Selepas jam istirahat makan siang, Riswan dengan ditemani dua orang pengawalnya menuju ke rumah Toni, berniat ingin melihat keadaan orang kepercayaannya itu selepas keluar dari rumah sakit karena terkena bacokan saat mencoba melindungi Riswan dan keluarganya.
Ke daerah perbatasan kota tempat Toni tinggal. Sebuah perkampungan tepat sisi jalan, jadi kendaraan yang membawa Riswan bisa tepat berhenti di depan rumah Toni. Lebih tepatnya rumah mertua Toni, karena orang kepercayaan Riswan itu sendiri berasal dari luar pulau.
Di ruang tamu keluarga Riswan diterima dengan sangat baik dan terbuka. Rumah yang ditempati Toni sekarang ini pun direnovasi menjadi lebih bagus atas bantuan Riswan. Makanya, keluarga dari istrinya Toni itu sangat menghormati keberadaan dari Riswan.
"Bagaimana keadaanmu Ton, sudah lebih baik, kan?"
"Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik, Pak, secepatnya saya akan segera kembali bekerja." Toni memang sudah terlihat bugar, hanya ada perban yang
"Kurang ajar! Setan ....!!" Tendangan Nurman menghujam ke punggung Wawan keras, yang sontak langsung terbangun karena kaget dan kesakitan, begitupun dengan Samsiah, wajahnya terlihat pucat pasi karena rasa takut dan malu. Hujan gerimis yang turun semalaman di saat mereka selesai berpacu hasrat membuat mereka berdua ketiduran."Sialan kau Wawan! Samsiah! Bikin sial saja!" bentak Nurman lagi, sementara perempuan-perempuan pekerja yang lain berkerumun di belakang Nurman sembari mencaci-maki Wawan dan Samsiah.Tanpa diberi kesempatan untuk berpakaian, Nurman dan beberapa pekerja perempuan segera menyeret Wawan dan Samsiah keluar dari gubuk bambu tersebut. Samsiah menjerit-jerit ketakutan, karena satu dua orang pekerja mendaratkan tamparan, cakaran, bahkan meludahi wajahnya."Dasar tidak punya moral! Tidak punya adab!" bentak Nurman lagi saat mereka sudah di luar gubuk, sementara dari kejauhan sudah terlihat serombongan warga sedang mendekati mereka.Kang Nurm
Benar saja, Bude Ajeng sudah menunggunya di depan rumah, lantas mempersilahkan Ustaz Arief untuk masuk dan menunggu di sofa ruang tamu, sementara dia memanggil Risma ke ruangan dalam. Tidak beberapa lama, Risma keluar dengan ditemani emak."Assalamualaikum, Ceu, Neng Risma."Risma dan Emak menjawab salam Ustaz Arief, lalu mempersilahkan Ustaz Arief untuk duduk kembali."Maaf Ustaz, jika hanya saya dan Emak yang bisa menemui Ustaz, sedangkan Bang Riswan masih berada di Jakarta," jelas Risma."Tetapi Abang bilang pagi ini juga akan balik pulang ke mari, terakhir menelpon sedang bersiap-siap ingin berangkat." Ustaz Arief mengangguk-angguk tanda memahami."Bertemu dengan Neng Risma dan Ceu Sawiyah pun sama saja, saya hanya ingin memberitahu tentang sesuatu yang penting yang berhubungan dengan keluarga Emak.""Hal penting tentang apa ya, Ustaz?" Mak Sawiyah kali ini yang bertanya. Mulai terlihat rasa keingintahuan dari Emak dan Risma. Ustaz Arief
"Risma, kamu kenapa, Ris," tegur Emak Sawiyah ikut panik, melihat Risma hanya diam mematung dengan mata berkaca-kaca. Emak Sawiyah lantas mengambil handphone milik Risma yang terjatuh."Mas, kita kembali ke rumah," pinta Risma datar, kepada salah seorang pengawalnya yang merangkap sebagai sopir pribadi, lalu Risma mulai menangis terisak."Baik Buk," jawab sang sopir, sembari menoleh ke arah rekan sesama pengawal yang duduk di sebelahnya, keduanya seperti kebingungan melihat perubahan sikap bos mereka yang mendadak bersedih."Risma, jawab emak, Ris ... ini ada apa?""Yu-yuli diculik, Mak," jawab Risma, sembari mengusap air matanya."Astagfirullah aladzim ... ya Allah, bagaimana ini," keluh Emak, badannya terasa lemas.Dua orang pengawal Risma yang ikut bersama mereka ikut terlihat kaget, lalu mulai mempercepat kendaraan untuk segera sampai di rumah."Bagaimana ini, Mak ... Bang Riswan pasti marah sama Risma. Ya Allah ... lindungi putri
Sebuah gudang kosong tidak terurus, yang terletak di tengah-tengah lahan yang penuh rumput liar dan pepohonan besar, di situ Samsiah memilih untuk beristirahat melepas lelah. Di belakang gedung yang dindingnya hanya terbuat dari seng, di situ Samsiah bersembunyi. Sengaja dia lakukan agar tidak terlihat orang dari depan jalan. Rasa malu sudah mengalahkan rasa takutnya pada binatang liar yang mungkin saja banyak bersarang di dalam semak belukar.Samsiah terduduk di belakang gudang tua tersebut, lalu menangis sejadi-jadinya. Mulai menyesali segala perbuatannya. Samsiah benar-benar bingung harus berbuat apa, apalagi dalam kondisi sedang hamil muda, rasa putus asa mulai menghinggapi dirinya."Mak ... tolong Samsiah, Mak," ucapnya lirih, sebelum akhirnya dia pun tertidur di tempat itu dalam kondisi yang sangat lelah dan menyedihkan.Samsiah terbangun saat matahari mulai beranjak naik, bukan terbangun karena cahaya sang surya yang menghinggapi tubuhnya, tetapi suara pe
Sapri lantas mendekati Yuli yang karena rasa lelah dan takutnya lantas tertidur bersandar pada tiang besi. Sapri lantas memeriksa keadaan Yuli yang masih terikat erat, lantas Sapri mengambil sebuah kardus bekas, meletakkannya di lantai, kemudian mulai merebahkan dirinya, tidak jauh dari tempat Yuli disekap.Samsiah yang terus memperhatikan gerak-gerik Sapri, lantas mulai beringsut pelan menjauhi dinding gudang. Nalurinya mengatakan, inilah saatnya dia harus membebaskan Yuli, bagaimana pun caranya.Berjalan dengan sangat berhati-hati jangan sampai langkahnya terdengar oleh Sapri, Samsiah mulai mendekati pintu masuk gudang yang memang sedikit terbuka. Langkahnya terhenti, setelah melihat sebilah balok kayu tak terpakai sepanjang setengah meter tergeletak di depan pintu gudang. Diambilnya balok kayu tersebut, dan mulai masuk ke dalam dengan sangat hati-hati sekali.Debar jantungnya berpacu cepat, tubuhnya mulai berkeringat, sebenarnya Samsiah pun merasa ketakutan,
--Halo Pak Riswan--Halo, dengan siapa ini saya berbicara?--Tidak penting saya ini siapa, yang jelas, putri bapak ada pada kami.Riswan tersentak, lantas memberikan kode kepada salah satu petugas kepolisian yang memiliki pangkat paling tinggi, bahwa sang penculik Yuli sedang menghubunginya.Beliau pun memberikan kode, agar Riswan mengaktifkan load speaker.--Bagaimana keadaan putri saya, apa yang kamu mau?Hening sejenak, penelpon misterius itu belum memberikan jawaban, tetapi hubungan telepon masih aktif berlangsung.--Halo! Tolong kembalikan putri saya, kalian maunya apa, uang? Berapa yang kalian minta?Riswan terus mencecar si penelepon misterius tersebut, dia tidak mempermasalahkan tentang jumlah uang, yang ada dipikirannya hanya keselamatan sang putri tercinta.--Kami tahu, uangmu dan hartamu tidak terkira, persiapkan saja, nanti akan kami hubungi lagi.--Halo, nanti dulu jangan dimatikan, beri saya bukti jika
Bagaimana kamu bisa bertemu dengan Yuli, Ton, terus apa hubungannya dengan keberadaan adik ipar saya?" tanya Riswan, dirinya benar-benar bingung dengan situasi yang terjadi. Baru saja penculik Yuli menelponnya, tiba-tiba Toni datang dengan membawa putrinya, sekaligus penculiknya, lalu apa hubungannya dengan orang yang menelponnya barusan, dan mengirim photo Yuli.Toni lantas menceritakan kronologi pertemuannya dengan Samsiah dan Yuli, juga bagaimana cara Samsiah membebaskan Yuli dari para penyekapnya. Juga tentang masih adanya salah satu penculik Yuli yang masih terkapar di dalam gudang tua, yang sekarang sedang dijemput oleh petugas kepolisian."Maaf Pak Riswan, sepertinya orang yang menelpon tadi adalah salah seorang yang menyuruh para pelaku lapangan ini," jelas salah seorang penyidik. Dan Riswan merasa seperti orang bodoh, kenapa dia tidak bisa berpikir sejauh itu."Berarti, bisa saja mereka masih menganggap bahwa Yuli masih disekap oleh orang-orang suruhann
Emak langsung menghampiri putri bungsunya tersebut, dan mendekapnya erat. Begitupun dengan Risma."Maafkan Samsiah ya, Teh." Risma tidak bisa menjawab, hanya mengangguk saja."Maafkan Iyah yang sudah bikin malu Emak dan Teteh di kampung. Samsiah mau tobat, Makk," keluh Samsiah, terisak-isak."Teteh juga mengucapkan terima kasih yah, kamu sudah berani membebaskan Yuli dari tangan penculiknya," ucap Risma."Samsiah juga mau minta maaf Teh, jika dulu Samsiah ikut dzalim sama Teteh dan keluarga, demi Allah, Iyah menyesal, Teh." Semakin tersedu-sedu tangisannya."Risma pasti memaafkan kamu, Yah, karena emak tahu, jika Risma dan Riswan bukanlah tipe orang yang pendendam," jawab Emak, dan Bude Ajeng yang sedari tadi diam menyaksikan, matanya pun ikut berkaca-kaca, betapa dia pun rindu dengan anaknya, yang dia tidak tahu ada di mana sekarang. Mantan suaminya sudah membawa pergi anak satu-satunya, dan Bude Ajeng benar-benar sudah kehilangan jejak kebe
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti