piring bekas makannya, lantas dihampiri oleh pelayan yang tadi berbicara dengan Risma, mengambil alih. "Saya saja, Nek, yang mengerjakan." Satu pelayan yang lain ikut menghampiri, membantu membereskan. Kehidupan Risma dan Emak memang sudah layaknya seperti ratu. Semua pekerjaan sudah ada yang mengerjakan, Riswan sudah mempersiapkan semuanya dari semenjak mereka mulai tinggal di rumah ini. Bude Ajeng sendiri, sebagai kepala pelayan di rumah ini sedang meminta ijin cuti beberapa hari untuk menemui keluarganya, dan Risma langsung memperbolehkan. Semua pekerja di rumah ini merasa kerasan, karena perlakuan si pemilik rumah yang baik, tidak membedakan antara majikan dan pembantu, semua diperlakukan layaknya keluarga, seperti saudara sendiri. "Risma belum tahu, Mak. Ya sudah, Risma mau menemui tamunya dahulu," ucap Risma sembari berdiri dari tempat duduknya, dan emak hanya mengangguk. Risma lantas menuju ke ruang tamu. Sembari
"Ada lagi yang ingin didiskusikan, Mas?""Oh, ini, Bu. Saya ingin melaporkan keuntungan perusahaan per tiga bulan kemarin." Toni menyerahkan peta berwarna biru yang terletak di atas meja kepada Risma, dan Risma pun segera mengambilnya, membaca dan melihat tabel pemasukan, pengeluaran, dan keuntungan bersih perusahaan. Risma memang hanya lulusan SMP, dia memiliki otak yang cerdas dan cepat untuk memahami juga mempelajari sesuatu yang baru. Dan dalam hal urusan keuangan perusahaan dan cara menjalankan bisnis, Tante Sartika adalah gurunya. Tante Sartika mendidik Risma secara detail tentang mengelola perusahaan, Riswan dan Maharani pun sama, hanya Tante Sartika lebih intens mengajarinya, apa lagi saat sang tante tinggal di rumahnya waktu itu karena kecewa dengan perilaku suami dan anak lelakinya. Alhamdulillah, Bu, keuntungan perusahaan naik sekitar 10% dari laporan keuangan triwulanan kemarin. Kerja sama sebelumnya dengan pabrik minuman yang meminta kita sebagai pemasok tehnya sebagai
256"Fasilitas apa yang sudah Mas Toni dapat selama beberapa bulan ini memimpin di sana? Mas Toni dapat gaji berapa?"Sesaat Toni terdiam, tidak menyangka jika Risma akan bertanya seperti itu, entah istri dari bosnya ini benar-benar tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu. Dan jika Toni menilainya dari selama dia mengenal, Risma bukanlah tipe orang yang berpura-pura. "Tidak apa-apa jika saya bicara apa adanya, Bu?" tanya Toni hati-hati, walau bagaimana pun perempuan desa yang ada di depannya ini adalah bosnya juga sekarang. "Bicara saja, Mas, saya pun benar-benar ingin tahu. Karena jujur saja, saya dulu yang meminta Mas Toni untuk memegang pabrik teh ini tetapi selanjutnya saya lepas begitu saja."Toni masih terlihat serba salah, dia terlihat seperti tidak nyaman jika harus mengatakan besaran gaji yang dia Terima, karena sebagai istri bos dengan mudahnya Risma bisa melihat berapa besar pendapatnya di Niskala. "Kenapa Mas Toni? Bicara saja. Saya benar-benar tidak tahu dan ingin tahu
257"Loh tadi kata Amran, Neng Risma bilangnya habis Ashar baru kita ke rumah Pak Munandar?" tanya Pak Kardi setelah mereka sudah saling berdiri berhadapan. Risma tersenyum, setelah mensidakepkan kedua tangannya kepada Pak Kardi dan Toni, lantas mencium tangan kakaknya Amran. Sebagai tanda penghormatan sebagai saudara yang lebih muda. Walaupun usia mereka berdua hanya berbeda satu tahun. Ada rasa keharuan dalam diri Amran, Risma masih memperlakukannya dengan sangat baik. Dia sangat menyadari, renggang dan jauhnya hubungan mereka dahulu semua karena sikap dan perlakuannya sendiri kepada adik beda ibu tersebut. Dia yang jahat, dia yang selalu menghina, meremehkan, dan memanfaatkan kemiskinan Risma dan Riswan. Dan Justru Risma dan Riswan membalas kejahatan mereka dengan kebaikan. Seperti juga terhadap Ela dan Samsiah. Risma malah merangkul dan menolong mereka keluar dari kesulitan dan permasalahan hidup. Jika mengingat semua itu, Amran jadi merasa malu sendiri."Tadinya ingin seperti it
"Saudara itu harus saling membantu, Ceu. Tidak ada balas budi di sini, semua sudah menjadi kewajiban. Jika bukan saudara terdekat yang membantu siapa, lagi? mengetahui darah lebih kental daripada air?" Nengsih menatap Risma dalam, ada terbersit kekaguman di dirinya terhadap adik iparnya tersebut. Teringat juga dulu, jika dia juga ikut meremehkan dan memandang rendah Risma dan Riswan, hanya karena merasa taraf hidupnya lebih baik dari keduanya "Hatimu bagai malaikat, Ris. Sedikit pun tidak ada menyimpan rasa dendam terhadap kami semua. Padahal eceu tahu sendiri, bagaimana sikap dan perlakuan kami semua terhadapmu. Sekali lagi eceu minta maaf ya, Ris," ucap Nengsih lagi, mengakui semua kesalahannya di masa lalu. Risma kembali tersenyum, mengusap-usap bahu kakak iparnya tersebut. "Rasa dendam tidak membuat hidup kita menjadi lebih baik, Ceu. Membalas kejahatan tidak membuat kita menjadi lebih tinggi. Saling memaafkan dan melupakan kejadian yang tidak mengenakkan di masa lalu justru mem
Mereka masih bercakap sesekali berhenti berjalan ke arah mobil, terlihat jika Amran sudah mulai masuk kendaraan, sementara Toni berdiri di sisi mobil memandangi Risma dan Pak Kardi."Kata-kata yang di film viral itu benar, Pak, jika kita berbuat baik, insya Allah kebaikan pun akan datang pada kita, walaupun mungkin bukan kita sendiri yang merasakan.""Maksudnya apa, Neng Risma?""Maksudnya begini, Pak. Terkadang, perbuatan baik itu dilakukan oleh orang tua kita semisal menolong orang yang sedang kesusahan, tetapi dibalas oleh Allah, kebaikan itu bisa datang kepada anak cucunya. Emak pun suka bilang begitu jika menolong orang, semoga Tuhan juga akan memberikan pertolongan kepada anak cucunya nanti.""Jika itu, bapak pun berpendapat sama, Neng. Tidak pernah meminta Allah membalas amal kebaikan kita, tetapi berharap agar anak cucu bapak diberikan kemudahan di mana pun berada.""Doa yang sama yang sering diucapkan suami saya, Bang Riswan," ucap Risma, kembali melangkah menuju mobil."Tet
260"Alasan Riswan apa sih, Neng? Karena seperti tidak masuk di akal bapak, kok ada yang seperti suami Eneng?"Risma menoleh ke belakang, ke tempat Pak Kardi yang duduk bersama Amran dan Toni, tersenyum tipis saja. "Saya harus menanyakan dahulu nanti dengan Bang Riswan, Pak. Boleh tidak bercerita tentang alasannya mengapa dahulu harus berpura-pura miskin," jawab Risma, lalu tertawa kecil. "Tetapi yang jelas, dahulu ada sedikit masalah di dalam masa lalunya, sehingga Bang Riswan memutuskan untuk mencoba kehidupan yang baru," jelas Risma lagi, dan Pak Kardi mengangguk-angguk tanda memahami, tidak terus-terusan mencecar Risma dengan banyak pertanyaan. "Mungkin memang itu cara Allah, agar dapat menemui takdir hidupnya." Pak Kardi berucap pelan, tetapi semua yang di dalam mobil pastinya bisa mendengar. "Maksud dari menemui takdir hidupnya itu apa, Pak?" tanya Risma, kembali menoleh ke kursi belakang. "Maksudnya, Neng Risma. Jika Riswan dahulu tidak ada masalah dengan lingkungannya yang
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti