Part 42
Rohani, istri dari saudagar sembako, Mursan, matanya terus saja menatap ke arah jam dinding yang berada di dalam toko sembako tersebut. Sudah satu jam lebih suaminya belum juga kembali dari mengantar pesanan yang Rohani sendiri tidak tahu hendak diantar kepada siapa.
Alasan suaminya Mursan, yang hendak mengantar pesanan kepada Umi Hasanah, istri dari Ustaz Arief ternyata sudah terbantahkan, suaminya berarti sudah mulai berbohong.
Dia coba tanyakan kepada para pekerjanya di toko miliknya ini, semuanya menjawab tidak tahu.Tidak beberapa lama kemudian, terdengar suara motor yang khusus dipakai buat mengantar sembako, dan dari suaranya, Rohani sudah bisa mengenalinya. Benar saja, Mursan mulai terlihat mengendarai motor, dengan dua keranjang karung di kiri dan kanannya sudah terlihat kosong.
Rohani mencoba bersikap tenang, walaupun hatinya kesal merasa sudah dibohongi oleh suaminya. Mursan kemudian mulai masuk ke toko sembako dan duduk di bangku
Riswan mempersilahkan Tante Sartika untuk beristirahat dahulu di kamar khusus tamu, lalu dia sendiri memilih untuk menyendiri sejenak di sisi tepian kolam renang, dengan tatapan lurus ke arah pegunungan yang tepat ada di hadapannya. Tidak terpikirkan oleh Riswan sebelumnya, langkahnya untuk menempuh jalur hukum yang berhubungan dengan kasus yang melibatkan keluarganya, akan berimplikasi pada retaknya hubungan kekeluargaan di antara mereka. Kemarahan dan kebencian dari saudara-saudara sepupunya adalah salah satunya. Bahkan mereka sampai berencana ingin membalas dendam dan mencelakakan dirinya. Langkahnya bertindak tegas kepada adik-adik dari ayahnya tersebut adalah sebuah shock terapi bagi bawahan-bawahannya yang lain, bahwa dia tidak tebang pilih dalam memproses sebuah pelanggaran, siapapun yang terlibat akan dia perkarakan. Apalagi jika sampai merugikan keuangan perusahaan, karena dapat berimplikasi pada keberlangsungan usaha yang dijalankan. Riswan
Part 58"Kang Amran, ini apa-apaan, sih." Samsiah mencoba menarik tangan Amran yang masih mencekal leher dari Mursan, yang tersudut di tembok."Kamu yang apa-apaan, tidak tahu malu." Amran berbalik menatap Samsiah, sementara tangan kirinya masih saja berada di leher Mursan. Pembicaraan walaupun penuh dengan penekanan, tetapi dilakukan dengan intonasi suara yang pelan, karena tidak ingin ada orang lain yang mendengar, ataupun adanya keberadaan Mursan di rumah janda baru ini."Kamu tidak sadar Samsiah, jika perbuatan kalian ini diketahui warga, bisa diarak keliling kampung, nggak malu kamu." Amran masih melotot ke arah Samsiah."Biasanya juga nggak ada yang tahu," jawab Samsiah dengan bodohnya. Pemahaman dan pemikirannya memang sedikit lamban.Amran lantas melepaskan cekalan tangannya pada leher Mursan, lalu mulai memutarkan video yang tadi dia rekam kepada Mursan. Saudagar sembako itu tercekat, tidak mampu untuk bicara. Samsiah yang juga ikut meliha
59Suasana malam di Desa Cibungah ini memang sudah terlihat sepi setelah lewat adzan Isya. Tidak ada lagi aktivitas warga yang terlihat. Mereka sudah mengurung diri di dalam rumahnya masing-masing.Jumlah warga di Desa Cibungah ini memang tidak terlalu banyak, dan juga tidak terdapat tempat hiburan. Jika ingin mencari hiburan dan tempat keramaian mereka harus ke kota kecamatan, tetapi kebanyakan masyarakat desa ini lebih memilih untuk berdiam diri di rumah, selain karena jarak ke kota kecamatan terbilang cukup jauh dan jalan yang dilalui pun terbilang cukup gelap karena masih minimnya lampu penerangan.Menjelang tengah malam, Rohani terbangun dari tidurnya karena kebelet ingin buang air kecil ke kamar mandi. Dengan suara malas karena masih mengantuk, Rohani memanggil suaminya yang dia pikir masih tertidur di sampingnya."Kang, bangun, Kang. Anterin Ani ke kamar mandi," ujarnya dengan nada malas, dan tidak terdengar jawaban. Sambil menguap karena mas
Part 60Pagi hari sekitar pukul delapan, empat hari setelah mengunjungi Tohir--suaminya di sel tahanan polsek di kota kecamatan. Ela yang baru saja selesai memandikan putrinya Naya, berencana akan mengunjungi rumah keluarga besar Tohir yang masih satu desa dengannya, hanya lokasi rumahnya tepat di dekat pintu masuk gapura Desa Cibungah.Sembari menuntun Naya, Ela menyusuri jalan memotong perkampungan, yang waktu tempuhnya lebih dekat dari pada mengikuti sisi jalan desa. Tujuan utama Ela menemui keluarga Tohir adalah untuk menjelaskan jika dia berencana akan mengajukan gugatan permohonan perceraian di pengadilan agama setempat, dan Ela merasa berkewajiban untuk memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga besar mertuanya tersebut agar tidak timbul salah paham nantinya.Semenjak Tohir masuk penjara, kedua orangtua beserta saudara-saudaranya yang lain sudah berlepas tangan, mereka sudah tidak mau lagi perduli, karena mereka pikir itu semua sudah urusan Ela sebaga
Part 61Seperti pagi biasanya di Desa Cibungah, rumah di atas bukit milik Riswan dan Risma terlihat masih terselimuti kabut tipis. Sinar sang Surya masih terhalangi oleh pegunungan yang sedikit terlihat gelap dari arah desa beriklim sejuk ini.Risma mengantar Riswan sang suami tercinta menuju halaman depan rumah mereka yang luas, dengan rumput-rumput hijau nan terawat juga lampu-lampu taman yang masih dibiarkan menyala. Dingin dan hening, embun masih membasahi rumput dan dedaunan, ada uap asap hangat yang keluar dari mulut dan hidung. Tempat yang sehat, indah dan langka, suasana alam yang tidak akan ditemukan di perkotaan."Hari ini jadi mau jenguk bapak dan emak, Neng?" tanya Riswan, sesaat lagi ingin masuk ke dalam kendaraan yang akan mengantarkannya ke bandara."Insya Allah jadi Abang. Boleh, 'kan, Bang?""Tentu saja boleh, Sayang. Hati-hati tapi yah.""Iya, Abang sayang," ucap Risma, sembari mencium tangan suami dengan penuh takjim, dan
62Emak Sawiyah dan Risma terdiam tak bergerak di sisi ranjang perawatan, tanpa bersuara. Hanya memperhatikan tubuh Juragan Hasyim yang terbujur kaku. Mereka lalu dikejutkan dengan kedatangan dokter dan beberapa perawat yang begitu terburu-buru.Dokter pria separuh baya yang memang khusus memberikan pengobatan kepada Juragan Hasyim langsung memeriksa kondisi suami dari Emak Sawiyah tersebut, terlihat beberapa tindakan medis ikut dilakukan, yang emak Sawiyah dan Risma tidak paham dan masih terdiam memperhatikan.Genangan air bening sudah nampak di kedua mata Risma dan Emak Sawiyah. Jemari tangan Risma lantas menggenggam jemari tangan perempuan tua yang sudah merawatnya sedari kecil itu untuk memberikan kekuatan, saling menggenggam tanpa bicara.Dokter Ikhsan, dokter paruh baya itu menghentikan tindakan medis, menghela napas dalam, menggeleng-gelengkan kepalanya tanda menyerah."Innalilahi wainnailaihi rodziunn." Beberapa orang suster yang mendamping
Kendaraan yang membawa Bude Ajeng baru saja sampai di depan rumah induk. Rumah yang terlihat sepi dan senyap karena lumayan lama tidak ditempati, dari semenjak Juragan Hasyim menjalani pengobatan di rumah sakit.Mereka segera berbagi tugas, sang sopir pribadi Risma yang bernama Firman segera menemui kepala desa, sementara Bude Ajeng menemui salah satu anak Juragan Hasyim, dan satu orang pekerja yang lainnya merapihkan rumah milik keluarga besar Risma.Bude Ajeng segera ke rumah Samsiah, yang terletak di samping rumah induk berjarak hanya 10 meter, pintu rumah sedang dalam keadaan terkunci dari dalam."Assalamualaikum," ucap Bude Ajeng, sembari mengetuk-ngetuk pintu rumah. Tidak terdengar jawaban. Kembali Bude Ajeng mengucap salam berulang-ulang, tangannya terus saja mengetuk pintu. Tetap tidak ada jawaban.Bude Ajeng terus saja mengetuk, sembari mengintip ke dalam rumah dari cela hordeng yang sedikit terbuka. Terlihat sekilas seorang pria sedang terburu-b
Setelah tujuh hari tahlilan kematian Juragan Hasyim, Emak Sawiyah kembali tinggal di rumah Risma. Sementara Darman bersama keluarga kembali pulang ke Jakarta terlebih dahulu, selepas tiga hari wafatnya sang bapak.Rumah besar itu kembali dibiarkan kosong tak berpenghuni.Siang yang redup, karena matahari terhalang awan gelap dengan angin yang bertiup cukup kencang.Tiga orang berwajah sangar datang menyambangi rumah besar milik almarhum Juragan Hasyim. Orang-orang suruhan dari istri rentenir Kardi yang sudah mati dibunuh oleh Tohir.Dengan gaya yang arogan, salah seorang dari mereka berteriak-teriak tepat di depan rumah besar tersebut, sembari mengetuk-ngetuk pintu dengan sangat keras."Amran! Amran!" Berkali-kali nama Amran yang mereka panggil, karena mereka tidak tahu jika Amran tidak bertempat tinggal di situ."Amran! Keluar Amran!" Tidak ada kesan keramahan dari cara mereka memanggil, disusul dengan ketukan keras di pintu ber
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti