238Kedua ibu dan anak tersebut masih berpelukan dalam keharuan. Mendapatkan kabar gembira yang tidak disangka-sangka, yang berhubungan dengan kelanjutan pendidikan Fitri. "Fitri rencananya mau kuliah di mana?" Maharani kali ini yang bertanya. "Fitri rencananya mau ikut test masuk Perguruan tinggi negeri dulu, Ka.""Di Universitas mana?""Kepinginnya yang tidak terlalu jauh, semacam di UI dahulu, agar tidak usah ngekost. Tetapi jika tidak pengen juga di UGM atau di Undip Semarang, Ka.""Aamiin, semoga diterima." Doa harap dari Maharani, dan di aamiinkan oleh semua. "Terserah Fitri mau kuliah di mana saja. Uda Bayu siap saja. Tetapi Uda hanya minta, kamu fokus dan harus konsentrasi untuk menyelesaikan pendidikan, siapa tahu nanti bisa membantu perekonomian ibumu." Bayu kali ini yang mengingatkan. "Iya, Uda. Fitri janji akan fokus belajar. Karena memang harapan ibu hanya pada Fitri."Halimah terlihat menghapus limpahan air matanya dengan ujung jilbabnya. Berucap pelan kepada keluarg
239Maharani menatap Syarmila dengan sedikit menunduk, mendapatkan pertanyaan dari ibu dari seorang pria yang ingin mengkhitbah-nya jelas membuatnya terkejut karena tidak menyangka. "Maaf Mih, untuk saat ini saya tidak punya hak untuk mengungkapkan pendapat saya antara memilih setuju atau tidak. Karena walau bagaimanapun saya masih terhitung orang di luar dari lingkaran keluarga. Tetapi, jika ditanyakan bagaimana pendapat saya dengan yang ingin Mas Bayu perbuat untuk membantu keluarga, maka saya bilang itu sudah sebuah tindakan yang tepat. Karena, sebelum kita membantu orang lain, utamakan kita membantu keluarga atau kerabat dahulu yang terdekat yang memang sedang membutuhkan bantuan. Dan agama kita pun menganjurkan seperti itu. "Mohon maaf, Mih, jika ucapan saya dianggap salah atau pun tidak tepat." Maharani menutup perkataannya dengan permintaan maaf. Semua yang mendengar tersenyum, termasuk juga Syarmila. Yang langsung berucap. "Secepatnya kamu lamar gadis baik ini, Mas. Mamih i
Syarmila terus mencecar Halimah, dia sangat penasaran ingin mengetahui permasalahan yang sedang terjadi di keluarganya. Sehingga untuk melihat keadaan kedua orang tuanya pun Halimah tidak bisa. "Ibu tidak punya salah apa-apa dengan Uwa Farida, Mak Tuo," jawab Fitri mewakili ibunya. "Jika tidak punya salah kok kalian bisa bermusuhan seperti itu. Bahkan, Wahyu pun ikut-ikutan memusuhi kalian berdua?""Uwa Wahyu sepertinya hanya kena hasut Uwa Farida, Mak Tuo. Seolah-olah kesannya, ibu yang salah." Fitri terus berusaha menjelaskan. Syarmila kembali menatap dalam Halimah. "Cerita Halimah, ada apa sebenarnya?" Syarmila kembali bertanya kepada adiknya tersebut yang sedari tadi hanya terdiam saja. Halimah tersenyum tipis, terlihat menghela napas, ingin mengurangi rasa sesak di dalam hatinya. "Sebenarnya, suaminya Imah--bapaknya Fitri itu adik kandungnya Uni Farida, Un." Syarmila terkejut juga mendengarkan penjelasan Halimah. "Jadi, mantan suamimu dan Farida itu kakak beradik? Siapa nama
"Tidak jauh 'kan rumah Wahyu dari sini?" tanya Syarmila lagi. "Tidak jauh kok, Un. Sekitar 15 menit dari sini.""Ya sudah kita langsung ke sana saja. Semoga ayah bundo sudah tidak marah lagi sama uni," ucap harap Syarmila. "Semoga tidak, Un. Justru sekarang mereka sering menanyakan, kapan Uni akan menemui mereka. Sebegitu marah dan benci kah Syarmila sama kami? Tidak rindu kah dia dengan orang tuanya. Bundo sering bilang begitu Un dulu saat masih tinggal di sini.""Maafkan Uni yang keras hati. Uni memang anak durhaka," ujar Syarmila ke dirinya sendiri. Mulai menyesali sikapnya yang sedikit pedendam, dan menyembunyikan jati diri keluarganya bahkan terhadap putranya sendiri. "Uni nggak boleh bicara seperti itu. Imah yakin, walaupun Uni tidak bertemu secara langsung, tetapi Uni pasti mendoakan ayah dan bundo." Syarmila hanya tersenyum, matanya sudah kembali berkaca-kaca. "Yuk, kita ke sana secepatnya. Bayu pun sudah kepingin bertemu beliau berdua," ucap Bayu sembari berdiri dari temp
Syarmila langsung bergegas ingin masuk, tetapi putranya Bayu memberikan isyarat untuk menunggu dan bersabar dahulu. Suara makian Farida kembali terdengar. "Bersihin itu sampai hilang bau pesingnya! Rumah gue malah jadi tempat panti jompo! Orang tua gue aja ogah gue rawat, lah ini orang lain malah nyusahin." Masih tidak ada jawaban, hanya suara tangis wanita tua saja yang terdengar. "Sudah diem! Jangan mewek terus. Bersihin nggak sekarang!" bentak Farida lagi, dan Bayu melihat jika sang mamih mengalir air matanya dalam diam sembari memegangi dadanya yang terasa sesak. "Awas lu ye, jika sampai ngadu sama anak lo. Gue racunin lo berdua. Masih dendam gue sama lo berdua tua bangka."Bayu yang tadinya ingin masuk, kembali menahan diri. Farida menyebutkan kata, dendam. Bayu penasaran, tentang alasan yang membuat istri dari pamannya tersebut dendam kepada kakek dan neneknya. Farida kembali terdengar mengoceh. "Untung saja Pak tua ini stroke, tidak bisa bicara. Kalo bisa mungkin sudah ngom
Hartini, nama si perempuan tua itu, ibu dari Syarmila, yang di masa tuanya harus mendapatkan perlakuan yang kasar dan tidak menyenangkan dari menantunya menoleh ke belakang. Wajah tuanya yang sudah dipenuhi keriput sudah basah dengan limpahan air mata. Keterkejutan terlihat jelas di dalam raut wajah dan tatapannya."Sya-rmila?" tanyanya gagap, tidak menyangka. Setelah hampir 30 tahun terpisah karena kesalahan sang anak di masa lalu. "Bun ..." Syarmila langsung memeluk erat, menangis terisak-isak. Begitupun dengan Hartini, tubuhnya terasa lemas lalu jatuh lunglai di dalam pelukan Syarmila. Tidak sanggup dia mengangkat tangannya untuk membalas memeluk putrinya tersebut. "Maafkan, Mila, Bun. Maafkan, Mila," ucap Syarmila di antara sedu sedan tangisannya. Halimah, si bungsu di antara keluarga Syarmila, sembari menangis dia mengganti sarung yang dikenakan sang ayah karena basah oleh air seninya. Mengelapnya dengan lembut sebagai wujud bakti seorang anak. Sementara Sanusi sang ayah hanya
Sembari terisak, dengan menggunakan tissue Syarmila menghapus air mata yang mengalir di pipi sang ayah. Mulut Sanusi bergetar seperti ingin bersuara, tetapi tidak terdengar jelas apa yang sebenarnya ingin dia ucapkan. Hanya suara seperti orang yang menggerang, hingga urat lehernya terlihat menegang. Semakin tidak tega Syarmila melihatnya. "Mila yang salah, Yah. Semua salah, Milah. Ayah tidak salah apa-apa," ucap Syarmila pelan dekat telinga Sanusi. Tangannya menggenggam erat tangan tua yang hanya tinggal tulang berbalut kulit. Bayu Sagara ikut duduk di samping Syarmila, sementara Halimah dan Hartini berdiri di belakang mereka. Halimah pun masih terlihat menangis. Kedua orang tua yang dahulu dirawatnya, karena sebuah persoalan diambil alih oleh keluarga sang abang, yang justru malah disia-siakan selama si abang tidak berada di rumah disertai ancaman untuk tidak memberitahu perbuatan dan perkataan kasar yang dilakukan oleh sang menantu. "Ini Bayu cucu Ayah. Maafkan kami yang baru dat
Walaupun belum pernah melihat secara langsung keduanya, Bayu sudah bisa memastikan jika tamu yang baru datang itu adalah Wahyu sang paman dan istrinya Farida. Dengan Farida, Bayu hanya baru mendengar dari suaranya saja beberapa jam yang lalu. Bayu berdiri dari tempat duduknya, diikuti oleh Maharani, untuk menghormati kedatangan Wahyu, tetapi diabaikan. Wahyu belum mengetahui siapa dia yang sebenarnya. Mereka berdua melewati Wahyu dan Maharani begitu saja, bahkan tersenyum pun tidak. Langsung saja masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Bayu tersenyum saja, begitupun dengan Maharani. Kembali duduk di tempat semula, memberitahu Maharani tentang siapa tamu yang baru tiba barusan, dan secara pelan menceritakan tentang kejadian di rumah Farida, saat ingin menemui kakek dan neneknya. Wahyu hanya melihat Halimah dan putrinya di ruang tamu, sementara Syarmila sepertinya sedang berada di kamar mandi. Kakek Sanusi dan istrinya Hartini sepertinya sedang beristirahat di k
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti