Suasana pagi Desa Cibungah tetap seperti biasanya. Udara yang terasa dingin, dengan hembusan angin khas pegunungan yang lembab menyegarkan menyelimuti desa ini dari hari ke hari.
Ela terlihat sedang termangu di depan teras rumahnya yang tidak terlalu luas, hanya selebar satu meter tepat dari depan pintu masuk. Wajahnya terlihat seperti sedang berpikir, atau mungkin sedang dalam kondisi kebingungan.
Hari ini dia bingung harus masak apa, bukan terkendala bahan-bahan, tetapi dia sudah benar-benar tidak lagi memiliki uang. Uang simpanan miliknya yang dahulu dia kumpulkan sedikit demi sedikit, sudah benar-benar habis untuk membiayai segala keperluan akomodasi dan pegangan uang untuk Tohir, saat harus menjenguk berkali-kali di ruang tahanan, belum lagi harus memberikan uang diam kepada oknum aparat yang berjaga agar dimudahkan untuk bisa menjenguk.
Saat ini putrinya Naya masih tertidur, bagaimana jika dia terbangun lalu meminta
Surti lantas mempersilahkan Risma untuk masuk ke rumahnya, mempersilahkan Risma untuk duduk di sofa ruang tamu yang terkesan mewah dengan banyak furniture, tetapi Risma merasakan kesan seram di dalam rumah ini. Rumah pemain riba, yang mungkin juga tidak pernah dipakai untuk beribadah di dalamnya.Surti lantas masuk ke dalam ruangan yang lebih dalam, balik kembali ke tempat Risma menunggu, sembari membawa sebundel tumpukan map yang dia letakkan di atas pangkuannya. Sementara ke dua orang penjaga Risma menunggu tidak jauh dari pintu rumah.Surti lantas membuka, dan mencari-cari sertifikat atas nama Hasyim, setelah dia temukan lantas diletakkan di atas meja."Ini Mbak, sertifikatnya. Pinjamannya 60 juta, tapi karena telat maka harus ditebus 100 juta," ucap Surti santai saja. Risma tersenyum sinis mendengar ucapan Surti."Bisa sampai seratus juta bagaimana hitungannya? T
"Insya Allah dalam waktu dekat kita sudah bisa pergi umroh sama-sama Ustaz, Umi," jelas Risma kepada kedua orang guru agamanya tersebut. "Alhamdulillah ... saya tidak tahu bagaimana caranya harus berterima kasih mendapatkan rejeki yang luar biasa ini, selain hanya bisa bersyukur dan berdoa, semoga Allah selalu memberikan rahmah, hidayah, kesehatan, dan perlindungan untuk Neng Risma, Riswan, dan seluruh keluarga tercinta," ucap Ustaz Arief berterima kasih. "Aamiin ya Allah, terima kasih atas doa-doanya Ustaz," jawab Risma, yang dia pun tidak henti-hentinya bersyukur jika memang diberikan kesempatan untuk dapat beribadah ke tanah suci, hal yang tidak pernah terpikirkan bisa terlaksana dahulu, mengingat bagaimana susahnya hidup mereka hingga menjadi bahan hinaan dan celaan saudara-saudara, bahkan oleh bapak kandungnya sendiri. Bahkan setelah kebenaran
Amran dan Ela yang memang pada dasarnya selalu merasa apa yang mereka lakukan adalah benar, tidak menerima tuduhan Risma begitu saja, mereka tetap ngotot mengajak berdebat."Tetapi kamu jauh lebih jahat, Risma! Lihat, gara-gara perbuatan suamimu si Riswan itu, istriku Nengsih pergi bersama kedua anakku, coba jika seandainya aku masih menjadi penampung sampah di pabrik milik suamimu, mungkin istri dan anak-anakku tidak akan pergi.""Iya! Kang Tohir juga tidak akan masuk penjara," sambung Ela, berdua dengan Amran selalu menyalahkan Riswan dan Risma akan musibah yang telah menimpa mereka. Risma masih terdiam, belum mau menjawab. Samsiah pun hanya memperhatikan sembari sesekali mengusap air-matanya."Saudara macam apa kamu Risma, hidup enak bukannya ajak saudara agar ikut enak, justru malah sebaliknya, membuat kehidupan kami susah, jahat kamu Risma," tuduh Amran lagi.&n
Part 75Satu tangan mencengkram bahu Samsiah, tangan yang satunya lagi digunakan untuk menutup mulut Samsiah agar tidak bergerak, tidak berteriak, lalu menyeret janda muda tersebut ke balik pohon rambutan berukuran besar guna bersembunyi. Lantas membisikkan suara agar Samsiah jangan bersuara.Pintu dapur rumah Rohani terbuka lebar, sehingga ada keluar cahaya dari dalam rumah menerangi keadaan malam yang tadinya terlihat sangat gelap."Nggak ada siapa-siapa, Buk." Terdengar suara Mursan, saat dua sosok manusia keluar dari pintu belakang tersebut."Mataku belum buta, jelas-jelas tadi aku lihat seperti Samsiah yang sedang mengintip kamar kita." Rohani menjawab. Dadanya naik turun menahan emosi yang terpendam. Seandainya saat itu tidak ada pak kades dan warga desa, sudah dia habisi Samsiah. Tetapi rasa cintanya yang besar terhadap Mursan, membuat Rohani pun tidak ingin ditinggalkan."Ibu pasti salah lihat, mana berani dia malam-malam keluyuran se
Selepas jam istirahat makan siang, Riswan dengan ditemani dua orang pengawalnya menuju ke rumah Toni, berniat ingin melihat keadaan orang kepercayaannya itu selepas keluar dari rumah sakit karena terkena bacokan saat mencoba melindungi Riswan dan keluarganya.Ke daerah perbatasan kota tempat Toni tinggal. Sebuah perkampungan tepat sisi jalan, jadi kendaraan yang membawa Riswan bisa tepat berhenti di depan rumah Toni. Lebih tepatnya rumah mertua Toni, karena orang kepercayaan Riswan itu sendiri berasal dari luar pulau.Di ruang tamu keluarga Riswan diterima dengan sangat baik dan terbuka. Rumah yang ditempati Toni sekarang ini pun direnovasi menjadi lebih bagus atas bantuan Riswan. Makanya, keluarga dari istrinya Toni itu sangat menghormati keberadaan dari Riswan."Bagaimana keadaanmu Ton, sudah lebih baik, kan?""Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik, Pak, secepatnya saya akan segera kembali bekerja." Toni memang sudah terlihat bugar, hanya ada perban yang
"Kurang ajar! Setan ....!!" Tendangan Nurman menghujam ke punggung Wawan keras, yang sontak langsung terbangun karena kaget dan kesakitan, begitupun dengan Samsiah, wajahnya terlihat pucat pasi karena rasa takut dan malu. Hujan gerimis yang turun semalaman di saat mereka selesai berpacu hasrat membuat mereka berdua ketiduran."Sialan kau Wawan! Samsiah! Bikin sial saja!" bentak Nurman lagi, sementara perempuan-perempuan pekerja yang lain berkerumun di belakang Nurman sembari mencaci-maki Wawan dan Samsiah.Tanpa diberi kesempatan untuk berpakaian, Nurman dan beberapa pekerja perempuan segera menyeret Wawan dan Samsiah keluar dari gubuk bambu tersebut. Samsiah menjerit-jerit ketakutan, karena satu dua orang pekerja mendaratkan tamparan, cakaran, bahkan meludahi wajahnya."Dasar tidak punya moral! Tidak punya adab!" bentak Nurman lagi saat mereka sudah di luar gubuk, sementara dari kejauhan sudah terlihat serombongan warga sedang mendekati mereka.Kang Nurm
Benar saja, Bude Ajeng sudah menunggunya di depan rumah, lantas mempersilahkan Ustaz Arief untuk masuk dan menunggu di sofa ruang tamu, sementara dia memanggil Risma ke ruangan dalam. Tidak beberapa lama, Risma keluar dengan ditemani emak."Assalamualaikum, Ceu, Neng Risma."Risma dan Emak menjawab salam Ustaz Arief, lalu mempersilahkan Ustaz Arief untuk duduk kembali."Maaf Ustaz, jika hanya saya dan Emak yang bisa menemui Ustaz, sedangkan Bang Riswan masih berada di Jakarta," jelas Risma."Tetapi Abang bilang pagi ini juga akan balik pulang ke mari, terakhir menelpon sedang bersiap-siap ingin berangkat." Ustaz Arief mengangguk-angguk tanda memahami."Bertemu dengan Neng Risma dan Ceu Sawiyah pun sama saja, saya hanya ingin memberitahu tentang sesuatu yang penting yang berhubungan dengan keluarga Emak.""Hal penting tentang apa ya, Ustaz?" Mak Sawiyah kali ini yang bertanya. Mulai terlihat rasa keingintahuan dari Emak dan Risma. Ustaz Arief
"Risma, kamu kenapa, Ris," tegur Emak Sawiyah ikut panik, melihat Risma hanya diam mematung dengan mata berkaca-kaca. Emak Sawiyah lantas mengambil handphone milik Risma yang terjatuh."Mas, kita kembali ke rumah," pinta Risma datar, kepada salah seorang pengawalnya yang merangkap sebagai sopir pribadi, lalu Risma mulai menangis terisak."Baik Buk," jawab sang sopir, sembari menoleh ke arah rekan sesama pengawal yang duduk di sebelahnya, keduanya seperti kebingungan melihat perubahan sikap bos mereka yang mendadak bersedih."Risma, jawab emak, Ris ... ini ada apa?""Yu-yuli diculik, Mak," jawab Risma, sembari mengusap air matanya."Astagfirullah aladzim ... ya Allah, bagaimana ini," keluh Emak, badannya terasa lemas.Dua orang pengawal Risma yang ikut bersama mereka ikut terlihat kaget, lalu mulai mempercepat kendaraan untuk segera sampai di rumah."Bagaimana ini, Mak ... Bang Riswan pasti marah sama Risma. Ya Allah ... lindungi putri
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti